Selasa, 18 November 2014

Max Havelaar



“Havelaar adalah lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya ramping dan gerak-geriknya cekatan. Namun dengan pengecualian bibir atas yang sangat pendek dan ekspresif, serta bola mata biru pucat besarnya-yang seakan menerawang ketika dia sedang dalam keadaan tenang, walaupun memancarkan api ketika dia dipenuhi gagasan besar…
“Dia penuh kontradiksi: setajam silet, berhati selembut anak perempuan, dan selalu pertama yang merasakan luka akibat kata-kata pahitnya sendiri: dan dia lebih menderita daripada mereka yang dilukainya. Dia cepat mengerti, langsung memahami masalah-masalah yang paling rumit, gemar menghibur diri dengan mencari pemecahan atas pertanyaan-pertanyaan sulit, dan bersedia mencurahkan seluruh jerih payah, pikiran dan tenaganya untuk itu. Namun, dia sering kali tidak memahami hal paling sederhana yang bisa dijelaskan seorang anak kecil kepadanya…
“Dia seorang penyair dalam pengertian tertinggi kata itu: ketika melihat percik api, dia memimpikan sistem tata surya-yang dipenuhinya dengan makhluk-makhluk ciptaannya sendiri, dan merasa seolah dirinya adalah penguasa dunia yang digerakannya itu… Dia tepat waktu dan dan teratur, juga sangat penyabar; tapi ini justru karena tepat waktu, keteraturan dan kesabaran sangatlah sulit baginya. Pikirannya agak liar dan, lambat dan berhati-hati dalam menilai masalah, walaupun tampaknya bukan ini kasusnya bagi mereka yang pernah mendengarnya meraih kesimpulan secepat kilat…
“Dia jujur, terutama ketika kejujuran itu berubah menjadi kedermawanan, dan akan membiarkan utang beratus-ratus tak terbayar karena dia telah mendermakan beribu-ribu. Dia jenaka dan menyenangkan ketika merasa kejenakaannya dipahami; jika tidak dia akan pendiam dan menjemukan. Dia ramah terhadap teman-temannya; pembela orang yang menderita; peka terhadap cinta dan persahabatan; selalu menepati janji; mengalah dalam hal-hal kecil, tapi seteguh karang ketika dia merasa patut untuk bersusah payah menunjukkan wataknya; rendah hati dan murah hati terhadap mereka yang mengakui keunggulan intelektualnya, tapi menjengkelkan bagi mereka yang ingin menentangnya.
“Harga dirinya yang tinggi menjadikannya orang yang jujur, tapi terkadang dia pendiam ketika merasa khawatir keterusterangannya salah dipahami sebagai ketidaktahuan; peka terhadap kebahagiaan jasmani maupun rohani; pemalu dan tidak fasih berbicara ketika merasa tidak dipahami, tapi fasih ketika merasa bahwa kata-katanya bagai jatuh di tanah yang subur; lamban ketika tidak didesak oleh dorongan yang tidak berasal dari jiwanya sendiri, tapi giat dan bersemangat ketika dorongan itu muncul. Selain itu dia ramah, sopan dalam bersikap, dan perilakunya tidak bercela. Itulah sedikit gambaran mengenai karakter Havelaar.
“Kukatakan ‘sedikit’ karena…”
(Eduard D. Dekker a.ka Multatuli, hlm113-117,  Max Havelaar, 1868)

Aku rasa tuan Havelaar di umur 21 juga selalu senang melihat arakan awan di langit  sewaktu senja, atau menghitung bintang dimalam hari sembari membayangkan masa depannya nanti akan jadi apa dirinya kelak; punya berapa anak yang diinginkan; siapa saja nama-nama yang cukup gagah dan anggun untuk anak-anaknya nanti; bagaimana cara membalas jasa-jasa orang tuanya; istri yang seperti apa yang diinginkannya; kemana dan kapan rencana libur akhir pekan untuk keluarga kecilnya; bagaimana impiannya untuk punya perpustakaan pribadi di rumah sederhananya nanti yang padat tapi tetap memberi cukup ruang untuk dirinya dan anak-anaknya bermain; apa-apa saja profesi yang akan digeluti anaknya nanti saat dia sudah cukup lama menjalani kehidupan; juga bagaimana dia memikirkan siapa yang seharusnya mati duluan, apakah dirinya terlebih dahulu atau istirnya …
Dalam novel ini karakter Max Havelaar baru muncul dan dicitrakan pada halaman 113, yang aku sedikit kaget dan buatku bertanya-tanya dengan alur yang sedikit unik dan tidak seperti novel umum biasanya. Pembuka cerita lebih banyak diisi dengan kehadiran Mr. Droogstoppel, lelaki terhotmat yang selalu mencintai kebenaran, memiliki perspektif aneh namun sangat cerdik, jenaka, sedikit congkak, dan makelar kopi di Lauriergracht No. 37. Sampai sekarang aku belum menyelesaikan pembacaan novel ini, yang jelas tebakankuadalah  tokoh pencerita utama dalam novel ini adalah Mr. Droogstoppel ini.
Kembali ke tokoh utama, aku merasa begitu dekat dengan sosok Max Havelaar yang digambarkan sekilas dari paragraf kutipan dari novel diatas. Aku merasa, sepertinya Havelaar ini adalah aku, atau aku ini adalah Havelaar. Memang aku tau ini terlalu mengada-ada, mana bisa aku yang norak ini dibandingkan dengan sosok utama dalam novel tulisan Eduard Douwes Dekker (nama yang banyak disebutkan dalam buku sejarah SD, bagi yang suka pelajaran sejarah waktu kecil dulu pasti akan langsung akrab dengan nama ini) atau Multatuli nama pena-nya. Tapi, tapi… rasanya itu ya ini…
Novel ini aku dapat malam minggu kemarin saat hangout ke toko buku sama si Alfi. Saat lewat di rak novel untuk carikan buku buat adekku dirumah, kujumpai buku ini. Pertama kukira ini novel yang membosankan, namun di sampul bukunya terdapat kutipan “Kisah yang membunuh kolonialisme!” dari Pramoedya Ananta T. penulis legenda milik Indonesia yang kukagumi semangat menulisnya itu. Tanpa bertanya banyak aku ambil buku ini, yang kemudian aku berfikir seharusnya buku sekeren ini ditaruh di jajaran buku sospol biar terlihat para maniak-maniak sejarah dan perpolitikan.
Aku rasa ini novel yang keren, dan masuk novel legenda yang harus dibaca kalian yang suka sastra. Ingat saja kata Pramoedya; boleh saja maju dalam hal pelajaran, tapi mereka yang tidak mencintai sastra sama saja dan hanya tinggal hewan yang pandai. Selamat membaca, salam budaya…

                                                      “Karena aku lelaki terhormat dan makelar kopi.”
                                                                                              -Mr. Droogstoppel           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar