Pembangunan Pertanian Bojonegoro Melalui Penguatan
Peran Pemuda
Pendahuluan
Saat hendak memasuki Bojonegoro dari luar kota,
misalnya saja dari Lamongan, disana dapat dijumpai gapura dengan tulisan gagah
terpampang “Selamat datang di Bojonegoro: Lumbung pangan dan energi negeri”.
Sebuah jargon yang memang tak asal. Bojonegoro terkenal sebagai kota dengan
cadangan minyak melimpah, juga salah satu daerah penghasil padi terbesar di
Jawa Timur. Jika keduanya mampu dimanfaatkan secara maksimal, tentunya Bojonegoro
akan menjadi kota yang besar dan kaya. Senada dengan ucapan mantan Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger yang berbunyi demikian:
“Control oil you control the nation. Control
oil you control the people” (Henry Kissinger)
Bojonegoro
memiliki keduanya, sebenarnya tak perlu diragukan lagi kalau Bojonegoro akan
menjadi kota yang berkembang pesat. Namun kekayaan alam Bojonegoro yang
melimpah takkan banyak membantu apabila masyarakatnya dan pihak-pihak yang
terkait tidak pandai memanfaatkan dengan baik dan tepat guna.
Berbicara
mengenai perminyakan di Bojonegoro, penulis berpendapat akan sangat sulit
mengambil keuntungan yang maksimal. Wakil Bupati Bojonegoro, Setyo Hartono
dalam sebuah kesempatan pernah berbicara bahwa lumbung energi adalah urusan
pusat, tak bisa lagi di “utik-utik”. Hal yang berbeda terjadi di dunia
pertanian. Hamparan tanah yang subur dan luas masih menyimpan harapan yang
besar bagi masyarakat Bojonegoro. Dibandingkan perminyakan, kedaulatan di
bidang pertanian masih bisa digenggam.
Pembahasan
Dibalik
keadaan bumi Bojonegoro yang terlihat subur, ternyata bidang pertanian masih
menyimpan berbagai masalah yang menggelitik untuk segera kita carikan solusi
bersama. Permasalahan utama adalah susutnya jumlah tenaga pertanian. Jumlah
petani di Bojonegoro rata-rata adalah orang-orang dengan usia yang bisa
dikatakan tua. Rata-rata usia petani di Bojonegoro yakni berusia 45 tahun
keatas. Pada suatu kesempatan petani pernah berbincang dengan petani sekitar
rumah, darisana diketahui bahwa bahkan untuk sekedar mencari tenaga ngedos
(panen dengan merontokkan padi) sulit sekali pada saat ini. Padahal untuk
merontokkan padi dibutuhkan energi yang lumayan besar yang tentu akan sulit
dilakukan oleh orang-orang berusia tua. Sulitnya mencari pekerja di bidang
pertanian salah satunya disebabkan oleh menurunnya minat pemuda desa bekerja di
bidang pertanian. Pemuda saat ini umumnya lebih memilih bekerja keluar kota
sebagai buruh di pabrik, berjualan atau sebagainya. Coba saja pergi ke
Surabaya, banyak sekali disana dijumpai teman-teman perantauan sesame pemuda
yang berasal dari Bojonegoro. Pilihan merantau keluar kota memang pilihan yang
rasional. Selain jelas nominal gajinya, pekerjaan yang dilakukan juga ditempat
bersih dan kota juga menawarkan suasana yang menyenangkan. Berbeda halnya
dengan sisi mata koin lainnya, yakni bekerja sebagai petani. Selain penghasilan
yang tak jelas, spekulasi usaha yang semakin sulit dikarenakan perubahan cuaca
yang kian ekstrim, juga pekerjaan berkotor-kotor ria di sawah yang mungkin saja
akan menurunkan gengsi pemuda desa.
Bayangkan
jika para petani kita saat ini suatu saat mulai kehabisan energi, siapa yang
akan menanam padi di sawah? Esai ini tak bermaksud menyuruh para pembaca untuk
secara sporadis langsung bercita-cita sebagi petani, namun untuk memberikan
porsi kedalam pemikiran di bidang pertanian, walau sedikit saja. Permasalahan
seperti ini yang sungguh unik untuk dibahas dan didiskusikan oleh pemuda
Bojonegoro.
Gagasan
yang ditawarkan oleh penulis sebagai pemuda adalah, untuk pertama-tama yakni
memperbaiki sarana dan prasarana pertanian. Hal ini telah mulai dilaksanakan
oleh Kementerian Pertanian berupa pembangunan Rehabilitasi Jaringan Irigasi
Tersier (RJIT) dan pemberian bantuan alsintan berupa traktor dan pompa air di
beberapa daerah penerima program bantuan UPSUS (Upaya khusus peningkatan
produktivitas pertanian pangan).
Kedua,
meminimalkan resiko spekulasi yang seringkali terjadi di bidang pertanian.
Spekulasi yang benar-benar sentral adalah harga, baik sejak produksi sampai
panen dan pasca panen. Berbicara mengenai pertanian sangatlah unik karena
berbagai faktor. Selain produk yang dihasilkan seringkali musiman, distribusi
dari desa ke tempat yang membutuhkan produk yang berantai panjang, hasil produk
yang perishable (mudah rusak), juga
penciptaan produk yang sungguh banyak mengandung resiko seperti hama,
kekeringan dan lainnya. Resiko seperti ini yang perlu diminimalkan, entah
bagaimana caranya (akan didiskusikan).
Gagasan
ketiga adalah dengan peningkatan daya beli petani dengan diversifikasi usaha
diluar bidang pertanian. Ada yang menarik dari gagasan ketiga ini. Penulis
memiliki teman yang juga masih sama mudanya (22 tahun) yang bekerja sebagai
petani. Seorang teman ini adalah seorang sarjana pertanian lulusan Universitas
Bojonegoro. Selain sebagai petani yang menggarap sawah milik bapanya, seorang
teman ini juga memiliki tambak lele. Dalam sebuah obrolan santai di warung
kopi, seorang teman ini menyatakan bahwa bekerja dibidang pertanian dan
agrokompleks tak melulu selalu sengsara dan sedikit menghasilkan uang, seperti
yang selalu di-stereotipekan oleh berbagai kalangan. Dari yang awalnya hanya
memiliki satu kolam, saat ini sudah bertambah jadi 3 kolam dan rencananya akan
bertambah pada akhir tahun ini. Saat sawah panen dan bera, atau bahkan
kekeringan, seorang teman ini masih bisa mendapatkan penghasilan dari budidaya
lele. Hebatnya lagi, bisnis budidaya lele ini adalah milik pribadinya sendiri,
lepas dari campur tangan orang tua dari teman penulis. Untuk rincian keuntungan
dan usahanya bisa bertanya via email di firmansentotap@gmail.com.
Diversifikasi usaha juga tak melulu di bidang lele, masih ada banyak plihan
alternative seperti budidaya tanaman pekarangan atau lainnya.
Mendengar
cerita sukses dari seorang teman, penulis berencana untuk terjun didunia
perikanan dan pertanian mengikuti jejak tokoh seorang teman diatas. Kebetulan
keadaan yang ditawarkan benar-benar sama persis. Sepertinya sungguh asyik
bekerja di bidang pertanian, akan sangat unik dan terkesan anti-mainstream. Namun juga perlu diingat untuk memiliki mental
kuat dan tidak gengsi untuk terjun berkotor-kotor di sawah.
Penutup
Penulis
menyadari tulisan dalam esai ini masih melebar dan gagasan-gagasan yang
disampaikan terlalu utopis. Kurang lebihnya inilah yang bisa disampaikan untuk
sedikit berkontribusi dalam pembangunan pemuda Bojonegoro. TANI JOYO!
*Catatan: Sumpah aku muwales banget waktu ngerjai esai ini, wakaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar