Selasa, 09 Juli 2024

Pendakian Gunung Buthak (Ekspedisi Kedua)

 Berawal dari “dikasih info mase” oleh kawan lama di bangku SMP dulu, bro Hendro, berupa ajakan camping ceria ke Lorokan, akhirnya setelah negosiasi yang berjalan tidak alot, tujuan dapat dibelokkan ke Gunung Buthak. 9 Juni adalah tanggal yang ditetapkan, izin cuti kantor telah didapatkan, tiket izin mendaki dari isteri berhasil diamankan, waktunya kita kemon.

 Ahad, 9 Juni 2024, tiba juga waktunya, setelah 10 tahun lamanya menanti untuk kembali pijakkan kaki di satu-satunya gunung yang gagal kugapai puncaknya. Berangkat dari Sidoarjo ke basecamp Buthak di Batu sendirian untuk bertemu Hendro dan kawan-kawannya yang telah menunggu disana, terdiri dari: Azka, Mirza, Ardan dan Mega, kesemuanya teman dari temannya teman dan kemudian jadi teman.

 Pendakian start pkl 13.00, datang agak terlambat sehingga tak sempat makan siang dulu, hanya shalat duhur ashar dijamak. Aku Hendro dan Mirza memutuskan ngojek sampai pos 3, sedangkan lainnya sampai pos 2. Mohon maaf karena harus menggunakan ojek karena mengejar waktu. Biaya ojek per pos dikenakan tarif 60rb, kali 3 berarti 180rb. Jasa ojek ini benar-benar dapat menghemat waktu yang sangat banyak, apalagi buat working class men seperti kami yang harus curi-curi waktu buat main sebentar. Bayangkan saja, mungkin waktu yang dibutuhkan kalau trekking kira-kira 2 jam/pos, bisa 8 jam bahkan lebih untuk sampai ke pos 4 Sabana. Dengan menggunakan jasa ojek gunung, waktu tempuh antas pos bisa jadi hanya 15-30 menit saja. Tapi buat mereka yang masih muda, punya banyak waktu dan energi, tak perlulah ngojek ke gunung. Lagipula semakin banyak ngojek, maka akan semakin rusak pula jalur pendakiannya oleh ban trail motor. Jadi kami harus meminta maaf lewat tulisan ini karena telah menggunakan ojek gunung, mohon dimaklumi. 2014 dulu belum ada jasa ojek gunung.

Singkat cerita perjalanan dari pos 3 ke pos 4 memakan waktu kira-kira 2-2,5 jam. Medan trekkingnya bervariasi, cenderung banyak landai tapi seringkali juga terjal. Buthak sering disebut miniatur Argopuro, karena medan trekkingnya yang memang mirip, landai-landai agak sedikit membosankan (saat trekking) tapi juga seru, dan cakupan kanopi antara dedaunan di pohon yang sangat lebat, membuat Buthak nyaman sekali untuk tempat nyepi. Sampai di pos 4 sekitar pkl 16.45, langsung cari spot buat dirikan tenda. Pos 4 berupa sabana rumput yang luas, banyak burung-burung bercuitan, gemericik air sungainya tak usah ditanya lagi merdunya, beresonansi langsung ke kalbu untuk menenangkan, ceilehh… Tapi begitulah adanya, syahdu! Malam itu kami menghabiskan waktu dengan bercerita, bercanda ria, camilan-camilan hangat dan secangkir kopi menghangatkan jiwa, apalagi yang dibutuhkan pria-pria yang penat dengan pekerjaan masing-masing ini selain suasana malam yang ramah? Malam berlalu dengan cepat, kami puas tertawa-tawa.

 Esok harinya, subuh, Hendro membangunkanku, sambil membawa segelas kopi ditangannya, “nyoh ombe-en sik, gawe anget-angetan ben ra ngantuk…” dengan logat khas jenogoro-nya. Gokil, dia sudah bangun, sudah bikin kopi, sudah rapi dan siap summit, sementara aku dan Mirza masih kriyip-kriyip. Hanya kami bertiga yang summit, lainnya pilih bersantai di tenda, sebab mereka sudah pernah ke Buthak sebelumnya. Hendro juga begitu, 3x ini dia ke Buthak, tapi salut, dia mau temaniku dan Mirza untuk summit ke puncak, subuh-subuh pula jadi yang pertama bangun untuk kejar sunrise. Biasanya mereka yang sudah pernah pasti akan malas-malasan, Hendro tidak. Tak taulah aku kalau tak ada Hendro mungkin akan gagal lagi sampai ke puncak Buthak. Thanks ndro, my man!

 Jalur menuju puncak ternyata terjal, dengan panjatan bebatuan besar dan sesekali dijumpai temalian untuk berpegangan dan menarik tubuh ke atas. Dijalan kami berjumpa bule perempuan yang mendaki sendirian, berulang kali hampir tersesat jalannya. “Miss, left miss, left…” teriak Hendro coba mengingatkan. Dia berterima kasih, dan gabung dengan tim kami untuk sampai ke puncak. Namanya Astrid, datang jauh dari Norwegia ke Indonesia setelah dari Nepal, sendirian menikmati tempat-tempat indah dunia. Sesampainya di atap langit Buthak, jangan tanyakan indahnya! Rona merah tipis di horizon jauh langit Indonesia sejauh mata memandang, dari gelap menuju terang, kemudian datang gumpalan awan tipis dan lama-kelamaan makin berduyun datang. Tak bisa dijelaskan dengan bergelondong-gelondong kalimat indah, cukup dinikmati sambil bergumam “Älhamdulillah, so grateful that we are alive to be able to stare this magic with our very own eyes…”

Setelah puas menikmati langit Buthak, kami pun turun. Astrid masih bersama kami untuk ke tenda, ternyata teman-teman penjaga tenda telah membuatkan hidangan bagi kami. Woww, what a great squad! Nasi sudah jadi, pentol, kornet, kentang goreng, telor, gokil dah ini kaya piknik udah, tak lupa kopi pun sudah siap disruput. Kami berbincang-bincang hangat, bercerita dengan teman-teman dan Astrid, aku sibuk jadi penerjemah. Astrid bercerita tentang Norwegia, dan tempat mana saja yang ingin ia kunjungi di Indonesia. Mulai dari Semeru (gagal karena ditutup), Bromo, Ijen, Rinjani, Pulau Alor dan NTT-NTB. Just wow! Uangnya darimana ya kira-kira? Sepertinya tak perlu bertanya sebab negara-negara Skandinavia di Eropa Barat memang memiliki tingkat rata-rata kemakmuran tertinggi di planet Bumi. Satu kalimat yang menarik darinya adalah “you guys look so fresh, like the burden in the shoulders gone, and you guys seems to less stare at your phone. Feels good to meet people like you guys!” Benar sekali, salah satu tujuan pendakian kami adalah pelarian sejenak dari penat pekerjaan dan dunia yang makin serba digital, dunia dimana aliran informasi membanjiri tanpa bendung dalam hitungan detik, dunia yang makin terasa sangat cepat dan demanding. Di gunung kami bebas, lepas dari segala keterikatan itu, tak ada sinyal, tak ada telfon berdering, tak ada sosial media, sebaliknya, duduk bersantai bercanda dengan teman, menikmati udara yang begitu bersih, langit biru dan bentang alam yang membuaikan, perfect day to enjoy! Tak lupa kubilang pada Astrid untuk panggil namaku di Rinjani agar dewi Rinjani memanggil (hanya kiasan). Ternyata setelah beberapa waktu dia mengirimkan pesan lewat Instagramnya: “here is some Rinjani shoots for you, I bet you’re soon there yourself!”.

There she goes, Rinjami summit! I'll be there soon too...

Sedikit cerita dari Buthak untuk menjadi kenangan, terima kasih Allah SWT atas kesempatan yang telah dianugerahkan selama ini. Ditutup dengan kalimat dari William Wallace dari film Braveheart, every men dies but not every men really lives!

 

Salam Lestari…