Kamis, 07 September 2023

Pendakian Gunung Anjasmoro (2282 Mdpl)

            Dengan tidak mengurangi betapa kaya dan seru pengalaman yang didapat dari pendakian Anjasmoro, tulisan mengenainya akan dibuat singkat dan se-informatif mungkin (sebisaku). Pendakian ini merupakan penantian panjang untuk bisa kembali ‘ndangak’ setelah vakum dari dunia mountaineeering kurang lebih 6 tahun. Kebetulan ada anak baru di kantor yang senang mendaki, Mazi namanya. Merasa se-frekuensi, tak perlu menunggu lama waktu langsung kita menyusun rencana pendakian dan sepakat nanjak tanggal 2 dan 3 September 2023. Semesta mendukung, SIM (Surat Izin Mendaki) dari isteri juga sudah dikantongi. Gunung Anjasmoro sengaja kami pilih karena dekat dari Surabaya dan menurut informasi yang dikumpulkan dapat ditempuh dalam tempo 2 hari saja, cukup untuk menghabiskan waktu di akhir pekan libur kantor. Tapi alasan yang paling mungkin walau tanpa kesepakatan yakni, kami sama-sama belum pernah mendaki gunung ini.

 Sabtu pagi di tanggal yang telah disepakati, kami berangkat. Mazi mengajak teman seangkatannya yang ditempatkan di BNI Bojonegoro, Farid pakai S. Pukul 10 bertolak dari Surabaya menuju Wonosalam, Jombang dengan perjalanan santai mampir makan dan keperluan logistik. Kurang lebih pkl 13.00 kami sampai di pos pendakian, Kancil. Basecamp Kancil terletak di Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Untuk sampai disana sederhana saja, cukup buka GPS dan ketik kata kunci ‘Pos Pendakian Anjasmoro’. Udara di basecamp Kancil sudah terasa sejuk khas pegunungan. Berdampingan dengan mushala, terdapat juga kamar mandi untuk bersih diri pendaki usai nanjak. Parkirnya cukup, baik roda 2 maupun roda 4. Untuk tarif pendakian dan parkir tak ada informasi yang dapat dibagikan karena pada saat kami hendak berangkat maupun pulang, penjaga basecamp sedang tidak ditempat (ada karnaval). Akhirnya saat pulang kami bertemu ibu-ibu di basecamp, saat ditanya berapa perizinan untuk mendaki awalnya ibu ini menolak untuk menerima uang namun setelah kami mohon akhirnya beliau bersedia menerima, tarifnya Rp.10.000,-/kepala.

Pukul 13.30 dari basecamp kami memulai pendakian. Menyusuri kampung warga, agak kebingungan dengan belokan-belokan. Setelah tanya bapak-bapak di salah satu rumah warga, bapak tersebut memandu kami hingga bertemu jalan tapak pendakian. Setapak demi setapak kami lalui, terik matahari dan nafas yang mulai tersengal mengiringi perjalanan menuju tempat nirsinyal. Dari makadam bebatuan menuju tanah keras, terlihat beberapa kandang kambing milik warga, sampai akhirnya dimulailah perjalanan menuju tak terbatas dan melampauinya (uwoposih)...

Medan pendakian yang dilalui untuk sampai ke puncak, cukup diluar dugaan, nanjak tanpa ampun dengan hanya sedikit bonus. Apalagi di Tanjakan Mbok-mbok yang terletak antara pos 1 menuju pos 2, cukup membuat hati bergumam “mbok mbok mbooookk...”” rute trekking yang dilalui juga tak jarang masih tertutup semak belukar rapat, mungkin karena jarang pendaki yang datang kemari. Anjasmoro memang tak seterkenal gunung lain yang menawarkan keindahan khas sabana atau lautan awan dari puncak, sangat jarang bisa ditemui di Anjasmoro. Tapi bagi para pendaki yang merindukan sunyinya suasana gunung sebagaimana harusnya gunung, rimbunnya semak belukar dan lebat seresah daun berguguran di jalur setapak, yang merindukan asyiknya mendaki tanpa harus mengantri di lajur pendakian, Anjasmoro wajib masuk dalam daftar gunung-gunung yang wajib didaki!

Kami sampai di pos 3 mata air (pring rusak) pkl 17.20. Pos 3 merupakan tempat paling nyaman untuk dirikan tenda di Anjasmoro, selain dekat dengan sumber mata air, konturnya datar dan teduh, cukup untuk 3 hingga 4 tenda. Disana sudah berdiri 2 tenda dengan 2 cowo dan 3 cewe yang menghuni, rombongan dari Mapala salah satu perguruan tinggi swasta di Jombang. Mereka ramah dan hangat. Saat kami sampai dan segera akan mendirikan tenda agar tak kemalaman, mereka menyambut dengan suguhi kami kopi panas untuk teman melawan dingin yang mulai menyergap. Begitu pula saat ternyata kompor yang kami bawa rusak, mereka pinjami kami kompor beserta gas, lengkap. Tak terbayangkan apa jadinya kami waktu itu jikalau tanpa kompor, kelaparan dan melata. Kami tak boleh kalah baik dengan kembalikan pada mereka sepiring kentang goreng yang sudah susah payah dimasak Mazi dan Farid. Selain kentang goreng, menu makan malam kami adalah daging barbekyu. Jangan tanya apa peranku dalam proses memasak ini, aku sudah cukup nyaman tanpa sungkan hanya melihat dan menyemangati mereka sambil sesekali nyemil kentang-kentang yang berkeliaran minta ditangkap, hap! Makan malam tersaji, bon appetite. Sembari makan dan sesudahnya kami banyak berbincang mengenai apa saja, berdiskusi, bercerita, apapun asal bermakna. Mulai dari jokes receh, culture, cerita kepahlawanan, double degree si Farid pakai S di Belanda, cerita si Mazi ketemu Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo di gunung Lawu, dll banyak sekali, pribadi hebat kedua temanku ini. Deep conversation with the right people is priceless, malam yang panjang...



Pagi datang, kami bersiap perjalanan menuju puncak. Karena tak terburu mengejar sunrise, diputuskan untuk buat sarapan dulu meminjam kompor rombongan tenda sebelah yang akan segera mangkat. Menu nugget, tanpa indomie karena zat lilinnya akan menempel di mulut dan buat bibir tak nyaman. Pkl 07.00 kurang lebih kami berangkat, tujuan selanjutnya adalah Pos 4 (Puncak Bayangan). Tenda dan tas berat ditinggal, perlengkapan dan logistik seperlunya saja yang dibawa. Walau tanpa carrier, masih diperlukan tenaga cukup ekstra untuk dapat sampai di pos 4. Kontur medan dominan nanjak dan masih ditemani dengan semak belukar rapat. Lama waktu perjalanan relatif dari stamina pendaki, kami memakan waktu kurang dari 1,5 jam untuk sampai di pos 4. Dari pos 4 terlihat di arah kiri 1 bukit lagi yang lebih tinggi, sudah jelas itu puncak.


Perjalanan ke puncak masih 1 jam lagi dan tingkat kerapatan vegetasi semak belukar menjadi lebih rimbun dari yang sudah-sudah. Aku sempat dokumentasikan peristiwa beberapa saat sebelum sampai ke puncak karena kuatir saking lebatnya semak belukar yang menutupi jalur pendakian menuju puncak. Alhamdulillah puji syukur Allah, pkl 09.16 kami dapat menggapai titik 2282 mdpl. Hari-hari yang biasanya selalu terisi dengan bising deru kendaraan dengan semburan racun dari knalpot yang membuat udara jadi tak sehat, atau suara mesin-mesin printer di kantor maupun kemelitik suara keyboard komputer, atau hingar-bingar berita di sosial media yang selalu setiap saat terupdate dari ponsel pintar seolah tak bisa hidup tanpa hp dan FOMO (fear of missing out), menjadikan hari-hari kita seolah seperti, apa yang disebut oleh Herbert Marcuse sebagai ‘One Dimensional Man’. Pemandangan dan segarnya udara hutan yang kaya oksigen terasa syahdu memenuhi setiap rongga yang ada pada paru-paru kami, membuai mengajak sejenak lupakan pekatnya kenyataan hidup di kota, bising mengajarkan kami untuk pandai-pandai menikmati sepi. Hutan dan gunung tak pernah gagal basahi jiwa kami yang kering. Merasakan utuhnya menjadi manusia yang diberi kekuatan oleh Tuhan untuk susuri alam raya yang dibentangkan-Nya untuk disyukuri.

Kalau dirinci perjalanan menuju puncak adalah sebagai berikut:

Basecamp – Pos I : 1 jam 15 menit

Pos 1 – Pos 2 (Lumpang) : 1 jam 30 menit

Pos 2 – Pos 3 (Pring Rusak) : 1 jam

Pos 3 – Pos 4 (Puncak Bayangan) : 1 jam hingga 1,5 jam (tanpa carrier)

Pos 4 – Puncak Anjasmoro 2282 mdpl  : 1 jam

Untuk perjalanan turun yakni:

Puncak Anjasmoro 2282 mdpl – Pos 4 : 30 menit

Pos 4 – Pos 3 : 45 menit

Pos 3 – Basecamp : 2 jam

 Rincian perjalanan diatas tergantung situasi, kondisi dan toleransi, seberapa cepat atau seberapa banyak logistik atau kondisi masing-masing pendaki atau juga cuaca pada saat pendakian. Sekedar saran agar lebih aman dalam pendakian yakni apabila menjumpai jalan bercabang yang meragukan (karena memang banyak dijumpai percabangan jalur setapak) alangkah lebih baiknya untuk memperhatikan dengan seksama tanda berupa tali rafia atau apapun itu. Beberapa saat sebelum sampai ke puncak, jalur pendakian tertutup belukar rapat. Kami beruntung sempat merekam detik-detiknya, sehingga saat pulang berhasil temukan jalan walau sebelumnya sempat salah masuk jalur turun.

Kami sampai di basecamp sekitar pkl 14.00 Alhamdulillah dengan tidak kurang suatu hal apapun, hanya kaki agak sedikit tremor. Setelah bersih badan dan pastikan semua, tibalah waktunya untuk berpamitan. Sebelum resmi meninggalkan daerah Segunung, mampir kami ke warung pinggir jalan untuk mengisi kekuatan yang terkuras habis, masih dalam suasana sejuk dengan pemandangan Anjasmoro di timur jauh. Itu saja cerita yang dapat kami bagikan, semoga dapat membawa manfaat atau bahkan menginspirasi. Salam lestari...