Sabtu, 21 Maret 2015

Jangan Membaca: Lestarikan Kebodohan!



Malam-malam, ditengah lautan menuju selat Manila sebuah kapal tertabrak badai. Begitu besar sampai-sampai terlihat kapal tua itu akan terjengkang kesamping. Kru kapal sibuk berlarian menyelamatkan kapal dengan menarik tali-temalian layar kesana kemari. Sebagian penumpang mencoba menyelamatkan barang-barang yang bisa diselamatkan, sebagian lain hanya bisa berdoa. Karena sebuah keajaiban, kapal beserta semua penumpang selamat. Di dalam kapal itu ada seorang lelaki paruh baya, tubuhnya terlihat ringkih, namun raut matanya tajam, dan kuat. Ada yang aneh, dia tak merasa senang walau badai telah berlalu. Matanya tersorot pada satu titik, sebuah peti tua yang berada di pojok ruangan kamar dek kapal. Baginya badai belum berlalu. Beberapa hari yang lalu lelaki ini memutuskan untuk hijrah dari Tiongkok menuju Manila. Dibawanya barang-barang seadanya, namun yang ada dalam peti baginya lebih berharga dari mata uang manapun. Ternyata dalam peti itu bertumpuk berbuku-buku tulisan karya Machiavelli, Marx, Freidrich Engels, Shakespeare, Rumi dan penulis-penulis lain juga Al-qur’an Karim, dan berlembar-lembar tebal kertas hasil tulisan sendiri baik yang ditulis tangan maupun yang telah diketik. Waktu berlalu dan kapal akan segera sampai di pelabuhan, lelaki itu tak punya waktu lagi untuk menyesal. Dia harus menenggelamkan peti berisi buku-buku miliknya, merelakan dengan berat hati berbagai pustaka yang telah dikumpulkan dengan bersusah payah di masa lampau, byurr hilang tenggelam begitu saja ditengah laut yang sepi. Sampai di pelabuhan Manila, tampak berderet polisi melakukan pemeriksaan. Lelaki tadi turun dari kapal dengan menjinjing koper berisikan baju-baju dan piranti lain untuk hidup di Manila. Setelah tiba antriannya untuk diperiksa, polisi menemukan sebuah buku catatan kecil yang terselip di saku kemeja lusuh yang dipakai. Buku itu bertuliskan kumpulan abjad yang acak, seperti ACMSK (singkatan dari Army, Capital, Machine, Source, Knowledge. Ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa saja yang dibutuhkan untuk memenangkan perang, metode berpikir seperti ini kelak disebut “Jembatan Keledai”) dan lain sebagainya. Awal mulanya Polisi-Polisi tadi curiga, namun setelah perbincangan yang alot akhirnya lelaki pemilik buku catatan dibebaskan.
Lelaki yang diceritakan diparagraf atas adalah Tan Malaka, Muhammad Yamin menyebutnya sebagai bapak bangsa Indonesia. Cerita diatas bukan fiksi, namun benar terjadi. Cerita berkejadian sekitar tahun 1920-an, waktu itu dunia sedang bergejolak akibat perang. Krisis terjadi dimana-mana. Buku yang harus ditenggelamkan milik datuk Tan juga akibat imbas perang, lebih tepatnya perang ideologi. Saat itu peredaran buku sangat dijaga ketat, utamanya untuk buku-buku berbau ideologi, ekonomi, komunisme dan sastra revolusi. Bahkan sebagian buku dilarang untuk dibaca, untuk kemudian orang yang membacanya dicap pembangkang dan berdosa. Di Manila, buku-buku berbau komunisme dilarang dan pemilik ataupun pembaca yang terbukti harus dijatuhi hukuman mati, ditembak dilapangan disaksikan beramai-ramai masyarakat awam agar buku tertentu tidak dibacai lagi selama-lamanya. Pertanyaannya, kenapa buku?
Itu kisah mengenai Tan Malaka. Ada juga banyak cerita yang menggambarkan betapa sulitnya orang-orang di masa lampau dalam menggali pengetahuan atau bahkan untuk sekedar membaca. Dulu-dulu yang sangat dulu, tentara Persia akan membakar seluruh buku dan perpustakaan dari daerah jajahan baru yang berhasil ditaklukkan. Pertanyaannya, kenapa buku?
Menarik sekali membahas arti pentingnya buku, sampai-sampai wakil presiden RI pertama, Moh. Hatta bekata dalam sebuah catatan, “Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena bersama buku aku bebas!” Sebuah kalimat yang sungguh bertabrakan namun mengandung arti yang sangat mendalam keluar dari seseorang yang semasa hidupnya dihabiskan untuk semata-mata kemerdekaan bangsa.
Melompat jauh ke masa kini, dimana langsung saja para pemuda-pemudinya dapat belajar dengan baik tanpa takut kehabisan uang saku, dengan gadget di tangan kiri dan leptop dikanan, tanpa takut dipenjara dan terbebas dari kerasnya popor senjata tentara-tentara yang siap dihantamkan andai saja ketahuan membaca buku-buku tertentu. Mendapatkan pustaka tentu akan sangat mudah, tinggal menekan tombol “OKE Google” internet dan semua beres. Jaman memang berubah, semuanya menjadi lebih praktis ketika membaca langsung pada poin yang dituju, dan juga tak perlu menenteng buku kemana-mana karena dengan gadget semua buku bisa ditampung, sangat praktis memang. Kenyataannya tak seindah itu, banyak godaan yang terpasang di aplikasi pembantu gadget-gadget saat ini. Instagram, Facebook, Twitter, Path, BBM, Foursquare, Line, bahkan Let’s Get Rich dll. Penulis paper ini juga menggunakan smartphone, dan jujur saja saat membuka kunci pada smartphone untuk pertama kali yang terlintas adalah menyelami media sosial, surfing in the Internet untuk bahasa gaul generasi gadget saat ini. Sungguh tak bisa dielak bahwa kumpulan media sosial tadi memang benar betul menggoda. Alih-alih digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, jujur saja mungkin proporsi untuk stalking sosial media yang membuang waktu dan kurang bermanfaat akan lebih banyak.
Aku, ah aku, maaf aku menggunakan kata “aku” karena lebih nyaman daripada menggunakan “saya” untuk menunjukkan bahwa aku adalah penulis paper ini, lebih kurangnya merasakan lunturnya budaya membaca di lingkungan sekitar. Coba saja amati apa-apa saja yang dilakukan teman-teman saat sedang rehat istirahat, atau saat sedang menunggu, atau saat sedang sendirian mungkin, lihat saja apa yang dilakukan, pasti tidak jauh-jauh dari gadget. Tidak-tidak, aku tidak memusuhi dan menganggap gadget sebagai sesuatu yang harus diberangus, tidak. Tapi kurang lebih itulah yang membuat buku atau apapun yang dapat dibaca, sedikit dicampakkan saat ini.
Selain faktor pengalihan perhatian seperti diatas, ada juga alasan yang menjadikan malasnya membaca sebagai hobi yang patut diselami. Ini adalah alasan klasik, alasan yang amat-sangat-basi-sekali-banget, alasan tidak suka membaca. Bahkan ada juga yang bilang membaca itu membosankan, terlihat kuno dan old-fashioned, kuper dan sebagainya. Kenyataannya adalah kalau kita mengambil contoh dari orang-orang “besar” yang telah berhasil dari masa ke masanya, baik disemua bidangnya, orang-orang  tersebut adalah mereka yang diotak dan hatinya sangat mencintai dan menjunjung tinggi kehadiran buku. Sebutlah bung Karno, Tan Malaka, Abraham Lincoln, Stephen Hawking, Gibran, Che Guevarra, Soe Hok Gie atau tokoh-tokoh saat ini seperti Prabowo, Anies Baswedan, SBY, Bob Sadino, Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Hugo Chavez, tokoh-tokoh tersebut adalah contoh orang-orang besar dalam bidangnya dari masa ke masa, dan masih banyak beribu tokoh lain yang jelas tak akan mungkin diceritakan bagaimana sayangnya mereka pada perpustakaan dan tumpukan buku-bukunya. Bahkan kalau kalian mengenal Eminem, rapper keren asal Amerika penge-rap lagu “Love the Way You Lie”, kosakata dalam setiap lagunya yang begitu kaya adalah tak lepas dari kegemaran Eminem yang merupakan seorang pembaca berat buku kamus semacam KBBI-nya Amerika.
Adalah sebuah kesalahan fatal jika menganggap membaca buku adalah hal yang tak banyak membantu. Selain menambah wawasan dan pengetahuan, membaca buku juga dapat memperhalus budi pekerti, mencairkan kebekuan hati, mempertajam fokus, memperkokoh kepercayaan diri, dan merubah cara berpikir untuk lebih menjadi pribadi yang positif. Kuberitahu kalian sebuah rahasia, bahwa menurut akun twitter @FaktaGoogle mengungkapkan dalam sebuah penelitian bahwasannya laki-laki yang suka membaca buku terlihat lebih seksi dibandingkan dengan laki-laki lain yang tidak gemar membaca dengan asumsi tingkat kekerenannya seimbang, begitu juga dengan perempuan. Masih menurut @FaktaGoogle, laki-laki terlihat lebih “Gentle” saat mereka memiliki pengetahuan yang luas dan berkepribadian baik. Premis 1: Lukman (misalkan saja) seorang laki-laki keren yang gemar membaca buku, Premis 2: Dari membaca buku Lukman memiliki wawasan yang luas. Silogisme dari kedua premis tersebut adalah Lukman seorang lelaki yang gemar membaca buku dan memiliki wawasan yang luas, yang kemudian akan sampai pada sebuah hipotesis bahwa Lukman disukai/ditaksir oleh banyak teman perempuannya. Hal tadi tentu saja adalah sebuah permisalan, karena memiliki pengetahuan luas bukanlah sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan melulu membaca buku, tapi juga dari berbagai hal lainnya.
Ada lagi hasil survey yang diadakan oleh Hipwee.com mengenai hal-hal apa saja yang dapat menghibur sebuah kedukaan atau disaat takut mengenai hal yang akan datang. Hasil survey yang telah dikompilasi menunjukkan bahwa membaca buku adalah obat paling ampuh untuk melupakan kesedihan, disusul ditempat kedua dan seterusnya yakni mendengarkan musik favorit (yang kukira menjadi obat nomor satu), pergi ke tempat-tempat indah atau tempat yang ingin dikunjungi, bercerita dengan teman dan lain sebagainya. Ini bagi kalian para generasi gadget yang ababil, yang seringkali galau karena ditinggal pacar mungkin, atau ditelikung orang lain mungkin. Aku tak menuduh, karena aku juga masih ababil seumuran dengan kalian.
Tak ada salahnya kita mulai kembali menyenangi buku, mulai bacai buku, mulai kembali lagi ke buku. Buku apa saja boleh dan halal, buku bacaan yang lepas konteks dari buku perkuliahan seperti novel atau lain-lain. Ambillah contoh sederhana, kemanapun pergi harus terselip sebuah buku bacaan di dalam tas terlepas nantinya akan sempat dibacai atau tidak. Saat senggang, “bermainlah” dengan bukumu, kesampingkan gadget atau lainnya barang sejenak saja. Jelas kita tak bisa langsung istiqamah dalam membaca seperti apa yang dilakukan Paulo Coelho yang tak pernah hari-harinya di jalani dengan tidak membaca buku selain hanya satu hari saat hari pernikahannya. Setidaknya dengan sedikit meluangkan waktu dan menggebrak rasa malas, buku akan selesai terbaca.
Buku bacaan yang patut dibaca tidak terpatok pada buku-buku pelajaran. Untuk awalnya coba bacai buku-buku yang menghibur diwaktu senggang, seperti novel, sastra, motivasi atau yang lainnya. Saat ini memang sangat banyak yang menggemari buku-buku macam tulisan Raditya Dika, Dee Lestari, atau lain-lainnya yang tergolong genre romanso metro-pop. Selanjutnya saat dirasa cukup kuat dan mantap dalam membaca, tinggalkan sedikit-sedikit dan mulailah beranjak ke sastra romansa klasik atau yang berkaitan dengan sejarah, Sospol (sosial politik), Teologi, filsafat, sosiologi dan masih banyak aliran buku yang lain. Percayalah, saat sudah merasa nyaman dengan membaca, bagaikan meminum air laut, akan semakin haus untuk “meminum” buku-buku selanjutnya.
Beberapa fakta diatas mungkin masih belum bisa menguatkan niat untuk langsung gemar membaca, semua pastinya membutuhkan proses. Tapi ingatlah, bahwa perintah pertama Tuhan kita dalam surat Al-Alaq adalah Iqra’, membaca. “Bacalah… Bacalah… Bacalah… Bacalah dengan nama Tuhanmu…” sekiranya seperti itu yang disampaikan malaikat Jibril kepada nabi Muhammad. Perintah membaca yang ditekankan sampai tiga kali menandakan pentingnya sebuah aktivitas membaca, membaca dalam arti yang seluas-luasnya. Kenapa bukan perintah pertama yang disuruh Tuhan kepada kita adalah tulislah, atau syahadat, atau shalat, atau tersenyum, atau berlari, atau menolong, atau berwudlu, dan atau-atau lainnya? Tentunya ini kewajiban untuk merenungkan dan mengupas apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita sebagai makhluk yang berpikir.
Terakhir kalinya, aku mewakili para pembaca buku yang egois, antagonis, yang ingin menang dan ingin pintar sendiri. Menulis paper ini sebenarnya bagiku sebuah paksaan dengan setiap baris kalimatnya yang bagiku sangat menjemukan. Aku ingin tak seorangpun dari kalian yang bacai tulisan singkat ini setelahnya berubah menjadi gemar membaca. Kosongkan perpustakaan kalian, kosongkan isi tas kalian dan isilah dengan gadget atau piranti-piranti yang tak membawa kebaikan itu seperti kartu Uno, remi, berbagai kosmetik dan piranti lainnya. Karena pada saatnya nanti, kalian akan kecolongan dan merasa tertinggal jauh dari kami para pembaca-pembaca buku yang individualistis dan ingin pintar sendiri. Jadilah kalian pada akhirnya generasi yang tak berkompas, tak tentu arah, membebek dan membeo oleh trend-trend hedonis dan sekularis dengan segala tipu daya dan kemewahannya, yang sengaja diciptakan untuk menghancurkan mental kalian, membius kalian dalam kesenangan masa muda yang penuh ranjau dan jebakan. Kami para pembaca buku akan benar-benar berdiri sebagai pemenang, sementara kalian, hanya ini pesan yang kami tinggalkan: Jangan membaca, lestarikan kebodohan! Salam.
Kupinjam dari Tan Malaka, ditulis pada 22 Maret hari puisi, Padi tumbuh tak berisik…

