Jumat, 06 Oktober 2017

Jaman Kalabendu



Tulisan ini kusadur dengan menggunakan bahasa sendiri dari buku karya Krisna Bayu Adji, “Sejarah raja Jawa dan Isteri-isteri Raja” penerbit Araska 2016. Ingin kutulis bab ini terinspirasi dari mbah Kung yang seringkali menggunakan penanggalan Jayabaya dalam menentukan hari-hari baik semisal tanggal hajatan, pindah rumah, beli barang, nikah dll, dan orang-orang sering sekali datang kepada mbah untuk bertanya tanggal. Meskipun begitu mbah tetap menekankan bahwa prinsip paling utama dari kesemua hari adalah baik, tak ada hari yang buruk, mbah hanya ngitung-itung saja. Pernah pada suatu malam ketika pulang kantor, dijalan aku ditabrak motor dari belakang, lumayan kencang sampai mental beberapa meter ke depan, untung sekali tak parah. Karena kuatir dengan kondisi motor, mampirlah aku ke rumah mbah dan cerita insiden dijalan tadi. Mbah langsung ngitung2 di tanggalan dicocokkan dengan tiron/wetonku dan ternyata tepat pada hari itu orang dengan weton ini diharap berhati-hati. Pada waktu itu tebakan mbah benar-benar akurat. Sekedar intermezzo, hehe
 
 
 Resensi dari buku yang tersebut diatas bab “jayabhaya, Kejayaan Kediri dan Serat Kalathida” bahwa raja Jayabhaya menjadi raja sejak tahun 1135 M, bergelar Sri Maharaja sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Sutrishinga Parakrama Uttungadewa, cukup panjang. Merupakan raja yang sangat dikenal oleh masyarakat jawa karena prediksinya mengenai datangnya Jaman Kalathida dan juga penanggalan jawa. Jaman Kalathida lebih kerap dikenal dengan sebutan jaman Kalabendu, atau jaman gemblung. Gemblung dalam ikhtisar bahasa jawa diibaratkan seperti orang kebanyakan minum sehingga mabuk, klepek-klepek dsb, atau seperti ungkapan kebanyakan orang Jawa Timur dalam mengumpat seperti “woo pancene gemblung!” dan atau ungkapan lainnya yang artinya mendekati huru-hara dan kekacauan. Jaman dimana masusia lebih banyak menjadi budak hawa nafsunya daripada tuan yang selalu menggunakan akal budinya dalam menjalani laku hidup dan kehidupan baik individu maupun bermasyarakat.
Simak baik-baik syair dari Serat Kalathida yang telah digubah Raja Jayabhaya berikut ini, dan renungkan bagaimana kehidupan saat ini telah mulai memasuki jaman Kalabendu:

Iki sing dadi tandane jaman Kalabendu (inilah penanda jaman Kalabendu)
Lindu ping pithu sedina (gempa bumi tujuh kali sehari)
Lemah bengkah (tanah meretak, karena kekeringan)
Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara (orang makin mengeluh, banyak orang sakit)
Pageblug rupa-rupa (penyakit makin macam-macam bentuknya)
Mung sethitik sing mari, akeh-akehe pada mati. (sedikit yang sembuh, kebanyakan mati)

Jaman Kalabendu Wiwit yen; (Jaman Kalabendu bermula ketika)
Wis ana kreta mlaku tanpa jaran (ada kereta jalan tanpa kuda, sepeda motor, mobil dll)
Tanah jawa kalungan wesi (Tanah Jawa berkalung besi, kereta api)
Prahu mlaku ning nduwur awang-awang (Kapal berjalan di udara)
Kali ilang kadunge (Sungai hilang palungnya, pendangkalan sungai)
Pasar ilang kumandhange (pasar tak lagi ramai, ganti online kali ya)
Wong nemuni wolak-waliking jaman (Orang bertemu jaman yang terjungkir-balik dari fitrahnya)
Jaran doyan sambel (Kuda doyan sambal, banyak kejadian aneh)
Wong wadon manganggo penganggone wong lanang. (perempuan memakai atau bertempat di tempat yang harusnya di isi lelaki)

Jaman Kalabendu iku kaya-kaya jaman kesukan (Jaman Kalabendu seolah jaman suka-cita)
Jaman kenikmataning dunya (Jaman nikmat-nikmatnya duniawi)
Nanging jaman iki sebenere jaman ajur lan bubrahing dunya. (tapi sebenarnya jaman ini adalah jaman hancur tatanan dan gegernya dunia)
Mulane akeh bapa lali anak (banyak bapak lupa anak)
Akeh anak wani nglawan biyung lan nantang bapane (banyak anak berani lawan ibu dan bapak)
Sedulur pada cidra-cinindra (sesama saudara saling bunuh-membunuh/bermusuhan)
Wong wadon ilang kawirangane (perempuan tak punya rasa malu)
Wong lanang ilang keprawirane (laki-laki hilang keperwiraan/kejantanan)
Akeh wong lanang ora duwe bojo (banyak laki-laki tak punya isteri)
Akeh wong wadon ora setya marang bojone (banyak perempuan tak setia pada bojonya)
Akeh biyung pada ngedhol anake (banyak ibu menjual anaknya)
Akeh wong wadon ngedol awake (banyak perempuan menjual badan)
Akeh wong ijol-ijolan bojo (orang bertukar-tukar pasangan)
Akeh udan salah mangsa (terjadi hujan di musim yang salah)
Akeh prawan tuwa (banyak perawan tua)
Akeh randha ngelahirke anak (banyak janda melahirkan anak)
Akeh jabang bayi nggoleki bapane (jabang bayi mencari bapaknya)
Wong wadon ngelamar wong lanang (perempuan melamar laki-laki)
Wong lnang ngasorake drajate dewe (laki-laki merendahkan derajatnya)
Akeh bocah kowar (banyak anak tak kenal bapak-ibuknya, dibuang)
Randha murah regane (janda murah harganya)
Randha ajine mung sak sen loro (harga janda hanya satu sen dapat tiga, tentu bahasa kiasan)
Dudha pincang payu sangang wong (Duda berkaki cacat laku sembilan orang)

Itulah syair tentang datangnya Jaman kalabendu dari Raja Jayabaya yang digubah dalam Serat Kalathida. Kalau dipikir dengan akal sehat dan diperbandingkan dengan realita yang ada sekarang, tak bisa tidak kita mengelak bahwa jaman Kalabendu sedang terjadi saat ini juga bahkan disekitaran kita. Sejalan pula dengan wasiat akhir jaman dari junjungan besar umat Islam, Rasulullah SAW yang telah memberikan petuah kepada umatnya mengenai tanda-tanda akhir jaman. Berdasarkan Serat Jayabaya Musarar, bahwa raja Jayabhaya pernah berguru kepada seorang ulama bernama Maulana Ngali samsujen. Raja Jayabhaya mendapatkan gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak jaman Aji Saka hingga datangnya hari kiamat dari ulama tersebut. Sebagai pribadi yang beragama dan berilmu, pastilah kiranya diperlukan analisis dan perenungan mendalam dari berbagai sumber yang kemudian dikompilir menjadi sebuah kesimpulan. Wallahua’lam bisshawaf...
Demikian saja, semoga kita semua dimampukan Allah menjadi pribadi yang lebih berilmu dan bijak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar