Degradasi Paradigma
Wayang bergerak dengan tangan dalang
Watak orang Tuhan yang merancang
Wayang bergerak ditonton banyak orang
Manusia tertindas orang yang menonton malah ikut senang
Modern ini merubah sudut pandang
Dahulu tersayang sekarang terbuang
Dahulu termarjinalkan sekarang tertinggikan
Entah apa isi manusia dalam kenyataan
Dahulu anak-anak hormat pada sang tua
Menyapa salam senyum, menundukkan kepala
Apa yag kurasa jaman yang katanya surga
Hilang sudah rasa terkubur nada
Ahh… Celotehan sang tua itu bak angin
Anak anggap semua itu hanya membuat nyeri pada hati yang dingin
Anak surga tetap pilih antiaspirin
Ibu dan bapak menunduk melihat telapak kaki yang semakin licin
Hilangkah dongeng itu ketika malam menjelang?
Rakih Yusma R. (Pkl 22.00, 1 Oktober 2015)
Kemarin malam saat sedang asyik dengar lagu-lagu nostalgia di radio,
hapeku tiba-tiba bunyi, ternyata ada bbm dari mas Rakih disana. Kenang-kenangan
katanya, dan disuruhnya aku untuk tuangkan puisinya dalam coretanku. Mas Rakih
ini partner pendakian gunung Merbabu yang kemarin, teman dari teman baikku
boyek yang kuliah di UNS (Universitas Negeri Surakarta) ngambil disiplin ilmu
Farmasi. Dia orang yang suuuuper jenaka, banyolannya selama pendakian kemarin
bisa buat kami sedikit lupakan rasa lelah yang hinggap. Setelah ngobrol panjang
lebar, kalimat penutup dari mas Rakih adalah “mari ngopi dari kejauhan, mas!”
Siap, segera seduh dan racik kopinya tuan, dan mari ngobrol ngalor-ngidul baik
berbobot maupun tidak untuk ngomongkan kehidupan. Salam damai selalu untuk
teman-teman di Surakarta…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar