Rabu, 01 November 2023

Surat Terbuka Untuk Shaladdin

    Kalau dibandingkan dengan siang-siang kemarin, siang awal November ini sedikit lebih sejuk. Ayah makan siang di pujasera samping kantor, penyetan legend mak Ranty menu iwak teri+telur dadar tempe penyet, delicioso, sambil dengarkan live orkes penyanyi dangdut tipis-tipis yang lagunya mendayu-dayu, menemani tiap kecapan lauk yang terasa ikut berdendang di lidah. But Son, suddenly daddy doesn’t feel easy at all... Kau tahu nak, per hari ini sejak serangan Israel 7 Oktober lalu, 8.525 orang telah syahid di negeri para nabi, Palestina, negeri yang begitu dimuliakan Allah. Memang tak semua yang meninggal adalah muslim, tapi fakta bahwa rumah tempat tinggal mereka, masjid mereka, gereja, sekolah, dihujani siang malam oleh bom pesawat-pesawat Israel, dan bagaimana mereka harus hidup tanpa air bersih, listrik, tanpa bahan bakar, tanpa koneksi internet atau tanpa perawatan kesehatan yang memadai, they’re totally blackout devoured by zionist flames. Bahkan banyak berita menyebutkan bahwa korban di Gaza harus dioperasi tanpa anastesi atau obat bius, termasuk para ibu yang melahirkan Caesar. Betapa banyak rumah, gedung-gedung publik yang menjadi rata dengan tanah akibat bom-bom zionis Israel, betapa banyak anak-anak tua muda yang tertimpa reruntuhan, atau bahkan terkena bom itu sendiri. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi mengatakan bahwa tiap 10 menit ada 1 anak-anak Palestina gugur akibat agresi Israel. Hanya membayangkan kengerian tersebut seandainya terjadi disekitar kita, atau membayangkan andai anak-anakku yang terkena ledakan, sudah cukup membuat mata terkaca-kaca.

    Betapa bengisnya zionis Isreal itu, mereka tah henti membombardir jalur Gaza dengan tembakan artileri dan meriam. Teman-teman sebayamu balita, bayi, anak-anak, perempuan, tua-muda, banyak yang tewas oleh hantaman rudal mereka. Dihadapan PBB para bedebah itu berkata bahwa mereka sedang memerangi manusia-binatang, savage. Tapi mereka salah besar nak, mereka tak tahu betapa mulianya penduduk Palestina. Para penduduk Palestina ini mewakafkan diri mereka untuk menjaga Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam dari cengkraman zionis. Sungguh bagi mereka, debu al-Aqsa lebih disenangi dari dunia seisinya dan segala kelezatan yang ditawarkan. Dengan menjaga Al-Aqsa, mereka muslim Palestina sedang menyelamatkan kita semua muslim dunia dari menanggung dosa dan malu dari kehilangan Al-Aqsa. Mereka orang-orang Palestina itu nak, sebaik-baik ummat muslim saat ini, mereka tabah bahkan menyambut ujian tersebut dengan gagah dan riang gembira, seperti saat kamu minta diajak jalan-jalan dengan motor ayah, atau seperti bahagianya kakakmu saat ayah belikan es krim. Entah terbuat dari apa hati mereka, muslim Palestina... Dan satu yang harus kita semua tahu bahwa bangsa Palestina-lah negara pertama yang mengakui kedaulatan NKRI dan mengucapkan selamat atas kemerdekaan yang telah berhasil kita raih, tepatnya pada 06 September 1944 yang disampaikan oleh seorang Mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al Husaini. Mereka mengakui dan mendukung kita, bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan RI.

 Maka dengan demikian, ini adalah surat terbuka untukmu, nak. Mau jadi apapun kelak, itu adalah hidupmu, asalkan bermanfaat bagi agama dan bangsa. Tapi, andai nanti kau putuskan untuk mewakafkan dirimu dalam perjuangan pembebasan Al-Aqsa di Palestina, maka ayah akan ridho ikhlas-seikhlasnya, sepertinya bundamu juga demikian. Sebab, nama “Shaladdin” di aktamu ayah sematkan sebagai doa untukmu agar bisa turut serta berjihad dalam misi mulia tersebut. Nama itu diambil dari pahlawan agung, Salahuddin (Shaladdin) Al Ayyubi, sultan dari dinasti Ayyubiyah yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis di kota Yerusalem dari cengkraman tentara Salib lewat perang Hattin pada 1187 M, 836 tahun yang lalu. Kisah kepemimpinan dan kepahlawanannya telah mahsyur melegenda, sosoknya juga menjadi inspirasi bagi Muhammad Al-Fatih dari kesultanan Ottoman dalam pembebasan Konstantinopel pada 1453 M. Alkisah dalam sebuah riwayat disampaikan bahwa sultan Shaladdin bernah ditanya para sahabat kenapa jarang tersenyum, dan beliau menjawab “Bagaimana bisa aku tersenyum sementara Al Aqsha dijajah? Demi Allah, aku malu untuk tersenyum sementara di sana saudara-saudaraku disiksa dan dibantai...”, Mentalitas ini yang harus mulai sekarang kita tempa nak, karena saudara Palestina kita tidak sedang baik-baik saja.



    Namun sebelum itu, kau harus tumbuh menjadi pribadi yang solih dan tangguh, dan itu adalah jalan yang panjang dan berat. Dan jauh sebelum itu pula, izinkan ayahmu juga berjihad dalam mendidik dan membesarkanmu dengan mensolihkan diri terlebih dulu, bekerja yang giat dan rajin untuk penuhi segala kebutuhan hidup keluarga, tirakat puasai wetonmu dan kakakmu, mengajak kalian tadabur alam dan berpetualang, ajari kalian bela diri dan atau segala kemampuan yang ayah punya agar kalian dapat tumbuh dan menjalani hidup dengan kuat! Maafkan ayahmu yang masih banyak kurangnya, yang masih amar ma’ruf (nyambi) munkar, yang masih belum bisa shalat berjamaah di masjid, yang masih sering kelepasan dalam menahan amarah, dan banyak lagi ruang dalam perjuangan meningkatkan kualitas kesolihan. Ayah berjanji melakukannya sekuat hidupku. Dan ingatlah nak, perjuangan memiliki banyak bentuk. Boleh jadi kelak kau jadi Perwira Angkatan Udara RI, dan atas kuasamu dapat terbangkan pesawat tempur menuju Israel laknatullah dan membombardir mereka dengan rudal pesawatmu, rudal-rudal itu pastilah mewakili kemarahan dan doa setiap muslim, atau jadi dokter yang selamatkan banyak nyawa penduduk Gaza, atau jadi jurnalis pembuka mata untuk dunia, atau jadi diplomat yang menantang kesewenang-wenangan barat dan sekutunya, atau jadi relawan kemanusiaan, atau mungkin dalam bentuk perjuangan yang lain apapun itu, selamat berjuang. Wallahu’alam. Mari terus melangitkan doa untuk perjuangan saudara-saudara muslim di Gaza, Palestina. Akhirnya surat ini harus diakhiri, semoga Allah SWT meridhoi...

 Allahumma aidzal Islama wal muslimin (Dear Allah, gloify Islam and muslimin)

Wa adila syirka wal musyrikin (and humiliate disbelieve & disbelievers)

Wa dammir a’da aka addiin (destroy Your enemies whome enemies of Islam)

Allahummasdudu wa ta’ataka alal kuffari Yahudi Israil, aa syuraka ihim, ya Allah...

(Dear Allah, harden Your footing over those disbelievers of Israel Jews and their allies...)


Ttd

Ayahmu yang (juga) berjuang!


Kamis, 07 September 2023

Pendakian Gunung Anjasmoro (2282 Mdpl)

            Dengan tidak mengurangi betapa kaya dan seru pengalaman yang didapat dari pendakian Anjasmoro, tulisan mengenainya akan dibuat singkat dan se-informatif mungkin (sebisaku). Pendakian ini merupakan penantian panjang untuk bisa kembali ‘ndangak’ setelah vakum dari dunia mountaineeering kurang lebih 6 tahun. Kebetulan ada anak baru di kantor yang senang mendaki, Mazi namanya. Merasa se-frekuensi, tak perlu menunggu lama waktu langsung kita menyusun rencana pendakian dan sepakat nanjak tanggal 2 dan 3 September 2023. Semesta mendukung, SIM (Surat Izin Mendaki) dari isteri juga sudah dikantongi. Gunung Anjasmoro sengaja kami pilih karena dekat dari Surabaya dan menurut informasi yang dikumpulkan dapat ditempuh dalam tempo 2 hari saja, cukup untuk menghabiskan waktu di akhir pekan libur kantor. Tapi alasan yang paling mungkin walau tanpa kesepakatan yakni, kami sama-sama belum pernah mendaki gunung ini.

 Sabtu pagi di tanggal yang telah disepakati, kami berangkat. Mazi mengajak teman seangkatannya yang ditempatkan di BNI Bojonegoro, Farid pakai S. Pukul 10 bertolak dari Surabaya menuju Wonosalam, Jombang dengan perjalanan santai mampir makan dan keperluan logistik. Kurang lebih pkl 13.00 kami sampai di pos pendakian, Kancil. Basecamp Kancil terletak di Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Untuk sampai disana sederhana saja, cukup buka GPS dan ketik kata kunci ‘Pos Pendakian Anjasmoro’. Udara di basecamp Kancil sudah terasa sejuk khas pegunungan. Berdampingan dengan mushala, terdapat juga kamar mandi untuk bersih diri pendaki usai nanjak. Parkirnya cukup, baik roda 2 maupun roda 4. Untuk tarif pendakian dan parkir tak ada informasi yang dapat dibagikan karena pada saat kami hendak berangkat maupun pulang, penjaga basecamp sedang tidak ditempat (ada karnaval). Akhirnya saat pulang kami bertemu ibu-ibu di basecamp, saat ditanya berapa perizinan untuk mendaki awalnya ibu ini menolak untuk menerima uang namun setelah kami mohon akhirnya beliau bersedia menerima, tarifnya Rp.10.000,-/kepala.

Pukul 13.30 dari basecamp kami memulai pendakian. Menyusuri kampung warga, agak kebingungan dengan belokan-belokan. Setelah tanya bapak-bapak di salah satu rumah warga, bapak tersebut memandu kami hingga bertemu jalan tapak pendakian. Setapak demi setapak kami lalui, terik matahari dan nafas yang mulai tersengal mengiringi perjalanan menuju tempat nirsinyal. Dari makadam bebatuan menuju tanah keras, terlihat beberapa kandang kambing milik warga, sampai akhirnya dimulailah perjalanan menuju tak terbatas dan melampauinya (uwoposih)...

Medan pendakian yang dilalui untuk sampai ke puncak, cukup diluar dugaan, nanjak tanpa ampun dengan hanya sedikit bonus. Apalagi di Tanjakan Mbok-mbok yang terletak antara pos 1 menuju pos 2, cukup membuat hati bergumam “mbok mbok mbooookk...”” rute trekking yang dilalui juga tak jarang masih tertutup semak belukar rapat, mungkin karena jarang pendaki yang datang kemari. Anjasmoro memang tak seterkenal gunung lain yang menawarkan keindahan khas sabana atau lautan awan dari puncak, sangat jarang bisa ditemui di Anjasmoro. Tapi bagi para pendaki yang merindukan sunyinya suasana gunung sebagaimana harusnya gunung, rimbunnya semak belukar dan lebat seresah daun berguguran di jalur setapak, yang merindukan asyiknya mendaki tanpa harus mengantri di lajur pendakian, Anjasmoro wajib masuk dalam daftar gunung-gunung yang wajib didaki!

Kami sampai di pos 3 mata air (pring rusak) pkl 17.20. Pos 3 merupakan tempat paling nyaman untuk dirikan tenda di Anjasmoro, selain dekat dengan sumber mata air, konturnya datar dan teduh, cukup untuk 3 hingga 4 tenda. Disana sudah berdiri 2 tenda dengan 2 cowo dan 3 cewe yang menghuni, rombongan dari Mapala salah satu perguruan tinggi swasta di Jombang. Mereka ramah dan hangat. Saat kami sampai dan segera akan mendirikan tenda agar tak kemalaman, mereka menyambut dengan suguhi kami kopi panas untuk teman melawan dingin yang mulai menyergap. Begitu pula saat ternyata kompor yang kami bawa rusak, mereka pinjami kami kompor beserta gas, lengkap. Tak terbayangkan apa jadinya kami waktu itu jikalau tanpa kompor, kelaparan dan melata. Kami tak boleh kalah baik dengan kembalikan pada mereka sepiring kentang goreng yang sudah susah payah dimasak Mazi dan Farid. Selain kentang goreng, menu makan malam kami adalah daging barbekyu. Jangan tanya apa peranku dalam proses memasak ini, aku sudah cukup nyaman tanpa sungkan hanya melihat dan menyemangati mereka sambil sesekali nyemil kentang-kentang yang berkeliaran minta ditangkap, hap! Makan malam tersaji, bon appetite. Sembari makan dan sesudahnya kami banyak berbincang mengenai apa saja, berdiskusi, bercerita, apapun asal bermakna. Mulai dari jokes receh, culture, cerita kepahlawanan, double degree si Farid pakai S di Belanda, cerita si Mazi ketemu Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo di gunung Lawu, dll banyak sekali, pribadi hebat kedua temanku ini. Deep conversation with the right people is priceless, malam yang panjang...



Pagi datang, kami bersiap perjalanan menuju puncak. Karena tak terburu mengejar sunrise, diputuskan untuk buat sarapan dulu meminjam kompor rombongan tenda sebelah yang akan segera mangkat. Menu nugget, tanpa indomie karena zat lilinnya akan menempel di mulut dan buat bibir tak nyaman. Pkl 07.00 kurang lebih kami berangkat, tujuan selanjutnya adalah Pos 4 (Puncak Bayangan). Tenda dan tas berat ditinggal, perlengkapan dan logistik seperlunya saja yang dibawa. Walau tanpa carrier, masih diperlukan tenaga cukup ekstra untuk dapat sampai di pos 4. Kontur medan dominan nanjak dan masih ditemani dengan semak belukar rapat. Lama waktu perjalanan relatif dari stamina pendaki, kami memakan waktu kurang dari 1,5 jam untuk sampai di pos 4. Dari pos 4 terlihat di arah kiri 1 bukit lagi yang lebih tinggi, sudah jelas itu puncak.


Perjalanan ke puncak masih 1 jam lagi dan tingkat kerapatan vegetasi semak belukar menjadi lebih rimbun dari yang sudah-sudah. Aku sempat dokumentasikan peristiwa beberapa saat sebelum sampai ke puncak karena kuatir saking lebatnya semak belukar yang menutupi jalur pendakian menuju puncak. Alhamdulillah puji syukur Allah, pkl 09.16 kami dapat menggapai titik 2282 mdpl. Hari-hari yang biasanya selalu terisi dengan bising deru kendaraan dengan semburan racun dari knalpot yang membuat udara jadi tak sehat, atau suara mesin-mesin printer di kantor maupun kemelitik suara keyboard komputer, atau hingar-bingar berita di sosial media yang selalu setiap saat terupdate dari ponsel pintar seolah tak bisa hidup tanpa hp dan FOMO (fear of missing out), menjadikan hari-hari kita seolah seperti, apa yang disebut oleh Herbert Marcuse sebagai ‘One Dimensional Man’. Pemandangan dan segarnya udara hutan yang kaya oksigen terasa syahdu memenuhi setiap rongga yang ada pada paru-paru kami, membuai mengajak sejenak lupakan pekatnya kenyataan hidup di kota, bising mengajarkan kami untuk pandai-pandai menikmati sepi. Hutan dan gunung tak pernah gagal basahi jiwa kami yang kering. Merasakan utuhnya menjadi manusia yang diberi kekuatan oleh Tuhan untuk susuri alam raya yang dibentangkan-Nya untuk disyukuri.

Kalau dirinci perjalanan menuju puncak adalah sebagai berikut:

Basecamp – Pos I : 1 jam 15 menit

Pos 1 – Pos 2 (Lumpang) : 1 jam 30 menit

Pos 2 – Pos 3 (Pring Rusak) : 1 jam

Pos 3 – Pos 4 (Puncak Bayangan) : 1 jam hingga 1,5 jam (tanpa carrier)

Pos 4 – Puncak Anjasmoro 2282 mdpl  : 1 jam

Untuk perjalanan turun yakni:

Puncak Anjasmoro 2282 mdpl – Pos 4 : 30 menit

Pos 4 – Pos 3 : 45 menit

Pos 3 – Basecamp : 2 jam

 Rincian perjalanan diatas tergantung situasi, kondisi dan toleransi, seberapa cepat atau seberapa banyak logistik atau kondisi masing-masing pendaki atau juga cuaca pada saat pendakian. Sekedar saran agar lebih aman dalam pendakian yakni apabila menjumpai jalan bercabang yang meragukan (karena memang banyak dijumpai percabangan jalur setapak) alangkah lebih baiknya untuk memperhatikan dengan seksama tanda berupa tali rafia atau apapun itu. Beberapa saat sebelum sampai ke puncak, jalur pendakian tertutup belukar rapat. Kami beruntung sempat merekam detik-detiknya, sehingga saat pulang berhasil temukan jalan walau sebelumnya sempat salah masuk jalur turun.

Kami sampai di basecamp sekitar pkl 14.00 Alhamdulillah dengan tidak kurang suatu hal apapun, hanya kaki agak sedikit tremor. Setelah bersih badan dan pastikan semua, tibalah waktunya untuk berpamitan. Sebelum resmi meninggalkan daerah Segunung, mampir kami ke warung pinggir jalan untuk mengisi kekuatan yang terkuras habis, masih dalam suasana sejuk dengan pemandangan Anjasmoro di timur jauh. Itu saja cerita yang dapat kami bagikan, semoga dapat membawa manfaat atau bahkan menginspirasi. Salam lestari...