Rabu, 04 Februari 2015

Jangan Membaca

Pagi ini ada yang ngetok pintu kontrakan, tak lama kemudian terdengar suara memanggil. Suaranya tak asing dan terasa sedikit familiar, hanya lama tak mendengar. Setelah ditengok keluar ternyata Si Somad. Dia teman di kos lama dulu waktu awal masih maba kuliah di kota perantauan. Aku tau maksud kedatangannya, dia mau kembalikan bukuku.
Sebulan yang lalu, aku masih ingat waktu itu tanggal 14 januari, dia datang dadakan ke kontrakan tanpa sedikitpun pemberitahuan (atau kabar dari hp, sosmed, apapun tak ada). Dia pinjam buku-bukuku. Mungkin bukan minjam, lebih tepatnya ngerampok. Saat itu dia main kekamarku, kemudian sambil terkaget-kaget dia liati buku-buku di rak dan bertanya, "bro, buku woconanmu kok aneh-aneh ngene saiki? Kok kaya bocah Fisip wae wacanane revolusi-revolusi, kaya bocah ekonomi wae wacanane kapitalis-sosialis? Kok kaya bocah sastra wae wacanane puisi-sajak? Kok kaya bocah filsafat wae wacanane epistemologi-aksiologi?" Aku enteng saja njawabnya, kalau emang pingin mbaca buku yang pingin dibaca kenapa ndak dibacai aja, selama mbaca ndak pernah dianggap dosa.
Kemudian kami asik berdiskusi, si Somad ceritakan apa yang pingin dia ceritakan, dan aku keluarkan apa yang sudah kubacai. Kami saling tukar informasi, saling bertanya, beradu argumen dengan bukti-bukti empiris yang kadang ada dan kadang masih nggelambyar. Waktu itu diskusi terasa mengasyikkan, rasa-rasanya seperti saat aku masih aktif dalam dunia perkampusan saat para "Legend" dan mas-mas juga teman-teman sejawat masih senang bergumul dan berjuang dalam satu wadah organisasi. Perdebatan dan diskusi dua arah seperti ini yang benar-benar sudah lama redup, bukan hilang, sedikit merindukan asyiknya bertukar informasi yang ilmiah ataupun hanya sekedar debat kusir sambil nyeruput kopi (aku nyeruput susu cokelat).
Jadi waktu itu saking asyiknya diskusi sampai-sampai aku lupa harus berangkat ke kampus untuk ngurus surat penelitian, sedang si Somad kutinggalkan untuk dijamu Piter teman kontrakanku. Saat makan dikantin, ada sms dari somad kalau dia pinjam buku. Yang jadi maslaah adalah dia minjam api mirip ngerampok. Bukuku,, Tan Malaka, Jallaluddin Rumi, Marcuse, Mao, Gibran, raib digondol Somad. Sambil marah-marah ku balas smsnya kuberi waktu seminggu kalau sampai tak dikembalikan akan kubunuh dia. Aku tak masalah peminjaman buku, tapi aku benar-benar muak kalau harus kehilangan buku lagi. Sudah banyak buku-bukuku yang hilang, dipinjam lalu tak dikembalikan, dipinjam lalu ketlisut, dipinjam lalu tak dirawat. Aku harus benar-banar marah kalau ada satu bukuku lagi yang hilang. Tapi dalam hati waktu itu, aku senang. Ternyata masih ada temanku yang juga keranjingan buku.
Mari berbicara ke wilayah yang lebih luas, ada apa dengan buku? Ada apa dengan membaca? Tidak-tidak, ini memang bahasan yang tak penting untuk dituliskan. Tapi lihatlah, makin banyak teman-teman kita yang makin sedikit membawa buku kemana-mana, makin langka melihat pemandangan mahasiswa-mahasiswa membopong buku atau membaca di taman-taman atau halaman-halaman kampus, makin langka. Aku masih ingat dulu di sinetron "Tersanjung" yang sering diputar bunda tiap malam hari saat aku selesai belajar, disana tokoh utamanya seorang mahasiswi kutu buku dipermulakan awalan kisah cinta saat ditabrak seorang mahasiswa sampai buku berumpuk-tumpuk yang dibawanya didepan dada jatuh berantakan ke lantai berserakan. Menurutku itu sebuah romansa yang romantis, keren dan gereget. Lihat sekarang, sinetron saat ini makin mengalami pendangkalan kultural dengan mengedepankan gadget, romansa yang kabur dan tak jelas supranatural, dan ora jelas sekabehane. Dalam kehidupan nyata juga seperti itu. Lihat dan amati, teman samping kanan-kirimu ketika ada waktu luang apa yang mereka pegang, pasti tak jauh-jauh dari hape, laptop, membicarakan mengenai Instagram, twitter, facebook, Path, dan lain-lain. Aku tak menyalahkan sosial media atau alat-alat komunikasi itu selama yang dilihat memang mengandung informasi yang berguna dan bermanfaat. Sebenarnya banyak hal yang ingin kusampaikan bersift sarkastik dan mengandung tendensi beraroma keprihatinan, kesedihan sekaligus kemarahan.
Ahh malas, lanjutkan besok...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar