Rabu, 31 Desember 2014

Backpacker: Museum bung Karno Blitar



Tulisan perjalanan dalam paper kali ini sedikit berbeda dari paper-paperku sebelumnya. Kali ini bukan ke puncak-puncak gunung yang kuceritakan, tapi lebih ke tempat-tempat yang memiliki nilai budaya dan historis. Bukan lagi pendakian, tapi Backpacker-an. Panderman adalah gunung terakhir yang aku daki, sampai saat paper ini ditulis belum lagi ada satupun gunung yang kudaki. Sedih? Memang. Bagaimana tak sedih, saat planning pendakian telah direncanakan sering kali gagal. Satu lagi yang jadi masalah, gunung-gunung menantang di Jawa Timur sudah sebagian besar kudaki, Semeru, Arjuno, Argopuro, Lawu, paling tidak mereka berempat memiliki ketinggian diatas 3000 mdpl, hanya tinggal tersisa gunung Raung yang puncak Sejati-nya saat ini masih menjadi My Ultimate Wildest Dream. Aku belum bisa memimpikan boro-boro untuk mendaki Everest, ataupun Himalaya, ataupun Kerinci, dan seven summit Indonesia. Saat ini sedang fokus aja jelajahi gunung-gunung di Jawa Timur. Raung, Butak, dan Penanggungan, setidaknya dua nama awal sangat mempompa adrenalin-ku.
Awal November kemarin aku sudah berhasil seminarkan proposal skripsiku. Aku nazar mendaki, untuk penyemangat agar segera Sempro, dan gunung Butak adalah tujuan pendakianku. Saat sudah senang-senangnya dan tanggal telah ditentukan, gear pendakian telah disiapkan, ada kabar bahwa gunung Butak-Kawi dan sekitarnya kebakaran. Benar saja, Butak yang hidung putri tidurnya terlihat dari atap kontrakanku terlihat merona merah saat malam hari, menandakan ada api disana. Aku ndak yakin, aku masih keukeuh dan masih mekso untuk pingin ndaki Butak. Esoknya kudatangi pos perizinan Butak untuk memastikan pendakian lusa, dan benar saja, pak penjaga pos tidak memperbolehkan kami mendaki, terlalu beresiko. Saat ngobrol dengan pak penjaga pos, kami berjumpa dengan pendaki dari Kediri yang baru turun dari ndaki Panderman, dan mereka hanya bisa ndaki sampai Latar Ombo. Dan, oke… Pendakian Butak di batalkan, pendakian yang harusnya pada 10 november dapat buatku dan tim pendakian bisa upacara memperingati hari pahlawan di bawah persada merah putih langit Butak.
Gontai aku, hadiah apresiasi diri atas keberhasilan seminar proposal gagal total, yahh mungkin karena Tuhan dan alam belum mengizinkan mendaki aja. Sembari itu aku ndak pingin hadiahku hilang gitu saja, otak ini ndak henti-henti mikirin kemana kemana kemana tempat yang asyik buat dikunjungi. Browsing internet dan mbaca-mbaca akhirnya ada satu kalimat yang nyentil, “Kapan terakhir kali main ke museum?” Dan aku ingat, di Blitar ada museum legendaris yang juga begitu pingin kukunjungi, Museum bung Karno. Jadilah destinasi pasti trip kali ini ke Blitar (kubaca mbelitar biar lidah ndak keblundet). Ayo kita kemooonnn…
Sabtu pagi 8 November karena aku sudah tak sabaran akhirnya berangkat duluan daripada Ashe, kami sudah janjian malamnya akan bertemu di meeting poin alun-alun Blitar. dari kontrakanku. Untuk menuju stasiun Arjosari harus naik angkot ADL dengan tarif Rp 4 ribu saja. Waktu tempuh yang biasanya hanya 15 menit dengan motor menjadi berlipat dua kali jadi 30 menit, maklum saja karena angkutan umum juga ngejar setoran dari penumpang. Dari Arjosari ngambil langsung bus jurusan Blitar, Rp 15 ribu dengan waktu tempuh 2 jam 30 menit kurang lebihnya. Harusnya aku turun di Bendogerit, agar lebih dekat ke museum dan alun-alun Blitar, tapi ternyata kernet bus tak menyebut Bendogerittapi entah aa aku lupa, akhirnya harus bablas sampai terminal. Dari terminal harus ngojek ke alun-alun, 25rb, cara nguras isi kantong yang ndak keren blasss. Tapi okelah, namanya juga pengalaman. Setelah shalat di masjid Agung Blitar, aku jalan-jalan lumayan jauh lihat pemandangan sekitar, kemudian balik lagi ke masjid istirahat sambil mbaca buku nunggu ashe.
Malamnya di alun-alun, kugunakan waktu luang sesukaku. Beli kacang kedele dan duduk di tempat luas sambil ngamati keadaan sabtu malam di alun-alun Blitar. Banyak orang disini, ada keluarga yang meluangkan waktunya untuk main, anak-anak kecil yang beli jajanan, pemuda-pemudi baik yang sama teman atau yang sama pacar (yang sama pacar berarti malam mingguan), mereka semua menikmati liburnya, demikian juga dengan aku yang duduk sendirian makan kacang kedele sama minum susu sambil ketawa-ketawa sendiri lihati pasangan ABG naik becak-becakan warna-warni dengan lagu di soundsystem becaknya “Kuch-Kuch Hotahai”, assseeegk. Malam itu ndak tau kenapa, perasaanku begitu lepas bebas. Aku sengaja lupakan skripsiku sejenak, aku juga sudah tak risau dengan kepergian mifta, disana aku bayangkan waktu indah  dulu sama dia bunga layuku, dan, demi Tuhan, aku berdoa semoga dia selalu dalam senyum dan bahagia. Ah, begitu asyik menghabiskan malam di kota yang belum kukenal, sendirian.
Tak terasa malam makin larut, kulihat arlojiku menunjukkan pukul 21.13, dan ashe belum juga sampai. Kutelfon daritadi tak ada jawaban. Sembari lanjutkan nyemil kacang kedeleku yang sengaja kubeli banyak dari bapak penjual kaki tiga depan alun-alun tadi, aku sebisa-bisanya nikmati malam. Beberapa saat kemudian, datang bapak-bapak paruh baya menyapaku. Dia duduk disampingku, bertanya asal dan tujuanku ke Blitar, kujawab sambil kutawari kacang kedele yang asik kucemil. Awalnya tak ada kecurigaan, hanya waspada biasa (karena aku selalu waspada), tapibapak-bapak ini kemudian memijitku, kaki betisku. Aku oke saja, sudah biasa mintak pijit junior-junior (senior selalu menang) waktu datang ke latihan Pencak di kampungku, kakiku memang sedikit kenyu karena berjalan sore tadi. lama-kelamaan bapak ini kok mijitnya tambah ke paha, ehh ini orang ndak beres, MAHOOOO… langsung aja ku tarik tangannya. Dia pamitan ke aku, mau jalan-jalan lagi. Tak berapa lama kemudian balik lagi, bapak ini yang ngomongnya sendirian ternyata dari jauh bersama gerombolan orang, mirip preman karena muka dan tampang mereka memang mencurigakan. Langsung saja aku ancang-ancang tinggalkan tempat, bukannya takut, cari aman aja huaaaa… Aku pindah ke tempat yang lebih terang, dan lebih ramai. Waktu berlalu sampai aku nyaris ketiduran, tiba-tiba ada yang nendang aku sambil ketawa-ketawa dari belakang, ternyata si ashe, dan si Azi juga ikut. Weeee kadal, di tunggu dari tadi baru datang.
Santai sejenak di alun-alun Blitar, sampai sepertinya kami adalah penghuni terakhir, lanjut kami jalan. Keluar alun-alun langsung ngambil foto di depan Pendopo Agung Ronggo Hadinegoro, kemudian jalan ke arah museum. Cari makan dulu, sambil tanya arah menuju museum bung Karno, kemudian setelah makan kita lanjut. Perjalanan dari alun-alun Blitar sampai Museum kalau pakai motor mungkin hanya butuh 15-20 menit, tapi dengan kaki ceritanya beda, bisa sampai sejam lebih mamennnn. Malam itu kami belum punya rencana akan tidur dimana, sampai kami melihat ada trotoar yang letaknya tersembunyi karena tertutupi pagar jalan. Tidur di trotoar? No fuckin’ problem! Tas di buat bantal, semua barang berharga diamankan, tali tas kutalikan ke badan. Hehhhh, semalam jadi orang homeless…
 
 
Pagi-pagi sekali kami bangun, bukan karena rajin, tapi karena hujan gerimis. Sudah pkl 05.00 lebih, kami masuk ke museum, tapi ternyata buka pkl 07.30. Keluar lagi, cari pemandian diluar yang memang banyak tersedia, bersih badan, kemudian Subuhan (kepagian yang kesiangan). Setelah beres, kami balik ke museum lagi. Disini biarpun belum buka resmi, tapi boleh jalan-jalan kelilingi area museum. Setelah nemukan mushala, kami istirahat sejenak dan *jebrettttt* kami ketiduran, sampai siang sekitar pkl 12.00-an. Meskipun agak telat, tak apalah, mari meng-explore museum Bung Karno.
"If you're 22 (iam 21 back then), physically fit, hungry to learn and be better, i urge you to TRAVEL - as far and as widely as possible. Sleep on floors if you have to...!" (Anthony Bourdain)
If traveling was free, you'd never see me again... But being narcist is a choice, being great is a must!
Tolong jangan salahkan atas kealayanku, ini aku kebosanan nunggu jam museum dibuka hahaha
 
Blitar memang kota istimewa yang memiliki keterikatan kuat dengan bung Karno sang Proklamator. Ada museum yang dikhususkan untuk mengenang perjuangan bung Karno, kemudian istana Gebang rumah mendiang Soekarno yang juga tempat tinggal keluarga dulu, dan Makam bung Karno yang terletak tepat disamping kiri dari pintu gerbang masuk museum. kita mulai melangkahkan kaki masuk museum bung Karno. Langkah pertama kami disambut dengan lukisan besar paras bijak Soekarno, lukisan ini benar-benar legendaris, aku sudah lama ingin melihat lukisan ini dengan mata kepala langsung, dan yeyy kesampaian.
 
 
 
Mitos yang beredar adalah lukisan ini memiliki detak jantung seperti manusia, dan benar saja setelah diamati dengan seksama dari samping seakan lukisannya berdenyut-denyut beraturan.  Kami bertiga segera mendiskusikan fenomena didepan mata kami ini, dan kesimpulan dari diskusi ini bermacam-macam. Aku menyebut bung Karno memang sakti dan orang besar pada masanya, kemungkinan untuk fenomena yang bersifat metafisis dan gaib seperti ini memang ada, walaupun kuungkapkan juga disana frame lukisan dan manipulasi lubang fentilasi sedikit mencurigakan untuk menghasilkan gelombang yang menyerupai detak jantung. Ashe yang lebih logis dan paling matematis perhitungannya (termasuk dari sisi keuangan hahaha) diantara kami mengatakan bahwa itu hanya murni faktor teknis, tak ada yang mistis disana. Sementara Azi idem dengan dua pendapat kami.
 
 
 
 
 
Kami kemudian lebih dalam meng-eksplore museum bung Karno, didalam terdapat lukisan-lukisan perjalanan bung Karno baik dalam negeri maupun di luar. Perjalanan di luar negeri lebih mencolok, karena disana melibatkan banyak nama-nama besar yang akrab kita sama-sama dengar. Ada John F. Kennedy, Pandit J. Nehru, Mao Zedong dll. Aku banyak mbaca buku (kebanyakan revolusi kaum buruh, gerakan kiri dan Komunisme) terutama tertarik pada gerakan Marhaenis yang sedikit nyerempet ke Komunsime ala bung Karno, juga buku-buku mengenai sepak terjang beliau, memang bung Karno ini pada masanya masuk dalam jajaran para pemimpin TOP dunia, apalagi kalau kita liat pidato-pidatonya, pantas benar bapak proklamator kita ini nyandang julukan singa podium. Sayangnya di museum ini samasekali tak kujumpai foto bung Karno bersama Che Guevarra dan Fidel Castro (dua pentolan revolusioner Kuba yang begitu mengagumi ajaran dan kharisma kepemimpinan bung Karno), padahal di buku banyak disebutkan kedekatan antar para tokoh diatas. Sekedar selipan, kalian tau siapa Che Guevarra? Iya itu orang yang siluetnya sering dijadikan pola kaos depan buat mahasiswa yang lagi demonstrasi pada zaman dulu, dan sekarang sticker-nya nempel di motor-motor atau angkot, padahal mereka ndak tau artinya. Ironis. Aku ngenes litany. Walaupun dia bukan tokoh Indonesia, tapi perjuangannya wajib dijadikan contoh. Apalagi puisi-puisi dan catatan hariannya, wihhh orang ini sebenarnya benar-benar keren kalau kita mau mbaca dan ndalami catatan-catatannya.
Balik lagi ke isi museum, selain berbagai foto mengenai sejarah bung Karno dan kehidupannya dulu, ada juga koper andalan bung Karno, ada keris milik bung Karno juga miniature patung bung Karno dan Garuda Pancasila. Ada perpustakaan yang berisi buku-buku tulisan bung Karno dan penulis lain, aku sebenarnya ingin mampir ke perpustakaan, pingin mbaca buku legenda yang banyak dibicarakan orang-orang, Dibawah Bendera Revolusi. Aku ada softfile-nya, tapi tulisan tangan latin yang kaya cacing kremi, susah dibaca. Tapi kami tak sempat mampir ke perpustakaan karena waktunya memang sudah mepet.
 
 
 
 
Setelah puas keliling isi museum, kami selanjutnya sempatkan nyekar ke makam bung Karno. Banyak orang yang datang berkunjung dan nyekar, karena benar saja hari itu minggu 9 November yang keesok harinya hari pahlawan 10 November. Setelah khusyu’ kami mendoakan pemimpin Indonesia kita yang pertama, kami segera meninggalkan makam. Jalan keluar untuk meninggalkan kompleks museum dan makam bung Karno berupa pasar suvenir dengan jalan berkelok-kelok dan sempit. Ada aneka macam suvenir yang dapat dijadikan buah tangan, ada kaos, asbak, wayang, macam-macam.
 
Setelah makan siang kami bergegas berjalan menuju destinasi bersejarah lain di Blitar, Istana Gebang. Jaraknya ndak terlalu jauh, kalau dengan motor mungkin bisa ditempuh 15 menit, tapi dengan jalan kaki lain ceritanya. Istana Gebang ini merupakan rumah yang dulunya ditinggali bung Karno beserta keluarga besar. Berisi perabot-perabot rumah tangga, kamar tidur dan foto-foto keluarga. Ada kemegahan tersendiri saat kami memasuki rumah ini, serasa terbawa ke zaman dulu. Aroma jawa berpadu denan nasionalisme teraduk kental dalam setiap sudut ruangan, bikin merinding takjub. Disini aku jumpai satu foto bung Karno bersama Che Guevarra dan Fidel Castro, tapi letaknya dibelakang rumah, dan dijadikan tempat parkir oleh petugas setempat, wah-wah aku miris. Tapi tak apalah, bener-bener keren Istana Gebang…
 
 
Puas berkeliling, ngambil foto, dan menghirup aroma “Tempo doeloe”, akhirnya kami harus pulang. Kami berjalan menuju alun-alun Blitar, untuk kemudian ke stasiun yang berjarak sekitar 800 m dari alun-alun. Karena tiket kereta ke Malang sold out, yasudah kami putuskan naik bus menuju arah malang. Harus nunggu di pertigaan apa aku lupa nama daerahnya, karena jauh dan sudah sore dan tak tau tempatnya, kami akhirnya pilih mbecak. Dinaiki bertiga, kami press harga jadi Rp. 20.000 sampai tempat, hehe maaf ya pak…
 
 
 
 
 
 
Demikian saja catatan perjalanan ke Blitar, tertarik untuk nyusul kesana? Hehe… Tapi memang kita ini harusnya sesekali main ke Museum atau tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai edukasi daripada main ke mall-mall atau ke bar ngabisin uang orang tua. Benar apa kata Soe Hok Gie, Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan, mencintai yang sehat adalah dengan mengenal objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat dtumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Semoga tegerak, ayo ke museum… Dan satu lagi, yang harusnya setiap hari, tapi di 10 November, selamat hari Pahlawan…

Sabtu, 27 Desember 2014

Intermezzo

Aku bingung apa yag harus dituliskan lagi dalam blog ku ini. Sudah lama aku tak kunjungi blogku sendiri, terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas baik yang penting maupun ndak berguna. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kubagi, ada beberapa paper yang juga harus ku selesaikan, perjalanan ke Blitar baru sekitar seperempat kutulis, yang di Baluran belum ku jamahi sama sekali. Kemarin aku mendapat musibah, foto-foto di Baluran yang harusnya sportakuler karena perjalanan solo pertamaku raib di galeri foto, itu memang benar-benar buat semangat nulisku luruh nyaris tak berbekas. Untungnya masih ada teman-teman yang selalu menguatkan, bahkan dengan beberapa ejekanpun kuanggap itu dorongan untuk terus menulis, mereka memang teman-teman yang baik. Aku harus minta maaf ke temanku Jhelang yang sudah nunggu-nunggu tulisan perjalananku di Baluran, dia benar-benar nunggu karena memang berencana ke Baluran akhir tahun ini. Kemarin aku sudah janji sebelum tahun baru paper Baluran-ku akan jadi lengkap beserta rute perjalanan, perkiraan biaya, tempat-tempat yang harus dikunjungi disana, alamat penginapan dan lain-lainnya. Maaf mas Jhel, sepertinya akan mundur tanggal rilisnya, temanmu ini masih belum ada gairah buat nulis Baluran, maaf. Tapi kamu bisa hubungi aku dari hape saja, biar kujelaskan disana walaupun tanpa keasyikan berapi-api seperti yang biasanya kuceritakan dalam paper.
Dalam paragraf selanjutnya ini pun aku masih bingung harus nulis apa, akhir-akhir ini aku juga jarang mbaca buku, semangat "nyastra"-ku semakin tumpul. Yang seperti ini apa harus dibiar-biarkan? Aku janji, aku janji, janji akan kembali ingat sama janji ke diriku dulu. ini aku lagi asyik ngomong sendiri, "Katanya mau sibuk memperbaiki diri?"

Ya ya ya, aku sudah tau siapa musuhku, aku pasti menang, karena musuhku adalah "aku" sendiri, "aku" yang satunya. Sepertinya aku harus kembali ke rak bukuku lagi, disana ada filsafat Nietszche, puisi-puisi Jalalluddin Rumi, prosa-prosa Kahlil Gibran, senandung-senandung Kiai Kanjeng Emha Ainun N. Setelah membaca buku-buku itu yakin aku akan kembali lagi gendeng nyastra. Tuhan yang maha berpuisi, Ridhai...

"If you want more, DO more... If you want better, DO better..." 

Selasa, 09 Desember 2014

Juha Bach

Nama asli Juha Bach si pimpinan para Quincy ternyata "Yhwach". Yhwach diselipkan barusan di komik update-an terbaru manga Bleach saat lawan Ichimonji si pimpinan Zero Bantai Shinigami. Quincy adalah musuh alami dari Shinigami, dan pada manga ini regu Quincy dikisahkan sebagai tokoh antagonis. Setiap Quincy punya inisial masing-masing berdasar abjad dari A-Z yang menandakan spesialisasi kekuatan khusus yang dikuasai, misal "F" untuk Quincy dengan kekuatan "Fire" atau "I" untuk "Illusion" dan lain sebagainya. Untuk Juha Bach a.ka Yhwach kalian tau? Dia Quincy "A", atau "the Almighty", yang maha kuasa, kekuatannya yang terkuat. Uniknya adalah Yhwach dapat dipelesetkan menjadi "Yahweh", atau Tuhan dari orang-orang Yahudi. Wahh bener-bener otak mereka ini cacat genetika yang fantastis, memuja Tuhannya dengan cara yang asyik, mereka keren!
Kalian pernah mampir ke bio Twiiterku? Di @tabintara kalian akan bacai ada orang yang punya mimpi akan jadi raja bajak laut dan menguasai dunia kegelapan. Bukan, bukan kau Juha Bach yang akan menguasai dunia kegelapan, tapi aku, ya, aku seorang, huaaahahhahahaha...
Nih kalau mau mampir mbaca si Juha "Yhwach" Bach: http://mangaku.web.id/bleach-chapter-609-a/

Sabtu, 06 Desember 2014

Pendakian Gunung Panderman



Malam ini aku sedang nganggur berat, bukan karena memang tak ada kerjaan, tapi masih sengaja menganggurkan diri untuk recovery dan kembali bugar pasca mbolang solo ke Baluran kemarin. Pas sedang santai, teringat aku ada bnanyak hutang menulis untuk perjalanan-perjalanan yang belum aku tuliskan. Sebenarnya masih males juga ya, tapi untuk mengurangi tanggungan hutangku okelah malam ini aku harus lagi-lagi memeras otak kananku. Hhhh…
Ini perjalanan pendakian ke gunung Panderman bulan Mei lalu, sudah cukup lama memang. Singkat saja ya dalam paper ini, karena memang tak banyak cerita yang harus kutuliskan (itu yang buat aku lumayan tak semangat nulis paper Panderman ini huhuhu). Gunung Panderman berada di sebelah barat daya kota Batu, yang juga merupakan salah satu pintu masuk menuju gunung Butak yang lebih ekstrim. Gampang saja cara menuju Panderman, bisa dengan angkutan umum yang diteruskan ojek atau dengan sepeda motor sendiri. Aku memilih motor sendiri, untuk memudahkan akses saja karena tempatnya yang dekat dengan kota Malang.
Kamis, 14 mei aku siapkan semua perbekalan dan gear pendakian. Sudah berhari-hari pikiranku kalut, Edelweiss hatiku layu, ya, si Mifta pacarku saat itu, sedang ada masalah antara kita waktu itu. Tapi awal bulan aku juga sudah ngetwit di Twitter hastag #15meiPanderman #15meiPanderman #15meiPanderman, jadi harus nepati omongan sendiri. Semua gear telah aku siapkan dengan baik, pagi 15 mei siap meluncur. Beda dari pendakian-pendakian lalu, jujur saja ini adalah pendakian galau, huaaahahaha. Dan aku ingin mendaki sendiri saja, sendiri dulu.
15 mei pagi-pagi sekali aku telfon partner mendaki asikku si ashe, kubilang hp ku akan off 2 hari, kalau ada yang nyari aku akan baik-baik saja. Tapi si ashe memaksa memberitahu destinasi mbolangku, dan *jengjengjeng* dia mau ngikut ke Panderman. Okelah persiapan dadakan segera dilakukan.
Dari Malang kota menuju pos perizinan mungkin hanya sekitar 45 menit dengan motor untuk amannya. Setelah registrasi dan perizinan, juga nitip motor, kami bergegas menuju jalan setapak pendakian. Medan awal yang kami lalui masih beraspal, melewati persawahan penduduk dan kemudian masuk jalan setapak berpaving. Setelah tak lama kemudian ada persimpangan jalan, kiri adalah menuju Panderman dan kanan menuju gunung Butak. Sekedar intermezzo, aku sudah lama memimpikan jalan setapak ke kanan ini. Pendakian merah-putih, pendakian sumpah pemuda, pendakian hari pahlawan, pendakian Firman Sentot Abintara P., semuanya gagal karena berbagai sebab mulai dari kebakaran hutan hingga cuaca buruk.
Tidak jauh jarak pendakian yang harus dilalui. Dari pos perizinan menuju latar ombo, sejenis pos dalam pendakian, membutuhkan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Aku dan Ashe memutuskan untuk mengikuti jalur yang dibuka oleh penduduk setempat. Jalannya curam dan masih bersemak lebat. Pendaki menyebutnya teknik potong kompas, tapi jangan ditiru ya untuk keselamatan pendakian., lebih baik lewat jalur yang aman dan benar-benar umum digunakan. Latar ombo ini berupa tanah lapang yang cukup luas, bisa untuk mendirikan cukup banyak tenda, dan di tempat ini juga biasa digunakan untuk kegiatan kemahasiswaan dan outbound seperti diklat dan sebagainya. Di sini kami berhenti sejenak untuk nyemil jajanan yang kami bawa, Powering UP!

Setelah puas, perjalanan dilanjutkan kembali. Trek menuju puncak Panderman kami tempuh dengan waktu kurang lebih 1 jam 50 menit. Jalan setapak menuju puncak lumayan terjal dan sulit ditempuh, dengan kemiringan antara 40-60 derajat. Para pendaki harus ekstra hati-hati disini, dengan jalan yang padat pepat aku dan Ashe bersusah-susah, bisa dibayangkan susahnya mendaki Panderman saat musim hujan. Total waktu yang dibutuhkan untuk sampai di puncak kurang lebih 3 jam pendakian, tak begitu memakan waktu lama mengingat tinggi gunung Panderman hanya 2000 mdpl.
Segera setelah sampai di puncak kami bergegas mendirikan tenda, dan hup-hup tenda telah berdiri kokoh. Ternyata disini hanya ada kami berdua di puncak. Dari puncak tampak pemandangan kota batu yang tampak lumayan jauh, view-nya lumayan keren, tapi tak lama setelah itu awan segera menutupi kami dan kami segera menuju ke tenda untuk makan bekal makanan yang kami bawa dari bawah. Pada pendakian ini sengaja kami tak membawa peralatan masak karena hanya berencana nge-camp satu malam.

Malamnya setelah puas berbagi cerita dibawah asyiknya bintang-bintang Panderman dan gemerlap jauh lampu kota Batu, kami tertidur pulas. Ada cerita unik disini, yakni saat aku terbangun di malam hari ndak tau karena apa, dan kemudian aku yang segera pingin tidur lagi tapi ndak bisa-bisa karena pikiranku sedang gontai mikirkan Mifta. Kucoba makan buah apel bekal kami, kucoba bacai buku yang kubawa, masih juga nihil. Pikiranku kalut, aku harus meditasi dengan olah pernafasan yang pernah kupelajari. Dalam meditasi ini benar-benar tenang semua pikiran, kalutku ter-remuk redam, mampus kau kalut! Namun tak berapa lama kemudian headlamp yang sudah kuyakinkan sejak awal dalam posisi off, pada waktu itu nyala-nyala sendiri, dan parahnya nyala dari headlampku ini adalah mode SOS, nyala yang hanya bisa dipencet 3 kali pada tombol. Ini sungguh aneh, impossible… tak lama setelah itu terdengar seperti suara langkah kaki diluar tenda, mondar-mandir disekitaran. Aku langsung aja tutupi badanku dalam sleeping bag, wis ndak mau tau dengan apa yang terjadi diluar sana. Mungkin kalian yang sudah mampir mbaca di paperku sebelumnya tentang pendakianku Arjuno juga menjumpai pengalaman ganjilku yang mirip tipis-tipis dengan Panderman. Percayalah, semua yang aku cerita dan tuliskan adalah nyata, ndak pernah kutambah dan lebih-lebihkan, karena aku penulis yang jujur dan terhormat (kalimat andalan Mr. Droogstoppel di novel Max Havelaar).

 
 Iki ceritane When I was Your Man huhuhu hahaha...
 
 
 

Pagi hari esoknya, setelah bangun kami segera keluar tenda untuk bercumbu dengan udara segar. Disini lumayan dingin, tapi setidaknya tak sedingin gunung-gunung yang pernah kudaki sebelumnya. Tampak gunung Arjuno dari utara jauh, juga masih di kota batu yang tertutup awan tipis. Di puncak terdapat tugu yang dibangun oleh Arhanud, TNI AU, juga prasasti yang berisi tulisan penunjuk ketinggian Panderman dalam honocoroko jawa.
 



 


Ternyata ada pendaki lain yang juga nge-camp, Ashe menyapa mereka saat mau ke semak-semak buat kencing. Tenda mereka tersembunyi, sedikit agak kebawah dari sisi lain jalur setapak menuju puncak. Rupanya mereka semalam telah mendengar gelak tawa kami di tenda, tapi belum sempat menyapa kami karena sudah pewe berlindung dalam tenda dari dingin udara gunung.
Di puncak Panderman juga banyak dijumpai monyet. Hati-hati dengan monyet disini karena mereka nakal dan suka nyuri makanan. Jangan pernah biarkan plastik, makanan atau apapun keleleran diluar tenda karena mereka adalah pencuri yang lihai. Bahkan mereka berhasil menyambar plastik tempat sampah kami terkumpul, dan langsung dibawanya pergi menuju ke semak-semak. Maafkan kami Panderman, kami mengotorimu, ndak berhasil bawa sampah kami ke bawah, maafkan kami huhuhu *emotnangis*
Demikian saja catatan perjalanan dalam pendakianku kali ini, sepertinya makin hari aku ngrasa kualitas tulisanku makin menurun ya, ada apa ini. Apa karena petualanganku makin ndak menarik ya? Tapi yang jelas saat aku nulis tanpa disertai sedikit bumbu “niat pamer” maka biasanya tulisanku hambarnya terasa. Dan dalam pendakianku ini, sedikit sekali yang bisa kucerita dan pamerkan kepada kalian. Aku harus segera mintak maaf ke diriku sendiri dan segera kembali memupuk passion menulisku kembali. Ahh ini apa ini? Aku mau nulis tentang pendakian Pandermanku, jangan menulis curhatan sampah disini dasar makhluk malang.
HHH, akhirnya selesai juga paper ini, segera menuju paper selanjutnya untuk tulis dan postingkan tempat-tempat juga foto-foto yang berhasil kukunjungi dan kupotret. Untuk kalian, silahkan bermimpi gunung mana yang mau didaki, tempat mana yang mau dikunjungi, negeri ini memanggil-manggil untuk dijamah dan dicumbui. Salam lestari, salam budaya, SELAMANYA INDONESIA…