Jumat, 22 Januari 2016

Gowes 2016

           Meneruskan tradisi, tahun baru memang harus selalu dirayakan dengan asyik biarpun dengan cara sederhana sekalipun. Jadi seperti inilah kami, gowes pembukaan tahun seperti di 2015 kemarin. Formasi inti anggota tetap aku, Antok dan Piter, kemudian menyusul Alvin, Gendys, Ferdian codot dan teman-temannya. Destinasi gowes masih sama seperti tahun sebelumnya, bukit kapur Rengel, Tuban toak city (hehe toak city-nya guyon lo ya).
Tulisan ini akan sangat singkat sekali, terlepas dari berbagai momen keseruan yang terjadi dalam gowes kemarin, Jumat 1 Januari 2016. Akhirnya meskipun telat, kuucapkan selamat menyongsong harap dan cita-cita di tahun 2016 bagi para pembaca sekalian yang budiman dan menyempatkan mampir ke blog ini, cemumud gaes…
Wakaka
 Ngopi karo mangan gorengan ditambahi guyon begejekan bareng kanca, regane ra sepira, nikmate warrrrbiyasaaa!
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 

BNI Blogging Competition: "Mau Bertanya Ngga Sesat di jalan"



BNI Blogging Competition Twitter @BNI46 #AskBNI
“Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan”

Solo Backpacker ke Taman Nasional Baluran
Artikel mengenai pengalaman main ke Baluran sebenarnya sudah kutulis di: http://abintaraisme.blogspot.co.id/2015/02/backpacker-taman-nasional-baluran.html, tetapi ternyata ada beberapa hal yang belum sempat diceritakan. Perjalanan yang layak dikenang acapkali terdiri dari rentetan berbagai hal kecil yang saling tali-temali kemudian menjadi hal besar lantas membekas di ingatan. Kebetulan juga tema yang diperlombakan oleh @BNI46 memang memiliki tingkat kesesuaian yang bagus dengan pengalaman yang pernah kulalui.
Kisah ini berawal pada tanggal 1 Desember 2014. Aku dan seorang teman baik sudah mencocokkan jadwal untuk sekedar bersantai melepas penat dari kegiatan perkuliahan. Pkl 19.30 tepat kami bertemu di warung kopi kecil langganan di salah satu sudut kota Malang. Ternyata temanku datang dengan seorang temannya. Dari obrolan yang terjadi kudapati teman dari temanku yang kemudian menjadi teman baruku ini kebetulan sedang singgah di Malang dari perjalanan petualangannya. Memang kami bertiga punyai hobi sama-sama pejalan, pendaki, dan satu yang tak bisa dihindarkan yakni bila pendaki bertemu dengan pendaki lain maka disitu akan terjadi pertukaran arus informasi yang gencar melalui pertanyaan-pertanyaan yang saling diajukan oleh masing-masing dari kami. Pertanyaan paling umum yang muncul sudah pasti: “sudah kemana saja?”, pun demikian dengan yang terjadi dalam obrolan di meja kopi kami. Sampai pada suatu ketika teman baruku ini memberikan saran untuk cobai main ke Taman Nasional Baluran. Kebetulan sekali waktu itu aku sedang mencari destinasi wisata untuk perjalananku besok. Setelah bertanya-tanya tanpa perlu sungkan, akhirnya kubulatkan tekad esok paginya langsung akan berangkat.
Berbekal informasi yang kudapat dari seorang teman baru ini aku menuju Taman Nasional Baluran. TN Baluran terletak di bagian ujung timur Pulau Jawa tepatnya Kabupaten Banyuwangi, berbatasan langsung dengan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Untuk menuju tempat ini dari Malang dapat ditempuh menaiki bus dari terminal Arjosari Malang, kemudian ke terminal Probolinggo. Seperti biasa gunung Arjuno menyapa kenangan dari utara jauh jendela bus. Dari terminal Probolinggo naik bus lagi sampai terminal Situbondo. Arloji menunjuk pkl 16.30 saat aku sampai di stasiun Situbondo. Awalnya sempat merasa was-was karena sudah sesore itu, takut andai tak ada bus ke arah Banyuwangi. Sudah juga browsing di aplikasi pencari, tak ditemukan informasi mengenai keberangkatan terakhir bus dari Situbondo menuju Banyuwangi. Sampai akhirnya dengan malu-malu kuberanikan diri untuk bertanya pada petugas yang berjaga, dari sana didapati masih terdapat bus terakhir menuju Banyuwangi dengan jam keberangkatan pkl 17.00. Pak petugas dengan ramah memberikan saran padaku agar jangan sampai tertinggal bus kali ini, dan juga menginformasikan bahwa bus terakhir ini memang sengaja diberangkatkan sore (cenderung masuk petang) untuk menunggu para pelajar terakhir yang pulang dari sekolah.
Akhirnya berangkat juga bus terakhir menuju Banyuwangi. Di bus kuusahakan menyelami internet lewat gadget yang kubawa guna meyakinkan tempat terdekat dimana harus turun di TN Baluran. Celakanya signal yang didapat waktu itu benar-benar tak bersahabat. Untung saja saat itu kondektur bus menghampiri guna pembayaran karcis, kugunakan kesempatan ini bertanya padanya. Ramah sekali jawaban yang kudapati, sang kondektur berjanji pula mengingatkan untuk turun di tempat yang kutuju. Hampir saja ketiduran saat kondektur bus memanggil-manggil “mas-mas, Baluran mas, waktunya sampean turun” katanya. Sambil dibantu memeriksa barang bawaanku, tas daypack keril dan sebuah tas slempang samping, saatnya turun. Terimakasih banyak pak kondektur, semoga makin lancar rejekinya aminnn…
Pengunjung TN Baluran yang naik bus dari terminal Situbondo harus turun di pos Batangan, sebuah Kecamatan kecil di pinggiran Bayuwangi. Waktu itu teman baruku di meja kopi tak tahu rute yang harus ditempuh jika menggunakan bus, si doi dulunya naik motor dan karena nontabene domisili asli Banyuwangi. Informasi dimana harus turun waktu itu juga sangat sedikit tersedia di internet, semoga dengan tulisan di alamat blog tadi dapat memberikan informasi pada teman-teman traveler sekalian.
Saat sampai di pos Batangan, waktu telah menunjuk pkl 18.22. Ternyata gerbang rimba untuk masuk TN Baluran ini terletak tepat disamping jalan raya Pantura. Langsung saja kubertanya pada penjaga pos, dan yahh malam itu tidak diperkenankan untuk masuki TN Baluran mengingat telah lewat batas waktu pengunjung. Dengan terheran-heran penjaga pos bertanya padaku, dengan siapa, naik apa, sudah ada penginapan atau belum, mungkin dikiranya terlalu nekat apa. Dalam percakapan itu pula kudapati informasi penginapan dan warung makan tak jauh dari gerbang rimba TN Baluran. Karena perut sudah amat keroncongan, langsung saja kuberangkat menuju warung makan. Disini kembali terjadi perbincangan yang hangat dengan ibu penjual makanan. Pertanyaan umum yang berkisar darimana asal, sama siapa (yang pasti ibunya kaget karena aku main sendirian), juga aku balik bertanya mengenai info penginapan murah dan bagaimana akses juga medan yang dapat ditempuh untuk explore TN Baluran. Setelah makan langsung aku menuju penginapan milik Hj. Sahri, yang disarankan dari orang-orang sebelumnya yang kujumpai. Hj. Sahri orangnya sungguh ramah, dan penginapannya sangat murah sekali, cukup Rp. 25rb saja semalam. Informasi seperti ini takkan ada di internet pikirku.
Keesokan paginya di 3 Desember bu Sahri membangunkanku. Aku memang sudah berpesan pada ibu minta dibangunkan, karena memang ingin segera memulai petualangan explore Baluran. Sampai di gerbang Rimba awalnya penjaga pos tak membolehkan, namun dengan sedikit usaha negosiasi yang oke akhirnya kukantongi izin masuk TN Baluran sebelum waktu kunjungan di buka. TN Baluran dijuluki “Africa van Java”, terdapat sabana padang rumput yang luuuuuas beserta berbagai satwa liar. Berjalan di TN Baluran sungguh memiliki suasana yang berbeda, seperti berada di negeri antah-berantah, yang padahal sebenarnya selama ini berada di halaman belakang rumah kita sendiri, Indonesia. Dari gerbang rimba menuju Savana Bekol jarak yang ditempuh adalah 12 km, dan dari Savana Bekol menuju pantai Bama 3 km. Aku berjalan kaki saja, sedang saat itu banyak tawaran dari pengunjung lain untuk dan juga dari Polisi hutan untuk naik ke truk atau motor (saat jam kunjungan sudah dibuka). Sungguh waktu itu aku sedang pingin dekat-dekatnya dengan diri sendiri. Perjalanan ini adalah apresiasi terhadap diri dan perayaan sederhana dari hari lahirku 3 Desember, hehe.
Indah sekali! Dijalan banyak sekali bertebaran satwa-satwa liar yang tanpa malu-malu lewat, banteng, merak, monyet, dan lain-lain. Di Savana Bekol kita bisa naik ke Menara pandang guna menangkap keindahan TN Baluran dengan cakupan jarang pandang yang lebih luas. Indahnya bukan main, alam Indonesia. Sekedar saran untuk pengunjung, disarankan berhati-hati di Menara pandang Savana Bekol, ada banyak monyet-monyet bandel disini, hati-hati sama tas yang dibawa. Perjalanan kulanjutkan menuju pantai Bama. Disini pengunjung bisa menyewa peralatan snorkeling dan perahu kano dengan tariff Rp. 50rb sampai puas. Aku bertanya ke penjaga pantai apakah aman dan memungkinkan untuk melakukan snorkl pada waktu itu, karena memang sedang tak ada pengunjung. Penjaga pantai dengan ramah mempersilahkanku bermain snorkeling, akan diawasinya selalu. Asyik dan puas sekali hari itu, sampai pada akhirnya aku harus pulang. 
 
Singkat cerita sampai kembali di gerbang rimba pkl 18.00 dengan keadaan pegal luar biasa tapi hati senang. Aku mampir makan kembali ke warung, disana kembali bertanya pada penjual makan mengenai keberangkatan bus menuju ke Malang. Masih ada, sayangnya ibunya tak tahu detail keberangkatan. Aku menunggu bus di samping pos penjagaan gerbang rimba, cukup lama sampai kemudian datang seorang setengah baya dengan barang bawaan tas dan kardus besar. Setelah kutanya, ternyata hendak menuju Malang berkunjung ke rumah anaknya. Sungguh kebetulan sekali, karena bus malam menuju Malang sedikit rumit, harus transit di sebuah jalan besar Probolinggo, dan kalau tak turun disitu akan terbawa hingga terminal Bungurasih, Surabaya. 4 Desember dini hari pkl 01.00 aku tiba kembali dengan selamat di terminal Arjosari, Malang…
Ada banyak hal yang didapat dari perjalanan ini, salah satunya mengenai pentingnya bersikap ramah dan membumikan kembali budaya bertanya. Dewasa ini orang sudah mulai enggan bertanya pada orang-orang di sekitar, di tempat-tempat umum utamanya. Stereotipe untuk tidak berbicara dengan orang asing telah menggeser wajah kebudayaan sedikit demi sedikit, dari yang dulu kita selalu disanjung karena keramah-tamahan penduduknya menuju perlahan acuh hingga sekarang ini. Orang terlalu menganggap teman sejati mereka adalah melulu gadget, dianggapnya segala informasi berada disana (media internet), pula semua teman ada disana. Padahal sesungguhnya, kalau kita berani keluar sedikit dari kotak pikiran yang membelenggu, ternyata masih amat sangat banyak sekali banget orang-orang baik dan ramah yang bisa menjadi teman. Dan cara terbaik untuk menjalin pertemanan adalah dengan menyapa dan bertanya. Namun kembali lagi, berpikiran terbuka dan menjadi ramah terhadap diri sendiri tentunya diperlukan terlebih dahulu. Menjaga etika dan batasan pertanyaan juga sangat diperlukan. Mari kembali saling berbicara satu sama lain, baik ditempat umum, kepada kenalan ataupun terhadap orang-orang baru, asyik kok! Yukk mari kembali bumikan budaya bertanya pada apa-apa yang pingin kita ketahui, kepada siapapun, dimanapun dan kapanpun, karena mau bertanya pasti ngga akan bikin sesat di jalan! Salam…

Rabu, 13 Januari 2016

Main-main ke Lumajang (B29 dan Tumpak Sewu)



Perjalanan ini sudah kuidamkan sejak puasa Ramadhan belum berakhir. Sebulan penuh istirahat dari aktivitas fisik dan petualangan yang mendebarkan bikin otakku jadi lumayan tumpul duhh. Jadilah waktu itu saat sedang balik ke Malang, sempat-sempatkan untuk main. Destinasi yang kupilih kali ini adalah Lumajang. Browsing pada waktu-waktu yang lalu mengenai bukit B29 yang masih masuk TNBTS kesatuan Probolinggo, Pasuruan dan Malang semakin membulatkan niat untuk segera kunjungi kota ini. Pada acara MTMA di channel salah satu televisi swasta yang tak sengaja tertonton waktu itu juga menampilkan Coban Tumpak Sewu di pinggiran Lumajang, ciyeee anak maytrip wakaka gaklahh.
Tujuan pertama tentu saja B29. Teman-teman sudah banyak bercerita mengenai sebuah bukit yang ketinggiannya melebihi puncak tertinggi penanjakan Wonokitri, Probolinggo. Juga dalam cerita itu ada bumbu-bumbu yang memancing-mancing hasrat untuk kembali dipeluk kabut dingin di ketinggian beberapa ribu meter, mengenai lautan awan di lautan pasir Bromo, semua itu buatku merinding rinduuuuuu…
Beberapa hari menjelang keberangkatan, aku mencoba membujuk teman-teman untuk temani perjalananku kali ini. Setelah melalui usaha negosiasi yang alot, terbentuklah formasi main kali ini. Ashe, Desi dan mas Ial bergabung dalam tim. Semua keperluan, gear, logistik, kesiapan fisik dan kendaraan telah dipersiapkan dengan baik, begitu pula dengan tanggal keberangkatan.
Jumat, 19 September 2015 pkl 14.30 kami berangkat. Tujuan utama tentu saja B29. Keberangkatan kami molor dari jam yang ditentukan, biasaaaaa, arloji orang Indonesia memang ada karetnya. Lain kali harus lebih disiplin lagi, harus membiasakan yang benar bukannya membenarkan yang biasa! Untuk menuju B29 di Lumajang kami menempuh jalur ke arah gunung Bromo dan Semeru. Sampai di desa Ranupani (pos pendakian Semeru) pkl 16.30, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju desa Argosari, Lumajang. Jalan yang dilalui dari Ranupani menuju Argosari sungguh sangat sepi dan panjang. Disamping kiri dan kanan benar-benar hutan yang lebat. Jalan yang dilalui awalnya berpaving dan buruk, namun lama kelamaan sudah beraspal halus dan cenderung aman. Akan sangat disarankan untuk berhati-hati mengingat jalanan yang licin dengan teksturnya yang super nggeronjal, pastikan pula kendaraan dalam kondisi prima.
 Berbincang dengan penjual jaket pendakian gunung Semeru. Jalan Ranupani-Senduro, Lumajang.
Desa Argosari tak sulit untuk didapati, terletak di pinggiran kota Lumajang tepatnya di Kecamatan Senduro, dengan banyak papan arah menuju B29. Kami sampai di Argosari pkl 19.30 setelah sebelumnya menyempatkan makan malam di warung, terlalu larut untuk melakukan pendakian memang. Motor kami titipkan di rumah pak RT, karena sungguh ta memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan menaiki motor sampai di puncak. Waktu itu sedang ada perbaikan jalan menuju bukit B29, berupa pavingisasi dan pengerasan untuk memudahkan akses pengunjung, untuk memperbanyak jumlah pengunjung pula tentunya. Dari tempat penitipan motor sampai ke pos perizinan kami harus nanjak jalan kaki sejauh 4km. di pos perizinan pengunjung kami istirahat sejenak dan disambut dengan ramah sekali oleh petugas dan pos dan pekerja perbaikan jalan yang bermalam di pos, Kami ngobrol banyak hal, dan disuguhi teh hangat, sangat membantu ditegah udara yang betul-betul dingin. Biaya untuk masuk ke bukit B29 murah saja, hanya rp. 5rb per kepala, penitipan motor rp. 5rb untuk satu malam. Dari pos perizinan menuju puncak bukit B29 berjarak 1,5 km yang kami tempuh dengan waktu hampir 2 jam. Waktu jalanan yang kami lalui benar-benar berpasir, hampir diatas mata kaki dalamnya kaki kami masuk dalam tiap pijakan. Project pengerjaan jalan ini akan selesai sebelum tahun baru 2016, jadi bagi yang ingin berkunjung ke B29 seharusnya saat ini jalanan sudah bisa dilalui dengan baik dan lancar oleh kendaraan. Kami sampai pkl 22.30 dan segera mendirikan tenda untuk langsung beristirahat.
 
Pagi hari kami bangun, di sabtu 19 September, kami langsung berada pada suasana yang dingin-dingin sejuk menyenangkan. Kami langsung naik pada puncak tertinggi B29 dan mendapati panorama yang suuuuuuper. Di depan kami tersuguhkan pemandangan dataran tinggi Bromo pagi hari, lengkap dengan lautan pasir beserta kabut tipis-tipis. Sesekali tampak dari kejauhan kendaraan hardtop bergerak sangat lambat saking kecilnya. B29 merupakan sebutan untuk bukit atau Bromo dengan ketinggian 2900 mdpl. Kami dengar juga ada puncak lain yang lebih tinggi, disebut B30, namun memang tak tahu dimana letaknya. Mungkin sama saja dengan B29, hanya selisih 100 m ketinggian saja dari B29.
 
 
 
 
 
 
 
 
B29 ini merupakan bukit yang puncaknya memiliki permukaan lapang, cukup untuk mendirikan sampai 50 tenda, tentunya dengan mempertimbangkan kecepatan angin dan keadaan cuaca. Kami tak melewatkan momen ini dan langsung segera berburu foto sambil ngobrol seru dan bersenda gurau. 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Di puncak kami temui pula di salah satu pohon yang pada rantingnya menyangkut suatu barang… emm mohon maaf, celana dalam. Jiamput, sing gawe sampah dolanan iki paling raine kaya sempak! Semoga sudah dibersihkan oleh petugas setempat. Duhh, lupakan bahasa yang jorok tadi, hanya sekedar intermezzo buat arahkan kemarahan, hahaha…
Puas dengan panorama yang telah tersuguhkan dan dinikmati, kami kembali ke tenda untuk bikin susu dan makan jajan camilan yang kami bawa. Dengan sedikit akselerasi dan guyonan yang khas, suasana dingin pecah dengan kejenakaan dan tawa dari, oleh dan untuk masing-masing dari kami. Sungguh waktu-waktu berkualitas, suasana seperti ini yang nantinya selalu ada untuk dirindu…
Kami memutuskan untuk berkemas. Setelah semua terkemasi dan masuk dalam tas keril, kami turun bukit dengan kembali melalui jalan berdebu semalam. Untungnya tak jauh setelah berjalan, kami dapat tawaran yang ramah dari sopir truk untuk naik membonceng ke truk sang sopir, penangkut bahan bangunan yang kebetulan akan turun. Tanpa basa-basi langsung saja kami terima. Kalau ngojek, bisa-bisa uang rp. 50rb ludes. Di B29 ini juga tersedia ojek buat pengunjung yang tak cukup kuat untuk bersusah-susah mendaki, jadi tenang saja. Setelah istirahat sejenak, tiba waktu kami untuk berpamitan dan meninggalkan B29 Argosari.
 
Tujuan selanjutnya adalah air terjun Tumpak Sewu, namun sebelumnya kami sempatkan mampir dulu ke Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pura ini sungguh besar, dan pada sore hari waktu kami mampir makan di warung yang tak jauh dari letak pura, kami dapati berjejeran bus pariwisata beserta penumpangnya datang berkunjung kesini. Aku sempat bertanya pada pemilik warung, ternyata Pura ini memang menjadi “jujukan” para wisatawan maupun untuk bersembahyang rombongan saudara-saudara kita kaum Hindu dari Bali. Juga diceritakan bahwa Pura ini berhubungan dengan ritual pengambilan air suci dari mata air kaki gunung Semeru pada zaman jawa kuno dan memiliki sangkut paut dengan Pura utama umat Hindu di Besakih, Bali. Huwooo, Lumajang ada yang seperti ini juga ternyata, keren sekaleeeeee. Kami masuk ke Pura dalam keadaan kotor dan lusuh, namun penjaga Pura dengan ramah sekali mempersilahkan kami masuk dan melihat-lihat juga mengambil foto. Satu-satunya larangan di Pura ini hanya tidak diperbolehkan untuk menaiki patung yang ada. Tentunya jaga attitude memang penting, juga kesantunan dalam berkunjung. Pada salah satu titik di pelosok Jawa Timur ini sungguh benar terdapat sebuah Pura yang agung!
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Lepas dari Pura, kami sempatkan mampir kembali ke warung makan yang kemarin kami kunjungi, karena porsinya yang kuli, masakan yang lezat dan harganya yang murah pula hehe. Setelah perut kami fulltank langsung kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun Tumpak Sewu. Menyusuri jalur selatan jalanan Jawa Timur, sampai juga kami di destinasi selanjutnya. Tumpak Sewu berada di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang, bahkan Tumpak Sewu sendiri merupakan batas wilayah Kabupaten. Kami sampai di Tumpak Sewu pkl 12.30 dan langsung menuju parkir motor. Untuk masuk ke Tumpak Sewu pengunjung dikenakan bea rp. 5rb beserta parkir motor rp. 5rb. Kok daritadi maribu mulu ya? Meneketehek, memang segitu kok tarifnya, dan kutulis benar dalam catatanku.
 
 
 
 

 
 
 
 
Kami langsung lanjut berjalan, tak sabar ingin segera main air, mengingat badan yang daritadi penuh debu di B29. Untuk main air di Tumpak Sewu pengunjung harus melalui medan yang cukup berat berupa turunan anak tangga yang lumayan curam. Jujur saja kemarin waktu turuni anak tangga sempat merinding juga, tapi pas naiknya aman kok. Lebih suka naik daripada turun, dan kalau memang turun pasti pake kuda-kuda naik dengan jalan mundur. Anak tangga di Tumpak Sewu terbuat dari potongan bamboo yang telah dirakit sedemikian rupa hingga menjadi kokoh. Juga terdapat pegangan disamping-samping tebing berupa tali-temalian dari tampar yang cukup efektif membantuku dan teman-teman juga pengunjung lain. butuh waktu 45-sejam turun ke pusat luruhan air Tumpak Sewu. Debit air yang jatuh sungguh luar biasa besar, percikan airnya sampai terasa bahkan sejak jauh-jauh dari pusat jatuhnya air. Sampai di bawah kami ngaso sejenak luruskan kaki dan segera kami kemon menuju dataran jatuhnya seribu air terjun yang emezjing. Di tengah jalan kami sampai di pos dan bayar uang retribusi kembali sebesar Rp. 5rb, nah disini kami dan pengunjung lain temukan keganjalan. Penjaga pos menyampaikan bahwa pos ini berasal dari wilayah Malang, sedang pengunjung dari pos Lumajang wajib membayar retribusi kembali. Memang benar untuk sampai di Tumpak Sewu ternyata dapat pula melalui jalur Malang, tapi jaan yang dilalui wuuhh sumpah terjalnya amit-amit kulihat duhh. Saat sampai di pos izin Lumajang sudah kami laporkan mengenai keberadaan pos yang boleh jadi illegal ini, dan petugas dari Lumajang bilang kalau memang orang dari “sana” nakal-nakal. Penjaga pos Lumajang ini ramah sekali, waktu ngobrol-ngobrol kami ditawari secangkir kopi dan gorengan plus jajanan tradisional, mereka bilang suruh ikhlaskan saja, dan kami memang sudah tak ada pikiran. Sempat ada pengunjung lain yang berdebat sengit dengan petugas yang mungkin “abal-abal”, tapi yasutrah lah kami tak mau ambil pusing dengan hanya lima ribu rupiah saja.
 
 
 
 
Tumpak Sewu sungguh menawarkan keajaiban alam yang amat sangat keren sekali banget. Tinggi tebingnya mungkin lebih dari 200 m, dengan debit air jatuh yang besar. Bediri di jatuhan airnya saja badan rasanya langsung mau runtuh. Percikan air dari jatuhan air jatuh kemana-mana, utuh seperti hujan. Kalau main air disini, pastikan semua gadget dan dompet terbungku kresek plasik. Tak jauh dari pos masuk tadi, ke arah kiri terdapat Goa tetes. Dari pos ke Goa Tetes makan waktu jalan 15 menit saja. Disini curahan airnya lebih bersahabat, dan lebih asyik untuk dipakai main apalagi kalau ta ada pengunjung lain, wuoooo berasa kolam milik sendiri hahaha. Kami sungguh-sungguh menikmati liburan main kali ini, sampai tiba waktunya harus kembali lagi ke Malang.
 
 

 
 
Lumajang, sebuah kota kecil di Jawa Timur dengan suguhan pesona alamnya yang permai tak terkira. Juga yang patut diingat adalah keramahan penduduknya yang haaaaaangatnya luar biasa. Suatu saat harus balik lagi kesini, Lumajang sampai jumpa …