                                                                                               Penulis:
                                                                                               Abimanyu Permadi (Nama Pena)


Paper ini ditulis dalam kaitannya memberi sumbangsih dan ikut berpartisipasi mengembangkan bidang kepenulisan ADKES HMI Komisariat Pertanian UB. Semoga bermanfaat, dan juga untuk pembaca lepas, semoga mencerahkan. Yakin Usaha Sampai...

Selasa, 10 Maret 2015

Tentang Berjalan

Akhir-akhir ini aku kembali ke kampus setelah sekian lama menjalankan penelitian. Kampus tak seperti dulu, ada sedikit yang berubah. Tidak tentang bangunannya, atau tentang pertaturan, yah mungkin hanya jalanan yang jadi lebih padat dari biasanya, dan juga sulitnya mendapatkan tempat parkir. Ada yang berbeda, semua orang berjalan lebih lambat, semua orang terlihat terlalu sering menggunakan handphone atau alat komunikasi lainnya.

Saat menuju ke kantin dengan jalanan lorong utama antara gedung FP dan HPT, sedikit harus mengerem langkah karena harus ngantri dengan orang didepan. Tapi saat di jalanan, bahkan dijalanan kampus sekalipun, astaga pengendara motor ugal-ugalan dengan laju kencaang, padahal juga banyak pejalan kaki disekitarnya. Why everybody walks so slowly, but drive like hell??? Tentunya ini sebuah ironi. Bagaimana ya menyampaikannya, tapi kurasa ini benar sebuah hal yang bertentangan. Tidakkah mereka punya sesuatu yang harus segera diselesaikan saat berjalan lambat? Tidakkah mereka peduli dengan keselamatannya sendiri atau kselamatan orang disekitarnya (pejalan kaki atau pengendara lainnya)? Yahh namanya juga budaya. Tapi kenapa orang Jepang dan orang-orang luar yang kulihat di tivi-tivi itu jalannya cept dengan langkah yang lebar ya? Mungkin itu sebabnya peradaban mereka jauh lebih maju dari kita, karena mereka punya "greget" untuk segera melangkah, karena itu? Bisa saja, makes sense...

Aku ingat kalimat Abraham Lincoln, "I'am a slow walker, but i never walked back!"
Yahh terserah lah kalian mau berjalan cepat atau lambat, ini hanya tentang pilihan saja. Aku sudah memutuskan akan berjalan cepat namun teliti...
Salam.

Minggu, 08 Maret 2015

Itu senja, sayang...

Angin tipis-tipis menerpa tubuh dan pikiranku. Aku sedang termangu menyaksikan senja. Awan bergumpal tampak berarakan dari barat jauh, dan tampaknya sinar mentari sebentar lagi akan berpulang dari peraduannya, menyelinap mengintip diantara celah-celah awan yang tak pernah kekal bentuk rupanya itu.

Aku selalu menyenangi senja, sama halnya dengan menyenangi fajar dipagi yang elok. Dalam hati kemudian ada yang menarikku keras ke belakang, ternyata kenangan. Dia minta agar aku tak pernah tinggalkannya, dia minta agar aku selalu hidup bersamanya, disisinya. Tapi sayang, Tuhan yang menggerakkan langkahku ingin aku segera bergegas, dan aku memang harus segera berlari menyongsong takdirku.

Tidak sayang, takkan kutinggalkan kau barang sedetikpun...
Kita masih akan terus melangkah bersama. Kubutuhkanmu seperti kubutuh akan udara. Maka doronglah, jangan menarik. Karena sayang... Kita benar-benar telah berbuat sebaik apa yang kita bisa.

Matahari mulai turun berkelindan perlahan. Dan diujung runcing penaku ini, kutuliskan bahwa benar adanya seseorang yang berkata tiada terang yang seterang senja.
Setiap orang menciptakan kenangan, sayang...

(Sabtu, 7 Maret 2015)