Senin, 19 Oktober 2015

Wisuda


Tulisan ini akan kutulis singkat saja, tentang wisudaku yang berlangsung kemarin sabtu, 10 oktober 2015. Tak ada kata yang cukup kuat untuk menggambarkan suasana hati pada hari itu, semuanya terasa begitu cepat dan menyenangkan, sekaligus sesekali kurasai ada sedikit kesedihan yang membayang. Aku lulus dalam masa studi 4 tahun 9 bulan di Fakultas Pertanian, Brawijaya. Dalam masa itu telah berbagai macam hal dan aktivitas juga kegiatan telah kulakukan, juga kukenal macam-macam orang yang kemudian menjadi sahabat dan teman. Aku punya banyak sekali teman baik, juga wadah organisasi yang telah paksai aku berkembang. Semuanya harus kutinggalkan dibelakang, kutinggalkan dengan dada membusung.
Waktu itu ada banyak sekali teman datang menyambut, memberi ucapan selamat, ada juga memberi hadiah kenang-kenangan kelulusan. Terimakasih kepada teman-teman dari HMI Komisariat Pertanian yang melakukan sweeping anggota saat wisuda, kalian kaya Satpol PP waktu itu hahaha. Kemudian juga teman-teman CADS, terimakasih banyak. Ada dari UKM Pencak Silat PSHT UB yang juga dengan bergerilya berburu anggota warga pencak yang hari itu wisuda. Merasa benar-benar heran saat kalian bawa bendera kebesaran, padahal aku jarang benar sambangi latihan di lapangan rektorat di rabu dan sabtu malam haha. Adalah Yusril yang waktu itu begitu ngotot dari Lumajang ke Malang untuk menyambutku dan menggerakkan dulur-dulur pendekar lainnya. Dedek jenglot Utari, makasih siluetnya yang bikin aku makin terlihat ganteng, lukisan siluetmu pancen sakti dek Uteee wakaka. Tanya dengan bukunya, makasih Tan. Di memo kau tulis baru jadi manusia setelah wisuda, so here I am a “human”. Dek Anita, lukisan di kaos yang jadi inovasi barumu sumpah kerennya ndak karuan. Itu apa tapi maksudnya kaki ketas-atas? Wakaka. Gambarnya juga keren, ada buku dan kopi, tau aja hehe. Kudoakan semoga sampai di Mahameru, bisa tulis dan terbitkan buku sendiri, dan sampai ke New Zealand biar bisa kumpul sama Tazmania wakaka. Mba Onny makasih yang jauh-jauh dari Madura sambal datang ke temannya dan kemudian melipir ke aku wakaka. Devi, kanca lawas SMA yang juga pacarnya kanca apikku, makasih karangan bunganya, ndang nyusul nduk semoga bisa cepat wisuda dan profesi. Teman-teman dari Upsus Bojonegoro, terimakasih sambutan hangatnya. Mba Emil yang jauh-jauh di seberang pulau sana, makasih kiriman prosa fiksi absurnyanya (:p), mba sudah pantas jadi penulis novel metro pop. indah sekali, kurasa perlu untuk dicatat dalam tulisan ini. Demikian penggalannya:

“Lima tahun yang mengasyikkan bukan? Akhirnya harimu berlabuh dengan toga yang memelukmu erat. Hari ini kamu bertabur senyum sumringah dari orang mencintaimu. Jepretan, rangkaian bunga serta peluk dari sahabat dan teman-temanmu. Dari kejauhan kutangkap tatapan matamu yang seperti biasa. Senyummu tampak enggan, tapi aku paham kamu bersungguh-sungguh memberikannya. Selamat sudah menjadi sarjana. Semoga bisa menjadi nahkoda yang baik untuk kapalmu sendiri…”
(10 Oktober 2015)

Akhirnya, inilah perjalanan terakhirku di kampus biru, kampus penuh kompetisi yang suuuuper duper keren dan kece. Ada simpul-simpul senyum menggelegar disini, juga tercecer berbagai-bagai kenangan yang tak mungkin bisa terlupa. Terimakasih banyak atas semua-muanya. Kuucapkan selamat datang bagiku sendiri di Universitas kehidupan, yang juga akan penuh dengan jejal keriuhan.
Atas nama Tuhan, aku siap menyongsong guagarba hari depan…

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Selasa, 06 Oktober 2015

Esai 2 untuk Bojonegoro Youth Summit



Pembangunan Pertanian Bojonegoro Melalui Penguatan Peran Pemuda
Pendahuluan
Saat hendak memasuki Bojonegoro dari luar kota, misalnya saja dari Lamongan, disana dapat dijumpai gapura dengan tulisan gagah terpampang “Selamat datang di Bojonegoro: Lumbung pangan dan energi negeri”. Sebuah jargon yang memang tak asal. Bojonegoro terkenal sebagai kota dengan cadangan minyak melimpah, juga salah satu daerah penghasil padi terbesar di Jawa Timur. Jika keduanya mampu dimanfaatkan secara maksimal, tentunya Bojonegoro akan menjadi kota yang besar dan kaya. Senada dengan ucapan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger yang berbunyi demikian:
Control oil you control the nation. Control oil you control the people” (Henry Kissinger)

Bojonegoro memiliki keduanya, sebenarnya tak perlu diragukan lagi kalau Bojonegoro akan menjadi kota yang berkembang pesat. Namun kekayaan alam Bojonegoro yang melimpah takkan banyak membantu apabila masyarakatnya dan pihak-pihak yang terkait tidak pandai memanfaatkan dengan baik dan tepat guna.
Berbicara mengenai perminyakan di Bojonegoro, penulis berpendapat akan sangat sulit mengambil keuntungan yang maksimal. Wakil Bupati Bojonegoro, Setyo Hartono dalam sebuah kesempatan pernah berbicara bahwa lumbung energi adalah urusan pusat, tak bisa lagi di “utik-utik”. Hal yang berbeda terjadi di dunia pertanian. Hamparan tanah yang subur dan luas masih menyimpan harapan yang besar bagi masyarakat Bojonegoro. Dibandingkan perminyakan, kedaulatan di bidang pertanian masih bisa digenggam.

Pembahasan
Dibalik keadaan bumi Bojonegoro yang terlihat subur, ternyata bidang pertanian masih menyimpan berbagai masalah yang menggelitik untuk segera kita carikan solusi bersama. Permasalahan utama adalah susutnya jumlah tenaga pertanian. Jumlah petani di Bojonegoro rata-rata adalah orang-orang dengan usia yang bisa dikatakan tua. Rata-rata usia petani di Bojonegoro yakni berusia 45 tahun keatas. Pada suatu kesempatan petani pernah berbincang dengan petani sekitar rumah, darisana diketahui bahwa bahkan untuk sekedar mencari tenaga ngedos (panen dengan merontokkan padi) sulit sekali pada saat ini. Padahal untuk merontokkan padi dibutuhkan energi yang lumayan besar yang tentu akan sulit dilakukan oleh orang-orang berusia tua. Sulitnya mencari pekerja di bidang pertanian salah satunya disebabkan oleh menurunnya minat pemuda desa bekerja di bidang pertanian. Pemuda saat ini umumnya lebih memilih bekerja keluar kota sebagai buruh di pabrik, berjualan atau sebagainya. Coba saja pergi ke Surabaya, banyak sekali disana dijumpai teman-teman perantauan sesame pemuda yang berasal dari Bojonegoro. Pilihan merantau keluar kota memang pilihan yang rasional. Selain jelas nominal gajinya, pekerjaan yang dilakukan juga ditempat bersih dan kota juga menawarkan suasana yang menyenangkan. Berbeda halnya dengan sisi mata koin lainnya, yakni bekerja sebagai petani. Selain penghasilan yang tak jelas, spekulasi usaha yang semakin sulit dikarenakan perubahan cuaca yang kian ekstrim, juga pekerjaan berkotor-kotor ria di sawah yang mungkin saja akan menurunkan gengsi pemuda desa.
Bayangkan jika para petani kita saat ini suatu saat mulai kehabisan energi, siapa yang akan menanam padi di sawah? Esai ini tak bermaksud menyuruh para pembaca untuk secara sporadis langsung bercita-cita sebagi petani, namun untuk memberikan porsi kedalam pemikiran di bidang pertanian, walau sedikit saja. Permasalahan seperti ini yang sungguh unik untuk dibahas dan didiskusikan oleh pemuda Bojonegoro.
Gagasan yang ditawarkan oleh penulis sebagai pemuda adalah, untuk pertama-tama yakni memperbaiki sarana dan prasarana pertanian. Hal ini telah mulai dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian berupa pembangunan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier (RJIT) dan pemberian bantuan alsintan berupa traktor dan pompa air di beberapa daerah penerima program bantuan UPSUS (Upaya khusus peningkatan produktivitas pertanian pangan).
Kedua, meminimalkan resiko spekulasi yang seringkali terjadi di bidang pertanian. Spekulasi yang benar-benar sentral adalah harga, baik sejak produksi sampai panen dan pasca panen. Berbicara mengenai pertanian sangatlah unik karena berbagai faktor. Selain produk yang dihasilkan seringkali musiman, distribusi dari desa ke tempat yang membutuhkan produk yang berantai panjang, hasil produk yang perishable (mudah rusak), juga penciptaan produk yang sungguh banyak mengandung resiko seperti hama, kekeringan dan lainnya. Resiko seperti ini yang perlu diminimalkan, entah bagaimana caranya (akan didiskusikan).
Gagasan ketiga adalah dengan peningkatan daya beli petani dengan diversifikasi usaha diluar bidang pertanian. Ada yang menarik dari gagasan ketiga ini. Penulis memiliki teman yang juga masih sama mudanya (22 tahun) yang bekerja sebagai petani. Seorang teman ini adalah seorang sarjana pertanian lulusan Universitas Bojonegoro. Selain sebagai petani yang menggarap sawah milik bapanya, seorang teman ini juga memiliki tambak lele. Dalam sebuah obrolan santai di warung kopi, seorang teman ini menyatakan bahwa bekerja dibidang pertanian dan agrokompleks tak melulu selalu sengsara dan sedikit menghasilkan uang, seperti yang selalu di-stereotipekan oleh berbagai kalangan. Dari yang awalnya hanya memiliki satu kolam, saat ini sudah bertambah jadi 3 kolam dan rencananya akan bertambah pada akhir tahun ini. Saat sawah panen dan bera, atau bahkan kekeringan, seorang teman ini masih bisa mendapatkan penghasilan dari budidaya lele. Hebatnya lagi, bisnis budidaya lele ini adalah milik pribadinya sendiri, lepas dari campur tangan orang tua dari teman penulis. Untuk rincian keuntungan dan usahanya bisa bertanya via email di firmansentotap@gmail.com. Diversifikasi usaha juga tak melulu di bidang lele, masih ada banyak plihan alternative seperti budidaya tanaman pekarangan atau lainnya.
Mendengar cerita sukses dari seorang teman, penulis berencana untuk terjun didunia perikanan dan pertanian mengikuti jejak tokoh seorang teman diatas. Kebetulan keadaan yang ditawarkan benar-benar sama persis. Sepertinya sungguh asyik bekerja di bidang pertanian, akan sangat unik dan terkesan anti-mainstream. Namun juga perlu diingat untuk memiliki mental kuat dan tidak gengsi untuk terjun berkotor-kotor di sawah.

Penutup
Penulis menyadari tulisan dalam esai ini masih melebar dan gagasan-gagasan yang disampaikan terlalu utopis. Kurang lebihnya inilah yang bisa disampaikan untuk sedikit berkontribusi dalam pembangunan pemuda Bojonegoro. TANI JOYO!


*Catatan: Sumpah aku muwales banget waktu ngerjai esai ini, wakaka