Lama sekali ingin kutuliskan cerita pendakian ini,
dari kemarin-kemarin tertunda sampai akhirnya tembus bulan 10. Aku memang punya
masalah dalam penyimpanan pustaka, seperti foto dan buku catatan yang sering
hilang. Untuk seri pendakian Merbabu, buku kecilku yang hilang, padahal di buku
itu telah kutuliskan secara rinci dan ridgit mengenai pendakian kemarin,
termasuk estimasi waktu, berapa biaya-biaya yang dikeluarkan, peristiwa seru
apa saja yang terjadi, juga puisi-puisi yang tak sengaja kutulis saat pendakian
kemarin. Ada juga puisi mas Rakih dibukuku, hilang. Aku sebenarnya bukan tipe
orang teledor, justru sebaliknya, selalu siaga dan berjaga. Namun setelah
banyak terjadi kehilangan pustaka, sepertinya insting spiderman-ku perlu diasah
lagi wakaka. Oke langsung saja…
Pendakian Merbabu ini sebetulnya merupakan pendakian
dadakan, pendakian pelarian, dan pendakian untuk menunggu. Dibilang dadakan
karena rencana awal baru tercetus pada rabu, 25 Februari dan berangkat dua hari
kemudian. Adalah Boyek yang jadi racun waktu itu, padahal dompet sedang nipis,
tapi dengan lidah biawaknya yang menceritakan bumbu-bumbu keindahan Merbabu,
gentar juga aku. Ceritanya si Boyek telah selesai Sempro (seminar proposal) dan
skripsiku telah kuselesaikan, tapi masih nunggu Nanang selesaikan pembahasan
skripsinya untuk bisa ngehadap kanjeng mami bu Fah dan bisa maju Semhas
(Seminar Hasil) bareng. Lumayan kalau Semhas bareng kan, biaya makan dan
syukuran bisa patungan wakaka. Pendakian pelarian untuk sejenak lari dari penat
skripsi waktu itu. Malam sebelum keberangkatan telah kusiapkan segala gear dan
kelengkapan guna pendakian besok.
Jumat sore setelah selesaikan tes TOEFL yang ndak bisa
fokus samasekali dan juga setelah hadir di Sempro dan Semhas Ali (satu-satunya
mahasiswa Fakultas Pertanian yang bisa sakti begini karena seminar digabung
dalam satu sesi saja), aku dan Boyek berangkat dari terminal Arjosari Malang
menuju terminal Bungurasih Surabaya. Seperti biasa saat sampai di daerah
Lawang, gunung Arjuno selalu menyapa dari dari utara jauh. Arjosari ke
Bungurasih dengan biaya Rp. 13 ribu, dari yang biasanya 2 jam molor jadi 3 jam
lebih karena macet akhir pekan. Kemudian dari Bungurasih menuju Solo dengan
biaya Rp. 85 ribu kalau aku ndak salah ingat. Kami sampai di terminal Tirtonadi
Solo pada dinihari sekitar pukul 01.00 WIB. Setelah mengisi perut yang
keroncongan di warung makan terminal, kami dijemput oleh teman Boyek yang
kuliah di UNS, yakni Arika dan mas Rakih. Setelah ngopi sejenak dan kenalan
kemudian ngobrol ngalor ngidul, kami menuju ke markas Nevada, kos kedua teman
baruku yang tak lain teman lama Boyek.
Esok harinya, pada Sabtu 28 Februari pkl 09.00 setelah
sarapan dan berkemas untuk pendakian Merbabu, kami berangkat. Ada satu tambahan
personil dalam tim pendakian, yakni Hendy atau lebih akrab dipanggil “si
Mbeng”. Kesemua temanku ini adalah geng Magetan-nya Boyek, kumpulan para
outSIDer (fans band punk Superman is Dead) katanya. Baideway busway aku juga
lumayan suka dengan music-musik SID. Kami menaiki bus jurusan Solo-Semarang untuk
menuju Salatiga, dengan biaya Rp. 15 ribu tak sampai sejam perjalanan.
Kondektur bus yang sudah hapal karena seringnya jalur ini digunakan banyak
pendaki Merbabu secara otomatis menurunkan kami di pasar Sapi, Salatiga. Dari
perempatan pasar Sapi, kami naik bus kecil menuju pos pendakian Cuntel di taman
wisata Kopeng dengan biaya Rp. 5 ribu saja dengan waktu tempuh 30 menit.
Disinilah awal pendakian kami dimulai.
Sampai pada pkl 12.32, kami makan dulu di warung dekat
pos perizinan dan bawa bekal makan ke atas. Biaya perizinan murah saja, Rp. 5
ribu per orang. Di pos Cuntel ini para penjaganya suuuuuper ramah-ramah sekali,
juga terdapat penjualan aksesoris seperti stiker, masker, kopi, sarung tangan,
tabung kompor gas mini dan juga berbagai keperluan minor pendakian lainnya. Pkl
13.29 kami memulai pendakian.
Ada 4 pos yang harus dilalui para pendaki Merbabu
untuk dapat sampai di puncak. Tiap posnya memakan waktu tempuh antara 2-3 jam.
Jarak dari pos perizinan Cuntel ke pos 1 (Watu Putut 2145 mdpl) adalah yang
terpanjang, yakni 3,5 jam pendakian langkah santai (namun serius). Waktu itu
boyek baru 20 menit jalan, baru sampai digerbang rimba, sudah mintak makan
bekal yang dibawa, padahal baru saja makan di warung tadi, wakakakakaka
yek-boyek. Kami sampai di pos 1 pkl 17.02, waktu itu sedang hujan
gerimis-gerimis cinta. Setelah beristirahat, lanjut kami berjalan menuju pos 2.
Dari pos 1 menuju pos 2 hanya memakan waktu 42 menit, dan kami sampai pkl
17.53. Pos 2 merupakan tanah yang lumayan lapang, cukup untuk mendirikan 5-6
tenda, namun tak disarankan untuk nge-camp di tempat ini karena banyak sarang
tawon. Pemandangan dari pos 2 Kedokan (2300 mdpl) terbilang cukup asyik, kami
makan bekal dan nikmati tenggelam matahari dari tempat ini.
Puas beristirahat, kami lanjutkan perjalanan menuju
pos 3. Dari pos 2 ke pos 3 Kergo Pasar (2458 mdpl) memakan waktu sekitar 1 jam
30 menit. Pos 3 merupakan padang savana yang cukup luas, namun karena pada
waktu itu hari sudah gelap, tak begitu jelas pemandangan yang ada disana. Setelah
istirahat sejenak kami langsung lanjut berjalan lagi menuju tujuan di hari
pertama, pos 4 pemancar. Pos 3 menuju pos 4 memakan waktu 2 jam 15 menit. Kami
sampai di pos pemancar (2883 mdpl) pada sekitar pkl 23.00, kemudian langsung
mendirikan tenda untuk tempat bermalam. Sebelum tidur, kami masih sempat
bersenda gurau dengan riangnya. Teman-teman dari Magetan ini punya selera humor
yang super ultra, dan mereka ramah sekali, rasanya bisa langsung klop. Kami
membahas pula banyak hal, terutama mas Rakih yang paling jadi bahan banyolan.
Aku ingat Boyek bilang ndak mau beli obat racikan Rakih gegara sampai saat itu
(mas Rakih semester 14) belum lulus-lulus juga dari kuliah farmasi. Juga ada TV aneh di kamar kos
mas Rakih, setelah diteliti lebih tajam ternyata TV-nya bermerk “Amsun”, namun
ditambahi coretan belepotan abjad S diawal dan G diakhir hingga jadi
SamsunG. Kami ketawa kepingkal-pingkal dan misuh-misuh puas mbahas TV Amsun
ini. Cuk, mas Rakih, aku kangen tipimu wakakaka. dan tulisan ini segera terselesaikan karena dorongan dari kiriman puisi mas Rakih kemarin, nuwun mas…
Minggu, 1 Maret 2015. Pos 4 bisa juga disebut puncak
pemancar, satu dari tujuh puncak yang ada di gunung Merbabu (puncak Watu Gubuk,
Pemancar/Watu Tulis, Geger Sapi, Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan puncak
Merbabu atau Triangulasi). Pantas sekali jika Merbabu masuk dalam tujuh gunung
paling sulit didaki di pulau Jawa, trek yang dilalui lumayan berbatu dan
nanjak, cukup melelahkan untuk sampai di puncak, bahkan pada saat turunpun.
Tapi tentang keindahannya? Tak perlu diragukan lagi, Merbabu memanjakan sejauh
pandangan mata. Dari pos 4 saat kami bangun pagi, hangat matahari pagi sudah
menyambut dari timur jauh. Kemudian di barat ada deretan gunung Sindoro dan
Sumbing. Pagi sambil minum kopi di puncak pemancar bersama candaan riang
teman-teman, nikmat Tuhan mana lagi hendak kami dustakan?
Trek setelah puncak pemancar didominasi bebatuan
lumayan terjal. Untuk sampai ke puncak selanjutnya, kami harus melalui puncak
geger sapi terlebih dahulu. Tapi dalam pendakian kemarin ternyata kami
melewatkan puncak geger sapi dan jembatan setan (jalur berbahaya yang disebut
demikian oleh pendaki lain). Kami sadar setelah sampai di persimpangan antara
puncak Syarif dan puncak Kenteng Songo, harusnya melewati puncak geger sapi,
tapi yang mana puncaknya kami ndak tahu. Dari persimpangan, jalan setapak ke
kiri adalah puncak Syarif dengan waktu tempuh 10 menit. Aku boyek dan mas Rakih
pilih explore puncak Syarif, sedang Arika dan Mbeng pilih istirahat di
persimpangan. Puncak Syarif memiliki ketinggian 3119 mdpl, berupa puncak yang
memiliki permukaan datar yang lumayan luas. Kami sampai pkl 10.04, banyak
pendaki juga yang telah sampai disini sebelum kami.
Bersama pendaki lain di Puncak Syarif
Selanjutnya yakni menuju puncak Kenteng Songo. Dari
persimpangan menuju puncak Kenteng Songo memakan waktu sekitar 40 menit. Trek
pendakian berfluktuasi, kadang datar tapi banyak nanjaknya. Ada sebuah titik
trek yang disitu bikin kami benar-benar merinding. Pendaki harus merayap
disamping tebing untuk sampai ke atas. Jarak cuma tak lebih dari 5 meter, tapi
benar-benar ngeri. Kami sampai di puncak Kenteng Songo pada pkl 11.22. puncak
Kenteng Songo memiliki ketinggian 3142 mdpl. Dari sini terlihat puncak
Triangulasi, puncak tertinggi gunung Merbabu, namun karena kelelahan, kami
cukup dari sini saja merasakan Merbabu. Waktu itu rasanya begitu emosional,
mengingat perayaan selesainya skripsiku yang sudah kukerjakan berbulan-bulan.
Walaupun toh belum semhas dan sidang, tapi perjuangan diri kemarin rasa-rasanya
layak mendapatkan apresiasi lebih. Dan inilah dia, hamparan samudera awan tepat
berada di depanku. Di puncak kuambil waktuku sejenak, memikirkan mengenai
apa-apa saja yang telah kulakukan dan kumenangkan semasa kuliah. Kemudian kuajak berbincang
teman baikku si boyek, sampai akhirnya aku sampai pada kesimpulan: MASA MUDAKU
TERSELAMATKAN!
Kami sungguh bersyukur diberi kesempatan oleh Tuhan untuk
menikmati kebesaran-Nya berupa indah pemandangan yang terhampar dari puncak
Merbabu. Meskipun kemudian cuaca berubah berkabut, samasekali tak mengurangi
keanggunan dan kecantikan gunung Merbabu. Merbabu berasal dari kata “Meru“ yang
berarti gunung dan “babu” yang artinya wanita (sumber: internet).
Setelah puas mensyukuri nikmat Tuhan, kami memutuskan
untuk turun gunung. Kami memilih jalur Selo. Jalur ini terdapat 4 pos. dari
puncak Kenteng Songo ke pos 4 Sabana 1 memakan waktu sekitar satu setengah jam.
Jalan turunnya begitu menjurang, kadang juga licin, harus ekstra hati-hati.
Dari pos 4 turun lagi ke pos 3 Batu Tulis dan memakan waktu sekitar satu jam.
Pos 3 menuju pos 2 Pandean sekitar 30 menit. Kemudian dari pos 2 menuju pos 1
Dok Malang sekitar 2 jam dan terakhir dari pos 1 menuju basecamp Selo sekitar 1
jam. Kami sampai basecamp Selo pada malam hari pkl 22.00. mampir sejenak makan
di warung sambal minum es joshua. Malam ini kami berniat nginap di rumah pak
Nardi, seorang supir mobil angkutan pick up. Di jalur Selo ini tidak ada
angkutan umum, daji pak Nardi dan teman-temannya yang biasa menyewakan jasa
angkutan dari basecamp Selo menuju jalan raya Boyolali. Kalau aku tak salah
ingat, waktu itu satu angkutan di kenai biaya rp. 100 ribu dibagi per kepala
teman-teman. Kami nginap di rumah pak Nardi bersama rombongan pendaki asal
Jakarta. Pak Nardi ini orangnya sangat ramah dan baik. Barangkali kalian mau
ndaki Merbabu, nih nomor pak Nardi angkutan pendaki basecamp Selo 081393121405.
Pada senin, 2 Maret 2015 pagi hari setelah
berkemas-kemas, kami meninggalkan rumah pak Nardi. Melalui mobil pikep pak
Nardi, kami diantarnya sampai jalan raya kecil Boyolali. Terimakasih tumpangan
juga kebaikan hatinya pak, semoga bisa bertemu kembali. Dari jalan raya kecil Boyolali
ini kami naik bus kecil menuju terminal Boyolali yang memakan waktu 1 jam
perjalanan dan biaya Rp. 10 ribu. Di terminal kami naik bus jurusan Semarang,
dan turun di Solo (dekat kos Nevada mas Rakih cs) yang emakan waktu 1 jam 30
menit dan biaya Rp. 12 ribu. Sampai di kos kami semua langsung istirahat total.
Malam hari itu tiba waktunya aku dan Boyek pamitan. Kami
pilih bus travel langsung menuju Arjosari Malang, dengan biaya Rp. 125 ribu. Sebelumnya
kami diajak minum di warung kopi legend. Dalam perjalanan kami dikenalkan
tempat-tempat keren di Solo. Dari secangkir gelas kopi, lagi-lagi kami
bercerita banyak hal. Sampai berjumpa lagi di dunia perkopian selanjutnya mas
Rakih, Arika dan Mbeng, salam…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus