Minggu, 17 Juli 2016

Mount Biking ke Bukit Tambang Galian Kalsium

Berawal dari sebuah informasi sederhana beserta foto yang lagi ngehits dari Instagram, aku Alvin dan Gendys di minggu 8 mei pagi hari bertekad main ke tempat itu dengan kembali mancal pedal sepeda (biar ndak mainstream). Tujuan kami adalah bukit kapur bekas tambang galian kalsium yang terletak di Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban (Belakang SMA 1 Rengel). Untuk mengaksesnya, seperti biasa dari Kanor kami harus sebrangi dulu bengawan Solo menaiki perahu yang selalu siap sedia mengamankan akses transportasi Kanor, Bojonegoro – Rengel, Tuban. Dari desa di pinggir bengawan Solo Rengel ini, kemudian menuju ke arah jalan raya. Sampai di pertigaan, kalau ke kiri menuju pasar rengel dan naik ke perbukitan yang biasanya kami kunjungi saat tahun baru, kali ini kami harus ke kanan.
Sebenarnya tak begitu tahu juga jarak dan medan yang harus diakses untuk dapat sampai di lokasi, dan kami mampir sejenak di warung pinggir jalan untuk seperti biasanya, njajan gorengan tempe anget dan nyeruput kopi susu, mantabsssss. Disini kami juga menggali informasi dari simbok penjual di warung, syukur sekali karena lokasinya tak begitu jauh.
Singkat cerita kami sampai. Bukitnya keren, sensasinya kaya main PS Downhill, dan ini kami main beneran. Bukit ini didominasi perbukitan kapur, kemudian karena digali akhirnya membentuk cekungan yang begitu besar. Cekungan ini dikala hujan menampung debit air berwarna hijau (terkait kandungan kalsium) yang lumayan banyak dan kemudian terbentuk menyerupai danau. Keren sekali...
 
 
 
 
 
 
 
Satu tempat sederhana yang tak kalah indah telah berhasil dikunjungi, selain indah tentunya: Instagrammable!
Mission accomplished, sir.

Gowes “Watu Semar” Alun-alun Jenogoro



Kali ini aku akan coba tuliskan cerita gowes yang menurutku pribadi pada awalnya sebenarnya kurang begitu menarik, namun ternyata ada beberapa sisi unik yang harus ditekankan dalam tulisan disini.
Pagi hari di 27 Maret 2016, sedang libur lumayan lama dan bisa pulang dari pelatihan ADP di Surabaya. Bersama Alvin, Gendys dan Faras (kelas 5 SD, keponakanku) kami mancal pedal untuk gowes ke “Watu Semar” Alun-alun Bojonegoro. Kami sudah koordinasi sebelumnya, namun untuk si Faras, pagi itu dia datang ke rumah ditemani pakde dan minta diajak sepedaan. Awalnya aku ragu, si Faras apa kuat gowes kurang lebih 25 km, tapi setelah lihat semangatnya, okelah Faras masuk dalam rombongan kecil gowes sederhana ini. Faras mancal dengan senangnya, tergurat sebuah semangat dalam raut wajah yang masih malu-malu dan banyak diam dalam perjalanan (baru pindah dari Mojokerto). Yang paling bikin kaget itu ternyata keponakanku yang baru kelas 5 SD ini memiliki daya tahan yang prima, lebih kuat dari Alvin dan Gendys yang berkali-kali ajak untuk berhenti istirahat sejenak.
Singkat cerita setelah melalui perjuangan yang tak begitu “ngoyo”, bagiku dan Faras bukan bagi Alvin dan Gendys, kami sampai di Alun-alun Bojonegoro, taman yang jadi kebanggaan wong jenogoro. Alun-alun kota jenogoro cukup luas, terletak di pusat kota bersebelahan dengan kantor bupati dan gedung Pemkot Bojonegoro, dekat Masjid Agung dan juga pasar tradisional Bojonegoro. Kalau stadion kebanggan Bojonegoro dinamai Letjend Soedirman, maka untuk alun-alun kota ini digunakan untuk mengenang jasa pahlawan lainnya, yakni Lettu Soejitno. Jujur saja aku belum begitu tahu banyak mengenai cerita keduanya dan akan segera kucari tahu. Mungkin selanjutnya kalau besok ganti aku yang jadi Bupati (huahahaha), akan kubangun juga sebuah monumen yang mengenang jasa RM Tirto Adhi Soerjo, pahlawan pertama perintis pers Indonesia, asli Bojonegoro, ditulis dalam buku tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta T., sebagai “Minke” (aku amat sangat mengidolai sekali banget buku ini). RM Tirto Adhi Soerjo dituliskan pula dalam buku mbah Pram yang lain dalam judul “Sang Pemula”, kesemuanya sudah selesai kubaca, benar-benar keren!
 
 
Hal unik lain yang dapat dijumpai di alun-alun kota Bojonegoro adalah “Watu Semar”.  Watu Semar merupakan sebuah bongkah batu besar berwarna kuning keemasan dengan ukuran panjang dan lebar 4m, serta tinggi sekitar 3m (perkiraan menurutku). Informasi selanjutnya kubrowsing dari internet untuk lebih memberi power pada tulisan ini. Watu Semar memiliki berat 80 ton, dipindahkan dari tempat “semedinya”di kawasan hutan Ikut, Dusun Bendotan, Desa Krondonan, Kecamatan Gondang, Bojonegoro. Watu semar, disebut demikian karena memang bentuknya yang mirip tokoh pewayangan Jawa yakni Semar, yang kemudian ditularkan oleh penduduk sekitar secara Gepok tular atau dari mulut ke mulut. Dipercayai penduduk sekitar bahwasannya Watu Semar merupakan tempat peristirahatan eyang Gendro Sari sepulang pertapaan dari puncak Gunung Pandan. Eyang Gendro Sari merupakan sesepuh yang dituakan, penguasa dari kawasan gunung Pandan pada masanya. Gunung Pandan (897 mdpl) ini adalah gunung tertinggi dari kawasan pegunungan di dataran tinggi pegunungan Kendeng. Aku sendiri tak begitu paham, tapi dataran tinggi Kendeng ini berupa perbukitan kapur yang tersebar di sebelah utara pulau jawa dari timur Semarang sampai Utara Jombang. Maafkan aku kalau terdapat kesalahan atau ketidakakuratan informasi yang disampaikan. Aku sendiri setelah tau Bojonegoro ternyata memiliki sebuah gunung, ingin sekali mendaki sampai puncaknya. Walau tak begitu tinggi, tapi sepertinya akan jadi tempat yang baik sekali untuk sekedar lepaskan rindu yang menggunung untuk kembali nyeruput kopi di ketinggian gunung.
LGBT: Lelaki Ganteng Bersepeda Terus, wakaka

Watu Semar memiliki arti filosofi sebagai berikut: Semar merupakan tokoh pewayangan asli Jawa yang sebenarnya dewa tapi membo atau macak atau menyatu dan hidup dengan rakyat, atau istilah kerennya Manunggaling Kawula Gusti. Watu Semar yang kokoh dipindahkan ke alun-alun Bojonegoro sebagai prasasti tanda kebulatan tekad masyarakat (wong jenogoro khususnya) untuk terus berkarya!
Bojonegoro matoh, Indonesia jayaaaaaaa...
Amin ya Rabb.