Selasa, 25 November 2014

Raja Kita Tercecer di Jalanan

Gontai, tak tau aku sore itu semua berkelabu
Jalan menuju rumah lumayan jauh, dan kubenci benar debu jalanan yang terus merayu
Dasar tak tau malu, mereka masih saja coba cumbuiku
Tak jauh satu meter, asap dari kenalpot-kenalpot angkot juga sedang mengendap-endap dalam derum berusaha menyergapku...
Kau juga, tak usah ikut ketawakan aku,
Urusi saja urusanmu, lihatlah daun-daunmu meranggas, kau makin kurus...
Dan suara kercitan sepatu pada trotoar milik orang-orang disekitar, sungguh itu begitu mengganggu, mereka seolah terkikik pada penatku.
Berhenti meringis!
Rasanya hari ini semua kotoran yang ada didunia begitu ingin mendekatiku...

Hehh... Aku mendengus, abaikan saja
Hehh... Lagi-lagi mendengus, kali ini lebih panjang.
Hei ada apa? Aku kuat, ragaku tak lelah...
Seseorang nyeletuk, 
"Kau memang tak lelah, tapi lihat, jiwamu gersang!"
Hahh siapa kau?
"Aku? Aku langit, aku awan, aku debu, aku kerikil, aku kenalpot angkot, aku sepatu, aku aspal, aku semesta jalanan ini, aku jiwamu".
Orang gila, kotoran lagi...

Aku terus saja susuri jalanan ini, ramai orang berlalu-lalang, biarkan.
"Lihat disana, itu bunga yang indah!"
Lagi-lagi suara itu, masa bodo lah.
"Lihat disana, mereka begitu terang!"
Aku masih memilih acuh.
"Lihat disana, bidadari Tuhan yang begitu anggun!"
Mana mana, mana bidadarinya?
Tak ada, kau menipuku.
"Itu disana, secuil Tuhan ada disana, dibawah lampu bang-jo, diantara mobil dan motor-motor yang merayap itu, yang selalu membawa sepotong amplop untuk orang-orang yang lewat itu...
"Itu disana, secuil Tuhan ada disana, didepan mesin-mesin ATM, membawa sepotong amplop untuk bocah-bocah lumayan manja yang masuk mengambil uang kiriman dari orang tua...
"Itu disana, secuil Tuhan ada disana, di bawah etalase ruko-ruko, mereka berlarian lusuh kelaparan, bermuka penuh arang dan memelas namun tetap riang...
"Itu disana, ya disana, itu lagi disana..."

Aku memang sedang jenuh hari itu
Syukurku pada Tuhan sedang dalam level yang rendah
Tapi setelah melihat secuil Tuhan-"mu" itu, ya ya, 
Terimakasih telah menghujani hatiku yang katamu gersang itu.
Aku teringat pada bait puisi W.S Rendra
Tuhan adalah serdadu yang tertembak, juga anak-anak jalanan seperti mereka...
Aku berkontemplasi, tas yang sedang dipunggungku ini berisi laptop, buku-buku tebal, juga lembar laporan tugas-tugas perkuliahan yang membosankan.
Bajuku bersih parlente, dompetku juga masih tebal, sisa kiriman orang tua belumlah habis, sepatuku baru kubeli kemarin di sebuah mall ternama.
Saat ini aku yang sedang menuju rumah, maksudku rumah sewaan karena rumahku diluar kota,
Masih untung bisa miliki naungan tempat bercanda, belajar, ibadah, mandi dan atau merebahkan raga.
Lihat mereka, boro-boro mau sekolah, untuk makan saja mereka berpanas-panasan dengan amplop lusuh penuh kuman yang digenggamnya
Pada aspal kakinya menghajar bertelanjang, yang padahal kaki bersepatuku ini saja terasa kepanasan di trotoar.
Dimana mereka tidur nanti?
Di warung mana mereka beli makan?
Apa isi otak mereka yang tak pernah duduk di bangku kayu sekolah itu?

Ku tarik nafasku panjang-panjang, nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan?

Aku mencoba mengorek isi otakku, tentang undang-undang, program kerja pemerintah, kementrian, konstitusi dan semacamnya. 
Katanya anak jalanan diurus negara, mana?
Katanya pendidikan adalah hak mutlak semua anak negeri ini, mana?
Katanya negeri ini kaya, nyuapi cukong-cukong dan mafia-mafia asing saja bisa, masak nyuapi anak-anak kecil seperti mereka ndak bisa, janjinya tapi mana?
Padahal seperti yang "kau" bilang tadi, mereka adalah bunga yang pada saatnya nanti seharusnya akan bermekaran indah, mengharumkan. 
Tapi ini? Mereka bunga-bunga yang dipaksa layu sebelum waktunya.
Ya, dipaksa, semuanya acuh.

Aku berhenti sejenak, duduk disamping trotoar, bukan karena kakiku kenyu, tapi aku ingin merenung sejenak sambil amati mereka. 
Hai kau, boleh aku bertanya?
"Ya, tanyakan saja".
Siapa raja yang harusnya kita lindungi?
"Aku tau kau sedang mencoba menjebakku dengan pertanyaanmu itu, aku tak tau jawabnya.
Katakan siapa, Presiden?
Menteri? Gubernur? Guru? Ulama? Pendeta? Tentara? Dosen? Pegawai sipil? Buruh? Demonstran? Petani? Nelayan? Wartawan? Pendaki gunung? Bidan? Stupa candi Borobudur?"
Bukan, mereka lah, lihat, anak-anak liar itu yang harusnya kita lindungi.
Anak-anak jalan itu, merekalah masa depan kita bersama.
Kita adalah martir, kita adalah pion,
Kita adalah pilar-pilar kokoh yang akan menyangga jembatan indah itu, merekalah jembatan kita, Mereka akan mengantarkan kita pada kedamaian,
Anak-anak itu, seandainya mereka kita jaga dengan baik.
Seandainya...

Ah sudahlah, aku tak mau berandai lebih lagi.
Hai sini, sini. Perutmu lapar, sini makanlah...
Hari sudah beranjak senja,
sebentar lagi orang akan segera mencari bulan dan bintang-bintang...
Aku juga harus segera pulang, aku mau belajar sungguh-sungguh !

Selasa, 18 November 2014

Max Havelaar



“Havelaar adalah lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya ramping dan gerak-geriknya cekatan. Namun dengan pengecualian bibir atas yang sangat pendek dan ekspresif, serta bola mata biru pucat besarnya-yang seakan menerawang ketika dia sedang dalam keadaan tenang, walaupun memancarkan api ketika dia dipenuhi gagasan besar…
“Dia penuh kontradiksi: setajam silet, berhati selembut anak perempuan, dan selalu pertama yang merasakan luka akibat kata-kata pahitnya sendiri: dan dia lebih menderita daripada mereka yang dilukainya. Dia cepat mengerti, langsung memahami masalah-masalah yang paling rumit, gemar menghibur diri dengan mencari pemecahan atas pertanyaan-pertanyaan sulit, dan bersedia mencurahkan seluruh jerih payah, pikiran dan tenaganya untuk itu. Namun, dia sering kali tidak memahami hal paling sederhana yang bisa dijelaskan seorang anak kecil kepadanya…
“Dia seorang penyair dalam pengertian tertinggi kata itu: ketika melihat percik api, dia memimpikan sistem tata surya-yang dipenuhinya dengan makhluk-makhluk ciptaannya sendiri, dan merasa seolah dirinya adalah penguasa dunia yang digerakannya itu… Dia tepat waktu dan dan teratur, juga sangat penyabar; tapi ini justru karena tepat waktu, keteraturan dan kesabaran sangatlah sulit baginya. Pikirannya agak liar dan, lambat dan berhati-hati dalam menilai masalah, walaupun tampaknya bukan ini kasusnya bagi mereka yang pernah mendengarnya meraih kesimpulan secepat kilat…
“Dia jujur, terutama ketika kejujuran itu berubah menjadi kedermawanan, dan akan membiarkan utang beratus-ratus tak terbayar karena dia telah mendermakan beribu-ribu. Dia jenaka dan menyenangkan ketika merasa kejenakaannya dipahami; jika tidak dia akan pendiam dan menjemukan. Dia ramah terhadap teman-temannya; pembela orang yang menderita; peka terhadap cinta dan persahabatan; selalu menepati janji; mengalah dalam hal-hal kecil, tapi seteguh karang ketika dia merasa patut untuk bersusah payah menunjukkan wataknya; rendah hati dan murah hati terhadap mereka yang mengakui keunggulan intelektualnya, tapi menjengkelkan bagi mereka yang ingin menentangnya.
“Harga dirinya yang tinggi menjadikannya orang yang jujur, tapi terkadang dia pendiam ketika merasa khawatir keterusterangannya salah dipahami sebagai ketidaktahuan; peka terhadap kebahagiaan jasmani maupun rohani; pemalu dan tidak fasih berbicara ketika merasa tidak dipahami, tapi fasih ketika merasa bahwa kata-katanya bagai jatuh di tanah yang subur; lamban ketika tidak didesak oleh dorongan yang tidak berasal dari jiwanya sendiri, tapi giat dan bersemangat ketika dorongan itu muncul. Selain itu dia ramah, sopan dalam bersikap, dan perilakunya tidak bercela. Itulah sedikit gambaran mengenai karakter Havelaar.
“Kukatakan ‘sedikit’ karena…”
(Eduard D. Dekker a.ka Multatuli, hlm113-117,  Max Havelaar, 1868)

Aku rasa tuan Havelaar di umur 21 juga selalu senang melihat arakan awan di langit  sewaktu senja, atau menghitung bintang dimalam hari sembari membayangkan masa depannya nanti akan jadi apa dirinya kelak; punya berapa anak yang diinginkan; siapa saja nama-nama yang cukup gagah dan anggun untuk anak-anaknya nanti; bagaimana cara membalas jasa-jasa orang tuanya; istri yang seperti apa yang diinginkannya; kemana dan kapan rencana libur akhir pekan untuk keluarga kecilnya; bagaimana impiannya untuk punya perpustakaan pribadi di rumah sederhananya nanti yang padat tapi tetap memberi cukup ruang untuk dirinya dan anak-anaknya bermain; apa-apa saja profesi yang akan digeluti anaknya nanti saat dia sudah cukup lama menjalani kehidupan; juga bagaimana dia memikirkan siapa yang seharusnya mati duluan, apakah dirinya terlebih dahulu atau istirnya …
Dalam novel ini karakter Max Havelaar baru muncul dan dicitrakan pada halaman 113, yang aku sedikit kaget dan buatku bertanya-tanya dengan alur yang sedikit unik dan tidak seperti novel umum biasanya. Pembuka cerita lebih banyak diisi dengan kehadiran Mr. Droogstoppel, lelaki terhotmat yang selalu mencintai kebenaran, memiliki perspektif aneh namun sangat cerdik, jenaka, sedikit congkak, dan makelar kopi di Lauriergracht No. 37. Sampai sekarang aku belum menyelesaikan pembacaan novel ini, yang jelas tebakankuadalah  tokoh pencerita utama dalam novel ini adalah Mr. Droogstoppel ini.
Kembali ke tokoh utama, aku merasa begitu dekat dengan sosok Max Havelaar yang digambarkan sekilas dari paragraf kutipan dari novel diatas. Aku merasa, sepertinya Havelaar ini adalah aku, atau aku ini adalah Havelaar. Memang aku tau ini terlalu mengada-ada, mana bisa aku yang norak ini dibandingkan dengan sosok utama dalam novel tulisan Eduard Douwes Dekker (nama yang banyak disebutkan dalam buku sejarah SD, bagi yang suka pelajaran sejarah waktu kecil dulu pasti akan langsung akrab dengan nama ini) atau Multatuli nama pena-nya. Tapi, tapi… rasanya itu ya ini…
Novel ini aku dapat malam minggu kemarin saat hangout ke toko buku sama si Alfi. Saat lewat di rak novel untuk carikan buku buat adekku dirumah, kujumpai buku ini. Pertama kukira ini novel yang membosankan, namun di sampul bukunya terdapat kutipan “Kisah yang membunuh kolonialisme!” dari Pramoedya Ananta T. penulis legenda milik Indonesia yang kukagumi semangat menulisnya itu. Tanpa bertanya banyak aku ambil buku ini, yang kemudian aku berfikir seharusnya buku sekeren ini ditaruh di jajaran buku sospol biar terlihat para maniak-maniak sejarah dan perpolitikan.
Aku rasa ini novel yang keren, dan masuk novel legenda yang harus dibaca kalian yang suka sastra. Ingat saja kata Pramoedya; boleh saja maju dalam hal pelajaran, tapi mereka yang tidak mencintai sastra sama saja dan hanya tinggal hewan yang pandai. Selamat membaca, salam budaya…

                                                      “Karena aku lelaki terhormat dan makelar kopi.”
                                                                                              -Mr. Droogstoppel           

Rabu, 05 November 2014

Kecanduan Prosa

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Ini puisi milik Chairil Anwar sang legenda itu. Aku suka puisi ini, terutama untuk mendengungkannya dengan lirih saat tak seorangpun disekitar. "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang...", aku suka merinding kala meneriakkan kalimat ini dengan lantang. Saat sepi? Ya, saat sepi. Mampus kau dikoyak-koyak sepi... #CA

Sabtu, 01 November 2014

Pendakian Gunung Lawu (Via Cemorosewu)



Judul untuk penulisan paper ini sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, sayangnya realisasi penulisan baru bisa dikerjakan siang ini. Penulisan paper ini jujur aku sendiri sedikit males, banyak yang aku lupa tuliskan dan dokumentasikan untuk beberapa pos dan medan dalam pendakian yang nantinya kurang akurat bila diinformasikan, tapi okelah aku ingat-ingat sebisanya.
Pendakian gunung Lawu ini sebenarnya benar-benar tak terpikirkan sebelumnya. Aku yang sudah janji sama diriku sendiri kalau baru akan ndaki lagi setelah Seminar Proposal (skripsi) ndak kuasa menahan “pingin” lihat teman kontrakanku si Piter yang ndaki Arjuno. Dengan pendakiannya ini berarti rekor pendakianku dengannya akan sama di angka 3 gunung: Semeru, Arjuno, Argopuro untuk masing-masing aku dan Piter. Sumpah mati, aku ndak rela. Let’s find some beautiful place to GET LOST!!
Sabtu malam (malam minggu) aku kumpulkan teman-teman yang telah kuundangi via sms, bbm dan telfon di lapangan rektorat kampus untuk meeting persiapan pendakian. Rencana pendakian kita adalah gunung Lawu di pinggiran Jawa Timur perbatasan dengan Jawa tengah, Kabupaten Magetan. Hadir disini Ashe, devita, fitria, Eka Putri, boyek, dan aku, Ardon ndak bisa hadir karena dia di Madiun, tapi dia nyatakan kesediaannya untuk bergabung dalam pendakian kami. Semua rencana telah disusun, gear pendakian, penginapan, bekal makanan, rute perjalanan, informasi medan dan trek, estimasi waktu dsb. Kami fix berangkat pada Rabu 9 april 2014. Sebelum keberangkatan aku sebisa-bisanya kerjai skripsiku sampai bab 4, namun gagal dan hanya bisa sampai bab 4 paling paling paling awal alias nulis judul besar  thok dipaling atas “IV. METODE PENELITIAN”. Huahahaha, shame on meeee…
Rabu sore sekitar pukul 16.00 aku, ashe, putri, fitria, kami kumpul dikontrakanku dan berangkat naik motor weerr langsung ke Magetan. Boyek, ardon, dan devita sudah nunggu di Magetan, mereka berangkat duluan karena ada keperluan. Perjalanan dari Malang ke Magetan ini sumpah awalnya aku ndak setuju-setuju benar kalau naik motor. Perjalanan mendaki kalau naik motor itu ndak enaknya setelah ndaki pasti badan rasanya sepert mau copot, nanti pulangnya masih disuruh bawa motor. Awalnya kami berencana nge-bis dari Malang, tapi karena ongkos yang dikeluarkan juga mbengkak nantinya akhirnya kami mekso bawa motor. Sekitar pukul 23.30 kami sampai di penginapan yang telah diurus sama boyek sebelumnya, lokasinya di sekitaran telaga Sarangan, mantabb. Anak-anak lainnya langsung tepar, sedang aku dan ashe walking-walking malam sejenak liat pemandangan malam telaga Sarangan sambil beli sate kelinci di pinggiran telaga. Tukang satenya nanya ke kita “Lhoh mas sampean ra nggawe jaket po ra kademen, mas?” kami jawab senyum aja sambil ngobrol ini-itu dengan bapaknya, mungkin karena kami ramah akhirnya dapat tambahan banyak beberapa tusuk sate lagi dari bapak penjual ate kelinci baik hati ini. Puas nikmati suasana telaga Sarangan malam hari, aku dan ashe balik ke penginapan untuk istirahat dan siapkan tenaga buat pendakian esok hari.
Pagi harinya kami masih males-malesan buat mandi, udara dan air disini dingnnya mintak ampun, brrrr… Tapi show must go on, kami semangat waktu bayangkan hari ini mau ndaki gunung Lawu. Semuanya beres, periksa barang dan kelengkapan yang mungkin tertinggal sudah dilakukan, semua clear, dan oke saatnya kita kemon!
Perjalanan dari telaga Sarangan menuju pos Cemorosewu Lawu membutuhkan waktu tempuh motor kira-kira 15 menit. Disini setauku ndak ada angkutan umum, jadi repot juga kalau ndak ada motor. Mungkin cara mudahnya harus carter angkutan, itu nanti bikin pos pengeluaran ndaki mbengkak. Di Cemorosewu sudah ada penitipan motor, dikenakan biaya cukup Rp. 5rb saja. Juga untuk pendaftaran dan izin pendakian kami dikenai charge kalau aku ndak salah ingat sekitar Rp. 6rb-an per orang, yang jelas ndak sampai Rp. 10rb kok.
Setelah sarapan di dekat pos perizinan, kami sempatkan sejenak ngambil foto di gerbang masuk Cemorosewu. Foto sudah diambil, kami berkumpul sejenak melingkar berdoa dan kusampaikan aturan-aturan mendaki: Jangan tinggalkan teman, kalau capek bilang jangan gengsi, savety first dan “THE HIKER’S IRON RULES: TAKE NOTHING BUT PICTURE, LEAVE NOTHING BUT FOOTPRINTS, KILL NOTHING BUT TIME…"  Lanjut itu kita mulai perjalanan ndaki kita dari titik nol pos awal, kami berdebar, Tuhaaaaannnnnnn…


Jalur Cemorosewu ini seperti namanya yang berarti seribu pohon cemara, tampak dalam perjalanan awal kami di kanan-kiri dari jalur setapak. Trek jalan setapak yang kami lalui adalah jalan bebatuan yang tertata rapi. Keras sekali menurutku untuk dijadikan pijakan, itu aku pakai sepatu, bagaimana dengan teman-teman yang pakai sandal gunung coba. Trek yang sudah tertata rapi ini aku kurang suka, kurang alami, pendakian jadi serasa membosankan karena kaki yang ngelangkah pakai sepatu gunung dengan sol keras terus-terus saja ngehajar ke batu, ini juga bikin sol sepatu gampang aus.
Perjanan dari awal pos menuju pos bayangan sebelum pos satu membutuhkan waktu tempuh sekitar 45 menit. Disini kami berhenti sejenak nunggu ujan reda. Setelah itu lanjut kami menapaki jalan bebatu ini, dan sampai di pos 1 dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit. Di pos 1 ini benar-benar terlihat kelakuan pendaki-pendaki yang tangannya mintak dipotong, coret-coretan pakai spidol segala macem ada disini. Tak hanya di pos 1, tapi hampir sepanjang perjalanan kami, di bebatuan besar, di bangunan-bangunan pos, atau dimana saja, ada banyak coretan-coretan model gondes di jalur setapak gunung Lawu. Benar-benar sikap vandalis yang tidak bertanggung jawab,  merusak, KECOAK! Di pos 1 ini dari informasi yang kami dapati dari teman pendaki lain yang bersua dijalan, biasanya ada warung nasi. Tapi waktu itu kebetulan saat kami ndaki sedang tutup. Dalam hati aku bersyukur aja, kalaupun memang ada ya aku ndak bakalan beli makan di gunung. Ternyata ndak hanya di pos 1, tapi di pos sendang setelah pos 5 juga ada banyak warung, bahkan toilet juga kabarnya ada. Aku sendiri secara pribadi kurang begitu senang dengan hadirnya warung-warung ataupun toilet, mereka bisa mengurangi syahdu perjalanan dan arti perjuangan dalam pendakian. Perjuangan bukan berarti hanya berjalan mendaki, bukan. Tapi perjuangan nunggu masakan mateng, nyajikan makan dengan pas, nunggu air mateng buat bikin kopi atau susu cokelat, itu juga masuk perjuangan. Tapi mengingat gunung Lawu ini juga sering dijadikan tempat ritual sama penduduk sekitar waktu bulan suro atau bulan-bulan suci lainnya untuk upacara adat atau semacamnya, maka dibangunlah fasilitas-fasilitas tadi. Yang kami usahakan ya cuman bagaimana nikmati pendakian ini sebisa-bisanya, sedalam-dalamnya, sesyahdu-syahdunya.





Dari pos 1 ke pos 2 butuh waktu tempuh sekitar 2 jam, kami sampai sekitar pukul 16.30. Waktu itu udaranya benar-benar dingin ndak karuan, bulan april masih masuk musim hujan. Dari pos 2 ini sudah tampak lautan awan, indah namun masih kurang puas kalau belum sampai puncak. Kami putuskan untuk buat makanan disini. Yahoo, semua perlengkapan masak keluar dari tas carrier, semua bumbu dan bahan makanan dijejerkan biar gampang. Aku, ashe sama boyek dan ardon hanya melihat, urusan masak-memasak kita serahkan pada srikandi-srikandi gunung ini hahaha. Akhirnya di senja itu kami nikmati santapan makan yang telah dibuat dengan yummy, “nyekoh” kalo orang jawa bilang. Makanan yang dimasak setelah berlelah-lelah mendaki itu benar-benar anugerah Tuhan yang sederhana tapi nikmatnya dalam, dalaaaammmmm…
 
 
 
Hari sudah gelap, tapi perjalanan masih panjang. Semua barang sudah kami kemasi, sampah besar dan kecil kami masukan ke trash bag di belakang. Lanjut lagi jalan, menuju pos 3. Kami keluarkan senter disini, sambil bersenda gurau, perjalanan kalau dibuat santai ternyata juga tak terasa. Dibuku panduan butuh 2 jam untuk sampai pos 3, tapi ternyata tak kurang dari sejam kami sudah sampai, mungkin kesalahan estimasi di buku. Pos 3 ini sama saja dengan pos 2 dan 1, berupa bangunan kecil dengan genteng bolong dan coretan spidol tangan-tangan jahil dimana-mana.
Setelah rehat sejenak di pos 3, kami lanjut terus berjalan. Sambil diterangi headlamp dan beberapa senter, juga ngobrol riang-santai dengan teman-teman, juga sambil beberapa kali istirahat karena memang medannya yang nanjak dan lumayan berat, kami sampai di pos 4. Pos ini keadaannya lebih parah dari pos sebelumnya.
Sewaktu perjalan diantara pos 4 dan 5, kami diterpa badai, anginnya kenceng bikin ngeri. Fitria waktu itu ndak bisa gerak kedinginan, kami cari tempat berlindung diantara semak-semak sembari nunggu badai ilang, biar dia dipeluk teman-teman cewe untuk hangatkan badan. Waktu istirahat itu kami masih sempat guyonan dan selfie, eh terkampret-kampret. Setelah dirasa lumayan berkurang tiupan badainya, aku dan ashe segera nyari tempat lapang buat dirikan tenda. Nyari nyari nyari, akhirnya ketemu juga, segera dengan kecepatan super dan cekatan kami berdua dirikan 2 tenda. Boyek yang lemah dan ardon yang amatir hanya nunggui dan liati aja, weee semprul. Semua matras ditaruh ke tenda cewe, lengkap dengan sleeping bag-nya. Tenda cowo gimana? Tragis dan mengenaskan, 3 selimut untuk 4 orang dalam satu tenda kecil. Benar-benar malam yang melelahkan kami berempat lalui. Dari apa yang pernah kurasai, gunung Lawu ini gunung paling dingin yang pernah kudaki. Ternyata tak hanya aku, pendaki lain juga bilang seperti itu.
Esok paginya karena terlambat tidur kami bangun kesiangan. Pukul 07.00 kami berangkat dari tenda untuk nyerbu puncak. 20 menit berjalan kami sampai di pos 5, disini banyak dijumpai bangunan mungkin warung atau entah untuk apalah, juga ada sumur yang dipercaya punya kekuatan atau mistis entah. Sumur ini satu-satunya sumber air dari jalur Cemorosewu. Dari sumur ke puncak butuh waktu perjalanan sekitar 40 menit.
Pemandangan di puncak benar-benar megah, terlihat arakan awan yang tebal, pendaki alay sering nyebut “Negeri di atas awan”. Aku juga alay, kusebut juga seperti itu. Di puncak ada tugu yang dibangun Kopassus (Komando pasukan Khusus) TNI, tingginya kira-kira 4m. Dari tugu ada jalan setapak lagi, dari jauh terlihat kain lusuh merah-putih di atas tiang seakan melambai dan memanggil-manggil kami. Kami berjalan tergopoh-gopoh,  ini dia puncaknya. Langsung saja kuciumi benderanya dalam khidmat yang dalam. Kami berfoto, kadang juga terdiam lihati pemandangan didepan yang sejauh mata memandang indahnya alam membentang ndak karu-karuan kerennya, kadang juga ketawa-ketawa bareng, yang jelas rasanya waktu itu kami benar-benar “hilang”. 3265 mdpl, kami berdiri di puncak gunung Lawu. Puji Tuhan…
 
 
 
 
Puas cumbui puncak, kami segera turun menuju tenda. Disini kami masak untuk sarapan pagi. Para srikandi masak nasi, tumis, sosis, sarden, ashe dengan sambel terong anti-pedas miliknyanya, dan aku dengan Rendang Gaul Uda Gembul sapi level pedas maksimal, mancabbbbbss.
 
 
 
Setelah sarapan, kemudian puas kongkow-kongkow di asyiknya udara dingin, bersenda gurau sejadi-jadinya, waktunya kemas-kemas untuk turun gunung. Semua gear pendakian sudah rapi tertata, masuk kedalam carrier. Semua sampah sudah masuk trash bag, semuanya siap dan kami jalan turun. Singkat cerita sore gari pukul 17.30 kami sampai kembali di pos perizinan. Setelah melapor dan nitipkan sampah disana, ngambil motor, langsung mampir ke warung buat isi perut sambil bersih diri. Semuanya lancar dan menyenangkan, dan kami harus pulang. Lawu terimakasih atas semuanya, semai rindu kami untuk kembali…