Sabtu, 01 November 2014

Pendakian Gunung Lawu (Via Cemorosewu)



Judul untuk penulisan paper ini sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, sayangnya realisasi penulisan baru bisa dikerjakan siang ini. Penulisan paper ini jujur aku sendiri sedikit males, banyak yang aku lupa tuliskan dan dokumentasikan untuk beberapa pos dan medan dalam pendakian yang nantinya kurang akurat bila diinformasikan, tapi okelah aku ingat-ingat sebisanya.
Pendakian gunung Lawu ini sebenarnya benar-benar tak terpikirkan sebelumnya. Aku yang sudah janji sama diriku sendiri kalau baru akan ndaki lagi setelah Seminar Proposal (skripsi) ndak kuasa menahan “pingin” lihat teman kontrakanku si Piter yang ndaki Arjuno. Dengan pendakiannya ini berarti rekor pendakianku dengannya akan sama di angka 3 gunung: Semeru, Arjuno, Argopuro untuk masing-masing aku dan Piter. Sumpah mati, aku ndak rela. Let’s find some beautiful place to GET LOST!!
Sabtu malam (malam minggu) aku kumpulkan teman-teman yang telah kuundangi via sms, bbm dan telfon di lapangan rektorat kampus untuk meeting persiapan pendakian. Rencana pendakian kita adalah gunung Lawu di pinggiran Jawa Timur perbatasan dengan Jawa tengah, Kabupaten Magetan. Hadir disini Ashe, devita, fitria, Eka Putri, boyek, dan aku, Ardon ndak bisa hadir karena dia di Madiun, tapi dia nyatakan kesediaannya untuk bergabung dalam pendakian kami. Semua rencana telah disusun, gear pendakian, penginapan, bekal makanan, rute perjalanan, informasi medan dan trek, estimasi waktu dsb. Kami fix berangkat pada Rabu 9 april 2014. Sebelum keberangkatan aku sebisa-bisanya kerjai skripsiku sampai bab 4, namun gagal dan hanya bisa sampai bab 4 paling paling paling awal alias nulis judul besar  thok dipaling atas “IV. METODE PENELITIAN”. Huahahaha, shame on meeee…
Rabu sore sekitar pukul 16.00 aku, ashe, putri, fitria, kami kumpul dikontrakanku dan berangkat naik motor weerr langsung ke Magetan. Boyek, ardon, dan devita sudah nunggu di Magetan, mereka berangkat duluan karena ada keperluan. Perjalanan dari Malang ke Magetan ini sumpah awalnya aku ndak setuju-setuju benar kalau naik motor. Perjalanan mendaki kalau naik motor itu ndak enaknya setelah ndaki pasti badan rasanya sepert mau copot, nanti pulangnya masih disuruh bawa motor. Awalnya kami berencana nge-bis dari Malang, tapi karena ongkos yang dikeluarkan juga mbengkak nantinya akhirnya kami mekso bawa motor. Sekitar pukul 23.30 kami sampai di penginapan yang telah diurus sama boyek sebelumnya, lokasinya di sekitaran telaga Sarangan, mantabb. Anak-anak lainnya langsung tepar, sedang aku dan ashe walking-walking malam sejenak liat pemandangan malam telaga Sarangan sambil beli sate kelinci di pinggiran telaga. Tukang satenya nanya ke kita “Lhoh mas sampean ra nggawe jaket po ra kademen, mas?” kami jawab senyum aja sambil ngobrol ini-itu dengan bapaknya, mungkin karena kami ramah akhirnya dapat tambahan banyak beberapa tusuk sate lagi dari bapak penjual ate kelinci baik hati ini. Puas nikmati suasana telaga Sarangan malam hari, aku dan ashe balik ke penginapan untuk istirahat dan siapkan tenaga buat pendakian esok hari.
Pagi harinya kami masih males-malesan buat mandi, udara dan air disini dingnnya mintak ampun, brrrr… Tapi show must go on, kami semangat waktu bayangkan hari ini mau ndaki gunung Lawu. Semuanya beres, periksa barang dan kelengkapan yang mungkin tertinggal sudah dilakukan, semua clear, dan oke saatnya kita kemon!
Perjalanan dari telaga Sarangan menuju pos Cemorosewu Lawu membutuhkan waktu tempuh motor kira-kira 15 menit. Disini setauku ndak ada angkutan umum, jadi repot juga kalau ndak ada motor. Mungkin cara mudahnya harus carter angkutan, itu nanti bikin pos pengeluaran ndaki mbengkak. Di Cemorosewu sudah ada penitipan motor, dikenakan biaya cukup Rp. 5rb saja. Juga untuk pendaftaran dan izin pendakian kami dikenai charge kalau aku ndak salah ingat sekitar Rp. 6rb-an per orang, yang jelas ndak sampai Rp. 10rb kok.
Setelah sarapan di dekat pos perizinan, kami sempatkan sejenak ngambil foto di gerbang masuk Cemorosewu. Foto sudah diambil, kami berkumpul sejenak melingkar berdoa dan kusampaikan aturan-aturan mendaki: Jangan tinggalkan teman, kalau capek bilang jangan gengsi, savety first dan “THE HIKER’S IRON RULES: TAKE NOTHING BUT PICTURE, LEAVE NOTHING BUT FOOTPRINTS, KILL NOTHING BUT TIME…"  Lanjut itu kita mulai perjalanan ndaki kita dari titik nol pos awal, kami berdebar, Tuhaaaaannnnnnn…


Jalur Cemorosewu ini seperti namanya yang berarti seribu pohon cemara, tampak dalam perjalanan awal kami di kanan-kiri dari jalur setapak. Trek jalan setapak yang kami lalui adalah jalan bebatuan yang tertata rapi. Keras sekali menurutku untuk dijadikan pijakan, itu aku pakai sepatu, bagaimana dengan teman-teman yang pakai sandal gunung coba. Trek yang sudah tertata rapi ini aku kurang suka, kurang alami, pendakian jadi serasa membosankan karena kaki yang ngelangkah pakai sepatu gunung dengan sol keras terus-terus saja ngehajar ke batu, ini juga bikin sol sepatu gampang aus.
Perjanan dari awal pos menuju pos bayangan sebelum pos satu membutuhkan waktu tempuh sekitar 45 menit. Disini kami berhenti sejenak nunggu ujan reda. Setelah itu lanjut kami menapaki jalan bebatu ini, dan sampai di pos 1 dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit. Di pos 1 ini benar-benar terlihat kelakuan pendaki-pendaki yang tangannya mintak dipotong, coret-coretan pakai spidol segala macem ada disini. Tak hanya di pos 1, tapi hampir sepanjang perjalanan kami, di bebatuan besar, di bangunan-bangunan pos, atau dimana saja, ada banyak coretan-coretan model gondes di jalur setapak gunung Lawu. Benar-benar sikap vandalis yang tidak bertanggung jawab,  merusak, KECOAK! Di pos 1 ini dari informasi yang kami dapati dari teman pendaki lain yang bersua dijalan, biasanya ada warung nasi. Tapi waktu itu kebetulan saat kami ndaki sedang tutup. Dalam hati aku bersyukur aja, kalaupun memang ada ya aku ndak bakalan beli makan di gunung. Ternyata ndak hanya di pos 1, tapi di pos sendang setelah pos 5 juga ada banyak warung, bahkan toilet juga kabarnya ada. Aku sendiri secara pribadi kurang begitu senang dengan hadirnya warung-warung ataupun toilet, mereka bisa mengurangi syahdu perjalanan dan arti perjuangan dalam pendakian. Perjuangan bukan berarti hanya berjalan mendaki, bukan. Tapi perjuangan nunggu masakan mateng, nyajikan makan dengan pas, nunggu air mateng buat bikin kopi atau susu cokelat, itu juga masuk perjuangan. Tapi mengingat gunung Lawu ini juga sering dijadikan tempat ritual sama penduduk sekitar waktu bulan suro atau bulan-bulan suci lainnya untuk upacara adat atau semacamnya, maka dibangunlah fasilitas-fasilitas tadi. Yang kami usahakan ya cuman bagaimana nikmati pendakian ini sebisa-bisanya, sedalam-dalamnya, sesyahdu-syahdunya.





Dari pos 1 ke pos 2 butuh waktu tempuh sekitar 2 jam, kami sampai sekitar pukul 16.30. Waktu itu udaranya benar-benar dingin ndak karuan, bulan april masih masuk musim hujan. Dari pos 2 ini sudah tampak lautan awan, indah namun masih kurang puas kalau belum sampai puncak. Kami putuskan untuk buat makanan disini. Yahoo, semua perlengkapan masak keluar dari tas carrier, semua bumbu dan bahan makanan dijejerkan biar gampang. Aku, ashe sama boyek dan ardon hanya melihat, urusan masak-memasak kita serahkan pada srikandi-srikandi gunung ini hahaha. Akhirnya di senja itu kami nikmati santapan makan yang telah dibuat dengan yummy, “nyekoh” kalo orang jawa bilang. Makanan yang dimasak setelah berlelah-lelah mendaki itu benar-benar anugerah Tuhan yang sederhana tapi nikmatnya dalam, dalaaaammmmm…
 
 
 
Hari sudah gelap, tapi perjalanan masih panjang. Semua barang sudah kami kemasi, sampah besar dan kecil kami masukan ke trash bag di belakang. Lanjut lagi jalan, menuju pos 3. Kami keluarkan senter disini, sambil bersenda gurau, perjalanan kalau dibuat santai ternyata juga tak terasa. Dibuku panduan butuh 2 jam untuk sampai pos 3, tapi ternyata tak kurang dari sejam kami sudah sampai, mungkin kesalahan estimasi di buku. Pos 3 ini sama saja dengan pos 2 dan 1, berupa bangunan kecil dengan genteng bolong dan coretan spidol tangan-tangan jahil dimana-mana.
Setelah rehat sejenak di pos 3, kami lanjut terus berjalan. Sambil diterangi headlamp dan beberapa senter, juga ngobrol riang-santai dengan teman-teman, juga sambil beberapa kali istirahat karena memang medannya yang nanjak dan lumayan berat, kami sampai di pos 4. Pos ini keadaannya lebih parah dari pos sebelumnya.
Sewaktu perjalan diantara pos 4 dan 5, kami diterpa badai, anginnya kenceng bikin ngeri. Fitria waktu itu ndak bisa gerak kedinginan, kami cari tempat berlindung diantara semak-semak sembari nunggu badai ilang, biar dia dipeluk teman-teman cewe untuk hangatkan badan. Waktu istirahat itu kami masih sempat guyonan dan selfie, eh terkampret-kampret. Setelah dirasa lumayan berkurang tiupan badainya, aku dan ashe segera nyari tempat lapang buat dirikan tenda. Nyari nyari nyari, akhirnya ketemu juga, segera dengan kecepatan super dan cekatan kami berdua dirikan 2 tenda. Boyek yang lemah dan ardon yang amatir hanya nunggui dan liati aja, weee semprul. Semua matras ditaruh ke tenda cewe, lengkap dengan sleeping bag-nya. Tenda cowo gimana? Tragis dan mengenaskan, 3 selimut untuk 4 orang dalam satu tenda kecil. Benar-benar malam yang melelahkan kami berempat lalui. Dari apa yang pernah kurasai, gunung Lawu ini gunung paling dingin yang pernah kudaki. Ternyata tak hanya aku, pendaki lain juga bilang seperti itu.
Esok paginya karena terlambat tidur kami bangun kesiangan. Pukul 07.00 kami berangkat dari tenda untuk nyerbu puncak. 20 menit berjalan kami sampai di pos 5, disini banyak dijumpai bangunan mungkin warung atau entah untuk apalah, juga ada sumur yang dipercaya punya kekuatan atau mistis entah. Sumur ini satu-satunya sumber air dari jalur Cemorosewu. Dari sumur ke puncak butuh waktu perjalanan sekitar 40 menit.
Pemandangan di puncak benar-benar megah, terlihat arakan awan yang tebal, pendaki alay sering nyebut “Negeri di atas awan”. Aku juga alay, kusebut juga seperti itu. Di puncak ada tugu yang dibangun Kopassus (Komando pasukan Khusus) TNI, tingginya kira-kira 4m. Dari tugu ada jalan setapak lagi, dari jauh terlihat kain lusuh merah-putih di atas tiang seakan melambai dan memanggil-manggil kami. Kami berjalan tergopoh-gopoh,  ini dia puncaknya. Langsung saja kuciumi benderanya dalam khidmat yang dalam. Kami berfoto, kadang juga terdiam lihati pemandangan didepan yang sejauh mata memandang indahnya alam membentang ndak karu-karuan kerennya, kadang juga ketawa-ketawa bareng, yang jelas rasanya waktu itu kami benar-benar “hilang”. 3265 mdpl, kami berdiri di puncak gunung Lawu. Puji Tuhan…
 
 
 
 
Puas cumbui puncak, kami segera turun menuju tenda. Disini kami masak untuk sarapan pagi. Para srikandi masak nasi, tumis, sosis, sarden, ashe dengan sambel terong anti-pedas miliknyanya, dan aku dengan Rendang Gaul Uda Gembul sapi level pedas maksimal, mancabbbbbss.
 
 
 
Setelah sarapan, kemudian puas kongkow-kongkow di asyiknya udara dingin, bersenda gurau sejadi-jadinya, waktunya kemas-kemas untuk turun gunung. Semua gear pendakian sudah rapi tertata, masuk kedalam carrier. Semua sampah sudah masuk trash bag, semuanya siap dan kami jalan turun. Singkat cerita sore gari pukul 17.30 kami sampai kembali di pos perizinan. Setelah melapor dan nitipkan sampah disana, ngambil motor, langsung mampir ke warung buat isi perut sambil bersih diri. Semuanya lancar dan menyenangkan, dan kami harus pulang. Lawu terimakasih atas semuanya, semai rindu kami untuk kembali…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar