Rabu, 04 Februari 2015

Jangan Membaca

Pagi ini ada yang ngetok pintu kontrakan, tak lama kemudian terdengar suara memanggil. Suaranya tak asing dan terasa sedikit familiar, hanya lama tak mendengar. Setelah ditengok keluar ternyata Si Somad. Dia teman di kos lama dulu waktu awal masih maba kuliah di kota perantauan. Aku tau maksud kedatangannya, dia mau kembalikan bukuku.
Sebulan yang lalu, aku masih ingat waktu itu tanggal 14 januari, dia datang dadakan ke kontrakan tanpa sedikitpun pemberitahuan (atau kabar dari hp, sosmed, apapun tak ada). Dia pinjam buku-bukuku. Mungkin bukan minjam, lebih tepatnya ngerampok. Saat itu dia main kekamarku, kemudian sambil terkaget-kaget dia liati buku-buku di rak dan bertanya, "bro, buku woconanmu kok aneh-aneh ngene saiki? Kok kaya bocah Fisip wae wacanane revolusi-revolusi, kaya bocah ekonomi wae wacanane kapitalis-sosialis? Kok kaya bocah sastra wae wacanane puisi-sajak? Kok kaya bocah filsafat wae wacanane epistemologi-aksiologi?" Aku enteng saja njawabnya, kalau emang pingin mbaca buku yang pingin dibaca kenapa ndak dibacai aja, selama mbaca ndak pernah dianggap dosa.
Kemudian kami asik berdiskusi, si Somad ceritakan apa yang pingin dia ceritakan, dan aku keluarkan apa yang sudah kubacai. Kami saling tukar informasi, saling bertanya, beradu argumen dengan bukti-bukti empiris yang kadang ada dan kadang masih nggelambyar. Waktu itu diskusi terasa mengasyikkan, rasa-rasanya seperti saat aku masih aktif dalam dunia perkampusan saat para "Legend" dan mas-mas juga teman-teman sejawat masih senang bergumul dan berjuang dalam satu wadah organisasi. Perdebatan dan diskusi dua arah seperti ini yang benar-benar sudah lama redup, bukan hilang, sedikit merindukan asyiknya bertukar informasi yang ilmiah ataupun hanya sekedar debat kusir sambil nyeruput kopi (aku nyeruput susu cokelat).
Jadi waktu itu saking asyiknya diskusi sampai-sampai aku lupa harus berangkat ke kampus untuk ngurus surat penelitian, sedang si Somad kutinggalkan untuk dijamu Piter teman kontrakanku. Saat makan dikantin, ada sms dari somad kalau dia pinjam buku. Yang jadi maslaah adalah dia minjam api mirip ngerampok. Bukuku,, Tan Malaka, Jallaluddin Rumi, Marcuse, Mao, Gibran, raib digondol Somad. Sambil marah-marah ku balas smsnya kuberi waktu seminggu kalau sampai tak dikembalikan akan kubunuh dia. Aku tak masalah peminjaman buku, tapi aku benar-benar muak kalau harus kehilangan buku lagi. Sudah banyak buku-bukuku yang hilang, dipinjam lalu tak dikembalikan, dipinjam lalu ketlisut, dipinjam lalu tak dirawat. Aku harus benar-banar marah kalau ada satu bukuku lagi yang hilang. Tapi dalam hati waktu itu, aku senang. Ternyata masih ada temanku yang juga keranjingan buku.
Mari berbicara ke wilayah yang lebih luas, ada apa dengan buku? Ada apa dengan membaca? Tidak-tidak, ini memang bahasan yang tak penting untuk dituliskan. Tapi lihatlah, makin banyak teman-teman kita yang makin sedikit membawa buku kemana-mana, makin langka melihat pemandangan mahasiswa-mahasiswa membopong buku atau membaca di taman-taman atau halaman-halaman kampus, makin langka. Aku masih ingat dulu di sinetron "Tersanjung" yang sering diputar bunda tiap malam hari saat aku selesai belajar, disana tokoh utamanya seorang mahasiswi kutu buku dipermulakan awalan kisah cinta saat ditabrak seorang mahasiswa sampai buku berumpuk-tumpuk yang dibawanya didepan dada jatuh berantakan ke lantai berserakan. Menurutku itu sebuah romansa yang romantis, keren dan gereget. Lihat sekarang, sinetron saat ini makin mengalami pendangkalan kultural dengan mengedepankan gadget, romansa yang kabur dan tak jelas supranatural, dan ora jelas sekabehane. Dalam kehidupan nyata juga seperti itu. Lihat dan amati, teman samping kanan-kirimu ketika ada waktu luang apa yang mereka pegang, pasti tak jauh-jauh dari hape, laptop, membicarakan mengenai Instagram, twitter, facebook, Path, dan lain-lain. Aku tak menyalahkan sosial media atau alat-alat komunikasi itu selama yang dilihat memang mengandung informasi yang berguna dan bermanfaat. Sebenarnya banyak hal yang ingin kusampaikan bersift sarkastik dan mengandung tendensi beraroma keprihatinan, kesedihan sekaligus kemarahan.
Ahh malas, lanjutkan besok...

Senin, 02 Februari 2015

Solo Backpacker: Taman Nasional Baluran



Hhh… Aku bingung harus darimana kumulai tulisan kisah perjalananku dipaper ini. Semua begitu rumit, akan kujelaskan sedikit saja. Menulis paper perjalanan ke Baluran ini benar-benar akan ada sebuah kontradiksi yang begitu curam, semburat, bak dua sisi muka mata koin. Sisi muka pertama begitu menggetarkan dan baru sebatas membayangkan untuk menuliskannya saja bagiku sudah terasa begitu mengasyikkan. Perjalanan ke Baluran ini adalah petualangan solo pertama dalam hidupku, yang sudah barang tentu terselip berbagai kenangan yang jelas tak akan hilang. Bahkan saat dalam bus perjalanan pulang dari Baluran, isi otakku sudah terbayang jelas rancangan outline tulisan yang akan jadi tulisan petualangan paling mendebarkan yang pernah kutulis. Aku sudah membayangkan saat nanti orang mbaca paper perjalananku ini mereka akan anggap bahwa si penulis dan pelaku perjalanannya benar orang yang keren, sedikit gila dan bla bla bla, huaaaaaa kalian harus percaya bahwa aku sudah senyum-senyum busuk di bus pada malam itu untuk tulisanku. Sisi mata koin satunya, ada banyak kata untuk menggambarkan. Tragis, mengenaskan, sia-sia, hilang, dan kata-kata lain yang masih bisa digunakan sebagai umpatan nasib buruk yang aku alami. Bagaimana tidak, beberapa hari setelah perjalanan itu, waktu itu pagi hari saat bangun tidur, kudapati file foto di hapeku raib, hilang tak berbekas. Aku ingat benar bahwa belum sempat ku copy ke laptop file-file foto yang ada di galeri, hanya ada beberapa biji foto yang telah terunggah di Instagram atau foto-foto yang sempat kukirimkan ke teman-teman baikku untuk pamer tempat-tempat yang kusinggahi di Baluran. Sudah berbagai cara kucoba untuk memindai file jika seandainya, barangkali, masih tersisa disuatu tempat dalam memori hapeku, dan hasilnya nihil. Tapi baiklah, tak perlu kugambarkan bagaimana sedihnya aku waktu itu, karena jelas kalian takkan peduli. Yang jelas waktu itu sempat terlintas pikiran picik untuk takkan menuliskan backpacker Baluran, sampai kapanpun. Yang bergulat sengit dipikiranku adalah, bagaimana mungkin paper tanpa foto mengenai perjalanan ke suatu tempat akan berhasil tepat mengenai “Blank spot” pembaca untuk ikut tergetar merasakan asyik dan indahnya tempat-tempat yang dikunjungi? Ya, sudah kusebut tadi bahwa ini pikiran picik, aku menyerah. Lalu datang seorang teman yang menampar dengan keras melalui kalimat yang dilayangkan, dia bilang “cemen… what a coward you are, don’t run!” Kuingat waktu itu juga ada seorang teman yang bertanya ini-itu mau plesir ke Baluran, kujawab dengan yakin bahwa semuanya akan jelas saat dia mbaca paper yang sedang hendak kususun waktu itu. Ini ada capture-an percakapan kita, kalian bisa lihat betapa sombongnya aku disana kan? Sudah tak usah dibahas, yang jelas sekarang sudah kubulatkan pergulatan pikirian tadi. Entah akan dikatai orang apa tentang paper tak mutu milikku ini, tapi tak ada keraguan sedikitpun bahwa akan adanya sebuah kepuasan tersendiri bagi penulis saat tulisan yang berhasil ditelurkannya dibacai orang. Semua sudah diputuskan, wahai pembaca yang budiman, akan kutulis…
Malam itu, disebuah sudut cafĂ© kecil, dengan empat cangkir kopi dan secangkir lain susu cokelat, aku sedang asyik bercengkrama dan berbagi cerita lumayan pilu dengan keempat temanku Aris, Nyot, Jumarno dan satu teman baru bernama Andre yang juga teman si Aris. Cerita pilu yang kumaksud tadi adalah kegagalanku dan tim untuk ndaki gunung Butak esok hari, saat itu hutan Butak sedang kebakaran. Sebelumnya sudah kami lakukan kroscek ke lokasi pos perizinan dan benar saja ada tulisan himbauan di depan pos untuk menghentikan segala aktivitas pendakian, kami tak dapat izin dari penjaga pos. Teman baru dalam meja kopi kami kemudian nyeletuk “Sudah pernah ke Baluran mas? Disana emejing.” Seketika itu pula dalam hati aku ngomong sendiri, “gonna be a great venturing!”, sambil dia cerita ngalor-ngidul mengenai akses, akomodasi dan tempat-tempat eksotis yang harus dikunjungi di Baluran. Gelas kopi dicangkir sudah habis, larut malam dan kami harus pulang. Sesampainya di kamar kecil dekil kontrakanku, kulihat peta besar yang terpajang di dinding kamar. Kuperhatikan dengan seksama, jarak dan detail rute perjalanan menuju Taman Nasional Baluran. Setelah persiapkan bekal dan keperluan buat plesiran besok, kupandangi sekali lagi peta tadi tepat dititik Baluran ujung paling timur provinsi Jawa Timur. Besok aku kesana, kataku!
Pagi sekali, selasa 2 desember 2014, aku berangkat dari kontrakan menuju terminal Arjosari Malang. Sepeda motor kutitipkan di parkiran yang berjarak tak jauh dari terminal. Langsung ke lobi nyari bus, tak susah untuk temukan bus dengan tujuan Probolinggo. Perjalanan dari Malang ke Probolinggo ditempuh dengan estimasi waktu 2 jam 30 menit dan biaya Rp.18ribu. Dalam perjalanan keluar kota Malang, seperti biasa kutengokkan kepala ke kiri, disana selalu ada gunung Arjuno yang menyapa dari arah barat jauh, ahh rindunyaaaa…
Sampai di terminal Probolinngo, selanjutnya nyari bus tujuan Situbondo. Nunggu sebentar untuk kernet kejar target penuhi kursi bus, langsung tancap terminal Situbondo. Bus terus melaju, kantuk kadang hinggap kadang juga terang. Sembari nikmati perjalanan aku ingat punya kenangan yang nempel di beberapa tempat. Ada halte bus tempat aku dulu dan teman-teman “ngemper” nunggu bus malam-malam sepulang ndaki gunung Argopuro, juga perempatan Besuki tempat cari angkot menuju pos perizinan juga untuk ndaki gunung yang sama, di kiri jalan ada PLTU Paiton dengan julukan “The Power of Java” dan beberapa tempat lain. Makan waktu sampai 3 jam untuk sampai di terminal Situbondo dengan Rp. 20rb untuk isi dompet yang harus dikeluarkan.
Angka di arloji menunjukkan pkl 16.30. dari informasi yang kudapatkan dari petugas terminal bahwa bus tujuan Banyuwangi akan berangkat pkl 17.00 tepat untuk nunggu anak-anak yang pulang sekolah. Setelah nunggu beberapa saat, perjalanan tujuan Banyuwangi dimulai. Informasi yang didapatkan dari kernet bus, untuk sampai di Baluran harus turun di pos Batangan, sebuah kecamatan kecil yang aku tak tau masuk Kabupaten Banyuwangi atau masih masuk Situbondo. Untuk sampai di Batangan makan waktu sampai 1 jam 15 menit dengan ongkos transportasi Rp. 14rb.

 Catatan Perjalanan (Screenshots)
Aku tak ingat pukul berapa waktu itu, yang jelas hari sudah gelap. Turun di Batangan akan langsung sampai di pos perizinan masuk Taman Nasional Baluran karena letaknya yang memang disamping jalan jalur Pantura. Aku sudah tak sabar, walau malam hari maunya jalan lanjut terus, tapi ternyata ndak dapat izin dari petugas penjaga pos. Karena memang sudah gelap, dan terlalu beresiko tinggi, apalagi mauku yang pinginnya jalan pakai kaki untuk jelajahi Baluran nyeleneh kata petugas penjaga pos. Yasudah ngalah saja, sambil ngobrol disarankan buat cari penginapan untuk bermalam. Aku dapat rekomendasi dari petugas penjaga pos untuk tempat bermalam yang nyaman dengan harga cukup terjangkau, juga tempat makan murah disekitaran lokasi pos gerbang masuk TN Baluran. Langsung saja kudatangi, tapi sebelum itu mampir dulu makan nasi goreng ngisi perut biar setrong. Saat makan ini kugunakan berbincang dengan penduduk sekitar, sambal cari informasi seputar TN Baluran. Di TN Baluran banyak terdapat satwa liar dan eksotik, seperti burung merak, banteng, lutung, burung-burung dan lain-lain, juga flora beserta pantai yang juga terdapat hutan Bakau. Jarak tempuh total dari gerbang TN Baluran sampai pantai adalah 15 km. Terdapat penyewaan motor untuk sehari dengan tarif Rp. 150rb yang tentu masih bisa ditawar demi keamanan dan kenyamanan isi dompet. Mereka tanya ke Baluran sama siapa mas? Besok naik apa mas? Sendiri dan jalan kaki paklik, bulik, hehe…
Penginapan yang disarankan dari petugas penjaga pos tak jauh dari tempatku makan. Namanya bu Sahri, orangnya ramah, dan banyak dikenal oleh tetangga sekitarnya. Tarif penginapan ditempat ini untuk semalam Rp. 25rb, kalau untuk sehari Rp. 50rb, bisa ditawar. Cukup lengkap fasilitas yang disediakan, kamar tidurnya nyaman, kamar mandinya bersih, lengkap untuk ukuran orang-orang tengil sepertiku. Aku melewatkan malam disini, sambal nikmati alunan lagu-lagu Tamasya band sembari tak sabar menanti petualangan esok hari. Tak lupa aku minta bu Sahri untuk bangunkan aku besok harinya pagi-pagi sekali agar bisa segera memulai mengeksplorasi eksotisme alam Baluran.
Rabu, 3 Desember 2014, sebelum adzan subuh bu Sahri sudah mengetok pintu kamarku sambil meninggalkan teh hangat untuk kuminum. Setelah mandi, usai shalatku, aku kedepan teras rumah untuk ngobrol sejenak dengan bu Sahri, kemudian pamit. Waktu itu hari masih benar-benar gelap dan udaranya sejuk saat aku sampai di pos perizinan masuk TN Baluran. Sebenarnya TN Baluran baru buka pkl 07.00 WIB, tapi aku dihari sebelumnya sudah minta izin ke petugas untuk masuk lebih awal, dan untungnya diizinkan. Masuk ke TN Baluran cukup dikenai bea masuk Rp. 5rb saja, tapi saat ini dari yang kemarin aku dengar sudah naik entah jadi berapa. Pukul 04.30 tepat di pagi hari permai aku mulai melangkahkan kaki, yang ditunggu-tunggu datang juga akhirnyaaaaa…
Masih terasa jelas sensasi waktu itu, setiap derap langkah dari kaki rasanya begitu mendebarkan, begitu berharga buatku. Ada sebutan mengenai perasaan seperti ini, sebutannya “Vorfreude”, yakni antisipasi yang begitu intensif (atau kadang berlebihan) saat membayangkan kenikmatan atau hal-hal baru yang akan ditemui didepan. Aku tak akan malu mengakuinya, keasyikan setiap jengkalnya tak tergantikan, sama saat susuri gunung-gunung dan hutan-hutan rimba.
