Selasa, 29 April 2014

Edelweiss

Dear Mifta,


Aku tak pernah merasa sebegitu melankolisnya sejak terakhir aku berdekatan denganmu, menuju kata “iya” darimu untuk berjalan disampingku. Waktu itu kita merasa sama-sama sebegitu bersemangatnya, begitu cemburu, begitu protektif satu sama lain, dan begitu bersemangatnya dalam menghangatkan hati masing-masing, sambil sesekali berpuisi. Sudahlah, sepertinya aku terjebak nostalgia…
Kini aku sendiri, dan kamu telah melangkah melanjutkan hidupmu. Terimakasih karena pernah mengisi rongga didalam hati, menghiasi hati dan otakku yang begitu kosong dan kering, terimakasih pernah menghadirkan kesejukan sekaligus ‘api’ untukku. Percayalah sampai kapanpun kau akan tetap menjadi Edelweiss-ku, takkan ada lagi edelweiss-edelweiss yang lainnya, untukku…
Aku selalu bertanya-tanya dalam gelap, mengapa manusia yang begitu menginginkan hidup dan ingin terus melanjutkan hidup malah mati, sedangkan mereka yang tak pantas hidup malah terus dapat melanjutkan hidup?
Percayalah aku akan selalu mendo’akanmu, dalam gelap dan terang, dalam hujan dank kabut, dalam cinta sekaligus benci, dalam senyuman maupun prahara, untuk kebahagiaanmu selalu, untuk senyumanmu selalu, untuk cita-citamu itu, dan untuk cinta Edelweiss-mu…
Percayalah dimanapun aku berada nanti selama kita masih dibawah langit yang sama, mungkin disaat-saat terakhir hidupku, aku akan tetap mengingatmu, mencintamu dan menangis untukmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar