Selasa, 26 Agustus 2014

Aku dan Catherine



24 Agustus aku dan Catherine bermandikan mentari, peluhku menetes terjatuh tepat mengenai bayangan my Catherine, Catherine hanya diam membisu tak sepatah kata melayang terucap, hanya karena Catherine memang bukan manusia…
Cinta yang ada dihatiku satu diantaranya milik Catherine…
Damai yang ada dijiwaku datang bersama kehadiran Catherine…
bukankah semua yang ada dilangit dan bumi bersujud pada-Nya, biarkan aku dan Catherine menyusuri alamku…
(Tamasya band - Cathrine)
Tentunya dengan sedikit modifikasi, mas Bro si vokalis Tamasya dalam musiknya gowes dengan Cathrinenya di 23 September, dan ada sedikit perbedaan abjad antara Catherine milikku dan Cathrine milik mas bro, tau kan? Hehe
Minggu ini kebetulan yang pas anggota kontrakan 910B pulang kampung, waktu dikontrakan kami sudah janjian akan gowes diminggu pagi, sedang aku sendiri sudah tak sabar pingin kencan sama Catherine sepeda hardtrailku yang anggun itu. Tujuan gowes kami besok masih sama dengan tahun lalu yakni perbukitan Kapur di Kecamatan Rengel, Tuban. Ada tambahan personil kali ini, yakni si Ardi jalituk yang ikut, dia langsung beli sepeda baru, ciyeeeh sasaran ospek ‘kenalan-dulu-donk’ kami haha. Saat akhir perjalanan sepedanya si jalituk ini bannya agak kocak gara-gara kami ospeki, hahaha. Aku dan Catherine bersama Noisy club, klub futsalnya Piter, Jalituk dan Andtok (aku ndak ikut futsal karena jarang pulang jenogoro). Ayo kita kemon, GOGOGOWESSSSS…
Minggu pagi kami berangkat, aku dan Catherine dari rumahku yang nanti nunggu Ardi dari rumahnya, Piter dan Andtok dari rumahnya juga di borno. Kutunggu si jalituk yang lupa rumahku, sepertinya dia terlampau bersemangat dengan sepedah barunya sampai bablas hingga lokasi dekat perahu penyebrangan. Okelah jadi kutunggu Piter dan Andtok di meeting point kami, SMP Kanor, sekolahku dulu yang sering kebanjiran. Rute Gowes kami melewati kecamatan Kanor, kemudian desa Semambung dan titik terakhir Kabupaten Bojonegoro paling utara hadap selatan, desa Pilang. Disini kami harus naik perahu penyebrangan utuk melewati bengawan, sedang bengawan Solo ini adalah batas antara Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Ongkosnya murah, cukup Rp. 1000 masing-masing sepeda, kami kasih Rp. 4000 pun masih di kembalikan seribu. Kami dengan asyik mengamati kapten kapal yang baik hati dengan lihai dan cakapnya memainkan perannya menahkodai kapal kecilnya, hap hap, kuliah dimana bapak ini tanya kami, mungkin di Universitas kehidupan, Fakultas pengalaman, Jurusan perkapalan bengawan. Kami bisa bayangkan gimana carut-marutnya transportasi Indonesia regional Bojonegoro-Tuban kalau tidak ada bapak-bapak penyedia jasa penyebrangan bengawan ini.
 

Masuk di Rengel kami kayuh sepeda dengan santai sambil bersenda gurau sampai ke Pasar. Di pasar Rengel ini adalah titik kedua kami mulai perjuangan. Jalanannya nanjak abis, kalau naik motor sih oke aja sebenernya. Kadang kami harus turun sepeda buat nuntun, karena ndak kuat kaki kami paddle-paddle like hell terus hehe. Sampai di bukit kapur, saatnya kami istirahat makan bekal tempe gorengan gratis lombok yang dibeli dipasar tadi, wuhhh mantabbbsss. 
 

Setelah itu kami foto-foto, bercengkrama, dan ngonthel to the max, sungguh mengasyikkan. Mengayuh sepeda di trek seperti ini ingatkan kami dengan game PlayStation 2, Downhill, ternyata tak segampang megang stick PS tapi benar-benar jauh lebih seru. Pas perjalanan pulang di kaki bukit aku juga sempat bernostalgia dengan ranjau tempatku jatuh dulu, dalamnya sekitar 1,25m dari permukaan jalan, huahahahaha dasar ranjau, brings back memories!
 
 
 
 
 
 
 

Untuk selanjutnya kami akan berganti destinasi gowes yang pastinya takkan kalah keren. Sekian saja, semoga masih bisa terus bersepeda. Catherine, bring me further more, love you so bad…

Minggu, 03 Agustus 2014

Pendakian Argopuro (Via Baderan)



Sudah lama aku tak mendaki, sedang hasrat untuk menjelajahi gunung-gunung negeri ini lebih jauh lagi semakin tak terbendung, mirip seperti pecinta yang merindukan selirnya. Kalau lama-lama dalam situasi ini, bisa-bisa aku jatuh sakit gegara rindu, satu-satunya obat hanyalah dengan mendaki, oh tidak betapa lebaynya aku dalam coretan ini.
Dengar… dengar dengar engkaulah Edelweissku sayang sayang…
Manis… manis manis engkaulah puncak Rengganis…
Itu cuplikan lirik lagunya Tamasya band yang judul Edelweiss, sumpah aku sudah kepengen tahu semanis apa puncak rengganis. Penasaran to the MAXXX!
Terhitung sejak 22 desember, aku sudah menyiapkan blueprint pendakian. Sahabatku si Aris yang juga junior di organisasi sekaligus senior dalam mendaki segera aku hubungi. Aku sudah lama ‘ada rasa’ dengan gunung Argopuro, gunung yang selalu dia ceritakan dengan bangga ke aku. Dia cerita banyak mengenai perjalanannya, medannya, flora fauna yang dijumpai selama perjalanannya dulu, partner dan teman-teman mendakinya, keadaan desa sekitar gunung, cerita ganjilnya selama masa pendakian disana, dan lain-lain yang ndak mungkin aku tulis dalam cerita ini karena aku pingin nulis ceritaku sendiri dan dia juga dengan ceritanya. Kali ini ada pergantian pemain dalam tim pendakianku. Ashe dan mas Ial yang selalu temani aku dalam dua pendakian sebelumnya ada jadwal lain, Ashe ke jogja sama teman-teman komisariat sedang mas Ial ada acara lain yang bertumbukan dengan timeline pendakianku. Untung ada Piteriya, teman kontrakanku yang juga ketularan virus mendaki. Aku segera suruh Piter buat lengkapi keperluan mendaki, dan nawarkan ke teman-temannya siapa-siapa yang pingin ndaki bareng kami. Akhirnya muncullah si Ardhi Abdillah, teman sekelas Piter kuliah. Aku sudah kenal dengan Ardhi, kita biasa futsal bareng, Ardhi ini biasa dipanggil ‘jack’.
Satu minggu kami persiapkan keperluan mendaki, gear pendakian, keperluan logistik yang cukup, juga cari informasi sana-sini tentang medan, akomodasi, biaya transportasi, perizinan mendaki serta segala macamnya. Dari berbagai informasi yang kami cari tahu disini kami jumpai bahwa Argopuro adalah gunung dengan track pendakian terpanjang di Jawa, dan kami makin tak sabar. Satu minggu berlalu, di minggu 29 desember kami putuskan untuk tinggalkan peradaban sejenak menuju belantara hutan Argopuro. Dimalam sebelum keberangkatan, bunda kirimi aku pesan, tapi maaf ya bun hehe.
Kami berangkat dari kontrakanku dan Piter pukul 07.00, dari Dinoyo naik angkot ke terminal Arjosari malang. Di Arjosari banyak yang tanyai kami mau ndaki kemana atau kesitu mas? Kami jawab dengan muka agak songong ke Argopuro, apalagi ditunjang dengan penampilan kami yang fantastis, tas carrier berat terisi penuh, muka sangar dan yang lain, pokoknya kece. Dari terminal Arjosari kami cari bus menuju Probolinggo, dikenai tarif sekitar 15rb-an dengan perjalanan 2 jam. Dijalan keluar kota Malang kami disapa gunung Arjuno dari utara jauh. Aku sombong dan nyeletuk “Kapan kalian kesana, hehe?” dan mereka jawab berintikan segera setelah pendakian Argopuro. Temanku Piter dan jack ini baru ndaki gunung Semeru, sedang aku Semeru dan Arjuno, ini berarti aku lebih senior dari mereka, ya tho? Huahahaha congkaknya aku. Dan ini berarti juga aku sebagai ketua regu tak resmi dari pendakian kali ini. Sesampai di terminal Probolinggo kami cari bus jurusan Situbondo, dan nanti harus turun di Besuki Situbondo, tak sampai ke terminal Situbondonya tapi. Ambil gampangnya perjalanan satu jam ke Besuki tepatnya turun di alun-alun kotanya dengan ongkos 12rb-an. Setelah itu kami disarankan mas Jerry (informan, teman pendaki) nyarter angkot, tapi karena pada waktu itu kami hanya bertiga dan bapak-bapak ojek segera mendatangi kami seperti burung gagak yang lagi liat ulat, dan mereka kasih penawaran tumpangan sampai ke pos perizinan pendakian hanya dengan 17rb-an saja, akhirnya kami oke saja. Dari alun-alun besuki menuju kecamatan Sumber Malang naik ojek ditempuh dengan estimasi waktu 40 menit dengan bonus boyok kumat dan jalan yang lobang-lobang. Gimana ndak boyok kumat, motornya tukang ojek kecil, tas carrier berat kami bawa dipunggung, tapi kami tak boleh manja. Untuk pemakaian jasa ojek tidak kami sarankan.
 
 
 Pos perizinan pendakian ini tepatnya berada di desa Baderan kecamatan Sumber Malang, Situbondo. Kami sampai pukul 14.00 dan segera menemui penjaga pos. Aku lupa siapa nama penjaganya, yang jelas orangnya ramah. Kami disarankan untuk menginap dulu di pos peristirahatan buat para pendaki didepan pos izin yang juga rumah dari penjaga pos. hari sudah sore dan bapaknya suruh kami untuk tidak meremehkan Argopuro mengingat medannya yang panjang juga berat. Kami nurut saja, dan spare waktu kami gunakan untuk beli makan di warung dekat pos perizinan. Saat kami balik ternyata ada satu kelompok pendaki lain, berisikan 4 orang ada yang dari Malang, Solo dan Sidoarjo. Kami ngobrol macam-macam, nyambung juga cerita ini-itu. Mereka ini terlihat lebih veteran dari kami, terlihat dari peralatan dan perbekalan yang lengkap, dan yang namanya mas Andi dalam kelompok ini adalah pentolan YePe (Young Pioneer), kelompok pecinta alam terkemuka di Malang. Ada cerita unik, kami disini dikenalkan dengan budaya pedaki yang saling berbagi dan membantu sesama kawan. Mereka punya sebungkus makanan yang dikira rendang, mereka buka ternyata sambel. Akhirnya jadilah kami ditawari makan nasi dan sambel, thok. Lha namanya ditawari, udah disuguhi ya harus dimakan. Aku seolah nanya sama nasi “kowe gelem tak pangan pora?” sumpah ancur abis hadeuhhh… Malamnya aku dan mas andi ngurus perizinan, satu kelompok dikenakan charge Rp. 50rb. Satu kelompok disini berarti berisikan 2 atau lebih orang, jadi walaupun isinya 20 orang tetap 50rb.


Pagi hari, di Senin 30 desember 2013, kami memulai perjalanan pertama kami menuju puncak Argopuro. Kami memutuskan untuk berangkat duluan karena kalau bareng sama kelompok mas andi yang masih tidur pasti nanti kami nyusahkan dan jadi penyebab lemotnya pendakian mereka. Setelah beli makan di warung buat bekal, kami pamit ke bapak penjaga pos. Di warung kami ketemu dengan tukang ojek yang nawarkan ojek sampai Cikasur. Kami bertanya-tanya apa benar motor bisa masuk gunung? Kami tanya bapak penjaga pos ternyata mereka oknum penduduk sekitar yang manfaatkan panjang track Argopuro untuk pendaki-pendaki manja. Lha kami ndak manja, lantas apa gunanya juga kami jauh-jauh niat ndaki lhadalah kok ngojek. Setelah itu bapak penjaga pos meminta foto kami bertiga sebagai kenang-kenangan telah mampir ke Argopuro. Dan tepat pukul 07.00, waktunya kami berangkat mendaki, ayo kita kemon!




Sasaran kami di hari pertama pendakian ini adalah sampai di pos Cikasur. Perjalanan awal kami 30 menit tanpa istirahat, melewati perumahan penduduk kemudian persawahan. Kami disapa petani-petani padi yang sedang asyik bercengkrama, mereka ramah. Perjalanan terus berlanjut, mulai memasuki rimbunan hutan, makin lama makin rimbun. Kontur tanah pendakian awal ini menanjak sedang, dominan tanah dan sedikit licin. Track pendakian sudah rusak berbekas ban motor karena sering dimasuki motor trail ojek sehingga sulit untuk berjalan agak normal. Singkat cerita kami sampai di pos mata air I sekitar pukul 13.00, 6 jam perjalanan dari pos perizinan. Disini kami makan bekal nasi bontot dari warung pagi tadi, dan mengisi air di botol. Kami juga bertemu dengan pendaki lain yang pakai jasa ojek gunung. Setelah itu kami pamit ke mereka, melanjutkan perjalanan kembali. Semakin jauh dan hari semakin sore, dilangit juga terlihat sedang mendung. Hampir 2 jam perjalanan kami menunggu sampai di pos selanjutnya yakni Mata air II. Tapi tak lama setelah itu hujan turun deras. Kami kelabakan, sedang dalam timku hanya aku yang bawa mantel, aku juga kaget bagaimana bisa mereka tak bawa mantel sedang sebelumnya sudah aku peringatkan dan checklist perlengkapan. Tapi mantelpun kurasa tak cukup, hujannya bukan hujan sembarangan, hujan berangin kencang dan badai. Tapi benar-benar untung kami karena tak jauh dari tempat kami terdapat tempat yang cukup lapang. Kami segera mengeluarkan tenda, dan membangunnya secepat kilat, hap hap. Barang-barang segera kami masukkan, dan kami neduh sejenak di tenda sambil tak percaya diluar sedang badai-badainya. Dalam badai kami berpikir apa yang harus dilakukan. Dalam tenda sudah basah kena hujan, dan badai tak juga kunjung reda. Akhirnya diputuskan bahwa kami harus nginap di pos mata air II. Kami sungguh melalui malam yang berat disini.

Dipagi harinya kami bangun dan aku melihat arloji, ternyata sudah menunjukkan pukul 07.15, sedang diluar masih terdengar dengan jelas angin gemuruh. Aku tengok keluar tenda, ternyata masih badai, dengan volume hujan yang sudah berkurang. Sialnya, disini sangat dingin. Kalau kelamaan disini kami tak berdaya, kami segera memutuskan untuk move on dan kembali berjalan. Semua perlengkapan telah kami kemasi rapi, carrier sudah melekat dipunggung. Dengan hujan yang masih gerimis, tujuan kami didepan adalah alun-alun kecil. Dibuku panduan ditunjukkan bahwa jarak dari pos mata air II menuju alun-alun kecil sekitar 1 jam 45 menit perjalanan. Kami lanjut berjalan, tapi tak kurang dari 30 menit kami sudah sampai di padang rumput lapang dengan pemandangan lumayan indah, lho ini alun-alun kecil, kami terkaget-kaget senang karena waktu tempuh yang singkat, mungkin karena kesalahan estimasi dibuku, sudahlah kami tak pikir panjang. Setelah puas istirahat sejenak, lanjut lagi kami dalam syahdu perjalanan menyisiri jalur pendakian Argopuro. Masuk rerimbunan hutan lagi, menuju medan didepan yakni alun-alun besar. Setelah 1 jam berjalan akhirnya sampai juga kami di alun-alun besar. Hampir sama dengan alun-alun kecil berupa padang rumput namun lebih luas, lebih indah, dan lebih berkabut. Kami istirahat lagi.


 
Kami kembali membuka perbekalan di tas carrier, nyemil roti tawar yang dikasih susu coklat, dan minum susu kotak. Disini kami buka kembali buku pedoman pendakian, medan selanjutnya didepan adalah Cikasur, target kita pendakian hari pertama. Estimasi perjalanan 2 jam kami sampai di Cikasur. Di Cikasur ini viewnya luar biasa keren. Ada sungai cikasur yang dangkal disana dengan airnya luar biasa jernih dan juga ditumbuhi oleh selada air. Kami nyebrang sungai, langsung minum air disana. Demi Tuhan ini air paling segar kedua setelah air zam-zam yang pernah aku minum, aku ndak bohong. Di pos cikasur ini ada bangunan reot, didepannya ada padang rumput yang luaaassss tapi rata tanahnya. Di buku pedoman konon ceritanya ini bekas landasan pesawat zaman jepang. Disini juga terdapat bangunan tua yang diduga adalah bangunan eksekusi. Benar-benar lestari, udaranya sejuk dan mata kami benar-benar disuguhi panorama alam yang luar biasa. Ada ayam hutan yang juga menyapa kami. Kami masak makanan disini, menu makan kami adalah nasi mie campur sarden ditambah sayur selada air yang diambil dari sungai Cikasur tadi. Mantabs!
 
 

Setelah puas beristirahat lagi kami kemasi barang-barang dan segera bergerak. Target selanjutnya adalah menjumpai Cisentor, pos didepan kami yang juga destinasi final kami di hari ke-2. Perjalanan dari Cikasur ke Cisentor cenderung fluktuatif, terkadang kami dihadapkan dengan medan yang cukup curam, terkadang biasa saja dan landai, ada juga kalanya bermedan bonus (turunan). Kami melewati hutan-hutan yang rimbun, juga padang rumput yang sesekali ditumbuhi bunga bermekaran. Pada saat perjalanan ini kami menjumpai dua ekor burung merak yang sayap ekornya sedang mekar-mekarnya. Tak seperti di kebun binatang, mereka sangat gesit, sesegera setelah melihat kami mereka lari ke rerimbunan semak. Kita benar-benar beruntung. Setelah berjam-jam perjalanan, 3 jam estimasi kalo kami tak salah hitung, kami sampai di pos Cisentor. Sebelumnya kami harus menyebrangi sungai yang juga dangkal. Pada saat kami coba cicipi airnya ternyata kurang sedap, pendaki lain kasih tau kami kalau air di Cisentor sedikit berbau belerang. Cukup berbincangnya dan kami segera mendirikan tenda.
Malamnya kami berbincang dengan mas Albert, tetangga tenda sebelah. Mas Albert ini tadinya berdua dengan partnernya, tapi karena ada acara mendadak si partner off duluan dari gunung. Karena kami tawari, karena logistik masnya juga banyak, jadilah mas Albert gabung dalam tim ndaki kami, ini namanya simbiosis mutualisme, hehe. Waktu sampai di pos Cisentor ini kami lupa karena saking lelahnya kalau sedang hari selasa tertanggal 31 Desember, berarti malam nanti malam pergantian tahun. Mas Albert mengajak kami pesta barbeque, tapi ternyata karena hujan dan benar-benar dingin diselimuti kabut, akhirnya kami tidur saja.
“Halo, selamat pagi, selamat tahun baru…”, ini yang pagi harinya saling kami ucapkan ke tetangga sebelah tenda kami, kami berbincang ramah dan guyonan, benar-benar toss. 1 desember 2014 bersama dengan teman-teman baru dan kami bersiap menyerang puncak Argopuro, awal tahun yang FUCKIN’ COOL!! Setelah menyiapkan sarapan dan bikin kopi, kami sruput, dan kemasi barang seperlunya untuk summit attack. Kami bawa satu tas carrier kecil yang dibawa Piter. Saat itu aku ngomong “Le, bawao sentermu yang kecil”, Piter nyaut “gawe apa le, iki lo padhang”, aku “Udah bawa aja buat jaga-jaga, perasaanku rada was-was”. Jason Statham dalam film The Mechanic yang selalu ngajari aku, "Victory loves preparation!"
 
 

Perjalanan kami mulai dari Cisentor bareng dengan pendaki lain yang nge-camp disini semalam. Total ada 18 orang. Dari Cisentor kami menuju ke rawa embik, sekitar 1 jam 30 menit. Sepanjang perjalanan banyak dijumpai bunga Edelweiss, tapi juga ada satu rumput yang cukup aneh. Harusnya ini bukan disebut rumput, karena bentuknya yang besar. Punya batang dan daun lebar yang keseluruhannya ditutupi duri, penduduk sekitar nyebutnya suket jancuk’an, atau rumput jancuk. Duri ini kalau nyangkut di tubuh sakitnya minta ampun. Pendaki disini sering ngingatkan pendaki lain dengan “AWAS JANCUK!!!”
Sampai kami di rawa embik, berupa hamparan rumput yang juga luas namun bedanya disini memiliki kontur tanah yang naik turun dan bergelombang. Teman kami ada yang nemukan satu bulu dari burung merak, masih bagus. Argopuro dikenal dengan gunung habitat berbagai satwa liar tinggal, dan bahkan konon di hutan Argopuro kalau beruntung pendaki bisa berpapasan dengan harimau jawa, harimau yang kabarnya telah punah itu. Dinamakan rawa embik juga diambil dari bahasa Madura yang berarti rawanya para kambing. Di Argopuro ini benar-benar gunung yang menyimpan berbagai rahasia sejarah zaman dulu, mulai dari zaman jepang, penjajahan belanda hingga zaman kerajaan. Rawa embik ini berdasarkan informasi yang ditukar dari pendaki lain dan juga dari buku pedoman yang kami bawa dulunya adalah tempat abdi kerajaan menggembalakan kambing-kambing dari dewi Rengganis. Siapa dewi Rengganis? Adalah seorang ratu elok dan anggun istri dari raja Majapahit (entah keberapa) yang diasingkan oleh raja karena raja bermimpi dewi Rengganis akan duduk tahta. Raja yang ndak rela tahtanya diambil, walaupun masih dalam sebatas mimpi, akhirnya mengasingkan dewi Rengganis istri yang dicintai. Dan kenapa dinamakan Argopuro karena dulunya merupakan sebuah kerajaan, diambil dari suku kata Arged (gunung) dan pura (pura atau tempat sembahyang) yang secara harfiah berarti istana, kastil, atau kerajaan, yang dibangunkan raja khusus untuk dewi Rengganis agar betah dalam masa pembuangannya. Itu sekelumit sejarah yang cukup kita tahu saja, lanjut ke pokok tulisan.
 
 
 

Kemudian dari rawa embik perjalanan menuju persimpangan antara puncak Argopuro dan puncak Rengganis yakni 1 jam. Ada dua puncak, pertama kita memutuskan untuk ndaki Argopuro dulu, sedang kelompok kawanan lain memilih Puncak Renggganis dan sebaian lagi ingin bersantai. Dari sini kami terpencar. Dari persimpangan sampai di puncak Argopuro memakan waktu 1 jam 30 menit. Medan summit semuanya berbatu terjal, dengan pohon-pohon besar yang tumbuh rindang. Akhirnya kami sampai juga dipuncak, dari kejauhan sudah terlihat ada bendera merah-putih. Puji Tuhan kami sampai di puncaknya. Teman-temanku meluapkan kegembiraannya dengan berfoto dan bikin video, tapi aku tetap dengan habitat lama, ciumi bendera merah-putih sesegera setelah sampai di puncak. Kuciumi syahdu benderaku ini, aku cintai negeriku sedalam-dalamnya. Kami berfoto kegirangan, ngobrol sana-sini, akhirnya serbuan puncak berhasil setelah 3 hari berjalan. Puas cumbui puncak, kami bergerak pada jalan yang terhubung, ternyata ada puncak lain disana. Benar saja Argopuro gunung sejarah, disini banyak kami jumpai stupa dan pahatan-pahatan dari batu berbentuk patung, sungguh sebuah seni. Disini kami berjumpa dengan rombongan lain dari sisi lain bukit. Kami pamit ke mereka, kami pengen segera liat puncak rengganis.
 
 
 
 

Kelompokku turun lewat track yang barusan dilalui oleh kelompok pendaki lain. Kami tidak tau tahu bahwa track ini menyesatkan. Pertama kami menyapa oleh sumber mata air, yang airnya ngalir dari puncak. Setelah lama turun hampir satu jam turun dan kami tak menjumpai sedikitpun tanda-tanda persimpangan menuju puncak Rengganis, akhirnya kami sadar ini jalur lain dari Bremi, aku sempat membacanya dibuku. Benar-benar letih fisik kami bahkan untuk sekedar menyadari bahwasannya sedang tersesat dan satu-satunya jalan ya kembali susuri track kami turun tadi. Kalau diambil itungan turun makan waktu satu jam, naik ke puncak Argopuro bisa makan waktu 2 sampai 3 jam, itupun kalau cuacanya mendukung. Untung saja hanya hujan gerimis, kami struggling till death to the top lagi, ketemu sama mata air lagi, sampai dipuncak Argopuro lagi. Rehat sejenak, timku kemudian bergegas turun lewat jalur awal. Saat turun ini kaki temanku si jack kepleset dan cidera, namun tak parah. Satu yang harus diingat saat mendaki adalah semua kesadaran tak boleh lengah, tetap focus walau dalam kondisi apapun, ini yang aku ingatkan ke teman-temanku. Tapi emang dasarnya kecelakaan kan. Sampai di persimpangan puncak Rengganis, aku tau jack tak bisa melanjutkan pendakian dengan keadaan kakinya, piter memang kuat tapi dia tak mungkin tinggalkan jack, sedang aku? Demi Tuhan sudah semenjak aku kenal lagunya Tamasya band aku sudah ngincar puncak Rengganis sebagai salaha satu destinasi wajib yang harus aku kunjungi sebelum mati. Waktu itu hari sudah sore menjelang senja, waktu kami habis saat tersesat tadi. Aku pasrah, wajahku tenggelam sendu, mungkin Piter tau bagaimana sedihnya aku saat dia pura-pura tak tau apa-apa sewaktu memergoki aku yang sedang ngusap air mataku dan tertinggal jauh di belakang dari tim. Rasanya seperti meninggalkan sebuah mimpi yang ada dalam genggaman, tapi sudahlah namanya juga hidup.

Kami menyusuri hutan rimba lagi untuk kembali ke tenda, ternyata hari sudah gelap, untung kami bawa senter biarpun satu. Kami jalan setengah ngebut. Sewaktu sampai di tenda ternyata mas Albert ngira kami sedang tidur di tenda ternyata kami ilang. Malamku di satu desember membiarkanku merasa kemenangan sekaligus kekalahan dalam satu waktu. Sudahlah, setelah buat makan malam kami langsung tidur.
Hari ke-4 pendakian, pagi hari setelah buat sarapan kami berkemas, bersiap tinggalkan Cisentor dan pulang lewat jalur Bremi, Probolinggo. Setelah perjalanan sekitar 2 jam kami sampai di Aing Kenik, yang berupa sungai kecil yang airnya ngalir deras, airnya jernih juga segar. Setelah mampir sebentar kami lanjut berjalan. Pukul 13.00 kami ngaso sejenak, disini mas Albert menunjukkan kebolehan skill memasaknya. Menu makan siang kita nasi, rendang, telor dadar, super mewah. Ternyata benar saja, masakan mas Albert ini luarbiasa nikmat, ini jadi makanan terenak yang pernah aku makan digunung sampai saat ini, bahkan setelah aku ndaki lawu dan Panderman yang akan kuceritakan di paper selanjutnya. Setelhah makan dan lanjut perjalanan, pos yang menanti kami didepan adalah Taman Hidup. Kami sampai di taman hidup pukul 18.00, sudah petang kala itu. Maunya langsung lanjut sampai ke Bremi, tapi setelah aku diskusi dengan mas Albert dan dapat kabar dari pendaki lain bahwa baru hari itu siang tadi pohon besar tumbang dan nutupi jalan, akhirnya diputuskanlah kami nginap semalam di taman hidup.
 
 
 
 
 

Taman hidup ini berupa danau yang asri, ada sebuah dermaga namun telah rusak. Di Taman hidup kami berjumpa dengan banyak pendaki yang bersahabat, kami ngobrol banyak. Sempat pada malam hari waktu dingin-dinginnya, aku dan teman-teman ditawari sebotol ‘minuman’ oleh pendaki lain, sumpah pada waktu itu imanku sudah mau runtuh, pingin juga nyobain minuman buat pertama kali kan biar ndak cupu. Waktu itu kalau tidak gegara aku pakai seragam pdh HMI, pasti udah aku sikat. Piter manut aku, aku minum dia minum, si jack udah minum daritadi dia hahaha. Biarin, prinsip cowo beda-beda kan.
Pagi hari di pendakian hari ke-5, kami sudah bangun. Aku piter dan jack sudah di halaman danau, melihat view yang, ternyata-keren-tingkat-dewa-kalau-dilihat-pakai-mata-kepala-sendiri dan subhanallah, taman hidup luar biasa seksi bagi kami. Kami ngambil air lalu masak sarapan. Pas ngambil air di dermaga rusak ini sensasinya kaya di film Anaconda, sumpah hening dan aku bayangin gimana nanti kalau ada Anaconda muncul dari bawah, mati aku. Aku cepat-cepat balik ke tenda, bikin sarapan dan santai sejenak baru kemas-kemas. Perjalanan hari terakhir ini target kami sampai di Bremi dengan selamat sebelum senja nanti.
 

 




Jalur dari taman hidup menuju Bremi ini adalah jalur ekstrim, jalannya curam dan basah, namanya juga hutan basah, juga banyak pohon-pohon yang akarnya keluar di jalan. Banyak terdapat lintah atau pacet juga disini, jadi kami sarankan untuk berhati-hati saat istirahat, karena keadaan hutan benar-benar lembab dan basah, habitat utama dari lintah. Di hutan basah ini kami beserta mas Albert benar-benar belajar survive, benar-benar ‘struggle’. Memakan waktu nyaris satu harian untuk sampai di pos perizinan Bremi, namun target terpenuhi sebelum senja. Pas ingin foto di tulisan memasuki taman hidup, camera digitalku tiba-tiba rusak memorinya, aku takut foto-foto kita selama 5 hari di hutan hilang. Tapi sudahlah, aku pingin makan sore dengan layak di warungnya bu Riris, warung kenalannya si Aris yang diceritakannya ke aku kalau mau makan. Bu gendut, kami memanggilnya, orangnya benar-benar super duper ramahdan sumeh. Karena aku kenalannya si aris maka aku dan timku dapat makan porsi kuli dari ibuknya, ditambah lagi makanan ini juga ditraktir sama mas Albert. Sembari makan, teman-teman rombongan kami di hutan tadi datang satu persatu. Kami mandi di pos, bersih badan, sembari nunggu angkot yang dicarterkan pak penjaga buat kami para pendaki. 
 

Bremi ini sebuah desa, kaki gunung Argopuro, tepatnya dusun Krucil, Probolinggo. Jalan pulang yang harus kami tempuh adalah dari Bremi, menuju jalan besar kota naik angkot carteran 1 jam perjalanan dengan jalanan yang kurag lebih naik turun, biasa dikenakan tarif 200rb sekali carter, dibagi dengan pendaki-pendaki lain. Setelah itu dari jalan besar kota naik bus menuju terminal kota Probolinggo untuk kemudian naik bus jurusan Arjosari Malang. Kami berpisah dengan mas Albert disini, dia ngambil langsung Surabaya sedang kami Malang. Selamat jalan partner…

Saat di bus aku dan teman-teman ndak dapat tempat duduk, carrier kami kami taruh di bagasi bus yang udah dipandu sama kernet. Padahal waktu itu kami naik bus malam pukul sekitar 23.00. Badanku waktu itu rasanya udah kaya mau copot, sampai aku ngomong ke orang-orang pamitan duduk dijalanan lorong bus, ndak ngurus wis hehe. Sesampai di terminal Arjosari, angkot sudah ndak ada, untung masih tersisa ojek. Waktu itu si Jack ngajak naik taksi, tapi sumpah aku ndak mau-mau bener, kutolak dengan keras. Aku sedang galau gegara takut foto-foto di camdig hilang semua. Aku pingin jalan kaki, Arjosari-kontrakan. Sedang temanku si Piter awalnya mau temeni aku, tapi kusuruh dia temani si Jack. Jadilah kita berpisah, dan aku memulai jalanku kaki Arjosari kontrakan. Di jalan aku ketemu tukang ojek yang baik hati, nawari aku pulang ke kontrakan Dinoyo gratis tanpa bayar karena mungkin kasihan dengan aku yang kummel dan lusuh. Kutolak dengan halus, sambil lari-lari kecil kabur dari kejaran si tukang ojek baik hati. Aku sudah sering jalan kaki Arjosari-Dinoyo, karena hobi juga jalan. Malam-malam ternyata keren, tapi jauh juga. Sesampai di jembatan Suhat aku sempat bercengkrama ngobrol dengan dua anak punk rock gitu deh apalah sebutannya. Mereka pinjam korek, aku keluarkan korek apiku. Kalau lagunya Tamasya band ada lirik yang ngomong "Kurang apalagi bila laki-laki, ditangannya sudah ada korek api" hehehe. Nah pas di jembatan suhat ini aku kebelet kena panggilan alam, akhirnya jadilah kutelpon Piter untuk jemput aku dan sampai di kontrakan sumpah kami bertiga langsung tidur total.
Walaupun pada akhirnya kami tak bisa mengunjungi puncak Rengganis tapi kami cukup puas, bukankah kami keren? Kalian yang kurang cintai negeri ini aku mintak tolong, segera kunjungi Argopuro, segera nyusul ya hehe. We did conquer it, java’s mt. longest track were within our grasp. SALAM LESTARI…