Sabtu, 16 Desember 2017

Gowes: The Three Maskentir


Ini adalah tulisan males. Aku hendak perkenalkan teman-teman yang selalu setia menemani mancal pedal. Mereka si Alvin dan Ayik. Kami telah banyak mancal ke banyak tempat sedari awal, dan mereka selalu menjadi tim inti di dalam regu penggowesan. Walau kadang seringkali disergap kesibukan, hanya dengan mancal pedal bareng regu super mini seperti ini saja rasanya sudah cukup menyenangkan. We truly had a lot of joy and happines back then and ever, semoga masih akan tetap nggenjot bareng pedal sepeda sampai mbah-mbah nanti. Genjoters: The Three Maskentir!

  
Akhir-akhir ini si Alvin sedang banyak kesibukan di akhir pekan terkait terpilihnya doi jadi pak Carik. Kapan kita mancal kemana?
 

There is nothing compare to the simple pleasure of a bike ride!
- John F. Kennedy 

Minggu, 05 November 2017

Resensi: Paradoks Indonesia



Sebuah buku hadir di meja belajar sudut ruang kamarku, oleh-oleh dari bapak yang minggu lalu ikuti undangan koleganya para Purnawirawan untuk hadir pada pertemuan akbar di Hambalang kediaman pak Prabowo. Kaget juga sebelumnya pada undangan ini, apalagi bapak yang waktu itu sedang sakit, sayang buat bapak untuk melewatkan undangan pak Prabowo. Alhamdulillah, kesembuhan datang lewat pijet buat bapak, pijetan pendekar Silat, hehe intermezzo. Sebelumnya sudah ngira, pasti pak prabowo akan kasih ‘oleh-oleh’, dan oleh-oleh terkeren menurutku adalah buku-buku yang memuat pandangan dan gagasan beliau mengenai Indonesia. Dari berbagai data, tulisan-tulisan dan bibliografi yang kukumpulkan tentang beliau, aku tak akan malu mengakui secara gamblang dan terang-terangan mendukung pak Prabowo, i am his biggest fans! Dan sekali lagi lewat buku ini, yang belum selesai proses pembacaannya namun karena saking apiknya, akhirnya ingin segera nulis dan coba meresensi walau hanya tak lebih dari lapisan luar kulit buku, ditulis dengan gaya bahasa dan gagasan-gagasan/pengetahuan pribadi penulis blog Abintaraisme. Buku tulisan pak Prabowo berjudul “PARADOKS INDONESIA: Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin, buku setebal 138 halaman yang diterbitkan oleh Koperasi Garudayaksa Nusantara.
 Pandangan beliau diawali dengan bab membangun kesadaran bersama berisi pemaparan mengenai data kemiskinan, demografi penduduk Indonesia, gejolak dan pula kondisi sosial-ekonomi-politik yang telah sangat menghawatirkan. Dimulai dari indeks Gini (koefisien dalam ilmu ekonomi tentang pemerataan pendapatan) Indonesia menurut data Credit Suisse Global Report berada pada angka 0,49. Angka tersebut berarti 1% orang terkaya (hanya 2,5 juta orang) menguasai 49% kekayaan negara. Hanya 2,5 juta orang dari sekitar 250 juta penduduk atau 1:100. Menggunakan logika paling sederhana pun, angka ketimpangan ini telah teramat besar. Angka ini diamini oleh ekonom patriotis, Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa angka ketimpangan dan kemiskinan Indonesia yang nontabene negara kaya namun salah kelola, telah hampir melebihi ambang batas kemanusiaan. Dari data demografi tersebut, 29 juta hidup dibawah ambang kemiskinan, 68 juta dikatakan miskin dan terancam kemiskinan, kemudian sisanya pas-pasan dan atau hidup bersahaja/sederhana. Ketimpangan ekonomi juga terlihat dari jumlah perputaran uang yang beredar. Hampir 65% uang beredar atau Rp. 11.500 triliun adalah terpusat di Jakarta, 25% beredar terbagi-bagi di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makassar dan kota besar lain, sedangkan sisa 10%-nya beredar di perdesaan seluruh Indonesia. Agak lupa teori ini darimana, yang jelas sewaktu dulu belajar dan jadi Asisten Ekonomi Pembangunan, definisi dari kemiskinan adalah apabila 60-70% dari total pendapatan digunakan untuk membeli bahan kebutuhan primer (pangan, listrik dan kebutuhan pokok lain), kemudian sisanya baru digunakan untuk pendidikan, kesehatan, tabungan, dll. bayangkan bila untuk kebutuhan primer saja memakan alokasi yang sedemikian banyak, pastilah untuk kesehatan, pendidikan, tabungan dll jumlahnya sangat kecil, padahal kesemuanya adalah parameter kebahagiaan guna hidup lebih layak. Data Bank Dunia, 2016 menyebut angka $3.300 atau sekitar Rp. 3,575 jt/perbulan untuk rata-rata pendapatan perkapita rakyat Indonesia (kalangan menengah dengan pendapatan nominal ini). Angka ini jauh sekali dari pendapatan rata-rata perkapita orang negara tetangga Malaysia yang diangka $9.900 atau Rp. 10,5 jt/ perbulan, dan Singapura pada angka $52.800 atau telah mencapai Rp. 57,2 jt/perbulan, negara tetangga yang cilik dan airnya saja nyuling dari Malaysia, oksigennya mintak dari hutan Kalimantan (yang bila hutan Kalimantan kebakaran, asapnya nyerang Singapura terus orang senegara pada batuk-batuk). Ternyata ketinggalan jauh banget dari orang-orang negara tetangga. Angka diatas kuhitung sendiri dengan asumsi kurs dollar Rp. 13.000,- dan di analogikan pada pendapatan perbulan agar mudah dicerna.
Masih tentang kemiskinan dan ketimpangan, indeks rasio Gini untuk kepemilikan tanah lebih menghawatirkan, yakni mencapai 0,73%. Artinya, ada 1% populasi terkaya di Indonesia yang memiliki tanah seluas 73% dari total luas tanah di Indonesia. Data BPS menunjukkan, ada 37 juta orang Indonesia berprofesi sebagai petani, lebih dari 75% nya atau 28 juta petani adalah landless farmers atau tidak punya lahan sendiri, 9 juta petani menggarap sawahnya dengan lahan tak seberapa. Ironi, Indonesia negeri yang terkenal karena kesuburan lahan taninya, tapi petaninya tak punya lahan, sampai-sampai harga beras bisa 2x lebih mahal dari beras impor Vietnam. Kalau sudah diserahkan pada harga pasar, para eksportir dan pengusaha lebih memilih impor dari Vietnam karena lebih menguntungkan dari sisi harga. Kalau terus-terusan impor dan hasil tani dalam negeri dibeli dengan harga murah karena kalah bersaing dengan pasar Thailand atau Vietnam, lama-lama petani enggan bertani, lebih memilih bermata pencaharian lain, tsnsh pertanian banyak terjual karena pertanian tak menjanjikan, tanah-tanah bukan lagi ditanami aneka padi umbi dan buah-buahan, melainkan bertransformasi menjadi sawah beton perumahan dll. Harus ada mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah yang lebih baik pada bidang pertanian dan pertanahan untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian pangan negara, seperti yang tertulis di buku Herman Khaeron. Meminjam kalimat pak Prabowo, “bagi saya kekayaan yang hakiki adalah kepemilikan tanah.”
Kemudian pembahasan berlanjut pada berbagai kondisi buruk yang dialami Indonesia, semuany dilihat dari sudut pandang makro-ekonomi yang mengerucut ke mikro dengan berbagai multiplier effect yang pasti timbul akibat ketimpangan kondisi makro indonesia. Dalam pandangan pak Prabowo, ada 2 tantangan besar yang harus dihadapi oleh segenap bangsa indonesia. Tantangan besar #1 adalan Kekayaan Indonesia Mengalir ke luar Negeri. Pak Prabowo menyebutnya dengan istilah “Net Outflow of National Wealth” yakni negara kita tidak mempunyai simpanan kekayaan di dalam negeri, “there is no national wealth”. Menyimak tabel neraca ekspor-impor Indonesia dari tahun 1997-2014 dan sekarang total nilai ekpor mencapai Rp. 24,7 triliun. Kemudian menurut pernyataan dari Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro 2016, bahwa ada lebih dari Rp. 11rb triliun (kalau ditulis lengkap begini Rp. 11.000.000.000.000.000,- andai nolnya nggelundung satu dan masuk ke rekeningku) uang milik pengusaha atau perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang disimpan diluar negeri, jumlah ini 5x lebih besar dari APBN saat ini (kurang lebih Rp. 2000 triliun). Dengan kata lain, sebanyak lebih dari 1000 triliun rupiah kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri, kebocoran dana ini yang selalu disebut-sebut dan selalu diwanti-wanti oleh pak Prabowo sejak lama-lama sekali, namun dicibir banyak orang karena ketidakpercayaan mereka pada data-data yang didapati. Kebocoran ini terjadi akibat keuntungan ekspor Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing yang tak dilaporkan karena lemahnya mekanisme pengawasan. Perusahaan asing menguasai 94% transportasi barang untuk ekspor dan impor, penelitian dari Indonesia for Global Justice. Perusahaan-perusahaan ini menjual hasil alam Indonsia, menggunakan jalan, pelabuhan dan keringat orang Indonesia, dan ketika mendapat untung, keuntungannya tak disimpan di Indonesia. Mungkin ini yang dinamakan neo-imperialisme, penjajahan model baru. Sama seperti penjajahan jaman belanda, yang menurut penelitian dari Chulalongkorn University yang membuka arsip-arsip kuno catatan resmi pemerintah Belanda, bahwa pada tahun 1878 sampai 1941, keuntungan Belanda bila dibandingkan dengan anggaran belanda untuk menjajah Indonesia adalah 54 miliar Gulden, atau bila dikonversi ke mata uang sekarang jumlahnya menjadi Rp. 66.599 triliun.
 Ini masalah besar bagi Indonesia. Lemahnya pengawasan dan mengalirnya keuntungan (kebocoran) negara yang harusnya disimpan di dalam negeri, dana yang dapat digunakan untuk pembangunan Indonesia ini disimpan di bank-bank luar negeri. Bank-bank dalam negeri tak punya cukup uang untuk memberikan kredit yang dapat membangkitkan ekonomi. selanjutnya adalah opini pribadi berdasarkan buku-buku yang pernah kubaca, bahwa kredit yang dimaksud disini adalah kredit dalam artian luas, kredit kepada pemerintah, kepada perusahaan korporasi untuk tender pembangunan infrastruktur, kredit usaha rakyat dll (parameter negara maju adalah lebih dari 20% penduduknya berwirausaha, sedangkan Indonesia baru kurang dari 4% entrepreneur dari total jumlah penduduk yang kebanyakan sebagai pekerja). Ketersediaan dana dalam jumlah besar yang apabila kebocoran dana dapat dihentikan tadi juga dapat berimbas pada penguatan tingkat suku bunga dalam negeri yang rendah dan murah. Suku bunga rendah ini yang disebut bunga non-ribawi oleh tokoh ekonom religius orde lama, Sjafrudin Prawiranegara (salah satu dari 3 tokoh begawan ekonomi, selain Prof. Soemitro Djojohadikusumo bapak dari pak Prabowo). Dalam hematnya, ekonomi ribawi dimaksudkan dengan bunga yang eksploitatif, gampangnya yakni bunga yang terlalu mahal dan memberatkan debitur. Apabila tersedia banyak dana di dalam negeri, dan dengan regulasi yang baik dari pembuat kebijakan, bunga bank akan ditekan pada tingkat terendah. Permintaan kredit dalam satu sisi akan semakin banyak akibat stimulus bunga rendah. Karena banyaknya dana yang tersedia pula, bunga akan menjadi rendah, bunga yang rendah akan menjadi stimulus bagi iklim usaha dalam negeri, korporasi dan pemerintah. Bunga oleh bank dan keuntungan dari bisnis perbankan lainnya digunakan untuk biaya operasional perusahaan seperti biaya perawatan infrastrukturnya, buat gaji pegawainya, pengembangan inovasi baru perusahaan, perawatan mesin-mesin, dan biaya jasa yang disediakan oleh bank kepada konsumen. Akan banyak lahir wirausahawan, jalan-jalan yang rusak akan mudah diperbaiki, pelabuhan-pelabuhan dan pasar tradisional akan semakin mudah diakses, dan kemudahan akses akan berimbas ultra-positif pada pertumbuhan ekonomi negara baik mikro maupun makro. Namun apabila dana dalam negeri mengalir banyak keluar, kurangnya pundi rupiah dalam negeri untuk pembangunan mengakibatkan Indonesia harus berhutang ke negara luar, IMF (International Monetery Fund) dan atau bank dunia. Utang Indonesia saat ini sudah lebih dari Rp. 4rb triliun, yang artinya bila ditanggung seluruh warga Indonesia, dijidat setiap penduduk Indonesia tertulis “si Fulan ini orang Indonesia yang punya hutang ke IMF, World Bank dan negara anu sebesar Rp. 16 juta”. Bahkan ada klausula; 1) Tidak boleh punya industri, dukungan pemerintah kepada industri-industri strategis seperti agro, dan pengembangan industri penerbangan harus dihentikan 2) serahkan rupiah ke pasar. Yang baru disebut tadi adalah salah satu klausula dari MoU antara Indonesia dan IMF pada 1998 terkait hutang indonesia. Akibatnya sangat buruk, industri-industri dalam negeri menjadi lemah dan akhirnya tergilas oleh industri asing yang invansi ke indonesia. Nilai rupiah kita mengalami pelemahan 3.400.000.000% seak tahun 1949 (Cati Institute, 2015). Mata uang adalah cermin produktivitas suatu bangsa. Kalau tidak produktif, mata uang tidak kuat, maka ekonomi kita akan menjadi bancakan negara lain, demikian kata pak prabowo. Selanjutnya Singapura adalah kreditor (pemberi kredit) terbesar untuk Indonesia, yamg kemudian disusul jepang dengan angka $53 miliar untuk singapura dan $33 miliar untuk Jepang. Baiklah mari kita telisik mengapa demikian.

Jumlah penduduk Singapura 50x lebih sedikit dari indonesia. Ekonomi Singapura hanya $300 miliar, 3x lebih kecil dari ekonomi Indonesia. Namun bank-bank terbesar Singapura bisa 6x lebih besar jumlah dana yang disimpan maupun asetnya dari pada bank-bank terbesar Indonesia apabila dijumlahkan. Secara matematika tentu tak logis, pertanyaannya adalah siapa pemilik uang yang tersimpan dalam bank-bank Singapura itu kalau tidak dana-dana dari Indonesia yang bocor. Kemudian dana besar simpanan dari keuntungan perdagangan di Indonesia yang disimpan di bank Singapura tadi digunakan untuk memberi utang kepada Indonesia. You know what it means? It means Indonesia berhutang pada keuntungan usaha dalam negeri yang kemudian oleh pengusaha-pengusaha dalam negeri secara ilegal disimpan di bank singapura dan dialirkan kembali oleh Singapura ke indonesia. Dari transaksi ini Singapura mendapat keuntungan dari bunga pinjaman dan total jumlah dana yang tersimpan kemudian menjadi aset dan dapat diputar untuk pembangunan dalam negeri singapura. Untuk hutang pada Jepang dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar otomotif yang sebagian besar merk-merk mobil dan motor adalah dari Jepang. Walaupun ada yang pabriknya di indonesia, tapi tetap saja keuntungan yang didapat nantinya akan dialirkan ke Jepang. Mereka dapat kemudahan bahan baku, tenaga kerja yang murah, pangsa pasar yang besar pula di Indonesia. Seorang ekonom indonesia menemukan fakta bahwa setiap $1 miliar investasi asing yang tertanam di Indonesia dalam satu tahun akan menghasilkan untung $12 miliar dan keuntungan ini dialirkan ke luar negeri, begitu juga yang dilakukan oleh Jepang. Menurut pandangan dalam buku ini, Indonesia harus berani memulai investasi di kandang sendiri, tapi bukan anti investasi asing. Mengenai masalah mobil nasional, Singapura sudah belasan tahun lalu berani memproduksi mobil dalam negeri sendiri, dengan merk dagang Proton. Indonesia katanya kemarin mau mulai produksi mobil SMK dari Solo, tapi sepertinya hanya alat politik pendompleng popularitas buat maju pilpres kemarin karena buktinya sampai saat ini tak ada lagi dengung kelanjutan proyek mobil nasional. Kami mengandai ada pemimpin yang bilang: “saya tidak katakan kita perlu boikot barang asing, tidak. Tapi Indonesia selalu punya kemampuan dan kreatifitas, bagaimana kalau kita rebut 10% saja pasar kita. Kita buat 100.000 mobil nasional beneran, bagaimana?”. Menurut pak Prabowo, sebenarnya Indonesia bisa. Indonesia pernah punya pabrik kapal dan pesawat sendiri dan akan punya di masa depan jika negara dikelola dengan baik. Contoh lain yakni senjata dalam negeri buatan PT. Pindad Bandung yang antarkan TNI jadi juara umum 9x berturut-turut sampai saat ini dalam kompetisi menembak tentara antar negara, harusnya kita bangga produksi dalam negeri. Kemarin waktu sarapan hendak berangkat kerja, di TV ada berita, akan segera diproduksi masal sepeda motor listrik yang tak kalah unggul dari produk Jepang, buatan ITS Surabaya, merk dagang GESITS, semoga lekas terlaksana.
Untuk mengejar ketertinggalan angka PDB (Produk Domestik bruto) per kapita yang menjadi standar sederhana ukuran kesejahteraan rakyat suatu negara, pertumbuhan ekonomi indonesia harus segera tumbuh rata-rata 7% dalam 5 tahun ‘pertama’ dan setelahnya tumbuh dua digit menjadi minimal 10% pertahun selama 10 tahun berikutnya. PDB perkapita harus lebih tinggi dari $13.000 per tahun untuk jadi negara berpenghasilan atas. Walaupun berat sebenarnya, tapi hal ini bukan tak mungkin. Strateginya yakni mencegah kebocoran seoptimal mungkin, perbaikan industri dalam negeri, penerimaan dari sisi pajak harus lebih didisiplinkan. Saat ini rasio pajak indonesia, yaitu persentase penerimaan negara dibandingkan dengan besaran PDB berkisar dibawah 11%. Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN, apalagi bila dibanding rata-rata negara EOCD (eksportir minyak) sebesar 34%. Jika rasio pajak naik 16% saja (sama dengan negara dari dunia ketiga yakni Zambia), maka penerimaan negara akan bertambah kurang lebih Rp. 500 triliun. Jumlah ini lebih besar dari defisit APBN 2017 yang artinya negara tidak perlu cetak utang lagi dari luar negeri. Orang-orang Zambia saja bisa, masak Indonesia ndak iso?
Permasalahan serius mengenai kebocoran dana tadi, dapat dibayangkan betapa banyaknya manfaat yang dapat didapat apabila dana tersebut disimpan dan dialirkan di dalam negeri. Mungkin tak akan ada ruang kelas rusak pada 74% ruang sekolah SD, 71% ruang kelas SMP, 54% ruang kelas SMA (Data Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, 2016). Mungkin kualitas pendidikan Indonesia akan jauh lebih baik bila dana tersebut untuk pengembangan pendidikan, perbaikan iklim pendidikan dalam negeri, pemuliaan dan penambahan guru-guru dan tenaga pengajar, penyediaan buku-buku  dan alat-alat laboratorium, biaya pendidikan murah, dan kualitas pendidikan Indonesia akan jauh lebih baik dibanding sekarang yang berada di urutan No. 65 dari 73 negara dalam survei PISA (Programme for international Student Assesment). Dengan perbaikan ekonomi dalam negeri, mungkin angkatan kerja lulusan SD yang selama ini mendominasi di angka 40% (Kemendikbud, 2016) akan berkurang berganti dengan tenaga-tenaga kerja lulusan sekolah lebih tingi yang lebih ahli dan mampu bekerja kreatif, tak hanya sekedar jadi buruh kasar. Buruh kasar masih banyak yang belum berpekerjaan, gitu saat ini sedang hangat berita (jarang kena ekspose media) banyak pekerja asing dari Tiongkok menyerbu Indonesia. Mungkin dengan tidak bocornya pendapatan negara, tidak akan ada 1 dari 3 anak-anak Indonesia mengalami gagal tumbuh, yang dengan indeks kelaparan global berada pada angka 21,9 atau salah satu dari yang tertinggi di dunia. Anak-anak Indonesia haruslah tumbuh dengan kuat, sehat dan cerdas untuk meneruskan perjuangan pahlawan dan cita-cita kemerdekaan. Dengan perbaikan ekonomi dalam negeri, konsumsi buah terendah di Asia takkan berpredikat ke Indonesia, ironi negara agraris dan subur (Fakultas Kedokteran UI, 2016). Dengan tidak bocornya pendapatan negara, mungkin pendapatan perkapita indonesia akan naik, pembangunan infrastruktur akan lebih masif dan merata sampai ke pelosok-pelosok di daerah terpencil, jalan-jalan akan dibangun dan diaspal lebih halus dan kuat sehingga mengurangi jumlah kecelakaan, petani-petani akan mendapatkan harga yang baik untuk hasil panen mereka, atau terbantu dari bahan saprotan sebagai bahan bertani, pupuk-pupuk akan bersubsidi dan mudah didapatkan.
Tantangan besar bagi bangsa Indonesia #2 adalah Demokrasi indonesia Dikuasai Pemodal Besar. Mungkin dalam bab ini, pendapat pribadi penulis tulisan ini akan lebih mendominasi daripada isi resensi buku. Saat ini Indonesia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat menghawatirkan. Banyak sekali pemimpin tak berkompeten yang dapat dipilih dengan kekuatan uang, dan keadaan ini sudah bukan rahasia, bahkan sangat sekali terlihat. Pemimpin yang tak berkompeten karena dipilih dari proses demokrasi yang cacat, bukannya mengamankan dan menjaga kepentingan rakyat tapi malah menjual negara kepada pemodal besar. Dalam buku ini, pak prabowo menganalogikannya dengan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Aku suka sekali pewayangan Baratayudha, Pandawa the good guys, orang-orang baik yang mau berjuang demi kemaslahatan umat, melawan para Kurawa, orang-orang yang hidunya didorong oleh keserakahan, sudah punya banyak masih ingin lebih. Sama seperti dalam Al-qur’an yang telah memperingatkan akan datangnya orang-orang serakah yang apabila 7 bumi beserta isinya diberikan padanya, mereka takkan pernah merasa cukup. Kurawa, para pemodal besar, kaum borjuis, dari bangsa sendiri maupun bangsa asing, mereka suka indonesia dipimpin oleh pemimpin yang lemah, pemimpin yang korup dan dungu, agar dengan pemerintahan boneka ini kepentingan ekonomi dan kekuasaan mereka tak diusik para Pandawa.
Telah banyak sekali kita saksikan bersama bagaimana demokrasi negeri ini telah koyak, bahkan bisa sampai tingkat terkecil sekalipun. Permainan Money Politic sudah tak asing terjadi dimana-mana. Pada tataran ataspun demikian, media telah sangat mampu menguasai dan menggiring opini rakyat untuk pro atau kontra pada kebijakannya. Parahnya lagi, beberapa media massa disinyalir terlalu berpihak pada golongan tertentu yang berkepentingan. Apa kepentinganya? Bisa saja untuk merebut kekuasaan, membuat kebijakan yang pro untuk diri dan golongannya. Bung Karno dan Bung Hatta telah berkali-kali mengingatkan bahwa demokrasi di negeri ini harus demokrasi kerakyatan, bukan demokrasi borjuis. Aku pernah membaca disebuah literatur bahwa syarat agar demokrasi yang baik dapat diwujudkan dalam sebuah negara ada 3; media yang menyampaikan informasi dengan jujur dan terbuka, rakyat negaranya yang telah mapan pengetahuannya dan kondisi ekonomi yang kondusif. Coba kita cross check apa yang ada di indonesia saat ini. Oligarki media makin menjadi. Dengan bahasa dan penyampaian yang halus, opini dapat dengan mudah digiring kepada suatu topik tertentu agar rakyat percaya pada sebuah wacana. Hal ini diperparah dengan banyaknya jumlah penduduk yang belum begitu baik dalam melakukan perbandingan dan pengkajian ulang informasi-informasi yang diterima. Orang makin jarang berdiskusi atau bertukar pikiran. Begitu melahap sebuah wacana A misalnya, langsung ngetweet, update status dan cerita di medsos tanpa melakukan pegecekan kebenaran berita yang sedang dibagikan. Sangat banyak sekali pelintiran-pelintiran informasi yang beredar dewasa ini, masyarakat dibombardir dengan informasi-informasi yang mengambang tingkat kevalidan dan kebenarannya, dan hal ini apabila tak disaring akan sangat membahayakan. Adolf Hitler bekata “kebohongan sejarah yang diulang-ulang seribu kali pada akhirnya nanti akan menjadi kebenaran!”
 Sudah bukan rahasia umum kalau di negeri kita ini medianya bisa dipesan, lembaga survey bisa dipesan untuk unggulkan calon tertentu atau sudutkan wacana tertentu. demokrasi yang kadang daftar pemilihnya bisa dipesan, seperti yang terjadi contohnya di Pemilukada DKI jakarta 2012 yang jumlahnya belasan ribu dan di Pemilu 2014 yang jumlahnya jauh lebih besar, namun tak di blow up oleh banyak media karena mungkin saja telah menangkan pemimpin yang disokong medianya, disokong untuk jadi boneka dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembuatan kebijakan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan sosial (LP3ES, 2014) bahkan menyebut potensi penyalahgunaan daftar pemilih bisa sampai 20% dari jumlah total suara. Selanjutnya adalah opini pribadiku, maaf kalau mungkin terlalu melenceng, namun sebagai warga negara yang baik, warga negara yang ingin melihat negaranya kembali jaya, adalah sudah menjadi hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat. Dengan begitu ringkihnya sistem demokrasi Indonesia saat ini, dan banyaknya penduduk yang belum mapan teredukasi dengan baik, mungkin alangkah lebih baik apabila pemungutan suara dilakukan dengan sistem berjenjang berdasarkan tingkat pendidikan. Misal penduduk tak sekolah satu suaranya dihitung 1, tamatan SD dihitung 2 poin, tamatan SMP dihitung 3, tamatan SMA dan selanjutnya Sarjana, Megister, Doktoral, Profesor, dan mungkin gelar-gelar lain seperti ketokohan masyarakat dll misal kiai, pamong desa, guru, pastur, dll yang jelas parameter penentuan jumlah poin suaranya. Karena logikanya tak mungkin seorang tamatan SD misalnya bisa disandingkan pengetahuannya dengan seorang Sarjana Megister yang selalu dapat mengupdate informasi dengan baik, atau bahkan yang Sarjana saja memiliki gap pengetahuan yang jauh dengan seorang Doktor. Kemudahan akses informasi menjadi hal yang signifikan. Banyak mana jumlah seorang Kiai dengan rakyat biasa? Pastilah banyak jumlah rakyat biasa. Misalnya saja terjadi money politic, seorang calon A memiliki banyak uang dan mampu menggiring opini rakyat biasa dengan kekuasaan media yang dimilikinya atau dengan serangan fajar berupa uang untuk membeli hak suara rakyat biasa yang kita anggap saja kurang teredukasi. Kemudian ada seorang calon B yang tegas, berkompeten, jujur dan bersih, tidak mau memakai cara-cara curang, dan ketulusan maksud baik dari pemimpin B ini ditangkap oleh kebijaksanaan para Kiai, pastur, tokoh masyarakat dan ustadz-ustadz atau tokoh bijak lainnya, atau sarjana-sarjana yang telah melek sumber akses informasinya dengan baik. Bayangkan seorang suara Kiai dan orang-orang bijak dianggap sama nilainya dengan suara seorang biasa yang pastinya jumlahnya jauh sekali lebih banyak, kemana menguapnya pengetahuan, kebijaksanaan yang dimiliki seorang Kiai dan tokoh-tokoh bijak yang telah berproses selama bertahun-tahun tadi apabila hanya dihitung 1 suara, sama dengan rakyat biasa yang opininya telah tergiring oleh media atau oleh uang. Bilamana negara dipimpin oleh sistem demokrasi “grudukan” seperti sekarang ini, pastilah cepat atau lambat sistem pemerintahan negara akan rapuh karena dipimpin oleh pemimpin berasaskan keuangan yang maha kuasa. Mungkin ini pemikiran yang membahayakan, tapi kembali lagi, ini hanyalah opini dari seorang warga biasa yang ingin melihat bangsanya kembali jaya. Mari sama-sama mengingat kembali Sila ke-4; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan...”


Tadi telah dibeberkan kondisi negara saat ini yang sebenarnya jauh lebih rapuh bagi mereka yang mau memikirkan negaranya. Bahkan banyak penulis-penulis dan ekonom dari barat melalui tulisannya memprediksi kalau indonesia terus terpuruk dan rakyatnya tak sadar betapa genting situasi negaranya, maka di tahun 2030 takkan ada lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masih jelas diingatan bagaimana Yugoslavia dan Uni Soviet terpecah dan terbagi-bagi menjadi negara kecil-mengecil, Indonesia harus waspada dan mari galang persauan. Pak prabowo telah menyampaikan juga dalam buku ini, strategi untuk Indonesia ke depan bila mau jadi negara jaya. Salah satunya kembali pada Ekonomi Konstitusi, seperti UUD Pasal 33 yang telah sangat gamblang menjadi haluan ekonomi negara yang selalu diingatkan bung Karno dan bung Hatta yakni ekonomi kekeluargaan, ekonomi kerakyatan, ekonomi yang berpihak kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang sudah kuat silahkan maju, yang lemah mari sama-sama diangkat. Para Founding Fathers indonesia telah merumuskan dengan sebaik-baiknya bagaimana ekonomi harus dijalankan. Yang baik dari Kapitalisme dijalankan, yang baik dari Sosialisme dijalankan, akhirnya menjadi ekonomi jalan tengah. Kapitalisme baik karena mendorong inovasi dan perbaikan produk dari persaingan bebas yang terjadi antar pelaku ekonomi, namun apabila tanpa kontrol dari stakeholder, yang kuat akan makin kuat dan yang kalah persaing akan layu dan mati karena tak memiliki kontrol dan harga diserahkan kepada pasar, tentu saja ini buruk. Dari ekonomi sosialisme, negara menjamin kehidupan rakyatnya, namun alangkah sangat utopis sekali apabila semuanya harus dibagi sama rasa dan sama rata. Bayangkan penghasilan pengangguran dan seorang dokter memiliki penghasilan yang sama, tentunya sangat tidak mungkin karena negara tidak menghargai kerja keras warganya, investasi akan sangat lesu dan inovasi-inovasi untuk berkembangnya industri akan seret. Tokoh pencetus ekonomi Sosialis ini dari yakni Karl Marx, lumayan pernah banyak baca tulisannya dan hafal dengan adagium; Sell a man e fish, he eat for a day. Teach a man how to fish, you ruin a wonderful business opportunity!” Akhirnya diambillah ekonomi jalan tengah, the third way economy, ekonomi kerakyatan. Kalau kupikir ini hampir sangat mirip dengan Sistem ekonomi Islam, yang menghargai kerja keras pemeluknya, silahkan yang mau berusaha lebih pasti akan mendapat lebih pula, namun jangan lupa untuk berzakat maal. Dalam ekonomi kerakyatan, sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai seperti bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepeningan rakyat. Tidak seperti yang terjadi baru-baru ini terjadi pada reklamasi teluk jakarta, PT Freeport yang telah dikeruk kekayaan alamnya bertahun-tahun (perjanjiannya negara hanya dapat untung 1% tiap tahun), dll yang banyak sekali terjadi di Indonesia.