Tujuanku didepan adalah Savana Bekol, berjarak 12km dari pos perizinan. Akses jalan di TN Baluran terbilang sangat rapi, jelas, luas, lurus dengan sedikit belok-belokan dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Aku sengaja milih jalan kaki, hari itu aku benar-benar ingin berjalan dan berbincang lebih dekat dengan diriku sendiri.
Saat perjalanan menuju Savana Bekol ini banyak terjadi hal-hal keren, aneh, menggelitik dan sedikit menyeramkan. Aku lupa saat itu sudah masuk ke kilometer berapa saat dari kejauhan kulihat ada seseorang yang juga jalan dari arah berlawanan. Kukira dia juga seorang pejalan, seorang backpacker sama sepertiku. Lebih dekat lebih dekat ternyata pejalan tadi adalah orang gila, dengan penampilan rambut gimbal beserta semua atribut yang cocok untuk menggambarkan orang gila. Aku yang saat itu jadi merinding ndak karu-karuan karena diajak ngobrol, dan hiiiii aku milih langkahkan kaki jauh lebih cepat saja. Ternyata jauh lebih menyeramkan saat berhadapan dengan orang semacam ini, apalagi ditempat sunyi sesendirian ini. Rasanya seperti nostalgia, lama tak merasakan rasa takut yang sebegitu mencekam seperti ini. Kalau diingat kembali, lucu juga. Kemudian di kanan jalan, kalau tak salah di antara Kilometer 6-8 ada sumur mati. Ada penunjuk jalan berjarak 25 meter dari jalan. Kucoba masuk dan eksplor yang ada didalam sana. Cukup menyeramkan, ada sumur dalam yang dibatasi kayu agar pengunjung tak terperosok masuk kedalam sumur. Sayangnya foto yang kuambil sudah hilang, maafkan aku. Bicara mengenai yang menyeramkan juga ada didepan jalan tepat sebelum masuk Savana. Jadi waktu itu saat aku jalan, ada orang yang mau lewat dari sisi hutan satu ke sisi lain. Waktu itu ndak tau kami sama-sama kaget, tapi yang aneh adalah orang tadi langsung masuk kedalam hutan lagi setelah ketahui ada aku. Aku yang waktu itu belum sadar, mencari-cari bayangan itu sampai semak-semak dan taka da hasil. Setelah acuh dan kembali jalan, baru ingat ganjilnya peristiwa papasan tadi. Jangan-jangan orang yang berpapasan dengan aku tadi itu dedemit, hiii serem. Kalau dipikir-pikir memang iya, lha dia lo jalan balik ke sisi hutannya sambil ngambang dan ndak keliatan repot dengan rerimbunan semak-semak . Bari kepikiran dan merinding setelah langkahkan kaki beberapa meter dari tempat kejadian perkara, lumayan horror.
Di jalan banyak dijumpai satwa seperti monyet dan lutung, burung merak, dan burung-burung lain yang aneh-aneh dan aku kurang tau jenis spesifiknya, bahkan kadang disapai merak yang ekor indahnya sedang mekar-mekarnya, mungkin mereka mau pamer hihi. Lanjut berjalan, sambil sesekali istirahat nikmati bekal makanan dan susu cokelat dalam pelukan permai pemandangan hutan-hutan juga suara kicau burung merdu yang saling sahut-sesahutan. Udaranya juga sejuk, langit diatas terlihat biru. Saat itu aku merasa begitu melankolis, mungkin karena hari itu sedang syahdu-syahdunya.
Butuh waktu 4 jam 15 menit untuk sampai di Savana Bekol. Kulihat arloji menunjuk kurang lebih pukul 08.45. Savana Bekol ini dari pengamatanku adalah sebuah padang rumput yang luuuassss, yang waktu itu banyak rekahan di tanah dan rumput kering yang mati karena saat sedang musim kemarau waktu itu. Sesekali terlihat kerumunan banteng jawa, juga gerombolan kijang yang berlarian. Yang unik di Savana Bekol ini ada menara pandang yang memungkinkan kita dapat lihati luasan pemandangan di TN Baluran yang tentu bikin mata fresh bukan kepalang. Dari barat juga tampak gunung Baluran yang mengintip malu-malu dengan ketinggian 1247 mdpl. 

Jalan Kanan dari pos Batangan, kiri ke arah pantai Bama (Dokumentasi pribadi)
Pemandangan di Savana Bekol (Dokumentasi pribadi)
Tiba-tiba hapeku bunyi, ternyata ada pesan dari mas Andre lewat aplikasi Zello Walkie-Talkie di Android menanyakan kabarku, kujawab “sedang makan roti tawar selai cokelat dan nyeruput susu cokelat sambil nikmati pemandangan Baluran dari atas menara pendang Savana Bekol mas Andre, terimakasih informasinya saat coffee time kemarin.” Kemudian sambil terkaget-kaget ndak percaya dan ketawa-ketawa aku diperingatkan untuk berhati-hati sama monyet-monyet di Baluran. Benar saja karena tak beberapa lama kemudian ada monyet nyelinap mau geledah tas day pack-ku, ku usir si dia malah ngelamak dan akhirnya aku harus lari. Bisa repot kalau dia nganggap aku mau rebut daerah teritori kekuasaannya, untung tak terjadi duel diantara kami huahaha…
Don't be scared to walk alone. Don't be scared to like it! (John Mayer)

Aku turun, kemudian menuju padang rumput. Disini sempat berkenalan dengan mahasiswa-I daru UIN Jakarta yang sedang penelitian di TN Baluran. Pertanyaan yang melayang masih saja sama yakni “sama siapa mas?” dan jawabnya masih juga sama dengan ekspresi kekagetan yang masih juga sama dari kemarin-kemarin. Setelah pamit berpisah, dan berjalan menuju padang rumput luas yang sepi, kukeluarkan secarik kertas dengan sebuah kalimat disana. Yeyy, aku sedang merayakan ulang tahunku ternyata, happy birthday to me huaaahahahahaha…
The farther i travel, the closer iam to myself (Andrew McCarthy)
 
Di Savana Bekol juga terdapat penginapan, tapi tarif per-malam bener-bener nguras kantong, sekitar 250-400 tergantung kemampuan nego-lobi penyewa. Ya ini cuman berbagi informasi aja, barangkali aja yang kantongnya tebal bisa nginap. Tapi beneran asyik kalau backpacker-an itu ngepress uang dikantong untuk keperluan penting-penting saja. Namanya juga backpacker, harus bisa manage uang dengan baik, apalagi kalau masih mintak orang tua kan. Kemudian di Bekol juga ada petugas penjaga, jadi tak perlu kuatir kalau semisal butuh bantuan atau informasi seputar TN Baluran. 
 
If you smile when you're alone, then you really mean it (Andy Rooney)

It's OK if you've got to travel alone sometimes, you are brave enough..

Aku mampir sebentar saja di Savana Bekol, lanjut lagi menuju pantai Bama. Dari Savana Bekol ke pantai Bama berjarak 3km dengan waktu tempuh kaki kurang lebih sejam. Di pantai Bama ini pasirnya sedang saja, halus iya berbatu sedikit juga iya. Garis pantainya tak pegitu panjang, dan disamping berbatasan dengan hutan Mangroove. Yang unik di Bama adalah adanya pohon mangrove terbesar se-Asia. Aku sendiri baru tahu hal ini saat mba Lionny kirimi aku foto petualangannya ke Baluran setelah petualanganku. Dan bagaimana bisa aku melewatkan hal sekeren itu, padahal waktu itu aku sudah eksplor sedalamnya. Oiya sekedar intermezzo, temanku mba Lionny ini dia sukanya tiru-tiru perjalananku. Setelah pendakian Argopuro, kemudian Baluran. Tapi kuakui dia bener-bener keren, dan di Baluran (yang juga lanjut dia untuk eksplor Banyuwangi dan aku hanya mentok di Baluran) mba Onny ini solo travelingan. Untuk solo traveller perempuan tentu saja, EMEJING! Jadi untuk nambal kekurangan dokumentasi di catatan ini, kumintakkan beberapa foto, makasih mba...
Pohon Mangroove terbesar se-Asia (Dokumentasi mba Lionny)
Selain hutan mangrove dan eksotisme pantai Bama, traveller juga bisa menikmati petualangan lain yang juga cukup menantang dan mengasyikkan yakni Snorkling dan Kanoing. Di Bama ada penyewaan peralatan snorkl dan perahu kano dengan biaya masing-masing berurutan yakni Rp 45rb dan 50rb. Jelas aku pilih snorkl karena aku belum pernah sekalipun nyoba. Cuaca pada waktu itu sedikit mendung, dan tak ada satupun penyelam lain. Memang sedikit takut awalnya, tapi atas nama pengalaman, okelah ayo aku kemonnnn…
Ternyata snorklingan di pantai Bama tak seindah yang kubayangkan. Entah apa aku nyelamnya kurang kea rah laut yang dalam atau memang pemandangan dasar laut yang hanya gitu-gitu saja, tapi air di pantai Bama ini tergolong bersih, pantainya juga bebas dari sampah. Jujur untuk pantai aku daridulu kurang begitu suka, jadi hanya sedikit yang bisa kuceritakan mengenai pantai Bama di Baluran ini. Dan oiya di Bama juga ada beberapa penginapan, yang harganya jelas ndak kalah mahal dengan Bekol tadi. Setelah puas snorkligan aku santai sejenak sambil kumpulkan energi buat jalan pulang. Masih 15 km lagi jalan untuk sampai di pos perizinan.
Waktu jalan pulang aku sempatkan sekali lagi mampir ke menara pandang savanna Bekol. Suasana saat itu benar-benar mendukung untuk buatku takjub sedalam-dalamnya pada perjalanan ini. Saat di menara pandang, sendirian taka da orang lain, waktu itu anginnya semilir sejuk sepoi-sepoi, sumpah tak bosan-bosannya aku bersyukur. Tuhan, terimakasih atas kehidupan yang telah Kau berikan sampai saat ini, terimakasih telah berikan kesempatan buatku untuk susuri alam raya-Mu, terimakasih atas semua-muanya nikmat yang begitu syahdu ini, terimakasih…
Melaku nggawe sikhil...
Hari sudah mulai sore, aku harus berjalan 15km lagi, untuk kemudian kembali ke Malang. Di perjalanan banyak berjumpa dengan pengunjung lain yang dengan ramah menawarkan tumpangan untuk sampai di pos Batangan, dan kutolak dengan halus. Sampai saat itu lagi-lagi tak henti aku bersyukur, ternyata masih banyak orang-orang baik yang bertebaran diatas muka bumi. Kemudian saat lelah dan kaki kenyu, aku berhenti di samping jalan sambil tiduran dan pandangi pepohonan hutan yang dedaunannya sedang gugur meranggas. Ahhh hari itu benar-benar waktu yang super duper berkualitas yang kuhabiskan hanya dengan diriku seorang. Hari itu syahdu, pula sendu. BIG TIME…
Ku terbang kemana hati membawaku pergi, dan kunikmati…
Tak ingin kehilangan kesempatan tuk cumbui alam raya…
Antarkan aku ke tempat itu, tempat yang lebih indah darimu, lebih cantik darimu…
Dimana tak ada lagi waktu, untuk memikirkanmu…
(Tamasya band – Antarkan Aku)
Jangan tumbuh dewasa sebelum pernah cobai sensasi mendebarkan dalam perjalanan dengan dirimu sendiri, To travel is to live! Dan akhirnya, selamat menyusuri asyik indahnya Indonesia…