Minggu, 07 April 2019

RESENSI: “COLLAPSE”

“COLLAPSE”
Prof. Jared Diamond
Jakarta, KGP (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014
734 hlm.

Pernahkan terlintas di benak kita bahwa bumi yang sedang disinggahi ini akan runtuh suatu saat nanti? Buku ini menceritakan bagaimana pengalaman sejarah masa lampau berkesinambungan dengan saat ini, baik cerita keruntuhan maupun daya tahan suatu bangsa mengelola ekosistem demi pembangunan yang berkelanjutan. Tampaknya yang disampikan dalam buku ini tak begitu relevan, bagaimana mungkin bisa peradaban manusia abad ini yang begitu maju dengan segala perkembangannya dapat menjadikan bumi punah. Namun dalam prakteknya, berbagai macam bangsa di masa lampau yang berperadaban sangat maju pada masanya telah mengalam kepunahan. Sebut saja bagaimana menakjubkannya bidang tulisan dan perhitungan kalender bangsa Maya di Amerika tengah, megahnya bangunan arsitektur bangsa Anasazi di wilayah yang kini Amerika Serikat modern, Yunani Mikene dan Kreta Minos di Eropa, Angkor Wat di kota-kota lembah Indus Harappa di Asia, atau pada indahnya patung pulau Paskah di Kepulauan Samudra Pasifik yang pembuatannya selalu mengundang decak kagum manusia zaman sekarang dan memaksa kita berpikir bagaimana pembuatan patung berbahan dasar batu berberat puluhan ton, bagaimana cara mendirikannya, peralatan apa yang digunakan untuk memindahkan patung yang telah dipahat dari gunung tempat induk batuan berasal menuju istana dan atau tempat ritual pemujaan dimana orang-orang pulau Paskah berkumpul, misteri romantis yang sampai saat ini belum terpecahkan. Namun ternyata kesemua bangsa tadi punah, termasuk semua peradabannya. Apakah ada kesamaan atau ciri-ciri kepunahan antara mereka dengan peradaban manusia modern zaman sekarang? Jawabannya cukup mengejutkan: apa yang dilakukan orang-orang peradaban modern saat ini sangat mirip dengan awal kehancuran peradaban bangsa-bangsa tadi.
Sebelum membahas lebih lanjut alangkah baiknya bagi kita untuk berkenalan dengan penulis dan apa latar belakang yang mendasarinya menulis buku yang bagiku sebuah masterpiece, maha karya penulisan dari seorang jenius. Jared Diamond ialah Profesor Geografi dari ilmu Kesehatan Lingkungan di University of California, Los Angeles. Prof. Diamond juga merupakan seorang ilmuwan fisiologi, dan pakar sejarah perdaban dalam kaitan dengan faktor lingkungan. Dalam sebuah epilog buku ini, sudah menjadi kecintaannya mengamati dan meneliti burung-burung di hutan hujan Papua selama 40 tahun terakhir. Dan selama 12 tahun menjabat direktur cabang World Wildlife Fund. Selama karirnya, Prof. Diamond dikenal sebagai “environmentalis”, dan seringkali berseberangan dengan para pebisnis besar, korporasi ekstraktif besar yang bergerak dibidang eksploitasi alam seperti perminyakan, tambang, batu bara, pembalakan kayu, perikanan dan industri gas alam. Namun salah satu pandangannya yang menjadi dasar penulisan buku dari perspektif tengah antara masalah lingkungan dan realitas bisnis, dia menulis “bila kaum environmentalis tidak bersedia menjalin hubungan dengan bisnis besar, yang tergolong kekuatan paling digdaya di dunia modern saat ini, masalah-masalah lingkungan di dunia akan mustahil diselesaikan”. Aku menambahi, masalah-masalah lingkungan tersebut mungkin malah akan makin parah.
Keruntuhan (Collapse) yang dimaksud dalam buku ini adalah penurunan drastis ukuran populasi manusia dan/atau kompleksitas politik/ekonomi/sosial , di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama. Sudah lama dicurigai bahwa keruntuhan misterius dari suku-suku bangsa diatas dipicu sebagian oleh masalah-masalah ekologis: manusia secara tak sengaja menghancurkan sumberdaya lingkungan yang diandalkan masyarakat mereka. Kecurigaan mengenai bunuh diri ekologis tidak disengaja ini –ekosida (ecocide)- telah dikonfirmasi oleh temuan-temuan para ahli arkeologi, ahli klimatologi, ahli sejarah, ahli paleontologi dan ahli palinologi (ahli serbuk sari) dalam beberapa dasawarsa terakhir, dan kesemuanya terdokumentasi sangat detil dalam buku ini beserta semua contoh studi kasusnya.
Proses-proses perusakan lingkungan oleh masyarakat masa lalu dibagi kedalam delapan kategori, yang kadarnya relatif berbeda dari kasus ke kasus: penggundulan hutan dan penghancuran habitat, masalah tanah (erosi, penggaraman dan hilangnya kesuburan tanah), masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, efek spesies yang didatangkan terhadap spesies lain, pertumbuhan populasi manusia yang berlebih, dan peningkatan dampak per kapita manusia. Keruntuhan-keruntuhan masa lalu cenderung mengikuti jalur yang cukup serupa, variasi tema yang sama. Pertumbuhan jumlah penduduk memaksa masyarakat mengadopsi cara-cara produksi intensifikasi agrikultura (misal irigasi, tumpangsari atau terasering) dan memperluas tanah pertanian dimuali dari tanah terbaik menjalar pada pembukaan lahan melalui pembakaran hutan. Pendayagunaan daerah tebing, pengeringan rawa, kesemuanya dalam rangka untuk memberi mulut-mulut kelaparan yang makin bertambah seiring makin meningkatnya laju populasi. Praktik-praktik tak berkelanjutan ini menyebabkan kerusakan lingkungan, menyebabkan lahan yang ternyata tak cocok ditanami akhirnya harus ditinggalkan. Akibatnya bagi masyarakat masa lampau antara lain kekurangan makanan, kelaparan, perang antara orang yang berjumlah terlalu banyak guna memperebutkan sumber daya yang terlalu sedikit dan penggulingan elit pemerintahan oleh massa yang kecewa. Pada akhirnya populasi menurun akibat kelaparan, perang atau penyakit dan masyarkat pun kehilangan sebagian kompleksitas kestabilan politik, ekonomi dan budaya yang telah dikembangkan secara susah payah pada masa kejayaan.
Risiko keruntuhan-keruntuhan tersebut kini merupakan sumber kekhawatiran yang semakin meningkat: bahkan keruntuhan telah mewujud di Somalia, Rwanda dan beberapa negara dunia ketiga lainnya. Banyak orang khawatir bahwa ekosida kini bahkan jauh lebih gawat daripada perang nuklir atau penyakit sekalipun sebagai ancaman peradaban global. Secara langsung dapat kita rasakan secara gamblang bagaimana temperatur bumi menjadi lebih panas akibat pemanasan global. Di Australia dalam laporan World Economic Forum akhir Januari 2019 terjadi musim panas yang sangat terik menembus 45o C, menjadi rekor nasioanal dalam negeri, terjadi banyak kematian satwa di banyak Taman Nasional Australia termasuk para kelelawar yang berjatuhan dari dahan pohon disiang hari yang terik.  Masih dalam laporan yang sama, dari belahan dunia lain di Chicago USA terjadi musim dingin yang saljunya membekukan rel (stakeholder setempat sampai membakar rel dengan api ringan agar kereta tetap dapat berjalan, menyerukan agar warga Chicago tak berbicara terlalu banyak saat berada diluar guna mencegah paru-paru basah). Di Indonesia sendiri telah cukup kita rasakan dengan gamblang bagaimana ketidakmenentuan musim teradi tahun-tahun belakangan ini, bagimana gelombang tinggi di lautan lebih sering terjadi, serta kerusakan ekosistem yang makin parah. Dan masalah lingkungan yang terjadi saat ini mencakup kedelapan masalah yang sama yang telah menenggelamkan peradaban digdaya masa lampau plus empat masalah baru: 1) perubahan iklim akibat manusia, 2) penumpukan zat-zat kimia beracun di lingkungan, 3) kekurangan energi dan 4) penggunaan penuh kapasitas bumi oleh manusia.

Bab 1 dari buku ini berjudul “Montana Modern”. Montana adalah kota beriklim dan berbentang alam indah tempat tinggal Prof. Diamond menghabiskan banyak waktu liburnya memancing di lembah Bitteroot yang kaya akan ikan Trout. Selain iklim yang sejuk, ternyata Montana menyimpan kekayaan alam berupa tambang yang begitu kaya namun ironisnya meninggalkan luka yang menganga. Sangat menarik bagaimana penulis mencoba mengulik sejarah pertambangan bijih emas di Montana. Yang paling seru adalah cerita kasus tambang Zortman-Landusky milik korporasi Pegasus Gold. Perusahaan ini menerapkan metode yang dikenal sebagai “tumpuk-gelontor Sianida”, digunakan untuk mengekstrak biji emas berkualitas rendah. Metode itu membutuhkan 50 ton bijih untuk menghasilkan satu ons emas. Sianida paling dikenal sebagai racun yang digunakan di kamar gas Nazi pada perang dunia II dulu. Sisa larutan logam beracun dibuang dan disemprotkan ke hutan atau ladang penggembalaan disekitar tambang. Ketika suatu waktu metode ini dinyatakan berbahaya bagi lingkungan dan Pegasus Gold diharuskan menutup ganti rugi sebesar USD 40.000.000, perusahaan tersebut menyatakan diri bangkrut, dan sisa obligsi perusahaan terbukti tak mampu menutup denda yang dijatuhkan oleh pemerintah Federal Montana. Pegasus Gold meninggalkan lubang-lubang tambang raksasa, kolam-kolam asam bersianida yang akan merembes kebawah tanah selamanya. Rembesan ini terbukti makin mencemari kualitas air bersih di Montana dan membunuh ikan-ikan Trout yang sebelumnya melimpah. Strategi membangkrutkan diri ini diduga jauh lebih murah daripada harus mengganti kerugian akibat praktek pertambangan, strategi yang juga diterapkan perusahaan tambang lain di Montana yakni Anaconda Copper Mining Comp yang menambang di lembah Milltown. Selain kerusakan ekosistem akibat praktik pertambangan , Montana juga didera cedera yang cukup parah dari sisi pembalakan hutan, hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan kayu untuk ditebang dan mendorong impor kayu dari Kanada. Dick Hirschy secara sarkastis berkomentar, “ada pepatah ‘jangan perkosa tanah dengan pembalakan!’-jadi kita perkosa Kanada sebagai gantinya.” Aku teringat PT Freeport di Tembagapura Papua, apakah suatu saat nanti mereka akan membangkrutkan diri saat terbukti bersalah melakukan eksploitasi ugal-ugalan yang sebabkan kerusakan luar biasa terhadap alam Indonesia? Karena saat ini gejala perusakan alam tersebut telah terlihat begitu jelas. Dan dengan adanya divestasi saham menjadi 51% yang salah satu isinya menjadkan PTFI boleh menambang (dalam kurung mengeruk atau mengeksploitasi) lagi sampai 2041, padahal jika tak dilakukan divestasi, tambang Tembagapura akan kembali ke pangkuan ibu pertiwi secara gratis. Entah apa yang menjad pertimbangan para pengambil kebijakan saat ini.

Bagian kedua dari buku ini membahas tentang komunitas masyarakat masa lalu, “Senjakala di Pulau Paskah” dibahas terlebih dahulu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Pulau Paskah yang merupakan penggalan tanah paling terpencil yang mungkin dapat dihuni manusia di muka bumi karena letaknya yang sedemikin jauh (daratan terdekat adalah pesisir Chile, 3.700 km sebelah timur dan 2.100 km di sebelah barat) ternyata menyimpan sejarah peradaban yang begitu megah yakni berupa pahatan patung-patung batu besar menyerupai laki-laki berkuping panjang. Tersebar 397 patung batu kebanyakan setinggi 4 sampai 6 meter, namun yang paling besar bertinggi 21 meter (lebih tinggi daripada rata-rata bangunan modern berlantai 5), dan berbobot lebih dari 10 sampai 270 ton. Pulau Paskah ditemukan oleh penjelajah Eropa asal Belanda, Jacob Roggeveen pada Hari Paskah (5 April 1722) yang menjadi asal mula nama pulau tersebut dan masih digunakan hingga saat ini. Roggeveen begitu tercengang saat pertama kali mendaratkan perahunya di pulau yang gersang dan tandus dengan tanpa sebatangpun pohon dan hanya sedikit semak bertinggi tak lebih dari 3 meter. Batu-batu pulau Paskah dipahat pada sebuah kawah vulkanik yang disebut Rano Raraku, kemudian dipindahkan ke berbagai wilayah di pulau Paskah. Proses pemindahan patung dibahas dalam buku ini dengan detil, terlihat dari beberapa jurnal dan penelitian modern dengan berbagai ide yang memungkinkan pemindahan batu tersebut. Penelitian tersebut kandas, selalu tak berhasil kecuali bila menggunakan alat-alat berat modern, yang jelas pada masanya patung-patung tersebut dipahat belum dirakit bahkan ditemukan. Juga bagaimana penulis membahas berbagai kemungkinan pemindahan tersebut, latar belakang pembuatan patung, masyarakat apa yang mendiami pulau Paskah pada masanya, dll. Berbagai riset penelitian menunjukkan bahwa pulau Paskah sebenrnya dulu merupakan pulau yang rimbun, dibuktikan dari hasil radiokarbon canggih AMS (accelerator mass spectometry) untuk meneliti sisa-sisa seresah dalam tanah. Patung-patung tersebut didirikan untuk mengenang kepala suku yang mendiami pulau Paskah, yang persaingan antar sukunya makin tajam dari waktu ke waktu dan akhirnya berlomba membuat patung sebesar mungkin. Pemahatan batu menyebabkan eksploitasi alam yang makin masif, pemahatan kayu hutan sebagai salah satu bahan pahat dan penyediaan logistik bagi para perajin kriya, erosi terjadi disetiap bagian pulau Paskah dan makin membuat alam kehilangan daya tahan keseimbangan guna menyokong peradaban Paskah. Hingga jadilah pulau Paskah sekarang ini: gersang, tandus, tanpa sebatang pohonpun. Sampai saat ini penelitian dari berbagai aktivis lingkungan, akademisi dll masih terus berjalan, dan adalah menarik untuk selalu menyimak hasil temuan mereka tentang pulau terpencil dari Polinesia ini...

Bab selanjutnya masih seputar keruntuhan masyarakat masa lalu, ada sejarah Pulau Pitcairn dan Handerson yang tergolong pulau paling sulit dijangkau di muka bumi namun ternyata menyimpan sejarah peradaban walaupun tak begitu maju. Cerita dimulai saat kapal pemberontak H.M.S Bounty berlabuh secara tak sengaja di pulau Pitcairn guna menghindari angkatan laut Britania yang mencari-cari pada 1790.  Para pemberontak menemukan pelataran kuil, petroglif dan perkakas batu yang menjadi saksi bahwa pulau paling terpencil di Polinesia kuno ini pernah dihuni manusia. Aku tak menulis banyak hal tentang bab ini karena, hehe agak kurang ngeh, walaupun Prof. Diamond menulisnya dalam penjelasan yang ridgit. Namun tentunya satu yang menyebabkan kemunduran masyarakat Pitcairn dan Handerson yakni eksploitasi alam yang melebihi ambang batas keseimbangannya menopang pertumbuhan populasi kedua pulau terpencil itu. Sebagai contoh, perburuan burung dan anjing laut berlebihan yang menyebabkan keduanya sebagai spesies makanan utama penduduk Pitcairn dan Henderson punah, juga kegagalan adaptasi dan pencarian alternatif sumber makan lain yang berbayar mahal dengan punahnya peradaban mereka.

Pada bahasan selanjutnya, Prof. Diamond mengajak pembaca berkelana ke situs peninggalan masyarakat Anasazi. Masyarakat ini hidup di sekitar Taman Nasional Mesa Verde AS Barat Daya, yang berurutan terdapat di Jalan Raya 57 negara bagian Meksiko, 960 km dari Los Angeles. Masyarakat Anasazi berhasil membangun bangunan-bangunan batu terbesar dn tertinggi di Amerika sebelum pencakar langit berangka baja muncul pertama kali di Chicago pada 1880-an, serta sistem irigasi agrikultur yang rumit. Mengapa peradaban yang sedemikian kokoh pada masa lampau tersebut bisa menemui kemerosotan yang begitu mendadak? Penjelasan-penjelasan yang menjadi favorit yakni masih seputar kerusakan lingkungan, kekeringan dan perang. AS barat daya merupakan daerah marjinal yang rapuh bagi pertanian, memiliki curah hujan rendah tak terperkirakan, tanah yang cepat kehabisan zat hara dan laju pertumbuhan ulang hutan yang lambat. Memahami sejarah Anasazi dan berbagai suku bangsa lain dalam buku ini membuat kita mendapat gambaran tentang ancaman bagaimana pertemuan dampak lingkungan oleh manusia dan perubahan iklim, masalah-masalah lingkungan dan populasi yang meluas menjadi peperangan, kekuatan sekaligus bahaya masyarakat kompleks yang tidak berswasembada dan malah bergantung pada impor, serta masyarakat-masyarakat yang runtuh secara cepat setelah mencapai puncak jumlah populasi dan kekuasaan. Masyarakat Anasazi berkembang sejak 600 M selama lebih dari 5 abad sampai akhirnya lenyap pada sekitar 1150 dam 1200an. Populasi yang bertambah besar, tuntutan terhadap lingkungan yang makin bertambah, sumber daya lingkungan yang kian menipis dan semakin dekat dengan batas daya dukung lingkungan menyebabkan perceptan kemerosotan peradaban mereka. Walaupun ada sedikit sisa dari masyarkat Anasazi yang bertahan hingga saat ini melalui akulturisasi  dengan masyarakat asli lain, tentu kemerosotan peradaban mereka menjadi pelajaran yang baik bagi masyarakat masa kini untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan. Semua dibahas dengan apik dan lengkap dalam buku ini.

Misteri romantis peradaban bangsa Maya kuno yang runtuh lebih dari seribu tahun lalu di semenanjung Yucatan Meksiko menjadi isi dari buku di bab selanjutnya. Bangsa Maya merupakan bangsa dengan peradaban paling maju di dunia baru (benua diluar erasia), dengan bangunan beraksitektur indah dan satu-satunya bangsa dari dunia baru sebelum ditemukan penjelajah eropa dengan naskah-naskah tertulis panjang yang telah berhasil dibaca, seperti yang kita kenal dengan penanggalan Maya dll. kota-kota Maya tetap tak berpenghuni dan tersembunyi oleh belantara hutan dan nyaris tak diketahui dunia luar hingga pada 1839 seorang pengacara kaya John Stephens bersama juru gambar Inggris Frederick Catherwood menemukannya setelah penjelajahan arkelologis di wilayah Nikaragua sampai Gutatemala. Dari kualitas bangunan dan seni yang luar biasa, mereka menyadari bahwa semua itu bukanlah karya dari peradaban primitif. Stephens lantas pulang dan membuat tulisan tentang ekpedisi arkeologisnya tersebut. Beberapa kutipan tulisan Stephens membuat kita bisa ikut merasa daya pikat romantis bangsa Maya:
“Kota itu tak berpenghuni. Tak ada sisa-sisa ras berkeliaran di sekitar reruntuhan, berikut tradisi yang diwariskan dari ayah ke putranya dan dari generasi ke generasi. Kota tersebut terbentang dihadapan kami bagaikan kapal terombang-ambing di tengah samudera, tiang layarnya hilang, namanya terhapus, awaknya hilang, dan tak seorangpun bisa memberitahukan pada kami darimana dia datang, siapa pemiliknya, seberapa lama dia telah berlayar atau apa yang menyebabkan mereka hancur... Arsitektur, patung dan lukisan, segala seni yang memperindah hidup, dahulu mekar dalam hutan yang merajalela ini; orator, prajurit, dan negarawan, kecantikan, ambisi, dan kejayaan yang pernah hidup dan telah tiada, dan tak ada yang tahu bahwa hal-hal itu pernah ada atau bisa berkisah tentang keberadaan mereka dahulu. Disini terbentang sisa-sisa bangsa yang berbudaya, beradab, dn tiada duanya, yang telah melalui semua tahap yang berkenaan dengan bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa; mencapai masa keemasan mereka lantas lenyap... Dalam romansa sejarah dunia tak ada yang pernah membuatku terkesan lebih kuat daripada pemandangan kota yang dahulu agung dan indah, namun kini hancur, tak berpenghuni dan hilang...”
Kisah peradaban Maya memiliki beberapa keuntungan bagi mereka yang berminat terhadap keruntuhan sejarah. Catatan tertulis Maya yang tersisa membantu rekonstruksi sejarah. Kontak pertama sisa-sisa suku Maya dengan orang Eropa sudah terjadi pada 1502, hanya 10 tahun setelah Kristoforus Kolombus “menemukan” dunia baru. Pada 1527 bangsa Spanyol mulai betul-betul menjalankan niat penaklukan Maya, namun baru pada 1697 wilayah kepangeranan Maya tunduk. Seorang uskup bernama Diego De Landa yang berdiam di Semenanjung Yucatan sepanjang 1549 hingga 1578 melakukan satu tindak vandalisme budaya paling buruk dalam sejarah dengan membakar semua naskah Maya dalam upayanya melenyapkan “penyembahan berhala” hingga hanya tersisa 4 naskah yang masih terselamatkan. Buku ini menjelaskan bagimana megahnya peradaban Maya dengan agrikulturnya yang kompleks, teknik bangunan yang menawan, tulisan dan kemampun menulis naskah, bentang alam yang perdu. Namun karena suatu kecerobohan dengan tak menjaga ekosistem alam di ambang batas keseimbangan, rusaknya lingkungan, pembalakan kayu guna penuhi kebutuhan pemukiman dan ambisi para rajanya untuk berlomba membangun bangunan megah, juga karena perang saudara, nasib mereka mengingatkan bahwa keruntuhan juga dapat menimpa masyarakat paling maju dan kreatif sekalipun.

Menginjak bab berikutnya, Prof. Diamond mengajak para pembacanya menjelajah dunia bersama peradaban Viking Skandinavia. Citra berdarah bangsa Viking yang meneror eropa pada abad pertengahan memang banyak benarnya. Dalam bahasa Skandinvia, Vikinger berarti “penyerbu”. Namun sebenarnya selain menjadi perompak, mereka adalah para petani, saudagar, pengoloni dan penjelajah. Setelah dirasa lelah berdagang mereka beranggapan lebih mudah menjadi penjarah dan perompak. Ekspansi bangsa Viking menjalar hingga ke selatan ke arah eropa dan Laut Mediternia, menyebar ketakutan disana dan sebagian terakulturisasi dengan penduduk setempat. Ke arah timur, mereka menginvansi Britania utara, Irlandia, Kepulauan Faeroe, Eslandia dan Tanah Hijau, bahkan hingga mencapai daratan Amerika jauh sebelum penjelajah Eropa pertama kali menginjakkan kaki di Amerika, terbukti dari artefak kuno bangsa Viking di Pulau Newfoundland yang diperkirkan berasal dari 900-1000 M. Bangsa Viking merupakan orang-orang Pagan yang memuja dewa-dewi tradisional agama Jermanik, misalnya dewa kesuburan Frey, dewa langit Thor, dewa perang Odin. Mereka ditakuti karena tak beragama Kristen dan karenanya tak mematuhi tabu gereja, hingga terkesan bar-bar. Keruntuhan peradaban bangsa Viking yang ditekankan dalam buku ini adalah yang terjadi di Eslandia dan Tanah Hijau. Keduanya sama-sama jauh dari Eropa, membuat penjelajah Viking harus mampu bertahan hidup secara mandiri dimulai pada saat bangsa mereka pertama kali menemukan kedua pulau tersebut yang masih tak berpenghuni. Eslandia jauh lebih dekat daripada Tanah Hijau, dan seiring berjalannya waktu, hubungan ekspor dan perniagaan terjalin diantara negara eropa waktu itu. Viking Eslandia menyadari bahwa mereka tak bisa terus menerus membalak kayu di pulau yang dingin tersebut untuk bertahan hidup, dan mereka rela meninggalkann tabu bangsa Viking induk untuk tidak makan ikan seiring akulturisasi budaya eropa. Mereka mulai mencari alternatif lain sumber ekspor dan ditemukanlah komoditas ekspor berupa ikan kod yang begitu melimpah di perairan dalam laut Eslandia. Ikan kod yang terbukti kaya vitamin menjadi komoditas perdagangan utama yang darinya didapatkan kayu, sayuran, bahan makanan, dan semua yang dibutuhkan Viking Eslandia melalui perdagangan dengan Eropa. Hingga saat buku ini ditulis, Prof. Diamond menyampaikan bahwa Eslandia adalah negara yang sangat mempersilahkan para peneliti melakukan riset di negaranya guna membantu pemulihan lingkungan, bahkan pemerintahnya menyediakan dana yang cukup besar dalam pagu anggaran APBN untuk dibagi-bagikan kepada para peneliti dan penggerak lingkungan hidup. Mereka seolah ingin bertanggung jawab pada kesalahan para pendahulunya yang menggunduli hutan secara serampangan hingga sebabkan erosi diberbagai belahan wilayah tersebut. Bangsa Viking di Eslandia tetap lestari hingga saat ini.
Hal yang sangat kontras menimpa bangsa Viking di Tanah Hijau, mereka tumpas karena tak dapat beradaptasi dengan lingkungan. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan pertanian, penggembalaan domba, kambing dan sapi yang memakan rumput hingga gundul tanahnya membuat erosi tak terhindarkan. Keengganan viking tanah hijau melepas tabu tradisi tidak makan ikan juga menjadi faktor lain. Selain sapi, kambing dan domba yang kian kurus dan berkurang akibat kehabisan rumput, alternatif makanan lain mereka yakni anjing laut dan burung-burung kecil ditepian laut pun ikut habis dan punah. Perdagangan dengan Eropa hanya pada komoditas tanduk walrus, yang saat itu menjadi pigura mewah penghias dinding-dinding kerajaan eropa. Namun seiring tanduk Walrus yang berkurang keberadannya karena diburu juga oleh pendatang lain dari suku Inuit (eskimo), hubungan ekspor-impor dengan eropa pun terputus. Pandangan konservtif orang-orang viking Tanah Hijau membuat mereka tak dpat bertahan, dengan hanya dua pilihan: mati kelaparan disana atau keluar dari Tanah Hijau.

Peradaban bangsa Jepang sebelum 1868 menjadi bab paling kusuka. Jepang selalu menawarkan sejarah menarik untuk dibaca. Pemerintahan pusat yang kuat dalam kerajaan, ekonomi industri dunia pertama, masyarakat yang kompleks dan peran elit pemerintah (kebijakan atas-bawah) yang kuat membuat Jepang mampu berkembang selaras dengan alam hingga sekarang. Jepang memiliki kepadatan penduduk yang paling besar dibanding dunia pertama manapun, nyaris 1000 orang per mil persegi luas total, juga merupakan negara kelas satu yang terindustrialisasi dengan penduduknya yang urban. Namun begitu hingga saat ini, nyaris 80% luas total Jepang merupakan hutan yang dilindungi. Kebijakan-kebjakan hutan Jepang timbul sebagai tanggapan terhadap krisis lingkungan dan populasi yang malah dsebabkan oleh perdamaian dan kemakmuran. Nyaris 150 tahun sejak 1467, Jepang diguncang perang saudara akibat runtuhnya kekuasaan kaisar sebelumnya, dan kekuasaan Jepang diperebutkan oleh lusinan bangsawan pejuang otonom (disebut Daimyo). Akhir perang dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu pada 1615.
Sejak 1603, Kaisar telah menganugerahi Ieyasu gelar turun-temurun Shogun, pemimpin utama para panglima. Ieyasu berpangkalan di ibukota, Edo (kini Tokyo) memegang kekuasaan sungguhan, sementara kasiar di ibukota lama Kyoto menjadi sekedar kepala Negara. Seperempat luas Jepang diperintah langsung oleh Shogun, sementara seperempat sisanya dperintah oleh 250 daimyo yang dipimpin sang Shogun dengan tangan besi. Daimyo tak bisa lagi saling bertarung, tahun 1603 sampai 1867 disebut “era Tokugawa”, dimana sang Shogung menjaga Jepang dari perang dan pengaruh asing.
Perdamaian dan kemakmuran memungkin populasi dan ekonomi Jepang mengalam ledakan. Dalam seabad setelah perang berakhir, populasi meningkat dua berkat kombinasi menguntungkan sejumlah faktor: kondisi damai, kebebasan relatif dari wabah penyakit epidemik yang sedang menjangkiti eropa (berkat isolasi diri bangsa Jepang), dan peningkatan produktvitas agrikultur berkat tibanya dua tanaman pangan baru yang produktif (kentang dan ubi jalar), reklamasi paya, perbaikan kontrol banjir dan peningkatan produksi beras hasil irigasi. Kota bertumbuh cepat, sampai Edo menjadi kota berpenduduk paling banyak di dunia pada 1720. Di seluruh Jepang, perdamaian dan pemerintahan terpusat yang kuat menghasilkan mata uang yang seragam, sistem berat dan ukuran yang seragam, berakhirnya penarikan upeti jalan dan cukai, pembangunan jalan dan perbaikan pelayaran di pesisir, yang semuanya bersumbangsih terhadap peningkatan pusat perniagaan dalam negeri Jepang.
Penggundulan hutan adalah faktor utama krisis lingkungan dan populasi. Pada 1600-an seiring perdamaian dan kemakmuran, meningkat pula populasi. Peningkatan populasi menyebabkan kebutuhan akan bangunan meningkat. Sebagian besar bangunan Jepang terbuat dari kayu yang merupakan tradisi estetik kesukaan bangsa Jepang, bukan batu, bata, semen atau ubin sampai akhir abad 19-an. Pohon mudah sekali diperoleh selama sejarah awal Jepang dan mampu memenuhi kebutuhan populasi perdesaan maupun perkotaan. Sejak era Ieyasu dan shogun sesudah maupun sebelumnya, mereka berlomba membuat puri tercantik dan termegah. Sebaga contoh tiga puri terbesar yang dibangun Ieyasu membutuhkan penebangan habis sekitar 10 mil persegi hutan. Setelah Ieyasu wafat, pembangunan perkotaan makn gencar. Kota-kota yang terdiri atas bangunan beratap anyaman dari kayu yang berapat-rapatan dengan perapian sebagai pemanas di musm dingin yang rentan terbakar membuat kota-kota perlu dibangun berulang-ulang. Kebakaran Meireki menjadi kebakaran kota terbesar yang membakar separo ibukota Edo dan menewaskan 100.000 jiwa pada 1657. Konsumsi kayu juga digunakan untuk pembangunan kapal dan perbekalan balatentara Hideyoshi (Shogun sebelum Ieyasu) dalam upaya penaklukan Korea. selain kayu untuk bangunan, kayu juga digunakan sebagai bahan bakar yang digunakan untuk menghangatkan rumah, memasak dan keperluan industri seperti membuat garam, ubin, keramik dll. Kayu dibakar menjadi arang untuk menghasilkan api yang lebih panas untuk melelehkan besi. Populasi yang meningkat juga menuntut pembakaran lahan hutan yang lebih luas untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Tahun-tahun sekitar 1570 sampai 1650 merupakan puncak lonjakan konstruksi dan penggundulan hutan . menariknya di buku ini juga dsebutkan nama Kinokuniya Bunzaemon, seorang saudagar yang bergerak di bsnis kayu. Nama itu disebut di serial anime Samurai X, yang merupakan salah satu penyebab kekacauan dan perang haha…
Kebakaran Meireki tahun 1657 menjadi pembuka mata yang mengungkapkan kelangkaan kayu dan berbagai sumberdaya lain yang semakin parah. Selama dua abad selanjutnya, Jepang secara bertahap mencapai populasi yang lebih stabil dan laju konsumsi sumberdaya yang jauh lebih berkelanjutan. Hal ini tak lepas dari pergantian Shogun demi Shogun yang secara estafet menerapkan asas Konfusius untuk menyebarkan ideologi  baru guna mendorong pembatasan konsumsi dan mengumpulkan persediaan cadangan untuk melindungi negara dari bencana. Pergeseran pola konsumsi juga terjadi sebagai contoh pemanfaatan makanan laut dari suku Ainu di Hokkaido untuk mengurangi tekanan terhadap pertanian dan hutan. Upaya-upaya perubahan preferensi pola makan didukung oleh para Daimyo dengan pembangunan besar-besaran kapal, inovasi jala yang lebih besar guna menjaring ikan di laut yang lebih dalam dan penjagaaan daerah teritori laut dari ancaman negara luar karena mereka sadar bahwa laut dan semua yang terkandung didalamnya harus dimanfaatkan oleh bangsa Jepang sendiri.  Bangsa Jepang juga mencoba menekan peningkatan populasi dengan berbaga cara, sebagai contoh antara 1721 sampai 1828 populasi Jepang hanya berubah dari 26,1 juta menjadi hanya 27,2 juta. Pula sejak akhr abad ke-17, penggunakan batu bara sebagai ganti kayu bakar  meningkat. Menggantikan perapian tungku terbuka dengan pemanas arang portable dan berusaha lebih mengandalkan cahaya matahari untuk menghangatkan rumah di musim dingin juga menjadi tren baru bangsa Jepang kala itu guna menekan konsumsi kayu.
Banyak tindakan atas-bawah ditujukan untuk mengatasi ketidakseimbangan antara penebangan pohon dan penanaman pohon. Pengumuman Shogun pada 1666 yang memperingatkan bahaya erosi, pendangkalan sungai dan banjir diakibatkan oleh penggundulan hutan, serta mendesak rakyat Jepang untuk menanam banyak bibit. Pada tahap pertama, Shogun yang secara langsung mengontrol seperempat hutan Jepang menunjuk seorang pejabat senior Kementerian Keuangan untuk bertanggung jawab atas hutan-hutannya, dan hampr semua dari 250 Daimyo mengikuti arahan tersebut dan menunjuk penangung jawab kehutanan untuk wilayah mereka. Para pejabat tersebut menutup hutan yang telah dbalak untuk memungkinkan pohon-pohon dapat tumbuh kembali menjadi hutan, perincian izin kepada para petani untuk menebang pohon guna keperluan yang sudah ditakar juga kepada penggembalaan ternak di hutan, melarang pembakaran hutan untuk pertanian berpindah-pndah. Para kepala desa tak terkecual ikut melaksanakan perintah Daimyo untuk ikut menjaga kelestarian hutan dengan sangat tegas. Shogun dan para Daimyo mengeluarkan dana yang sangat terperinci dengan nventarisir wlayah hutan mereka dengan sangat ridgit. Catatan-catatan kuna mengenai nventarisir hutan tersebut ditemukan sangat rinci, baik dari segi jumlah pohon, lebar diameter, jenis dan umur, kerapatan, kondisi, hama yang menyerang dll, tak mungkin kutulis di catatan ini karena saking banyak dan rincinya penulisan para penanggung jawab hutan bangsa Jepang masa itu. Tahap kedua melipatkan penjagaan pos-pos penjaga di jalan raya dan alran sungai untuk memeriksa kriman kayu dan memastikan semua peraturan ditaati, dan tahap berkutnya adalah pemberian izin yang ketat mengenai hak-hak pemanfaatan kehutanan. Itu semua dilakukan oleh Shogun Jepang menanggapi kekhawatiran akan isu lingkungan dan ancaman bencana.
Selain tindakan diatas, para pemuka bangsa Jepang juga mulai mengembangkan kumpulan pengetahuan saintfik untuk meningkatkan kelestarian hutan. Mereka mulai mengamati, melakukan percobaan dan menerbitkan jurnal ilmiah dan berbagai buku pedoman budidaya tanaman kehutanan. Contohnya naskah Silvakultur akbar pertama Jepang, Nogyo Zensho karya Miyazaki Antei, 1967. Dalam naskah tersebut dapat dtemukan berbagai instruksi mengenai cara terbaik mengumpulkan, mengekstrak, mengeringkan, menyimpan, mempersiapkan biji dan sebagainya. “Para pemimpin yang bereaksi aktif, yang memiliki keberanian untuk mengantisipasi krisis atau bertindak sedari awal, dan yang membuat keputusan-keputusan kuat berwawasan dalam pengelolaan atas-bawah benar-benar dapat mendatangkan perbedaan besar bagi masyarakat mereka. Demikian pula halnya dengan warga negara pemberani dan aktif yang menjalankan pengelolaan bawah-atas untuk kemajuan bangsaya…”, tulis Prof. Diamond. Keberanian bangsa Jepang menjadi inspirasi yang mencerahkan untuk kita semua.

Menginjak bab selanjutnya, Prof. Diamond membawa kita bersafari ke Afrika Timur dalam bab “Malthus di Afrika: Genosda Rwanda”. Alkisah suatu ketika Prof. Diamond mengajak putra kembar beserta isterinya mengunjungi daerah tersebut. Diceritakan dalam buku bahwa mereka begitu terkesima dengan bentang alam mahaluas yang menghampari cakrawala dan jutaan wildebeest yang belari begitu dekat dengan mobil Land Rover yang ditunggangi, pengalaman yang tak mereka dapati saat menonton tayangan National Geographic dari kursi nyaman rumah sembari menonton tv. Begitu pula dalam keadaan populasi, anak-anak Afrika berlarian menghampiri mobil mereka untuk sekedar meminta pensil guna keperluan sekolah, ternyata teori “ledakan populasi” yang hanya dibaca dari buku benar-benar terjadi. Dampak dari ledakan populasi di Afrika dapat dilihat dari lingkungan sekitar, rumput-rumput di padang penggembalaan tumpas dan hanya terlihat sedikit rumput tak tinggi yang tumbuh dilahap habis oleh kawanan domba dan kambing. Semua anak tersebut adalah bagian dari laju pertumbuhan populasi manusia Afrika yang tergolong salah satu paling tinggi di dunia: 4,1% per tahun di Kenya, menyebabkan populasi berlipat dua setiap 17 tahun.
Masalah-masalah populasi yang terjadi di Afrika Timur seringkali disebut sebagai “Malthusan”, sebab pada 1798 ahli ekonomi dan demografi Inggris Thomas Malthus menerbitkan buku terkenal dimana dia berargumen bahwa pertumbuhan populasi manusia mengalahkan pertumbuhan produksi makanan. Malthus berpandangan bahwa pertumbuhan populasi berlangsung menurut derajat ukur (eksponensial) dan produksi makanan meningkat menurut deret hitung (aritmetis). Deret ukur misalnya penyebutan 1 cm, 5 m dst, sedangkan deret ukur adalah mlimeternya. Anggap saja di suatu daerah pada tahun 2000 terdapat 100 populasi, pada 2010 bertambah jadi 200 dan begtu selanjutnya, hal tersebut dikarenakan populasi tersebut juga berlipat dari reproduksi. Sedangkan misalnya pada 2000 produksi gandum 100 ton, tahun selanjutnya mungkin akan stagnan, meningkat atau turun dikarenakan luas lahan yang tetap (kecenderungannya justru makin berkurang karena berebut tempat dengan hunian, taman dll).
Genosida yang terjadi di Rwanda (dalam bab ini juga dibahas tentang negara tetangga terdekat yakni Burundi) setelah diteliti ternyata juga disebabkan oleh latar belakang kerusakan lingkungan dan ledakan populasi, hal yang tak banyak diketahui karena sebagian besar menganggap genosida di kedua tempat diasosiasikan murni karena gesekan antara etnis Tutsi dan Hutu. Genosida di Rwanda menelan korban tewas terbanyak nomor 2 di dunia (dihitung dari persentase total populasi yang terbunuh dengan luas wilayah) setelah genosda-genosida yang terjadi sejak 1950; hanya kalah dari dari Kamboja pada 1970-an dan Bangladesh (saat itu Pakistan timur) pada 1971. Populasi Rwanda dan Burundi terdiri hanya dua grup utama, Hutu (sekitar 85% populasi) dan Tutsi (sekita 15%). Kedua etnis tersebut sering dikatakan memilik ciri perawakan yang berbeda, dengan Hutu berkulit lebih legam, lebih pendek, gempal, berhidung pesek, bibir tebal dan berahang persegi sedangkan Tutsi kebalikannya yakn berkulit lebih terang, jangkung, lebih langsing dan berdagu runcing. Tutsi adalah bangsa Nilotik yang dalam perjalanan sejarah memantapkan kelompok mereka sebagai tuan dari Hutu. Sewaktu pemerintahan kolonial Jerman (1897) dan kemudian Belgia (1916) mengambil alh, mereka menganggap perlunya memerintah melalui perantara orang-orang Tutsi yang mereka anggap lebih superior dibanding Hutu karena kulit mereka yang lebih terang dan ciri mereka yang lebih menyerupai eropa atau “Hamitik”. Pada 1930-an pemerintah kolonial Belgia mulai mewajbkan semua orang membawa kartu tanda penduduk yang menunjukkan mereka dari Tutsi atau Hutu, sehingga makin memperuncing pembedaan etnik.
Rwanda dan Burundi merdeka pada tahun 1962. Sewaktu kemerdekaan mendekat, orang-orang Hutu d kedua Negara sedang berusaha menggulingkan dominasi Tutsi. Insiden kekerasan kecil  meningkat menjadi pusaran pembunuhan Tutsi oleh Hutu atau Hutu oleh Tutsi. Di Burundi, Tutsi berhasil mempertahankan dominasi setelah pemberontakan Hutu pada 1965 dan 1970-72 diikuti pembunuhan terhadap beberapa ratus ribu orang Hutu. Tapi di Rwanda, Hutu unggul dengan membunuh 20.000 orang Tutsi pada 1963. Konflik di Rwanda masih sering terjadi hingga pada 1973 Jenderal Hutu, Habyarimana menggerakkan kudeta terhadap pemerintahan Hutu (pula) dan memutuskan untuk tak mengusik Tutsi. Di bawah Habyarimana, Rwanda makmur selama 15 tahun dan menjadi penerima favorit bantuan internasional yang biasa menyanjung Rwanda sebagai negara damai dengan kesehatan, pendidikan dan indikator-indikator ekonomi yang membaik. Sayangnya, perbaikan Rwanda terhenti oleh kekeringan dan masalah-masalah lingkungan yang menumpuk (terutama penggundulan hutan, erosi tanah, dan hilangnya kesuburan tanah), yang berpuncak pada 1989 akibat kemerosotan tajam harga dunia komoditas ekspor-ekpor utama Rwanda yakni teh dan kopi, tindakan pengetatan oleh Worldbank, dan kekeringan. Habyarimana yang sedari awal memutuskan untuk berdamai dengan Tutsi ternyata berbelok arah akibat serbuan imigran Tutsi dari negara tetangga Uganda di Rwanda tenggara. Pebisnis yang dekat dengan Habyarimana mengimpor 581.000 batang parang untuk dibagikan kepada orang-orang Hutu untuk membunuhi Tutsi, sebab parang lebih murah daripada bedil. Dalam pada itu juga, muncul ekstrimis Hutu (jauh lebih ekstrim dari Habyarimana kebencian mereka terhadap Tutsi akibat sejarah penaklukan etnik Hutu yang panjang) yang takut kekuatan mereka melemah akibat munculnya perjanjian damai Arusha.
Puncak parahnya keadaan adalah pada malam 6 April 1994, pesawat jet kepresidenan Rwanda yang membawa presiden Habyarimana, dan juga pejabat presiden baru Burundi kembali dari rapat di Tanzania, ditembak jatuh oleh dua misil sewaktu hendak mendarat di bandara Kigali, ibukota Rwanda, sehingga menewaskan semua penumpangnya.  Belum genap satu jam setelah kejadian tersebut, para ekstrimis Hutu mulai melaksanakan agenda yang sepertinya telah disusun sejak lama dan terperinci, mereka membunuh Perdana Menteri Hutu dan anggota lain oposisi demokratik yang moderat atau setidaknya tak terlalu ekstrim, juga mulai menghabisi warga Tutsi yang jumlahnya masih sekitar sejuta orang, mengambil alih radio dan pemerintahan. Pembantaian terhadap Tutsi pada awalnya dilakukan oleh para balatentara Hutu menggunakan senjata api, kemudian dengan segera mereka organisir warga sipil Hutu secara efisien, membagikan senjata, mendirikan barikade di jalan, membunuhi orang Tutsi yang teridentifikasi di barikade tersebut, menyiarkan seruan di radio kepada semua Hutu untuk segera membunuh “kecoak” (sebutan mereka untuk orang Tutsi), mendesak orang-orang Tutsi berkumpul di suatu titik tempat-tempat yang katanya aman untuk perlindungan dimana mereka nantinya bisa dibantai dan mengejar orang-orang Tutsi yang masih selamat. Ketika protes internasional terhadap pembantaian tersebut akhrnya bermunculan, pemerintah ekstrim Hutu dan radio mengubah propaganda mereka dari desakan membunuh kecoak menjadi dorongan kepada orang-orang Rwanda (etnis Hutu) untuk membela dan melindungi diri dari musuh bersama rakyat Rwanda. Para pejabat Hutu yang moderat dan berupaya mencegah pembantaian tersebut diabaikan, diancam bahkan dibunuh. Pembantaan yang menelan korban ratusan bahkan ribuan di masing-masing tempat pembantaian, berlangsung ketika orang-orang Tutsi sedang berlindung di gereja, sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan, atau bangunan lain yang katanya aman, namun kemudian dikepung untuk dibacoki atau dibakar. Genosida yang melibatkan keikutsertaan banyak warga Hutu, awalnya menggunakan bedil, pembunuhan-pembunuhan berikutnya menggunakan alat berteknologi rendah seperti parang dan pentungan kayu berpaku. Pembunuhan tersebut melibatkan banyak kebiadaban, termasuk memotong lengan dan betis calon korban, memotong payudara, melempar anak-anak ke sumur dan banyak pemerkosaan dimana-mana.
Berbagai lembaga dan phak internasional yang diharapkan bersikap baik ternyata memainkan peran permisif yang penting. Terutama, banyak pemimpn gereja gagal melindungi Tutsi atau malah justru secara aktif mengumpulkan dan menyerahkan mereka kepada balatentara Hutu. Pasukan kecil penjaga perdamaan dari PBB diperintah mundur, Perancis mengirim pasukan penjaga perdamaian yang malah memihak pada pemerintah Hutu yang haus darah, sementara Amerika Serikat menolak turut campur. Perancis maupun AS hanya menyebut soal “kekacauan”, “situasi yang membingungkan” atau “konflik kesukuan” seolah konflk tersebut lumrah dan normal terjadi di Afrika. Dalam enam minggu diperkirakan 800.000 orang Tutsi, tiga perempat yang tersisa di Rwanda, atau 11% dari populasi Rwanda, tewas terbunuh. Balatentara pemberontak yang dipimpin Tutsi, yang dinamakan Front Patriotik Rwanda (FPR) memulai operasi militer melawan pemerintahan satu hari setelah genosida dimulai. Di setiap bagian Rwanda, genosida hanya terhenti setelah kedatangan balatentara FPR, kemudian menyatakan kemenangan penuh pada 18 Juli 1994. Setelah kemenangan FPR, sekitar 2.000.000 orang (sebagian besar Hutu) kabur ke negara tetangga (terutama Kongo dan Tanzania), sementara sekitar 750.000 orang yang terusir (sebagian besar Tutsi) kembali ke Rwanda.
Catatan tentang genosida Rwanda dan Burundi umumnya hanya dikaitkan dengan hasil dari produksi kebencian antar etnik. Seperti yang dirangkum dalam buku Leave None to Tell the Story: Genocide in Rwanda, yang diterbitkan oleh The Human Rights Watch menyebutkan: “genosda ini bukan ledakan kemurkaan tak terkendali oleh orang-orang yang termakan kebencian antar suku.”… bukti bahwa ada faktor -faktor lain bersumbangsih terhadap genosida itu mulai dijumpai. Di Rwanda terdapat etnik kecil ketiga, dkenal sebagai Tiwa atau Pigmi, yang hanya 1% dari populasi, berada pada dasar skala dan struktur sosial, bukan ancaman serius bagi kedua etnik besar lain, namun ikut sebagian besar dibantai. Balatentara FPR pemenang perang juga tak melulu dari Tutsi karena banyak pula diisi oleh tentara-tentara Hutu. Prof. Diamond menyebut bahwa sebenarnya perbedaan antara Hutu dan Tutsi tak sejurang dalam yang seperti banyak digambarkan. Kedua grup menggunakan Bahasa yang sama, ke gereja, sekolah, dan bar yang sama, hidup bersama di desa dengan kepala desa yang sama, dan bekerja sama di kantor yang sama. Ada pernikahan antara Hutu dan Tutsi, juga terdapat perpndahan identitas dari Hutu ke Tutsi. Mustahil untuk hanya membedakan mereka dari fisik saja, sekitar seperempat penduduk Rwanda memiliki kakek/nenek buyut Hutu atau Tutsi. Intergradasi tersebut memunculkan puluhan ribu tragedi selama pembantaian 1994, ketika orang-orang Hutu berusaha melindungi pasangan, kerabat, rekan kerja, teman dan wali mereka yang orang Tutsi, atau mencoba menyogok pembunuh agar tidak mnyentuh orang-orang Tutsi yang mereka sayangi. Yang terutama membingungkan jika genosida tersebut adalah karena gesekan etnis, di Rwanda barat laut terdapat satu masyarakat yang hampir semuanya berdarah Hutu dengan hanya seorang Tutsi, pembunuhan massal tetap terjadi-terhadap Hutu oleh Hutu lain. Meskipun tingkat terbunuh “hanya” 5% daripada tingkat Rwanda secara keseluruhan yakni 11%, pertanyaannya mengapa ada masyarakat Hutu yang membunuhi 5% anggota keluarganya? Semua fakta tadi menunjukkan mengapa kita sebagai intelektual organik perlu mencari faktor penyumbang selain kebencian antar etnik.
Rwanda dan Burundi telah berpopulasi padat sejak abad ke-19 berkat keunggulan ganda yakni curah hujan yang sedang dan letak yang terlalu tinggi bagi Malaria dan lalat Tsetse. Pada 1990, kepadatan rata-rata populasi Rwanda adalah 760 orang per mil persegi, lebih tinggi dari Britania Raya (610) dan mendekati Belanda (950). Bedanya, kedua negara eropa tadi memiliki sistem agrikultur yang sangat efisien dan termekanisasi, segelintir populasi yang bekerja di bidang pertanian mampu menghasilkan makanan bagi keseluruhan populasi negara. Sedangkan agrikultur Rwanda masih sangat tradisional, tidak efisien sehingga banyak yang bermata pencaharian sebagai petani dengan sedikit surplus untuk dijual. Populasi yang bertumbuh besar ditanggung dengan praktik agrikultur yang tak sehat seperti membuka hutan dan mengeringkan rawa, mencoba memanen dua-tiga kali dalam setahun (mempercepat kehilangan hara tanah), minim introduksi varietas unggul baru. Bukit-bukit curam digarap sampai puncak, bahkan sistem terasering, membajak mengikuti kontur naik turun, atau membarkan lahan tertutup vegetasipun tak dilakukan. Seorang petani Rwanda mengeluh, “petani bisa bangun pagi dan mendapati seluruh ladangnya (atau setidaknya) bunga tanah dan tanamannya) hanyut dalam semalam, atau bahwa ladang atau bebatuan tetangga terbawa air sehingga menutupi ladangnya”… pembukaan hutan menyebabkan sungai-sunga kering dan curah hujan mulai tak teratur. Banyak teman ahli dari Prof. Diamond yang datang ke Rwanda memilki firasat akan terjadnya bencana ekologi. Pada 1980-an kelaparan mulai menyerang, dan pada 1989 terjadi kekurangan makanan yang lebih parah akibat kekeringan, disebabkan oleh kombinasi perubahan ikllim global-regional dtambah penggundulan hutan parah.
Pengaruh semua perubahan lingkungan dan populasi di daerah Rwanda barat laut (komune Kanama) yang hanya dihuni oleh orang-orang Hutu dipelajari secara rinci oleh ahli ekonomi Belgia, Catherine Andre dan Jean-Phlippe Platteau, yang tinggal disana selama 16 bulan dalam dua kunjungan pada 1988 dan 1993 saat situasi makin buruk tepat sebelum genosida meletus. Mereka melakukan pencatatan yang detil kepada semua faktor dan menggabungkan data bersama untuk menjelaskan mengapa ada orang Hutu yang terbunuh oleh Hutu lain. Kanama bertanah vulkanik yang sangat subur, berkepadatan populasi tinggi bahkan untuk standar Rwanda: 1740 orang per mil persegi pada 1988, naik menjadi 2040 pada 1993 (hal ini bahkan lebih tinggi dari Bangladesh, bangsa agrikultural berpopulasi paling padat di dunia). Para petani menggarap petak sawah yang luar biasa kecil, 0,04 Ha pada 1988 dan 0,03 Ha pada 1993. Jika kita bagi standar kepemilikan tanah di Rwanda dengan pertanian “sangat besar” yakni petani dengan lahan lebih dari 1Ha dan petani berlahan “sangat kecil” dengan kepemlikan lahan dibawah 0,3Ha, maka dapat terlihat antara tahun 1988 sampai 1993 rasio kepemilkan lahan kedua tipe petani tersebut makn meningkat; pertanian “sangat besar” dari 5% menjadi 8% sementara pertanian sangat kecil meningkat dari 36% menjad 45%. Artinya jurang pembeda antara petani kaya dan miskin semakin menganga. Di Rwanda, adalah illegal bagi pertanian kecil untuk menjual tanah mereka, namun karena desakan ekonomi dan bobrok birokrasi, menjual tanah menjadi solusi satu-satunya saat kondisi darurat menyangkut makanan, kesehatan, biaya pengadilan (banyak sekali sengketa dan konflik sosial yang terjadi di Rwanda sebelum genosida meletus, dan perselisihan tanah/agraria  adalah akar konflik-konflik paling parah yang mengisi 43% laporan di pengadilan), sogokan, pembaptisan, pernikahan, pemakaman atau mabuk-mabukan. Kontras dengan petani kaya yang juga menjual lahan namun untuk kepentingan efisiensi yakni menjual lahan yang terjauh dan membeli lahan-lahan petani kecil yang terdekat dengan tempat tinggal guna menekan biaya dan memudahkan pemantauan
 Perselisihan tanah yang dominan di Rwanda menyebabkan jalinan kesatuan tradisional masyarakat melemah. Para pemilk tanah miskin kecil juga dihadapkan pada situasi saat dimana mereka harus mewariskan kepemilkan lahan pada anak-anaknya, yang menyebabkan tanah makin terpecah kecil-mengecil. Masalah sosial lain yang timbul akibat miskinnya daerah tersebut adalah kasus kejahatan yang meningkat, yang hubungannya berkorelasi positif dengan tingkat kepadatan dan minimnya kalori yang bisa didapat. Seorang ahli yang menelit peristwa Genosida Rwanda mngatakan, ”orang-orang yang hendak dibunuh ini memiliki tanah dan terkadang sapi. Dan akan ada yang memperoleh tanah dan sapi-sapi itu setelah para pemiliknya tiada. Dalam negara yang miskin dan semakin kelebihan populasi, ini adalah bujukan yang menggoda.”
 Andre dan Platteau menutup dengan catatan: “peristiwa 1994 menyediakan kesempatan unik untuk menyelesaikan perselisihan, membagi-bagi ulang hak milik tanah, bahkan diantara para penduduk desa Hutu… bahkan hingga kini, tak jarang kita mendengar orang-orang Rwanda berargumen bahwa perang dibutuhkan untuk menyapu habis populasi yang berlebih dan menyesuaikan jumlah dengan sumberdaya tanah dan alam yang tersedia.”  Wow, aku jadi teringat film Kingsmann the Secret Service, disana diceritakan seorang penjahat bernama Richmond Valentine yang menciptakan kartu chip gratis telfon, sms, internet untuk semua orang di dunia, namun ternyata setelah laku ke banyak tempat dan orang rama menggunakan, diaktifkanlah tombol yang mana dalam microchip yang tertanam di masing-masing handphone pengguna tadi mengaktifkan sonar yang memancar bagi orang-orang disekitarnya untuk saling membunuh. Richmond beranggapan, bumi bagaikan tubuh manusia dan manusia adalah virus, jika virus di basmi maka tubuh akan sehat, dan pembasmian terbaik adalah pembersihan alami dari internal. Untung ada para Kingsmann, Eggsy Unwin dan mentornya Harry Hart alias Galahad yang menghentikan rencana jahat Richmond Valentine, film yang seru…
Hingga saat tulisan ini diselesaikan (Minggu, 07/04/2019), terdapat sebuah running text di KompasTV sebaga berikut: “Rwanda berkabung 100 hari memperingati genosida yang menewaskan lebih dari 800.000 warga”

Menginjak bab selanjutnya, Prof. Diamond mengajak pembaca terbang ke salah satu pulau besar di Karibia, yakni Hispaniola, dalam bab “Satu Pulau, Dua Bangsa, Dua Sejarah: Republik Dominika dan Hati”. Pulau tersebut terbagi menjadi dua negara yang secara dramatis menunjukkan dua hal kontras dalam perbedaan pembangunan negara modern saat ini. Paradoks pembangunan antara keduanya terlihat jelas dengan mata jika terbang diatasnya, disisi Dominika terdapat bentang alam yang lebih gelap dan hijau sedangkan Haiti pucat dan coklat, menghadap timur (Dominika) di perbatasan kedua negara akan dijumpai pemandangan hutan pinus, membalikkan badan ke arah barat akan dijumpai padang yang nyaris tak berpohon. Pada awal sejarah kepulauan tersebut, keduanya merupakan pulau yang nyaris seluruhnya berhutan, sampai para pengunjung Eropa pertama mencatat ciri Hispaniola yang paling mengesankan adalah lebat hutan-hutannya dan penuh dengan kayu berharga.  Hingga saat ini, kedua negara telah kehilangan banyak tutupan hutan, namun Haiti lebih mengenaskan dengan hanya 1% dari total luasnya yang dapat dikatakan hutan sedangkan Dominika lebih baik dengan 28%. Di Haiti dan Dominika, juga tempat-tempat di belahan dunia lain, akibat penggundulan hutan adalah hilangnya kayu dan bahan bangunan lainnya, erosi, lenyapnya kesuburan tanah, tingginya endapan di sungai-sungai, hilangnya potensi listrik tenaga air dan menurunnya curah hujan.
Haiti berada dalam kesulitan yang parah, termasuk negara termiskin di Dunia Baru (dan salah satu yang termiskin di luar Afrika), pemerintah yang korup, penyediaan layanan masyarakat yang minimal, banyak penduduk yang hidup tanpa akses air, listrik, pembuangan limbah, kesehatan, pendidikan yang memadai. Salah satu negara berpenduduk terpadat Dunia Baru (jauh diatas Dominika) dengan hanya sepertiga luas Hispaniola namun nyaris 2/3 populasinya (sekitar 10 juta) dan kepadatan populasi mendekati 1000 jiwa per mil persegi. Terkenal dengan sebutan “narcosate” atau Negara narkotika, tempat singgah obat-obatan terlarang dari Kolombia ke AS. Ekonomi pasarnya kecil, terutama terdiri atas produksi kopi dan gula untuk ekspor. Terdapat polarisasi yang tajam antara masyarakat kaya Haiti di Port-au-Prince (ibukota Haiti) dan perkampungan kumuh. Laju pertumbuhan populasi, tingkat infeksi AIDS, tuberkulosis dan malaria tergolong paling tinggi di Dunia Baru.
Sedangkan tetangga yang rumputnya lebh hijau, Dominika, sebaga jawaban melibatkan faktor lingkungan. Hujan Hispaniola terutama turun di tmur. Gunung-gunung tertinggi Hspaniola (diatas 3000 mdpl) berada di wilayah Dominika, dan sunga-sungai dari gunung tersebut banyak mengalir ke tmur menuju sisi Dominika. Sisi Dominika terdapat banyak lembah yang lebih luas, dataran dan plato serta tanah yang lebih tebal terutama lembah Cibao di utara yang merupakan salah satu daerah agrikultural terkaya di dunia. Paradoks Hati dan Dominika berawal dari masa kolonial, dimana Hati adalah daerah koloni Perancis yang sangat berharga, sedangkan Dominika diabaikan oleh Spanyol. Perancis banyak mengembangkan perkebunan intensif berbasis budak, sehingga Haiti memiliki populasi tujuh kali lebih besar dbanding Dominika akibat budak yang diimpor Perancis. Populasi yang membludak, berarti penyediaan makanan yang lebih banyak, berarti pembalakan hutan untuk pembukaan lahan pertanian lebih luas lagi, padahal curah hujan Haiti tak sekaya negeri tetangga. Sebagai tambahan, kapal-kapal Perancs yang membawa budak ke Haiti itu pulang ke Eropa membawa kargo berupa kayu bangunan Haiti, sehingga dataran rendah dan lereng-lereng gunung Haiti sudah banyak yang gundul pada pertengahan abad ke-19. Salah satu penyebab pemisahan yang lebih terkini adalah perbedaan niat kedua pemimpn diktator. Rafel Trujillo, seorang kepala Polisi nasional Dominika yang bekerja luar biasa keras, adminstratur yang sangat hebat, jagoan menilai orang, politikus cerdik sekaligus teramat kejam. Trujillo memanfaatkan kuasanya untuk memodernisasi Dominika, mengembangkan ekonomi, infrastruktur dan industri walaupun seringkali memonopoli kepentingan nasional atas ekspor daging, susu, semen, coklat, rokok, kopi, asuransi, susu, beras, garam, pejagalan, tembakau dan kayu. Khusus komodti kayu, pada 1930-an Trujillo sang diktator mengubah kekuatan pengelolaan lingkungan menjadi atas-bawah. Rezimnya mengembangkan luas Vedado del Yaque (perlindungan hutan), menetapkan taman-taman nasional, mendirikan korps jagawana untuk perlindungan hutan, menekan penggunaan api untuk pembukaan hutan, melarang penebangan pohon pinus di Constanza, Cordillera Tengah. Saat rezimnya di 1937 mempekerjakan seorang ahli lingkungan terkenal dari Puerto Rico, Dr. Carlos Chardon untuk menghitung potensi pembalakan Dominika yang merupakan hutan pinus paling luas di Karibia, potensinya mencapai $40.000.000,-, nilai yang sangat besar saat itu. Dalam operasi pembalakan Dominika, mereka mewajibkan penerapan tindakan ramah lingkungan yakni dengan tidak menebang pohon tua sebagai sumber biji untuk reboisasi alami. Trujillo pada 1950 memesan penelitian oleh ahli-ahli Swedia untuk mempelajari potensi Dominikadalam membangun bendungan-bendungan pembangkit lstrik tenaga air, juga penyelenggaraan kongres lingkungan pertama Negara itu pada 1958. Namun akibat kediktatoran yang merajalela, Trujillo harus kehilangan nyawanya pada sebuah baku tembak di malam 30 Mei 1961 saat berkendara mobil yang dsopiri namun tanpa pengawalan dalam perjalanan mengunjung gundiknya. Trujillo disergap dan dibunuh dalam kejar-kejaran mobil yang dramatis dan pertempuran senjata api oleh orang misterius Dominika yang tampaknya didukkung CIA. Hal-hal yang dilakukan Trujillo, tak pernah dilakukan oleh Papa “Doc” Duvalier yang hanya diktator murni tanpa niat memodernisasi Haiti. Trujillo digantikan suksesinya, Joaquin Balaguer yang memimpin selama 34 tahun dan lebih memproteksi lingkungannya dari pendahulunya, sedangkan Haiti tak mengalami perubahan signifikan setelah tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh putra Duvalier, Jean-Claude “Baby Doc” Duvalier.
Nampaknya Prof. Diamond tak dapat menyebunyikan kekagumannya pada Joaquin Balaguer seperti bagaimana tendensi kekagumannya pada Tokugawa Ieyasu. Balaguer menyadari kebutuhan mendesak Dominika untuk mempertahankan daerah berhutan guna memenuhi kebutuhan energi republic tersebut listrik tenaga air, dan memastikan ada cukup air untuk industri dan domestik. Segera setelah menjadi presiden, Balaguer melarang semua pembalakan komersial dan menutup semua penggergajian, yang segera mendapat perlawanan dari keluarga-keluarga kaya yang memiliki kepentingan usaha pembalakan. Usaha-usaha tersebut bertempat di hutan-hutan paling terpencil dengan mengoperasikan penggergajian pada malam hari. Balaguer bereaksi dengan langkah lebih drastis, menarik tanggung jawab perlindungan hutan dari Departemen Pertanian, menyerahkan kepada angkatan bersenjata, dan menyatakan pembalakan legal sebagai kejahatan dan ancaman terhadap keamanan Negara. Peristiwa 1967 menjadi yang paling dramatis, berupa penyerbuan militer ke kamp-kamp pembalak liar yang menewaskan lusinan pembalak hutan. Dua cara mengurangi permintaan kayu Dominika yakni membuka kran mpor kayu dari Chile, Honduras, dan AS; dan mengurangi produksi arang tradisional dari pohon (kutukan yang selama ini membelit Haiti) dengan meneken kontrak impor gas alam cair dari Venezuela, membangun beberapa terminal untuk mengimpor gas itu, mensubsidi biaya gas untuk masyarakat agar bisa mengalahkan arang, dan menyerukan peredaran kompor dan tabung propane tanpa biaya guna mendorong orang agar beralih dari arang. Di Santo Domingo dia mendirikan aquarium, kebun raya dan museum sejarah alam, serta membangun kembali kebun binatang nasional yang semuanya lantas menjadi tempat wsata utama. Tindakan poltis terakhir Balaguer pada usia 94 tahun adalah bekerja sama dengan presiden terpilih Mejia melalui manuver legislatif cerdik guna menjegal rencana presiden Fernandez untuk mengurangi dan memperlemah sistem suaka alam dari hanya perintah eksekutf (sehingga berpotensi diubah-ubah seperti yang berusaha Fernandez lakukan) menjadi sistem yang ditetapkan oleh hokum. Dengan demikian, Balaguer mengakhiri karier politiknya dengan menyelamatkan sstem suaka alam yang telah dia curahi sedemikian banyak perhatian.  Walaupun saat ini Dominika dan Haiti sedang berjuang untuk menyelesaikan permasalahan negaranya yang sangat kompleks, harapan masih tersisa menuju masa depan yang lebih baik. Sungguh sebuah pembahasan yang layak sekali untuk dibaca dan resapi…

Tak kalah seru dengan bab-bab sebelumnya, kali ini Prof. Diamond mengajak kita mengunjungi negeri tirai bambu dalam bab “Cina: Raksasa yang Menggeliat”. Cina merupakan negara berpenduduk paling banyak di dunia dengan sekitar 1,3 milar orang (seperlima dari total penduduk dunia), dengan luas total nomor tiga dunia dan keanekaragaman hayati tumbuhan juga di ranking tiga terkaya. Ekonominya yang sudah besar tumbuh dengan laju paling cepat dibanding negara manapun dunia dengan nyaris 10% per tahun. Memiliki laju produksi baja, semen, makanan budidaya perairan dan perangkat TV tertinggi di dunia; produksi tertinggi sekaligus konsumen tertinggi batubara, pupuk dan tembakau; hampir memuncaki produksi listrik dan (tak lama lagi) kendaraan bermotor), juga dalam konsumsi kayu bangunan, dan Cina sedang membangun bendungan terbesar dan proyek pengalihan air terbesar di dunia.
Berbagai kelebihan dan pencapaian tersebut dinodai dengan perusakan lingkungan yang bahkan tergolong paling parah di dunia dan makin parah. Daftar panjang perusakan lingkungan tersebut mulai dari pencemaran udara, hilangnya keanekaragaman hayati, hilang lahan pertanian, penggurunan, lenyapnya lahan basah, kerusakan padang rumput, spesies penyerbu, perumputan berlebihan, berhentinya aliran sungai, salinisasi, erosi tanah, penumpukan sampah serta pencemaran dan kekurangan air yang menyebabkan peningkatan bencana alam yang dsebabkan oleh manusia Cina. Saking luas dan besar Cina, berarti masalah mereka bukan hanya menjadi masalah mereka, tapi akan berimbas kepada dunia secara keseluruhan dalam planet, samudera, atmosfer yang sama. Saat ini negeri gingseng menjadi penyumbang terbesar Sulfur Oksida, klorofluorokarbon, zat-zat perusak ozon lainnya, dan (tak lama lagi) karbon dioksida ke atmosfer. Cina juga merupakan importir kayu bangunan terbesar dari hutan hujan tropis dan banyak berkontribusi pada penggundulan hutan tropis.
Kualitas udara yang buruk di Beijing dan kota-kota lainnya di Cina masuk kategori yang paling buruk d dunia, hal tersebut salah satunya disumbang kenaikan kendaraan bermotor yang antara 1980 sampai 2001 meningkat 15 kali lipat, mobil pribadi 130 kali lipat, dan Cina saat ini memutuskan untuk menjadikan produksi mobil (utamanya mobil pribadi, merk yang kutahu mungkin Wuling kali ya karena namanya kecina-cinaan) sehingga menjadikan mereka akan menjadi negara terbesar ketiga produsen mobil setelah AS dan Jepang. Pembangkit listrik yang didominasi batu bara juga menyumbang peningkatan nitrogen oksida dan karbon dioksida. Hujan asam pada 1980-an yang terbatas hanya di beberapa daerah di barat daya dan selatan kini dialami oleh seperempat dari semua kota Cina selama lebih dari separo jumlah hari berhujan setiap tahun. Dibalik fakta statistika yang sangat mengesankan, ternyata efisiensi energi Cina hanya separo dari negara dunai pertama; produksi kertasnya mengkonsumsi dua kal lipat air lebih banyak, irigasi mengandalkan metode permukaan yang tak efisien menjadikan air menguap, zat hara tanah hilang, eutrofikasi dan penumpukan endapan sungai. Misalnya lagi, produksi amonia berbasis batu bara yang dibutuhkan untuk pembuatan pupuk dan tekstil di Cina mengonsumi 42 kali lebih banyak air daripada produksi amonia berbasis gas alam di negara maju dunia pertama.
Pada sisi kualitas air, sebagian besar sungai sumber air tanah Cina makin buruk dan terus merosot akibat buangan air limbah industri dan kotapraja, serta saliran dari budidaya perairan berupa pupuk, pestisida anorganik yang menyebabkan eutrofikasi meluas. Sekitar 75% danau Cina dan nyaris seluruh pesisir lautnya tercemar. Pasang merah-ledakan populasi plankton menghasilkan zat beracun bagi ikan dan hewan laut lain-telah meningkat menjadi nyaris 100 kali pertahun, dari hanya satu setiap lima tahun sekali pada 1960-an. Hanya 20% lmbah cair rumah tangga yang dikelola, dibanding dengan 80% di negara maju dunia pertama. Cina juga merupakan negara paling tinggi yang mengalami kerusakan erosi tanah terburuk, mempengaruhi 19% luas daratannya dan menyebabkan kehilangan tanah sebanyak 5 millar ton per tahun. Di sungai Yangtze, buangan endapan akibat eros melebihi Nil dan Amazon, dua sungai terpanjang di dunia. Endapan telah memperpendek pelayaran kanal-kanal sungai sebanyak 50%, dan membatasi ukuran kapal yang bisa melayari sungai. Kualitas tanah juga mein berkurang, penggunaan pupuk anorganik jangka panjang menyebabkan penurunan jumlah cacing tanah. Penggurunan akibat perumputan berlebihan melanda lebih dari sepermpat Cina, menghancurkan 15% daerah Cina Utara yang tersisa untuk agrikultur dan penggembalaan dalam satu dasawarsa terakhir.
Diskusi mengenai kerusakan lingkungan di Cina tak berhenti sampai disitu. Negeri tempat Jack Ma berasal ini adalah salah satu yang paling miskin hutan di dunia, dengan hanya 0,12 hektar huta per orang dbandingkan dengan rata-rata dunia sebesar 0,65%, dan dengsn tutupsn hutan hanya 16% dari luas dataran Cina (dibandingkan dengan 74% di Jepang. Banjr besar akibat penggundulan hutan terjadi pada 1996 menyebabkan kerusakan $2,5 miliar, dan banjir 1998 lebih besar lagi. Berikut deretan kerugian ekonomi Cina akibat kerusakan alam dan tata kelola yang ugal-ugalan: $72 juta pertahun dihabiskan untuk menghentikan penyebaran gulma aligator yang mulanya dmpor dari Brazil sebagai pakan ternak babi pada 1990 d pelabuhan Shanghai, gulma tersebut lolos dan tumbuh liar di kebun, ladang ubi jalar dan perkebunan jeruk; kerugian tahunan $250 juta akibat penutupan pabrik-pabrik oleh kekurangan air di satu kota saja, Xian; badai pasir menimbulkan kerusakan $540 juta per tahun; $730 juta per tahun akibat rusaknya tanaman pangan dan hutan oleh hujan asam; $6 miliar biaya “dinding hijau” dari pepohonan yang dibuat untuk melindungi Beijing dari pasir dan debu; $7 miliar kerugian per tahun akibat spesies hama selan gulma aligator; $42 miliar per tahun akibat penggurunan dan $54 miliar kerugian tahunan akibat pencemaran air dan udara. Kombinasi kedua hal terakhr saja menyedot uang setara 14% Produk Domestik Bruto (PDB) Cina tiap tahun.
Akibatnya bagi kesehatan masyarakat, kadar timbel rata-rata dalam darah penduduk kota Cina nyaris berlipat dua dari tempat-tempat lain di dunia yang juga memilik kadar timbel tinggi sekitar 300.000 kematian setiap tahun dan biaya kesehatan sebesar $54 miliar (8% PDB) dtimbulkan oleh pencemaran udara. Kematian akibat merokok berjumlah sekitar 730.000 per tahun dan terus naik, sebab Cina adalah konsumen sekaligus produsen terbesar tembakau di dunia dan tempat tinggal paling banyak perokok (320 juta orang, setara dengan seperempat total perokok di dunia, per orang rata-rata merokok 1800 rokok per tahun). Seorang pesimis akan menyadari banyaknya bahaya dan pertanda buruk yang telah terjad d Cina. Dantara bahaya-bahaya yang digeneralisasi, pertumbuhan ekonomi, bukan perlindungan atau kerberlanjutan lingkungan masih merupakan prioritas Cina. Kesadaran masyarakat akan lingkungan masih rendah karena investasi Cina di bidang pendidikan mash rendah, kurang dari separo investasi  Negara-negara maju dunia pertama dalam persentase PDB. Dengan 20% populasi dunia, Cina hanya mengeluarkan 1% dari pembelanjaan dunia untuk pendidikan. Para pemimpin Cina dulu percaya bahwa manusia bisa dan harus menaklukan alam, bahwa kerusakan alam hanyalah masalah yang hanya menyerang masyarakat kapitalis, dan bahwa masyarakat sosialis kebal terhadap permasalahan semacam itu. Kini, dhadapan setumpuk tanda masalah lingkungan parah yang terjadi di Cina, pikiran mereka harus berubah.
Beralih dari impor menuju ekspor, Cina juga memberikan banyak spesies penyerbu ke berbagai tempat di belahan dunia. Keanekaragaman hayati Cina yang sangat luas memungkinkan hal itu. Tiga hama yang paling dikenal  telah menumpas banyak populasi pohon Amerika Utara dan menyebabkan banyak sekali kerugian; 1) Sampar Kastanye, 2) penyakit elm “Belanda” yang salah nama, 3) kumbang tanduk panjang asia. Spesies penyerbu lain yakni ikan koan Cina (Ctenopharyngodon idella) kini telah mapan d sungai-sungai dan danau-danau 45 negara bagian AS, bersaing dengan spesies-spesies ikan asli dan menyebabkan perubahan besar terhadap komunitas tumbuhan, plankton, dan avertebrata lain. Satu lagi spesies yang poopulasinya melimpah di Cina, yang memiliki dampak-dampak ekologi dan ekonomi besar, dan yang Cina ekspor dalam jumlah semakin banyak, adalah Homo Sapiens. Aku ingin menitikbertakan pada spesies terakhir yang tampaknya saat ini telah menyerbu Indonesia. Betapa berita di media sosial diisi oleh berita tentang datangnya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Cina, setiap hari di bandara internasional Soekarno-Hatta orang-orang bermata sipit tak berbahasa melayu datang ke Nusantara, disebar ke berbagai penjuru untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan nasional yang didapat dari pnjaman modal kerja dari Cina. Banyak yang bilang berita tersebut adalah hoaks, namun tak sedikit pula yang percaya bahwa serbuan TKA akan berdampak buruk bagi pribumi. Bagaimana tidak, di kondisi ekonomi yang sedang sulit apalagi tingkat pengangguran yang membengkak, pemerntah melalui pidato presiden Joko Widodo tanpa tedheng aling-aling meminta agar perizinan kerja TKA dari Cina dipermudah. Bali, Morowali dan berbagai tempat pembangunan proyek saat ini telah penuh dengan pekerja asing Cina. Hal itu diperparah dengan isu ketimpangan pendapatan yang diterima antara pekerja lokal dan pekerja aseng Cina dengan tingkat pekerjaan yang sama, alasan bahwa tenaga kerja lokal belum bisa meng-cover pekerjaan yang dilakukan TKA sungguh sangat merendahkan dan tidak bisa diterima. Aku berharap semoga terjadi pergantian kekuasaan d tahun 2019 ini, aamiin ya Rabbal alamiin! Maaf melenceng dari topik.

