Jumat, 02 Oktober 2015

Puisi dari Mas Rakih

Degradasi Paradigma

Wayang bergerak dengan tangan dalang
Watak orang Tuhan yang merancang
Wayang bergerak ditonton banyak orang
Manusia tertindas orang yang menonton malah ikut senang

Modern ini merubah sudut pandang
Dahulu tersayang sekarang terbuang
Dahulu termarjinalkan sekarang tertinggikan
Entah apa isi manusia dalam kenyataan

Dahulu anak-anak hormat pada sang tua
Menyapa salam senyum, menundukkan kepala
Apa yag kurasa jaman yang katanya surga
Hilang sudah rasa terkubur nada

Ahh… Celotehan sang tua itu bak angin
Anak anggap semua itu hanya membuat nyeri pada hati yang dingin
Anak surga tetap pilih antiaspirin
Ibu dan bapak menunduk melihat telapak kaki yang semakin licin

Hilangkah dongeng itu ketika malam menjelang?

Rakih Yusma R. (Pkl 22.00, 1 Oktober 2015)


Kemarin malam saat sedang asyik dengar lagu-lagu nostalgia di radio, hapeku tiba-tiba bunyi, ternyata ada bbm dari mas Rakih disana. Kenang-kenangan katanya, dan disuruhnya aku untuk tuangkan puisinya dalam coretanku. Mas Rakih ini partner pendakian gunung Merbabu yang kemarin, teman dari teman baikku boyek yang kuliah di UNS (Universitas Negeri Surakarta) ngambil disiplin ilmu Farmasi. Dia orang yang suuuuper jenaka, banyolannya selama pendakian kemarin bisa buat kami sedikit lupakan rasa lelah yang hinggap. Setelah ngobrol panjang lebar, kalimat penutup dari mas Rakih adalah “mari ngopi dari kejauhan, mas!” Siap, segera seduh dan racik kopinya tuan, dan mari ngobrol ngalor-ngidul baik berbobot maupun tidak untuk ngomongkan kehidupan. Salam damai selalu untuk teman-teman di Surakarta…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar