Selasa, 16 Februari 2016

Main ke Perpustakaan PATABA



Sudah sejak aku mulai bacai buku-buku Pramoedya aku benar-benar sangat pingin kunjungi tempat ini. Merupakan sebuah tempat yang sangat wingit, dibangun oleh Soesilo Toer untuk mengenang sejarah peninggalan kakaknya semasa hidup, penulis dan pengarang besar Indonesia yang karya-karya besarnya bahkan sudah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa dunia, Pramoedya Ananta Toer. Perpustakaan PATABA namanya, akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (diambil dari judul buku kedua tetralogi Pulau Buru), terletak di jantung kota Kabupaten Blora, barat laut alun-alun kota, tepatnya di Jalan Sumbawa No. 40, Jetis, Blora.
Sebenarnya aku sudah berencana untuk berangkat sendirian tanggal 3 Desember, karena seperti biasanya tanggal tersebut harus dirayakan walaupun sederhana seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi pada tanggal tersebut ada undangan interview kerja, rencana akhirnya dindur. Kebetulan si Alvin kawan lamaku sedang libur panjang dari rutinitasnya mengajar di sebuah sekolah dasar, doi juga sudah lama pingin ke tempat ini, akhirnya berangkatlah kami.
Selasa, 22 Desember 2015 kami berangkat dari Bojonegoro sekitar pkl 08.00. Blora adalah sebuah Kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Untuk sampai di Blora, butuh waktu 2 jam saja berkendara, setelah melewati Cepu, salah satu kota besar Kabupaten Blora di perbatasan Jawa Tengah. Blora memiliki jargon “Blora Mustika”, entah kami tak tahu apa artinya, yang jelas Blora sungguh-sungguh sebuah kota yang permai. Kotanya tertata rapi, bersih dan rindang, waktu kami kesana cuaca juga sedang sejuk, indah sekali.
Pada awalnya kami sempat kebingungan mencari alamat perpustakaan, namun setelah bertanya sana-sini kami baru tau bahwa perpustakaan telah kami lewati berkali-kali. Perpustakaan PATABA terletak di pojokan jalan, masih di jantung kota Blitar, namun saat memasuki halaman perpustakaan rasanya kami kenal dengan nuansa “ndeso” yang tercitrakan. Bagaimana ya cara ngomongnya…
Kami disambut oleh Perempuan tua yang sedang menggembala kambing, dibukakannya pagar rumah yang terbuat dari kayu jati, terlihat sudah amat sangat reot dan lapuk dimakan rayap. Kesan pertama yang terlintas dibenak kami sudah pasti, apa benar ini perpustakaan bersejarah itu? Tak bisa tidak berpikiran seperti itu karena dari letaknya yang di jantung kota namun berbangunan reot, berhalaman luas dengan sisa-sisa pekarangan berimbun semak sampai bisa digunakan menggembala kambing, sudah cukup membuat kami berpandangan satu sama lain terkaget-kaget. Namun dengan usaha pengendalian diri yang cukup memakan waktu, ternyata memang inilah Perpustakaan yang kami tuju dan benar-benar ingin kukunjungi.
Perpustakaan PATABA ini berdinding kayu, terletak di bagian belakang tak terpisah dari rumah utama yang merupakan rumah peninggalan keluarga besar Toer. Kondisi rumah masih dipertahankan seperti jaman dulu seperti yang tergambar dari pekarangan yang luas dan bangunan rumah beraksen kebelanda-jawaan, mirip seperti rumah simbah dulu atau tetangga-tetangga di kampungku. Untuk masuk ke perpustakaan PATABA yang letaknya di bagian belakang rumah, kami harus masuk dan melewati semak yang untuk ukuran rumah tempat tinggal, yah menurutku sudah amat belukar. Dalam hati rasanya prihatin sekali melihat kondisi perpustakaan yang sudah seperti ini, kurang terawat dengan baik.
Perempuan tua yang bukakan pintu buat kami tadi adalah bu Suratiyem, istri dari Soesilo Toer, adik Pramoedya Toer. Bu Suratiyem sangat ramah sekali menyambut kami, sayang sekali kami tak bertemu pak Soesilo waktu itu karena sedang berplesir ke Yogya guna mencari percetakan. Kami terlibat perbincangan yang awalnya canggung, kemudian hangat dan diskusi terus mengalir. Dari penuturan yang disampaikan oleh bu Suratiyem, bahwa perpustakaan ini sudah dikunjungi orang-orang dari berbagai kota bahkan mancanegara. Umumnya para pengunjung adalah mereka yang mengagumi karya pengarang Pramoedya Toer. Bu Suratiyem menuturkan banyak hal, mengenai sejarah pendirian perpustakaan dan sejarah hidup Pram dan Soesilo Toer. Yang bikin kaget justru sangat sedikit sekali pengunjung yang datang dari Blora sendiri. Bu Suratiyem menuturkan (juga kusadur dari asepmufti.blogspot.co.id) bahwa stigma yang berkembang di Blora, perpustakaan PATABA disebut perpustakaan liar, dengan stereotipe yang menjurus pada peristiwa 1965. Pram dan Soesilo Toer adalah juga bekas tahanan politik 65 yang ditahan tanpa pengadilan dan dibuang. Buku-buku Pram pernah diberedel pada rezim orde baru, orang mau baca harus dengan sembunyi-sembunyi. Di rumahpun sebenarnya bapak menyinggungku untuk jangan membaca tulisan Pram, padahal sebenarnya taka da yang aneh, malah sungguh sebuah kehormatan dan kesenangan sendiri bisa bacai buku-buku Pramoedya Toer. Pernah pak Soesilo, dari cerita bu Suratiyem, diciduk Polisi di bandara Soekarno beberapa menit setelah kaki menjejak tanah sepulangnya menamatkan studi di Rusia, dan langsung di bui tanpa pengadilan yang jelas. Seperti ini perlakuan yang diterima keluarga Toer pada waktu itu, dan mungkin masih membekas sampai sekarang. Juga karena stigma perpustakaan liar tadi, perpustakaan PATABA tak pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah. Padahal dari cerita bu Suratiyem, banyak pejabat Blora yang berkunjung ke perpustakaan guna meminjam buku dan tak dikembalikan. Buku-buku yang dipinjam pun buku-buku cetakan asli, sungguh sebuah harta karun yang amat bernilai bagi para pembaca karangan Pramoedya Toer. Karena tak pernah mendapat apresiasi yang baik, dan minimnya bantuan, jadilah seperti ini kondisi perpustakaan PATABA. Maklum saja, perpustakaan dikelola pribadi oleh pak Soesilo dan bu Suratiyem. Sungguh sebuah ironi yang amat sangat bertentangan sekali dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertulis rapi dalam berbagai hukum dan Undang-undang, kan?

Annelies Mellema dalam buku 1 dan 2 tetralogi Pulau Buru...
Buku-buku tulisan Soesilo Toer yang hanya dijual di Perpustakaan PATABA
 
 
 
Alat ketik yang digunakan Pramoedya Toer buat tetaskan karya-karya besar karangannya
Memasuki ruang perpustakaan, kami tercenung dengan banyaknya buku-buku dan lukisan-lukisan di dinding ruangan. Meskipun agak kotor dan kumuh, tapi sungguh agung sekali nuansa yang terasa sekali memasuki ruangan. Wingit dan keramat, sekaligus penuh dengan peninggalan bersejarah yang bikin merinding. Disini terjejer rapi berbuku-buku “legend” dengan debu dan sarang laba-laba yang mulai menebal. Dinding ruangan juga penuh dengan lukisan-lukisan semua yang berkaitan dengan Pramoedya dan karya-karyanya, seperti RM. Tirto Adhi Soerjo yang lebih dikenal sebagai Minke, tokoh utama dalam tetralogi Pulau Buru, juga tak ketinggalan pula dengan Annelies Mellema, buah tangan dari seorang pelukis dari Jakarta yang juga penyuka karangan Pram. Ada juga mesin ketik yang dulu digunakan mbah Pramoedya buat tuliskan karyanya, rasanya merinding sekali dapat melihat langsung perangkat besi dingin yang pernah digunakan pengarang besar buat tetaskan buah pikirannya. Di samping ruangan perpus ada ruangan kecil berisi tempat tidur kumal dengan tumpukan buku-buku yang makin tak tertata, di kasur ini eyang Pram biasa tidur dan menghabiskan sisa waktunya untuk istirahat. Ruangan kecil perpustakaan PATABA dengan buku-buku dan berbagai benda disana menyimpan begitu banyak kebesaran pemikiran-pemikiran orang masa lampau…

Perpustakaan PATABA bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis!

Obrolan dengan bu Suratiyem terus berlanjut, sambil sesekali ada kambing masuk ke dalam ruangan perpustakaan. Kambing-kambing ini merupakan gembalaan bu Suratiyem dan pak Soesilo, jumlahnya mungkin ada sekiar 10 ekor, terkadang malah duduk pada kursi tamu di teras perpustakaan. Bu Suratiyem berpenampilan sangat sederhana, namun dibalik kebersahajaannya itu pengetahuan beliau mengenai sastra sangat bagus. Kami mendapatkan kesempatan untuk melihat dan memegang langsung buku cetakan asli yang tersisa di perpustakaan PATABA, jumlahnya tak lebih dari 10 eksemplar dari berbagai judul buku karya Pramoedya Toer. Aku dan Alvin juga mengeluarkan buku Pramoedya yang sedang kami baca, aku dengan Arok Dedes dan Alvin dengan Jejak Langkah-nya. Pada awalnya aku ragu-ragu untuk keluarkan buku yang kubeli dari toko kelontong di daerah Malang, karena sudah pasti bajakan. Kemudian bu Suratiyem bilang “loh ya ndak papa to mas, wong Pram itu pernah ngomong: entah bajakan atau asli tiada masalah, buku tetaplah buku yang harus dibaca!” Mendengar kalimat itu darahku berdesir, sumpah keren benar mbah Pram ini, dia tak peduli pada royalty individu atau semacamnya, asalkan masyarakat Indonesia harus tetap membaca. Kalimat ini aku tak tahu, dan dengannya pula aku merasa lega bisa bacai karya Pram walau harus dengan buku bajakan. Memang akan sangat sulit pada masa ini untuk temukan cetakan asli buku-buku Pramoedya Toer, kalau ada pastipun buku-buku langka ini harganya tak terjangkau.
 Kamar tidur Pramoedya Toer, biasanya juga dipakai kamar inap pengunjung perpustakaan.

Buku Arok Dedes milikku (kiri) dan Arok Dedes cetakan asli (kanan)




Perpustakaan Pramoedya juga menyediakan buku-buku tulisan pak Soesilo Toer, ada beberapa judul yang dicetak mandiri dari percetakan swasta, dan buku ini benar-benar hanya dijual di perpustakaan PATABA. Aku tak bisa beli, karena masih ingin lanjutkan pembacaan buku-buku Pram yang belum selesai. Mungkin lain kali nanti kalau ada kesempatan akan mampir lagi. Ada juga dijual souvenir berupa kaos bergambar sketsa Pram, dijual seharga rp. 75rb saja. Sebenarnya waktu itu aku dan Alvin sedang bokek berat, tapi yahh itung-itung buat kenangan dan siapa tahu juga buat nambah kas perpustakaan. Kunjungan harus kami cukupkan, sayang sekali karena belum bisa bertemu pak Soesilo untuk menimba ilmu lebih dalam lagi.
Semoga saja perpustakaan PATABA terus lestari dan menjadi kanopi teduh bagi masyarakat Indonesia membaca. Pramoedya Ananta Toer, suaranya takkan hilang ditelan angin dan akan tetap abadi sampai jauh-jauh hari nanti…

Senin, 15 Februari 2016

Gowes ke Bukit Sigit




Setelah gowes tahun baru ke bukit Kapur, Rengel-Tuban kemarin, kami merasa alangkah aktivitas seperti ini harus selalu diagendakan. Minggu, 31 Januari 2016 aku, Alvin, Gendys, dan Ferdian berangkat mancal kembali. Tujuan kami adalah Candi Dewi Lintang di Baureno, yang kuketahui dari Instagram seorang teman. Sayang sekali Piter dan Antok tak bisa ikut gowes kali ini.
Pagi hari kami berangkat, langsung menuju Baureno lewat jalan raya Bojonegoro-Lamongan. Sampai di pangkalan ojek Gunungsari, ada perempatan kecil belok kanan. Awalnya kami kebablasan, sampai akhirnya bertemu dengan Imron dkk yang juga sedang bersepeda pagi. Waktu ditanya mengenai Candi Dewi Lintang mereka tak tahu, namun setelah ditunjukkan gambarnya, mereka baru manggut-manggut paham. Dengan baik hati mereka menawarkan unruk mengantarkan kami menuju destinasi yang kami tuju, yeayyy rombongan gowes kami bertambah. Terimakasih banyak sobat kecil, kayuh pedal sepeda kalian lebih jauh lagi…

 This machine really kills my boredome!

 
 
 
 
  
Pesan dari hape Gendys buat si doi katanya wakaka
 
 
Ternyata Candi Dewi Lintang bukan nama sebenarnya, hanya nama fiktif yang dipakai seru-seruan oleh seorang teman. Tempat yang kami tuju lebih tepatnya bernama disebut bukit Sigit, berupa perbukitan kapur yang luas sekali. Di bukit ini terdapat aktivitas penambangan berupa batu-batu kapur sebagai bahan bangunan. Bukit Sigit ini, tak disangka-sangka ternyata lumayan cantik tempatnya, rekomendatif sekali untuk dikunjungi hehe.

Sekian saja catatan kali ini, salam…