Minggu, 01 September 2019

Mengenang Dek Yasma


Tanggal 5 Juni 2019 idul Fitri 1440 H menjadi hari-hari perayaan yang takkan pernah kami lupa sepanjang hayat. Momen disaat hari kebahagiaan berkumpul bersama keluarga dalam hangat suasana fitri, mendadak jadi sejarah terkelam yang harus kami tanggung dalam hidup. Aku tak sedang bersedih saat menulis tulisan ini, hanya saja kurasa tak patut juga ditulis dalam atmosfer yang bahagia, yahh sedang-sedang saja. Isteriku Pradita sedang mengandung 7 bulan saat kubawa dia pulang ke Bojonegoro, mulih mudik ning ndeso. Mudik idul Fitri yang menjadi impianku sejak kecil, mengandung buah hati harapan kami berdua, betapa senangnya. Tapi Allah yang maha segalanya menghendaki lain.

Shalat idul Fitri pagi itu, Pradita berangkat bersama ibuk menuju masjid. Kumandang Takbir bersahutan di seluruh penjuru omah ndeso yang sejuk dan elok dengan udaranya yang bersih. Namun belum selesai rangkaian khutbah shalat Ied, Pradita merasa kesakitan di perut dan harus pulang bersama ibuk untuk beristirahat. Usai shalat, seperti tradisi untuk sungkem memohon maaf ke sanak famili, tetangga-tetangga dan kerabat datang silih berganti. Hingga siang hari, perut Pradita tak juga menunjukkan tanda kondisi membaik hingga harus kubawa ke RS Muhammadiyah Bojonegoro. Singkat cerita dari penjelasan dokter, memang bayi kami harus lahir walau belum waktunya. Tak perlu kujelaskan lebih rinci, karena mencoba merangkai memori hari-hari itu saja sudah berat. Tapi tulisan ini harus kurampungkan, sebagai pengingat betapa Tuhan menyayangi kami walau dalam musibah sekalipun.

Yang lebih buatku gentar adalah mengingat betapa Pradita menahan sakit berjuang sekuat tenaga lahirkan bayi kami, sakit yang pasti takkan kuat aku menanggungnya. Peluh dan rintihan seorang ibu yang berharap melihat bayinya lahir. Kami dengan sabar berulangkali mencoba husnudzan, membaca ayat Qur’an, berdzikir dll. Kudekatkan mulutku ke perut Pradita sambil lantunkan hafalan Ar-Rahman yang masih gratul-gratul. Saat dia mulai mengaduh, selalu kuingatkan untuk diganti dengan istighfar, karena barangkali setan dapat masuk dan bisikkan “duhai, berat sekali penderitaan dari Tuhan-Mu yang harus kau peri ini?”. Bayi kami lahir pada Jumat dini hari pukul 00.30 kurang lebihnya, dalam keadaan telah berpulang. Aku tak melihat ekspresi kesedihan di wajah Pradita, atau pula tangis, yang ada hanya mimik kepasrahan dan pengembalian segalanya pada Rabb-Nya. Melihatnya seperti itu, dalam hati aku bertanya pada diri sendiri “bagaimana dia bisa seteguh itu?” ku tersenyum padanya dan berbisik (lagi-lagi dalam hati) You did well, nice fight…

Beranjak dari Pradita untuk melihat tubuh bayi kami yang telah dibawa para perawat ke tempat steril, ada ibuk dan bulik disana. Saat berjalan mendekat, kudengar bulik menyebut “ALLAHUAKBAR!” dalam ekspresi keterkejutan, sejurus kemudian beliau tunjukkan padaku ada bercak darah di telinga bayi kami yang mrip membentuk tanda “4JJI”. Bulik dan ibuk tak kuasa menahan tangis, sedang aku lega karena Allah menjawab doaku yang meminta agar diberikan “tanda” bahwa kalau memang ini adalah cobaan dariNya, agar sekiranya Allah ridha dengan semua tingkah laku dan perilaku kami dalam menghadapi  cobaan ini. Dan bayi perempuan kami yang telah menghadap Allah kami beri nama Fitria Yasmaul Qur’an, lahir pada Idul Fitri, suka mendengar tilawatil Qur’an. Yasma insyaAllah lahir dari rahim ibu yang suka ngaji, bahkan suka lupa jika tak diingatkan saat sudah masuk waktu berbuka.

Jumat pagi jenazah dek Yasma dibawa pulang untuk dikebumikan. Pakde memaksa agar beliau yang menggendong jenazah dek Yasma, karena takut andai di tengah jalan aku tak kuasa tahan sedih. Namun sebagai bapaknya, aku ingin mendapat kehormatan dari anakku sendiri untuk antarkan dia ke tempat istirahat terakhirnya. Dalam penanggalan Jawa, mbah Kung bilang bahwa Yasma pergi di hari yang disebut “tiba segara, kepung seroja”, artinya insyaAllah (mudah-mudahan) baik, dan meninggal disaat banyak keluarga yang sedang berkumpul, pula banyaknya tamu yang datang. Ada tiga hari lain yakni tiba gunung, tiba singkur, tiba sungsep, kusebutkan sebagai selipan tulisan.
 
 
 Terima kasih kepada keluarga, sahabat, teman dan semua yang telah membantu kami melalui masa sulit kemarin. Mbah Kiai yang memakamkan dek Yasma bilang “wong tuwane Yasma sak mbah-mbahe dan keluargane wis duwe tiket melebu dan wis ngapling suwarga ning akhirat, suk mben dadi pitolong ning shirataal mustaqim…” kuaminkan khidmat dalam hati, namun yang lebih penting adalah tetap berusaha agar menjadi “pantas” ditolong besok. Sebagai penutup, aku berpesan pada diri sendiri, sungguh semua yang melekat pada kami ini adalah kepunyaan-Nya, dan akan kembali pula pada-Nya.
Saat Pradita merasa sehat, doi minta foto mumpung sepi tamu. Diambil beberapa saat sebelum berangkat ke rumah sakit
Selamat beristirahat dek Yasma, izinkan kami melanjutkan hidup dan sampai jumpa esok. We love you and I love your mom more than ever…


Surabaya, 1 Muharram 1441 H
Ttd. Bunda & ayah yang mencintaimu