Demikian resensi buku ini harus kucukupkan. Sebenarnya masih ada 4 bab dari Collapse yang belum kubaca, empat bab itu yakni: “Menambang” Australia; Mengapa Sejumlah masyarakat Membuat Keputusan yang Berakibat Buruk?; Bisnis besar dan lingkungan: Kondisi Berbeda, Hasil Berbeda; dan Dunia Sebagai Polder: Apa Artinya Itu Semua Bagi Kita Kini?”, namun karena saking bagus dan mendalamnya isi dari buku ini membuatku tak kuasa ingin segera menulis resensi guna dikonsumsi sendiri dan atau menyebarkannya kepada komunitas. Tentu apa yang kutulis diatas sangat jauh dari bagaimana Prof. Jared Diamond mendedikasikan isi pikiran dan seluruh penelitiannya yang memakan waktu bertahun-tahun yang telah ditulis secara gamblang dalam buku ini. Sebuah karya ilmiah yang mencerahkan, menjadi inspirasi yang kuat bagi pembacanya dan sangat rekomendatif untuk otak kita agar diisi pada era yang semakin meminta lebih ini. Untuk alam raya dimana kita semua berbagi bersama didalamnya, semoga lestari dan berkelanjutan. Sebelum kuakhiri, aku berwasiat kepada diri sendiri dan para pembaca yang budiman, mari tidak membuang sampah sembarangan sekecil apapun. Semoga tulisan ini bermanfaat…



Surabaya, 7 April 2019
Sepuluh hari menuju Indonesia menang, adil dan makmur



Firman Sentot Abintara P.