 Dari segi Ekonomi, indonesia memiki potensi yang sangat besar. Dalam bidang pertanian, iklim Indonesia yang tropis merupakan keunggulan komparatif yang tak dimilki bangsa lain. Pohon yang ditanam di Indonesia dalam 5 tahun bisa ditebang, di negara subtropis butuh 25 tahun baru bisa ditebang. Sejarah juga berkata, penjajah dari barat datang ke Indonesia mengambil apa kalau tak mengambil pala, rempah, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya. Pertanian Indonesia harus benar-benar diperhatikan, pesan pak prabowo dalam buku ini. Sarana dan prasarana harus diperbaiki, sistem irigasi penyediaan traktor dan mekanisasi pertanian, pupuk harus murah dan baik, hulu ke hilir harus terkoneksi dengan baik, pasar diciptakan dengan penentuan harga atap dan dasar yang menguntungkan petani, penjaminan pertanian dilakukan dengan baik, 11 juta hektar lahan yang masih menganggur perlu dibuatkan kebijakan yang baik agar dapat dimanfaatkan, pabrik-pabrik agroindustri didirikan dekat dengan kawasan pertanian. Pertanian dalam arti luas kata itu, kelautan, perikanan, perkebunan. Kalau mau negara kuat, rakyatnya juga kuat karena makan bergizi dan cukup. Bahan makanan harus mudah didapat dengan harga murah. Kemandirian pangan ditegakkan, kedaulatan pangan dikuatkan. Kedaulatan bahwa negara tak perlu impor, tak perlu ada bahan pangan masuk sekian ke Indonesia. Kemandirian pangan bahwa indonesia mampu produksi sendiri kebutuhan dalam negerinya, tak perlu banyak mengimpor dari luar negeri. 1 dari 3 orang Indonesia saat ini bermata pencaharian sebagai petani. 40% dari orang Indonesia yang miskin juga bekerja di sektor agrikultur (Badan Pusat Statistik, 2016). Kalau pertanian baik, maka kondisi ekonomi penduduk akan makin kuat. Perputaran uang tak lagi ada di kota-kota besar, tapi perlahan akan mengalir menuju desa-desa yang nontabene sentranya pertanian. Mengenai pangan ini aku banyak mendapat sumber dan pengetahuan bagus dari buku referensi karya Herman Khaeron, kebetulan skripsi dulu juga membahas tentang pangan. Ingin sekali rasanya kembali belajar mengenai ekonomi pembangunan utamanya pertanian, insyaAllah. Dan apa yang diingatkan pak prabowo mengenai penguatan pangan negara ini, aku jadi ingat satu kalimat dalam buku herman Khaeron yang akan kukutip sebagai berikut, kalimat dari Henry Kissinger; “Control oil you control he nation. Control food you control the people!” semoga akan datang bagi Indonesia pengontrol, pemimpin, penguasa yang baik budinya, cakap intelektualnya, dan kuat kebaikan hatinya.

Akhirnya sebagai penutup, adalah artikel yang kusimpan rapi sejak tanggal 14 Agustus 2012 berjudul ‘Indonesia Butuh Pemimpin Otoriter’. Budayawan Radhar Panca Dahana menegaskan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan seorang diktator yang baik hati atau benevolent autocrats. Menurutnya, saat ini sistem politik, sosial dan ekonomi dibangun atas dasar negosiasi. “Tidak ada kepastian, dan cenderung memenangkan kaum elite pemilik modal”. Konsep benevolent autocrats pertama kali muncul dalam riset profesor New York University, William Easterly. Menurutnya, negara-negara yang tidak demokratis cenderung bisa bertumbuh pesat secara ekonomi, karena peran para pemimpin yang otokratik. Maksud dari otoriter disini adalah tegas, berani berpegang teguh pada prinsip kebaikan. Pada sosok pak Prabowo, kutemukan kriteria itu. Pada halaman 67 buku ini menanggapi kekuatan asing yang ada di Indonesia, pak prabowo menulis; “Prabowo tidak bisa jadi kacung kamu! Indonesia tidak mau jadi kacung kamu! Kita mau jadi sahabatmu. Kita mau jadi kawanmu. Kita mau jadi mitramu, tapi kita tidak mau jadi kacung siapapun di dunia.” Aku juga masih ingat bagaimana bapak bercerita tentang pak Prabowo pada awal-awal pak Prabowo merintis karir di TNI, turun-temurun ini diceritakan di kalangan tentara tentang pak Prabowo yang selalu menenteng ransel berat bahkan ketika operasi militer berjalan di hutan, yang ternyata berisi buku-buku sosial politik ekonomi. Seorang Perwira TNI Indonesia yang paling banyak memimpin operasi militer, nasionalisme dan patriotisme ini tak terbantahkan. Pelopor yang menjadikan Indonesia negara Asia Tenggara pertama yang mampu kibarkan bendera merah putih di puncak gunung Everest, Top of the world, sebagai seorang pendaki dan warga negara yang mencintai bangsanya tentulah perasaan bangga ada di dalam dada. Dan banyak lagi cerita-cerita lain tentang pengabdian seorang Prabowo. Semoga njenengan pak Probowo dapat terus mengabdikan diri dan berkesetiaan teguh bagi Indonesia. Semoga kami ikut terbakar api semangat yang kobar bagi Indonesia. InsyaAllah, para Pandawa negeri ini akan terlahir. Indonesia Jaya, MERDEKA!!


Bojonegoro, 28 Oktober 2017
Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Firman Sentot Abintara P.