Sabtu, 24 September 2016

Di Atas Angin



Bangun tidur pagi hari, sabtu 30 Juli 2016. Belum genap tanganku mengucek-ngucek mata yang masih lengket disergap kantuk, ada perasaan aneh yang lama tak dirasakan, sangat familiar, ternyata rindu. Sudah cukup lama aku disibukkan dengan dunia baru, urusan pekerjaan yang sangat menyesakkan waktu ini telah menjadi rutinitas baru dalam hidup. Yahh aku sudah sudah cukup senang dengan alur hidupku saat ini, namun sesekali kembali lagi pada kerinduan yang datang tergesa-gesa pagi itu, demi Tuhan aku rindu udara segar di alam lepas.
Berhari-hari yang lalu sudah kukatakan pada teman-teman lingkaran kecil diskusi secangkir kopi tentang rencanaku untuk kembali bertenda di alam lepas, namun karena tanggal yang tak tepat, mengingat rindu yang makin mendesak, jadilah aku seorang diri berangkat. Tujuan kali ini adalah menuju sebuah desa yang sejuk di pelosok Bojonegoro. Perjalanan ini, seperti perjalanan yang lalu-lalu, sungguh membuat gairah hidupku kembali kobar. Membayangkan betapa nanti akan menemui banyak sesuatu yang baru benar-benar sebuah sensasi yang amat mengasyikkan.
Siang hari setelah pamit orang rumah hendak bertolak kemping, kusempatkan dulu mampir ke kantor Sumberrejo (ke mesin ATM) untuk ambil amunisi dompet, sekaligus kunjungi pak Majid, sekuriti penjaga yang kukenal baik beberapa bulan yang lalu. Kami berbincang sejenak dan tertawa-tawa, sambil kujawab pertanyaannya tentang apa yang hendak kulakukan dengan tas keril yang belum begitu padat dipunggungku. Puas berbincang, aku kemudian pamit untuk lanjutkan perjalanan. Pak Majid melepas pamitku dengan pandangan mata terheran-heran, satu dari sekian pandangan mata yang pernah kutatap dari orang-orang baik yang kutemui dalam perjalanan solo yang lalu-lalu.
Untuk sampai pada tempat yang dituju,  dengan motor kususuri jalanan raya menuju kota Bojonegoro, kemudian membelok selatan menuju Dander dan Kecamatan-kecamatan setelahnya yakni Temayang, Gondang, Klino, dan terakhir Sekar, Desa Atas Angin. Perjalanan ini cukup melelahkan, berjalan naik, aspal agak rusak sebagian paving dan atau cor. Sore hari sampai aku di Atas Angin, destinasi utama kali ini untuk melepas rindu.
Langkah pertama yang harus dilakukan setelah sampai tujuan adalah beramah-tamah dengan orang-orang sekitar sambil menggali informasi. Memang benar, masih tersisa banyak sekali orang baik diluar sana, dan para penduduk Atas Angin adalah salah satunya, keramahan khas orang desa yang tak dibuat-buat. Setelah memberitahu maksud kedatangan dan meminta izin untuk bermalam diatas bukit, setelah sebelumnya dihujani banyak pertanyaan keheran-heranan kembali mengenai perjalanan soloku. Langsung kemudian kulangkahkan kaki mendaki bukit yag tak begitu tinggi. Udara sejuk sore itu sungguh berbeda dari sore-sore sebelumnya, kebisingan ajarkanku untuk pandai-pandai menikmati sepi...
 Diatas bukit kujumpai mbah saeman, kuncen bukit Atas Angin.
“Mas kok piyambakan?
“Nggih mbah piyambakan mawon.
“Mangke dalu bade nginep teng mriki? Wantun njenengan?
“Nggih nginep mbah, wantun kok...
“Nek ngoten mangke dalu kula rencangi nginep teng bukit.
“Nggih mangga mbah...”

Mbah Saeman pamit padaku untuk pulang dulu ke rumah, mandi dan makan. Aku selonjoran saja duduk diatas batu besar bersama buku catatan dan pena, sambil menekuri sunyinya lukisan yang indah tak bertara terbentang di depan mata, nikmat Tuhan manalagi yang hendak kudustakan?
 
Malam hari ada yang mengarahkan sorot cahaya senter padaku, mbah Saeman datang, tak sadar ternyata aku tertidur pulas. Kusambut mbah Saeman dengan antusias, walau dengan makanan ringan dan air putih (ada susu cokelat juga) seadanya. Cut the formalities, kami langsung asyik berbincang banyak hal. Tak lama kemudian datang pak Suwoto, kepala kerajaan kecil Desa Atas Angin yang juga hendak temaniku, seorang khafilah yang “mampir ngombe” ke Atas Angin. Jadilah dua orang baik ini menemani malamku. Cerita lucunya, awalnya mereka kira aku hendak bertapa samadi atau miliki maksud lain untuk bermalam di atas bukit, setelah kujelaskan ternyata hanya pingin lagi rasakan sensasi gigi gemeletak kedinginan seperti pendakian-pendakian kemarin jauh. Sesekali ada juga orang desa yang datang khusus untuk hanya menjengukku, dan yah mereka mengira aku hendak seperti tadi, samadi, tapa brata, laku tapa, dan semacamnya. Sumpah waktu itu, tak berniat merendahkan kepercayaan penduduk Atas Angin, sebenarnya dalam hati ketawa kepingkal-pingkal karena dikiranya aku hendak bersamadi. Mereka datang membawa nasehat bahwa apabila menginginkan sesuatu dan mendoakannya di bukit ini, Gusti Pangeran akan mengabulkannya, sambil juga memberi contoh orang sana-sini yang telah terwujud kabul doa dan inginnya. Bupati pertama Bojonegoro, Kanjeng Soemantri, menurut cerita orang-orang juga sering bertapa di tempat ini. Mbah Saeman dan pak woto juga mengundangku untuk sowan kesana pada  bulan Sura besok, tepatnya pada Jumat Pahing, hari sebelumnya adalah Kamis Legi yang merupakan wetonku. Aku tak pernah menolak konsep taba brata atau laku tirakat orang Jawa, kadang juga kulakukan karena aku memang wong jowo tulen. Tapi untuk malam ini, sungguh aku hanya ingin merayakan kembali damaiku bersama alam lepas.
Bersama mbah Saeman dan pak Woto, kami berbincang dan bercerita mengenai banyak hal. Mulai dari sejarah raja-raja jawa, Soekarno dan jaman penjajahan Belanda-Jepang, ramalan raja Jayabaya mengenai jaman Kalabendu yang akan segera datang, peta politik terkini, sengketa pembagian wilayah kerja dan retribusi dengan Perhutani, Silat dll. Kami juga berbincang mengenai Bojonegoro, yang menurut pak woto sedikit kurang tepat dalam tata letak kota, karena ya memang, Kabupaten Bojonegoro teramat jauh dari Kecamatan-kecamatan selatan, terlalu dekat dengan Cepu di barat, Tuban di utara dan Lamongan di selatan. Akibatnya yakni timpangnya pembangunan daerah selatan. Orang-orang di Sekar dan dan Klino lebih dekat pada Nganjuk dan Madiun. Kegiatan perekonomian merekapun seringkali menuju kedua Kabupaten tetangga tersebut, karena memang jauh lebih dekat. Perbincangan terus berlanjut, sambil sesekali menyruput susu cokelat dan jajanan yang kusediakan. Aku tak membawa peralatan masak, juga tak bertenda, karena tempat sewaan tutup, sedikit disayangkan memang, tapi tak mengurangi kekhidmatan obrolan malam itu. Mbah Saeman kemudian keluarkan sebuah buku dari tas kecilnya, buku ini berisi cerita mengenai riwayat hidup dan keperwiraan seorang Jaka Bereg Sawuggaling, Surabaya. Buku yang sudah teramat lapuk dan kuyuh, masih menggunakan ejaan “tempo doeloe”. Obrolan berlanjut hingga teramat larut malam, hampir pagi, sungguh mengasyikkan bisa berbagi dan menerima banyak hal baru.
Mbah Saeman

 

Atas Angin sendiri ternyata miliki kisah tersendiri. Sering disebut “bukit cinta” karena dulunya disini merupakan tempat petilasan tapa Raden Atas Aji, yang lantas bertemu dewi Sekar Sari. Pak Woto dan mbah Saeman meminta agar sebutan ini jangan diartikan sempit. Cinta adalah, dalam artian sesungguhnya, kepada Tuhan, pada keluarga, pada pekerjaan, hobi, kehidupan dan pada alam raya. 
Diatas bukit Atas Angin 650 mdpl, kunyalakan kembali api unggun yang nyaris redup...