Kamis, 15 Mei 2014

Pendakian Arujuno (Via Wonosari)

Setelah pendakian Semeru, aku merasa ketagihan dan benar-benar bulat memutuskan bahwa hobi baruku adalah mendaki gunung. Aku sudah merasa sangat rindu dengan suasana gunung, udaranya, sejuknya, kabutnya untuk kemudian segera memutuskan melakukan pendakian lagi. Kali ini tujuanku adalah Arjuno. Untungnya aku punya teman-teman yang merasa sama denganku, sama-sama pengen menekuni hobi barunya juga.
Segala persiapan untuk pendakian telah kami rencanakan, mulai dari gear dan peralatan, budget, kesiapan fisik, pengetahuan track yang akan kami lalui juga jalur yang akan kami tempuh. Kekurangan pendakian yang lalu juga telah aku lengkapi, walaupun masih ada kekurangan. Sahabatku si Ashe dia lebih dulu iming-iming aku dengan tas carrier barunya, juga jaket gunungnya. Untungnya tak lama setelah itu bapak berbaik hati dan berkenan membeikan tambahan uang saku (walaupun aku ndak ngomong buat beli gear pendakian), kalo rama dan simbok tau bisa-bisa aku ditempeleng hehe. Pamer dikit boleh lah, tas Carrier Consina Alpinist, jaket Consina, Sepatu tracking Karrimor KSB Munro, dirasa sudah cukup memadai. Awalnya pendakian ini hanya aku dan kawanku Ashe yang akan berangkat, kemudian kami mengajak mas Ial. Jadilah kita bertiga dalam pendakian kali ini.
Kami berangkat dari Malang pukul 8 pagi, langsung menuju ke Lawang, kemudian sampai di pasar sebelum jembatan layang belok kiri, melewati kuburan pecinan, lurus terus kemudian sampai kami di kebun teh Wonosari, Lawang. Tak jauh dari situ terdapat pos pendakian. Kami izin mendaki juga nitipkan motor. Disini aturannya tidak terlalu ribet seperti di Semeru, cukup mengisi data diri dan kelompok, kemudian dikenakan biaya pendakian Rupiah lima ribu saja. Untuk biaya penitipan motor dikenakan tarif lima ribu untuk satu malam, sepuluh ribu untuk dua malam dan seterusnya. Jadi walaupun sepuluh hari di gunung tetap saja sepuluh ribu. Penjaga pos pendakiannya juga sangat ramah, grapyak, namanya Roni. Cak Roni ini membeberkan persiapan dan wejangan-wejangan sebelum kami memulai pendakian, dimulai dari persiapan, jalur yang harus kami tempuh, peraturan-peraturan di gunung yang harus dipatuhi (termasuk peraturan yang berkenaan dengan hal gaib) dan lain-lain. Sekedar info bahwa di gunung Arjuno ini terkenal angker, banyak sekali kasus dan hal-hal ganjil yang terjadi pada pendaki-pendaki sebelum kami. Dan pada waktu pendakian ini, cak Roni menuturkan ke kita sedang tidak ada pendaki lain diatas selain kami, jadi kami harus ekstra siaga. Cak Roni ngomong ke kita "Jangan terlalu takut, tapi ya aja wani-wani aja wedi-wedi, biasa aja!". Oke cak, kami pamit berangkat...
Pendakian kami awali dengan berdo'a, dan start sekitar pukul 12:13 dari pos perizinan. Dimulai dengan berjalan dan melewati hamparan perkebunan teh, juga menyapa ibu-ibu petani teh yang sedang istirahat di gubuk-gubuk kebun. Ada dua gubuk besar di areal perkebunan ini, dan kami tiap kali singgah untuk beristirahat. Udaranya lumayan sejuk, walaupun cukup panas. Perjalanan kami lanjutkan, mulai memasuki kawasan rimba, hutan Kaliandra. Untuk keadaan track dominan tanah berdebu, dengan kontur yang menanjak dari awal. Kami berjalan dengan tertunduk karena beratnya beban yang dibawa dipunggung.
Sasaran kami untuk pendakian hari pertama ini adalah pos 2. Setelah melewati hutan Kaliandra, kemudian melewati alang-alang, dan sampai kita di pos 2 pada kurang lebihnya pukul 16.00, sekitar 4 jam perjalanan dari titik start. Disini kami mendirikan tenda. Pos 2 memiliki bangunan yang sudah cukup reot, banyak coretan disana-sini, tapi kami nge-camp di hamparan tanah yang cukup untuk tenda didepan bangunan. View dari pos 2 lumayan, tampak gunung Lincing di sebelah timur.


Kemudian di gunung Arjuno lewat jalur Wonosari, sumber mata air hanya terdapat di pos 2, lebih tepatnya setengah jam perjalanan ke arah barat, dan air disini tidak terlalu banyak, hanya berupa genangan, dan kotor. kami menyebutnya air survival. Waktu kami coba ambil menggunakan botol kemasan mineral, tampak uget-uget atau hewan kecil bergerak-gerak di dalam air. Tapi tak apalah, pendaki memang ndak boleh manja. .


Dari pos 2 ini juga sering terdengar teriakan monyet-monyet di balik semak-semak, jadi sangat disarankan untuk tidak meninggalkan barang-barang atau makanan di luar tenda. Ada cerita unik, yakni sewaktu malam kami sedang tidur, kawanku si Ashe yang kepalanya keluar lintasan dan menonjol keluar ke tenda di elus-elus oleh sekawanan monyet. "Dasar bedes!" maki Ashe.
Pada hari kedua pendakian, setelah mengambil air di pos 2, kami langsung berkemas dan segera melanjutkan perjalanan. Ada dua jalur menuju puncak dari pos 2, jalur sabana dan jalur ekstrim (Gunung Lincing). Kami memilih jalur sabana dengan resiko yang kecil. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 sekitar 3 jam.

Pemandangan di jalur pendakian lumayan keren, pada saat itu matahari sedang panas-panasnya, juga jalur pendakian yang sangat menantang dan berat. Akhirnya kami sampai juga di pos 3, Mahapena. Pos 3 Mahapena ini terdapat banyak bebatuan besar yang cocok untuk tempat nongkrong dan istirahat, juga ditutupi pepohonan rimbun yang teduh. Tampilan samudra awan mulai terlihat dari Mahapena. Dan di Mahapenalah tempat yang paling aku rindu sepulang pendakian Arjuno. Mahapena, bagaimana kabarmu? Semai rinduku untuk kembali...



Setelah dirasa cukup kami melepas lelah sejenak di Mahapena, lanjut kami dalam syahdu perjalanan menaklukkan diri dengan mendaki. Obrolan-obrolan ringan tapi berbobot saling kami ucapkan sembari sesekali tenggelam dalam guyonan kecil yang cukup menghibur diantara pepohonan yang tampak berbekas arang setelah peristiwa kebakaran di rerimbunan hutan Arjuno setahun silam. Waktu yang dibutuhkan dari pos 3 menuju pos 4 kurang lebih antara kisaran 3-4 jam.
Dalam lelahnya pendakian, satu hal yang paling menghibur diri sudah pasti adalah saat sampai di pos-pos di depan. Kami juga begitu, sesampai kami di pos 4, seketika rasa lega terbang dari kepala kami. Pos 4 ini bisa disebut juga pos Nggombes, atau Alas Nggombes, berupa hamparan tanah yang cukup luas, cocok buat nge-camp dan bikin api unggun. Dari pos Nggombes sudah terlihat puncak Arjuno dari kejauhan. Dan pos 4 merupakan pos terakhir dari pendakian Arjuno jalur Wonosari. Tapi sasaran kami di hari kedua ini adalah sampai Pelawangan, yakni titik pertemuan antara jalur Wonosari dan Tretes.


Kami memulai perjalanan dari pos 4 sudah menjelang sore, sehingga harus cepat sampai di Pelawangan dan segera mendirikan tenda. Setelah sekian waktu terus berjalan dan hari semakin gelap, akhirnya diputuskan jika menemukan tempat yang cukup lapang untuk mendirikan tenda, maka akan langsung segera kami dirikan. Kalau hanya gelap sebenarnya tak masalah, tapi suhu disekitaran kami semakin turun, kabut semakin tebal, semuanya semakin terasa dingin. Untung tak lama setelahnya kami menemukan tempat yang cukup lapang. Yes, lucky!
Ada cerita keren tapi horror pada malam ketika kita nginep di Pelawangan. Jadi setelah kami selesai membuat makan malam dan pergi tidur, kami sempat mendengar suara gamelan. Pada waktu itu mas Ial sudah pulas tertidur, tinggal aku dan ashe yang masih merem-melek gegara perkara dingin yang nusuk kulit. Pas masih kelop-kelopnya mata, lha kok dengar suara gamelan jawa ngalun malam-malam gini. Sungguh merdu suara gamelan yang kami dengar, tampak sayup-sayup dari kejauhan namun begitu terdengar digendang telinga kami, begitu jelas, seperti saat makai headset waktu dengar musik. Si Ashe nyeletuk "Kok ana suara gamelan tot?", "Hussh menengo, jare cak roni nek ana suara gamelan iki ana weden nikahan. Wis ayo pada turu se...", "Iyo tagh? aku mau pas diwejangi cak roni pas no jeding soale, hehe". Tak lama setelah suara gamelan berhenti, tepat diatas tenda kami terdengar suara ledakan mirip mercon, 6 kali meledak, jantung kami juga ikut-ikutan meledak. Lha siapa yang ndak kaget bayangkan, wong ndak ada pendaki lain yang sedang ndaki Arjuno selain rombongan kami bertiga orang ini. Apa ada penjelasan ilmiah untuk peristiwa yang telah kami alami pada malam itu? Sudahlah, balik ke "Aja wani-wani, aja wedi-wedi" lagi.
Pagi harinya setelah bermalam di Plawangan, saatnya penyerbuan puncak, SUMMIT ATTACKKKKKK YEAHHH!!! Kami berangkat pukul 5 pagi, pada waktu udara masih sangat dingin, tapi hati kami panas ingin segera berdiri di puncak. Jalan menuju puncak dari pelawangan berupa bebatuan terjal, banyak 'Rocks' di ujung tebing-tebing, juga tanaman semak yang kami tidak tahu nama ilmiahnya, bodo amat, puncak dulu. brrrr...
Dari bawah sini sudah terlihat bendera merah-putih berkibar-kibar, itu puncak tujuan kami. Pukul 6 lewat 12 menit akhirnya kami berdiri di puncak. Teman-teman merayakan kegembiraan dengan foto-foto dan bercengkrama, sementara aku menenggelamkan diri sejenak dalam syahdu, cumbui ciumi bendera merah-putih yang lusuh dan sobek-sobek, namun tetap perkasa berkibar di langit Indonesia. Puji Tuhan, senangnya tak tertahan. Kami merasa tak terkalahkan, begitu bersemangat dan merasa begitu hebat. kami menghabiskan waktu sejenak menikmati pemandangan lautan awan dari atas sini, berbincang-bincang itu gunung ini, ini gunung itu, kapan kita kesitu? Kapan kita kemana? Tak hentinya Puji Tuhan, kami berdiri di puncak Arjuno, 3339 mdpl. Kerennya kami bukan main...


Setelah puas, kami turun kembali. Masih dalam suasana kemenangan sesampainya ditenda, segera kemas-kemas barang untuk turun gunung. Tak lupa ucapkan selamat tinggal bagi puncak, kami pasti balik lagi kok. Beda saat ndaki, waktu turun yang ditempuh tak lebih dari satu jam tiap pos. Karena jalannya yang curam, kami turun dengan setengah berlari agar beban pada pergelangan kaki tidak begitu berat. Berjumpa lagi kami dengan alas nggombes, Mahapena (aku rindu), dan persimpangan jalan sabana dan jalur ekstrim. Kami memutuskan untuk mencoba jalur ekstrim (gunung Lincing). Gunung Lincing ini tingginya tak seberapa, tapi tracknya benar-benar bahaya. Ada turunan curam yang disampingnya langsung berhadapan dengan jurang, juga bebatuan kecil licin yang bisa saja menyandung kaki para pendaki. Jalur Lincing tidak kami sarankan, kami kapok.
Sesampai di pos 2 kami berpapasan dengan para pendaki dari PENS ITS. Ada banyak orang disana, kami sempat berbincang sejenak, mereka menawarkan snack dan jajanan ringan, begitu juga dengan kami. Ini budaya pendaki, kita benar-benar ramah. Kemudian di jalan kembali ke kebun teh kami juga berpapasan dengan beberapa kelompok pendaki. Ada satu kelompok yang membuat kami jengkel, mereka hanya bawa air sedikit, meminta kami perbekalan air. Sungguh kami tak keberatan, tapi mereka ini contoh pendaki yang tidak baik, hanya membawa perlengkapan minim, ndak save trip. Bukankah tujuan mendaki sebenarnya adalah kembali pulang dengan selamat tanpa kurang suatu hal apapun sedang puncak hanyalah bonus? Itu pelajaran yang sangat berharga dari pendakian sebelumnya dari kami. Tapi sudah, itu hanya cerita figuran dalam tulisan ini. Terlebih kami sudah dapat mendaki Arjuno dengan penuh.

Begitu saja catatan perjalanan yang aku tulis, kalianyang belum ndaki Arjuno ayo kapan kalian nyusul? hehe. Salam lestari... Selamanya Indonesia...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar