Prof. Jared
Diamond
Jakarta, KGP (Kepustakaan Populer Gramedia),
2014
734 hlm.
Pernahkan terlintas
di benak kita bahwa bumi yang sedang disinggahi ini akan runtuh suatu saat
nanti? Buku ini menceritakan bagaimana pengalaman sejarah masa lampau
berkesinambungan dengan saat ini, baik cerita keruntuhan maupun daya tahan
suatu bangsa mengelola ekosistem demi pembangunan yang berkelanjutan. Tampaknya
yang disampikan dalam buku ini tak begitu relevan, bagaimana mungkin bisa
peradaban manusia abad ini yang begitu maju dengan segala perkembangannya dapat
menjadikan bumi punah. Namun dalam prakteknya, berbagai macam bangsa di masa
lampau yang berperadaban sangat maju pada masanya telah mengalam kepunahan. Sebut saja bagaimana menakjubkannya
bidang tulisan dan perhitungan kalender bangsa Maya di Amerika tengah, megahnya
bangunan arsitektur bangsa Anasazi di wilayah yang kini Amerika Serikat modern,
Yunani Mikene dan Kreta Minos di Eropa, Angkor Wat di kota-kota lembah Indus
Harappa di Asia, atau pada indahnya patung pulau Paskah di Kepulauan Samudra
Pasifik yang pembuatannya selalu mengundang decak kagum manusia zaman sekarang
dan memaksa kita berpikir bagaimana pembuatan patung berbahan dasar batu
berberat puluhan ton, bagaimana cara mendirikannya, peralatan apa yang
digunakan untuk memindahkan patung yang telah dipahat dari gunung tempat induk
batuan berasal menuju istana dan atau tempat ritual pemujaan dimana orang-orang
pulau Paskah berkumpul, misteri romantis yang sampai saat ini belum
terpecahkan. Namun ternyata kesemua bangsa tadi punah, termasuk semua
peradabannya. Apakah ada kesamaan atau ciri-ciri kepunahan antara mereka dengan
peradaban manusia modern zaman sekarang? Jawabannya cukup mengejutkan: apa yang
dilakukan orang-orang peradaban modern saat ini sangat mirip dengan awal
kehancuran peradaban bangsa-bangsa tadi.
Sebelum membahas
lebih lanjut alangkah baiknya bagi kita untuk berkenalan dengan penulis dan apa latar belakang yang mendasarinya
menulis buku yang bagiku sebuah masterpiece,
maha karya penulisan dari seorang jenius. Jared Diamond ialah Profesor
Geografi dari ilmu Kesehatan Lingkungan di University of California, Los
Angeles. Prof. Diamond juga merupakan seorang ilmuwan fisiologi, dan pakar
sejarah perdaban dalam kaitan dengan faktor lingkungan. Dalam sebuah epilog
buku ini, sudah menjadi kecintaannya mengamati dan meneliti burung-burung di
hutan hujan Papua selama 40 tahun terakhir. Dan selama 12 tahun menjabat
direktur cabang World Wildlife Fund. Selama karirnya, Prof. Diamond dikenal
sebagai “environmentalis”, dan seringkali berseberangan dengan para pebisnis besar, korporasi
ekstraktif besar yang bergerak dibidang eksploitasi alam seperti perminyakan,
tambang, batu bara, pembalakan kayu, perikanan dan industri gas alam. Namun
salah satu pandangannya yang menjadi dasar penulisan buku dari perspektif
tengah antara masalah lingkungan dan realitas bisnis, dia menulis “bila kaum environmentalis tidak bersedia
menjalin hubungan dengan bisnis besar, yang tergolong kekuatan paling digdaya
di dunia modern saat ini, masalah-masalah lingkungan di dunia akan mustahil
diselesaikan”. Aku menambahi, masalah-masalah lingkungan tersebut mungkin
malah akan makin parah.
Keruntuhan (Collapse) yang dimaksud dalam buku ini
adalah penurunan drastis ukuran populasi manusia dan/atau kompleksitas
politik/ekonomi/sosial , di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama.
Sudah lama dicurigai bahwa keruntuhan misterius dari suku-suku bangsa diatas
dipicu sebagian oleh masalah-masalah ekologis: manusia secara tak sengaja
menghancurkan sumberdaya lingkungan yang diandalkan masyarakat mereka.
Kecurigaan mengenai bunuh diri ekologis tidak disengaja ini –ekosida (ecocide)- telah dikonfirmasi oleh
temuan-temuan para ahli arkeologi, ahli klimatologi, ahli sejarah, ahli
paleontologi dan ahli palinologi (ahli serbuk sari) dalam beberapa dasawarsa
terakhir, dan kesemuanya terdokumentasi sangat detil dalam buku ini beserta
semua contoh studi kasusnya.
Proses-proses
perusakan lingkungan oleh masyarakat masa lalu dibagi kedalam delapan kategori,
yang kadarnya relatif berbeda dari kasus ke kasus: penggundulan hutan dan
penghancuran habitat, masalah tanah (erosi, penggaraman dan hilangnya kesuburan
tanah), masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, efek spesies yang
didatangkan terhadap spesies lain, pertumbuhan populasi manusia yang berlebih,
dan peningkatan dampak per kapita manusia. Keruntuhan-keruntuhan masa lalu cenderung
mengikuti jalur yang cukup serupa, variasi tema yang sama. Pertumbuhan jumlah penduduk memaksa
masyarakat mengadopsi cara-cara produksi intensifikasi agrikultura (misal
irigasi, tumpangsari atau terasering) dan memperluas tanah pertanian dimuali dari
tanah terbaik menjalar pada pembukaan lahan melalui pembakaran hutan.
Pendayagunaan daerah tebing, pengeringan rawa, kesemuanya dalam rangka untuk
memberi mulut-mulut kelaparan yang makin bertambah seiring makin meningkatnya
laju populasi. Praktik-praktik tak berkelanjutan ini menyebabkan kerusakan
lingkungan, menyebabkan lahan yang ternyata tak cocok ditanami akhirnya harus
ditinggalkan. Akibatnya bagi masyarakat masa lampau antara lain kekurangan
makanan, kelaparan, perang antara orang yang berjumlah terlalu banyak guna
memperebutkan sumber daya yang terlalu sedikit dan penggulingan elit
pemerintahan oleh massa yang kecewa. Pada akhirnya populasi menurun akibat
kelaparan, perang atau penyakit dan masyarkat pun kehilangan sebagian
kompleksitas kestabilan politik, ekonomi dan budaya yang telah dikembangkan
secara susah payah pada masa kejayaan.
Risiko
keruntuhan-keruntuhan tersebut kini merupakan sumber kekhawatiran yang semakin
meningkat: bahkan keruntuhan telah mewujud di Somalia, Rwanda dan beberapa negara
dunia ketiga lainnya. Banyak orang khawatir bahwa ekosida kini bahkan jauh
lebih gawat daripada perang nuklir atau penyakit sekalipun sebagai ancaman
peradaban global. Secara langsung dapat kita rasakan secara gamblang bagaimana
temperatur bumi menjadi lebih panas akibat pemanasan global. Di Australia dalam
laporan World Economic Forum akhir Januari 2019 terjadi musim panas yang sangat
terik menembus 45o C, menjadi rekor nasioanal dalam negeri, terjadi
banyak kematian satwa di banyak Taman Nasional Australia termasuk para
kelelawar yang berjatuhan dari dahan pohon disiang hari yang terik. Masih dalam laporan yang sama, dari belahan
dunia lain di Chicago USA terjadi musim dingin yang saljunya membekukan rel
(stakeholder setempat sampai membakar rel dengan api ringan agar kereta tetap
dapat berjalan, menyerukan agar warga Chicago tak berbicara terlalu banyak saat
berada diluar guna mencegah paru-paru basah). Di Indonesia sendiri telah cukup
kita rasakan dengan gamblang bagaimana ketidakmenentuan musim teradi
tahun-tahun belakangan ini, bagimana gelombang tinggi di lautan lebih sering
terjadi, serta kerusakan ekosistem yang makin parah. Dan masalah lingkungan yang terjadi saat ini
mencakup kedelapan masalah yang sama yang telah menenggelamkan peradaban digdaya
masa lampau plus empat masalah baru: 1) perubahan iklim akibat manusia, 2)
penumpukan zat-zat kimia beracun di lingkungan, 3) kekurangan energi dan 4)
penggunaan penuh kapasitas bumi oleh manusia.
Bab 1 dari buku ini
berjudul “Montana Modern”. Montana
adalah kota beriklim dan berbentang alam indah tempat tinggal Prof. Diamond
menghabiskan banyak waktu liburnya memancing di lembah Bitteroot yang kaya akan
ikan Trout. Selain iklim yang sejuk, ternyata Montana menyimpan kekayaan alam
berupa tambang yang begitu kaya namun ironisnya meninggalkan luka yang
menganga. Sangat menarik bagaimana penulis mencoba mengulik sejarah
pertambangan bijih emas di Montana. Yang paling seru adalah cerita kasus
tambang Zortman-Landusky milik korporasi Pegasus Gold. Perusahaan ini menerapkan
metode yang dikenal sebagai “tumpuk-gelontor Sianida”, digunakan untuk
mengekstrak biji emas berkualitas rendah. Metode itu membutuhkan 50 ton bijih
untuk menghasilkan satu ons emas. Sianida paling dikenal sebagai racun yang
digunakan di kamar gas Nazi pada perang dunia II dulu. Sisa larutan logam
beracun dibuang dan disemprotkan ke hutan atau ladang penggembalaan disekitar
tambang. Ketika suatu waktu metode ini dinyatakan berbahaya bagi lingkungan dan
Pegasus Gold diharuskan menutup ganti rugi sebesar USD 40.000.000, perusahaan
tersebut menyatakan diri bangkrut, dan sisa obligsi perusahaan terbukti tak
mampu menutup denda yang dijatuhkan oleh pemerintah Federal Montana. Pegasus
Gold meninggalkan lubang-lubang tambang raksasa, kolam-kolam asam bersianida
yang akan merembes kebawah tanah selamanya. Rembesan ini terbukti makin
mencemari kualitas air bersih di Montana dan membunuh ikan-ikan Trout yang
sebelumnya melimpah. Strategi membangkrutkan diri ini diduga jauh lebih murah
daripada harus mengganti kerugian akibat praktek pertambangan, strategi yang juga
diterapkan perusahaan tambang lain di Montana yakni Anaconda Copper Mining Comp
yang menambang di lembah Milltown. Selain kerusakan ekosistem akibat praktik
pertambangan , Montana juga didera cedera yang cukup parah dari sisi pembalakan
hutan, hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan perlindungan kayu untuk
ditebang dan mendorong impor kayu dari Kanada. Dick Hirschy secara sarkastis
berkomentar, “ada pepatah ‘jangan perkosa
tanah dengan pembalakan!’-jadi kita perkosa Kanada sebagai gantinya.” Aku
teringat PT Freeport di Tembagapura Papua, apakah suatu saat nanti mereka akan
membangkrutkan diri saat terbukti bersalah melakukan eksploitasi ugal-ugalan
yang sebabkan kerusakan luar biasa terhadap alam Indonesia? Karena saat ini
gejala perusakan alam tersebut telah terlihat begitu jelas. Dan dengan adanya divestasi saham menjadi 51% yang salah satu isinya menjadkan
PTFI boleh menambang (dalam kurung mengeruk atau mengeksploitasi) lagi sampai
2041, padahal jika tak dilakukan divestasi, tambang Tembagapura akan kembali ke
pangkuan ibu pertiwi secara gratis. Entah apa yang menjad pertimbangan para
pengambil kebijakan saat ini.
Bagian kedua dari
buku ini membahas tentang komunitas masyarakat masa lalu, “Senjakala di Pulau Paskah” dibahas terlebih dahulu. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa Pulau Paskah yang merupakan penggalan tanah paling
terpencil yang mungkin dapat dihuni manusia di muka bumi karena letaknya yang
sedemikin jauh (daratan terdekat adalah pesisir Chile, 3.700 km sebelah timur
dan 2.100 km di sebelah barat) ternyata menyimpan sejarah peradaban yang begitu
megah yakni berupa pahatan patung-patung batu besar menyerupai laki-laki
berkuping panjang. Tersebar 397 patung batu kebanyakan setinggi 4 sampai 6
meter, namun yang paling besar bertinggi 21 meter (lebih tinggi daripada
rata-rata
bangunan modern berlantai 5), dan berbobot lebih dari 10 sampai 270 ton. Pulau
Paskah ditemukan oleh penjelajah Eropa asal Belanda, Jacob Roggeveen pada Hari
Paskah (5 April 1722) yang menjadi asal mula nama pulau tersebut dan masih
digunakan hingga saat ini. Roggeveen begitu tercengang saat pertama kali
mendaratkan perahunya di pulau yang gersang dan tandus dengan tanpa sebatangpun
pohon dan hanya sedikit semak bertinggi tak lebih dari 3 meter. Batu-batu pulau Paskah dipahat pada
sebuah kawah vulkanik yang disebut Rano Raraku, kemudian dipindahkan ke berbagai
wilayah di pulau Paskah. Proses pemindahan patung dibahas dalam buku ini dengan
detil, terlihat dari beberapa jurnal dan penelitian modern dengan berbagai ide
yang memungkinkan pemindahan batu tersebut. Penelitian tersebut kandas, selalu
tak berhasil kecuali bila menggunakan alat-alat berat modern, yang jelas pada
masanya patung-patung tersebut dipahat belum dirakit bahkan ditemukan. Juga
bagaimana penulis membahas berbagai kemungkinan pemindahan tersebut, latar belakang pembuatan patung,
masyarakat apa yang mendiami pulau Paskah pada masanya, dll. Berbagai riset
penelitian menunjukkan bahwa pulau Paskah sebenrnya dulu merupakan pulau yang rimbun, dibuktikan
dari hasil radiokarbon canggih AMS (accelerator
mass spectometry) untuk meneliti sisa-sisa seresah dalam tanah.
Patung-patung tersebut didirikan untuk mengenang kepala suku yang mendiami
pulau Paskah, yang persaingan antar sukunya makin tajam dari waktu ke waktu dan
akhirnya berlomba membuat patung sebesar mungkin. Pemahatan batu menyebabkan
eksploitasi alam yang makin masif, pemahatan kayu hutan sebagai salah satu
bahan pahat dan penyediaan logistik bagi para perajin kriya, erosi terjadi
disetiap bagian pulau Paskah dan makin membuat alam kehilangan daya tahan
keseimbangan guna menyokong peradaban Paskah. Hingga jadilah pulau Paskah
sekarang ini: gersang, tandus, tanpa sebatang pohonpun. Sampai saat ini
penelitian dari berbagai aktivis lingkungan, akademisi dll masih terus
berjalan, dan adalah menarik untuk selalu menyimak hasil temuan mereka tentang pulau
terpencil dari Polinesia ini...
Bab selanjutnya masih
seputar keruntuhan masyarakat masa lalu, ada sejarah Pulau Pitcairn dan Handerson yang tergolong pulau paling
sulit dijangkau di muka bumi namun ternyata menyimpan sejarah peradaban walaupun tak begitu maju.
Cerita dimulai saat kapal pemberontak H.M.S Bounty berlabuh secara tak sengaja
di pulau Pitcairn guna menghindari angkatan laut Britania yang mencari-cari
pada 1790. Para pemberontak menemukan
pelataran kuil, petroglif dan perkakas batu yang menjadi saksi bahwa pulau
paling terpencil di Polinesia kuno ini pernah dihuni manusia. Aku tak menulis
banyak hal tentang bab ini karena, hehe agak kurang ngeh,
walaupun Prof. Diamond menulisnya dalam penjelasan yang ridgit. Namun tentunya
satu yang menyebabkan kemunduran masyarakat Pitcairn dan Handerson yakni
eksploitasi alam yang melebihi ambang batas keseimbangannya menopang
pertumbuhan populasi kedua pulau terpencil itu. Sebagai contoh, perburuan
burung dan anjing laut berlebihan yang menyebabkan keduanya sebagai spesies
makanan utama penduduk Pitcairn dan Henderson punah, juga kegagalan adaptasi dan
pencarian alternatif
sumber makan lain yang berbayar mahal dengan punahnya peradaban mereka.
Pada bahasan
selanjutnya, Prof. Diamond mengajak pembaca berkelana ke situs peninggalan masyarakat Anasazi. Masyarakat ini hidup di
sekitar Taman Nasional Mesa Verde AS Barat Daya, yang berurutan terdapat di
Jalan Raya 57 negara bagian Meksiko, 960 km dari Los Angeles. Masyarakat
Anasazi berhasil membangun bangunan-bangunan batu terbesar dn tertinggi di
Amerika sebelum pencakar langit berangka baja muncul pertama kali di Chicago pada
1880-an, serta sistem irigasi
agrikultur yang rumit. Mengapa peradaban yang sedemikian kokoh pada masa lampau
tersebut bisa menemui kemerosotan yang begitu mendadak? Penjelasan-penjelasan yang menjadi favorit yakni
masih seputar
kerusakan lingkungan, kekeringan dan perang. AS barat daya merupakan daerah
marjinal yang rapuh bagi pertanian, memiliki curah hujan rendah tak
terperkirakan, tanah yang cepat kehabisan zat hara dan laju pertumbuhan ulang
hutan yang lambat. Memahami sejarah Anasazi dan berbagai suku bangsa lain dalam
buku ini membuat kita mendapat gambaran tentang ancaman bagaimana pertemuan
dampak lingkungan oleh manusia dan perubahan iklim, masalah-masalah lingkungan
dan populasi yang meluas menjadi peperangan, kekuatan sekaligus bahaya masyarakat kompleks yang
tidak berswasembada dan malah bergantung pada impor, serta
masyarakat-masyarakat yang runtuh secara cepat setelah mencapai puncak jumlah
populasi dan kekuasaan. Masyarakat Anasazi berkembang sejak 600 M selama lebih
dari 5 abad sampai akhirnya lenyap pada sekitar 1150 dam 1200an. Populasi yang
bertambah besar, tuntutan terhadap lingkungan yang makin bertambah, sumber daya lingkungan yang
kian menipis dan semakin dekat dengan batas daya dukung lingkungan menyebabkan
perceptan kemerosotan peradaban mereka. Walaupun ada sedikit sisa dari masyarkat Anasazi
yang bertahan hingga saat ini melalui akulturisasi dengan masyarakat asli lain, tentu
kemerosotan peradaban mereka menjadi pelajaran yang baik bagi masyarakat masa
kini untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan. Semua dibahas dengan apik dan
lengkap dalam buku ini.
Misteri romantis
peradaban bangsa Maya kuno yang
runtuh lebih dari seribu tahun lalu di semenanjung Yucatan Meksiko menjadi isi
dari buku di bab selanjutnya. Bangsa Maya merupakan bangsa dengan peradaban
paling maju di dunia baru (benua
diluar erasia), dengan bangunan beraksitektur indah dan
satu-satunya bangsa dari dunia baru sebelum ditemukan penjelajah eropa dengan
naskah-naskah tertulis panjang yang telah berhasil dibaca, seperti yang kita
kenal dengan penanggalan Maya dll. kota-kota Maya tetap tak berpenghuni dan
tersembunyi oleh belantara hutan dan nyaris tak diketahui dunia luar hingga
pada 1839 seorang pengacara kaya John Stephens bersama juru gambar Inggris
Frederick Catherwood menemukannya setelah penjelajahan arkelologis di wilayah
Nikaragua sampai Gutatemala. Dari kualitas bangunan dan seni yang luar biasa,
mereka menyadari bahwa semua itu bukanlah karya dari peradaban primitif.
Stephens lantas pulang dan membuat tulisan tentang ekpedisi arkeologisnya
tersebut. Beberapa kutipan tulisan Stephens membuat kita bisa ikut merasa daya
pikat romantis bangsa Maya:
“Kota itu tak berpenghuni. Tak
ada sisa-sisa ras berkeliaran di sekitar reruntuhan, berikut tradisi yang diwariskan dari ayah ke putranya dan dari generasi ke generasi. Kota
tersebut terbentang dihadapan kami bagaikan kapal terombang-ambing di tengah
samudera, tiang layarnya hilang, namanya terhapus, awaknya hilang, dan tak
seorangpun bisa memberitahukan pada kami darimana dia datang, siapa pemiliknya,
seberapa lama dia telah berlayar atau apa yang menyebabkan mereka hancur...
Arsitektur, patung dan lukisan, segala seni yang memperindah hidup, dahulu
mekar dalam hutan yang merajalela ini; orator, prajurit, dan negarawan, kecantikan,
ambisi, dan kejayaan yang pernah hidup dan telah tiada, dan tak ada yang tahu
bahwa hal-hal itu pernah ada atau bisa berkisah tentang keberadaan mereka
dahulu. Disini terbentang sisa-sisa bangsa yang berbudaya, beradab, dn tiada
duanya, yang telah melalui semua tahap yang berkenaan dengan bangkit dan
jatuhnya bangsa-bangsa; mencapai masa keemasan mereka lantas lenyap... Dalam
romansa sejarah dunia tak ada yang pernah membuatku terkesan lebih kuat
daripada pemandangan kota yang dahulu agung dan indah, namun kini hancur, tak
berpenghuni dan hilang...”
Kisah peradaban Maya
memiliki beberapa keuntungan bagi mereka yang berminat terhadap keruntuhan
sejarah. Catatan tertulis Maya yang tersisa membantu rekonstruksi sejarah. Kontak
pertama sisa-sisa suku Maya dengan orang Eropa sudah terjadi pada 1502, hanya
10 tahun setelah Kristoforus Kolombus “menemukan” dunia baru. Pada 1527 bangsa
Spanyol mulai betul-betul menjalankan niat penaklukan Maya, namun baru pada
1697 wilayah kepangeranan Maya tunduk. Seorang uskup bernama Diego De Landa yang berdiam di
Semenanjung Yucatan sepanjang 1549 hingga 1578 melakukan satu tindak vandalisme
budaya paling buruk dalam sejarah dengan membakar semua naskah Maya dalam
upayanya melenyapkan “penyembahan berhala” hingga hanya tersisa 4 naskah yang
masih terselamatkan. Buku ini menjelaskan bagimana megahnya peradaban Maya
dengan agrikulturnya yang kompleks, teknik bangunan yang menawan, tulisan dan
kemampun menulis naskah, bentang alam yang perdu. Namun karena suatu
kecerobohan dengan tak menjaga ekosistem alam di ambang batas keseimbangan,
rusaknya lingkungan, pembalakan kayu guna penuhi kebutuhan pemukiman dan ambisi
para rajanya untuk berlomba membangun bangunan megah, juga karena perang
saudara, nasib mereka mengingatkan bahwa keruntuhan juga dapat menimpa
masyarakat paling maju dan kreatif sekalipun.
Menginjak bab
berikutnya, Prof. Diamond mengajak para pembacanya menjelajah dunia bersama peradaban Viking Skandinavia. Citra
berdarah bangsa Viking yang meneror eropa pada abad pertengahan memang banyak
benarnya. Dalam bahasa Skandinvia, Vikinger
berarti “penyerbu”. Namun sebenarnya selain menjadi perompak, mereka adalah
para petani, saudagar, pengoloni dan penjelajah. Setelah dirasa lelah berdagang
mereka beranggapan lebih mudah menjadi penjarah dan perompak. Ekspansi bangsa
Viking menjalar hingga ke selatan ke arah eropa dan Laut Mediternia, menyebar
ketakutan disana dan sebagian terakulturisasi dengan penduduk setempat. Ke arah
timur, mereka menginvansi Britania utara, Irlandia, Kepulauan Faeroe, Eslandia
dan Tanah Hijau, bahkan hingga mencapai daratan Amerika jauh sebelum penjelajah
Eropa pertama kali menginjakkan kaki di Amerika, terbukti dari artefak kuno
bangsa Viking di Pulau Newfoundland yang diperkirkan berasal dari 900-1000 M. Bangsa Viking
merupakan orang-orang Pagan yang memuja dewa-dewi tradisional agama Jermanik,
misalnya dewa kesuburan Frey, dewa langit Thor, dewa perang Odin. Mereka
ditakuti karena tak beragama Kristen dan karenanya tak mematuhi tabu gereja,
hingga terkesan bar-bar. Keruntuhan peradaban bangsa Viking yang ditekankan
dalam buku ini adalah yang terjadi di Eslandia dan Tanah Hijau. Keduanya
sama-sama jauh dari Eropa, membuat penjelajah Viking harus mampu bertahan hidup secara
mandiri dimulai pada saat bangsa mereka pertama kali menemukan kedua pulau
tersebut yang masih tak berpenghuni. Eslandia jauh lebih dekat daripada Tanah
Hijau, dan seiring berjalannya waktu, hubungan ekspor dan perniagaan terjalin
diantara negara eropa waktu itu. Viking Eslandia menyadari bahwa mereka tak
bisa terus menerus membalak kayu di pulau yang dingin tersebut untuk bertahan
hidup, dan mereka rela meninggalkann tabu bangsa Viking induk untuk tidak makan
ikan seiring akulturisasi budaya eropa. Mereka mulai mencari alternatif lain
sumber ekspor dan ditemukanlah komoditas ekspor berupa ikan kod yang begitu
melimpah di perairan dalam laut Eslandia. Ikan kod yang terbukti kaya vitamin
menjadi komoditas perdagangan utama yang darinya didapatkan kayu, sayuran,
bahan makanan, dan semua yang dibutuhkan Viking Eslandia melalui perdagangan
dengan Eropa. Hingga saat buku ini ditulis, Prof. Diamond menyampaikan bahwa
Eslandia adalah negara yang sangat mempersilahkan para peneliti melakukan riset
di negaranya guna membantu pemulihan lingkungan, bahkan pemerintahnya
menyediakan dana yang cukup besar dalam pagu anggaran APBN untuk dibagi-bagikan
kepada para peneliti dan penggerak lingkungan hidup. Mereka seolah ingin
bertanggung jawab pada kesalahan para pendahulunya yang menggunduli hutan
secara serampangan hingga sebabkan erosi diberbagai belahan wilayah tersebut.
Bangsa Viking di Eslandia tetap lestari hingga saat ini.
Hal yang sangat
kontras menimpa bangsa Viking di Tanah Hijau, mereka tumpas karena tak dapat
beradaptasi dengan lingkungan. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan
pertanian, penggembalaan domba, kambing dan sapi yang memakan rumput hingga
gundul tanahnya membuat erosi tak terhindarkan. Keengganan viking tanah hijau
melepas tabu tradisi tidak makan ikan juga menjadi faktor lain. Selain sapi,
kambing dan domba yang kian kurus dan berkurang akibat kehabisan rumput,
alternatif makanan lain mereka yakni anjing laut dan burung-burung kecil
ditepian laut pun ikut habis dan punah. Perdagangan dengan Eropa hanya pada
komoditas tanduk walrus, yang saat itu menjadi pigura mewah penghias
dinding-dinding kerajaan eropa. Namun seiring tanduk Walrus yang berkurang
keberadannya karena diburu juga oleh pendatang lain dari suku Inuit (eskimo),
hubungan ekspor-impor dengan eropa pun terputus. Pandangan konservtif
orang-orang viking Tanah Hijau membuat mereka tak dpat bertahan, dengan hanya
dua pilihan: mati kelaparan disana atau keluar dari Tanah Hijau.
Peradaban bangsa Jepang sebelum
1868 menjadi bab paling kusuka. Jepang selalu menawarkan sejarah menarik untuk
dibaca. Pemerintahan pusat yang kuat dalam kerajaan, ekonomi industri dunia
pertama, masyarakat yang kompleks dan peran elit pemerintah (kebijakan
atas-bawah) yang kuat membuat Jepang mampu berkembang selaras dengan alam
hingga sekarang. Jepang memiliki kepadatan penduduk yang paling besar dibanding dunia pertama manapun, nyaris 1000
orang per mil persegi luas total, juga merupakan negara kelas satu yang terindustrialisasi dengan penduduknya yang urban. Namun begitu
hingga saat ini, nyaris 80% luas total Jepang merupakan hutan yang
dilindungi. Kebijakan-kebjakan
hutan Jepang timbul sebagai tanggapan terhadap krisis lingkungan dan populasi
yang malah dsebabkan oleh perdamaian dan kemakmuran. Nyaris 150 tahun sejak
1467, Jepang diguncang perang saudara akibat runtuhnya kekuasaan kaisar
sebelumnya, dan kekuasaan Jepang diperebutkan oleh lusinan bangsawan pejuang
otonom (disebut Daimyo). Akhir perang
dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu pada 1615.
Sejak 1603, Kaisar telah menganugerahi Ieyasu gelar turun-temurun Shogun, pemimpin utama para panglima.
Ieyasu berpangkalan di ibukota, Edo (kini Tokyo) memegang kekuasaan sungguhan,
sementara kasiar di ibukota lama Kyoto menjadi sekedar kepala Negara.
Seperempat luas Jepang diperintah langsung oleh Shogun, sementara seperempat
sisanya dperintah oleh 250 daimyo yang dipimpin sang Shogun dengan tangan besi.
Daimyo tak bisa lagi saling bertarung, tahun 1603 sampai 1867 disebut “era
Tokugawa”, dimana sang
Shogung menjaga Jepang dari perang dan pengaruh asing.
Perdamaian dan kemakmuran memungkin populasi dan ekonomi Jepang mengalam
ledakan. Dalam seabad setelah perang berakhir, populasi meningkat dua berkat
kombinasi menguntungkan sejumlah faktor: kondisi damai, kebebasan relatif dari
wabah penyakit epidemik yang sedang menjangkiti eropa (berkat isolasi diri
bangsa Jepang), dan peningkatan produktvitas agrikultur berkat tibanya dua
tanaman pangan baru yang produktif (kentang dan ubi jalar), reklamasi paya,
perbaikan kontrol banjir dan peningkatan produksi beras hasil irigasi. Kota
bertumbuh cepat, sampai Edo menjadi kota berpenduduk paling banyak di dunia
pada 1720. Di seluruh Jepang, perdamaian dan pemerintahan terpusat yang kuat menghasilkan
mata uang yang seragam, sistem berat dan ukuran yang seragam, berakhirnya
penarikan upeti jalan dan cukai, pembangunan jalan dan perbaikan pelayaran di
pesisir, yang semuanya bersumbangsih terhadap peningkatan pusat perniagaan
dalam negeri Jepang.
Penggundulan hutan adalah faktor utama krisis lingkungan dan populasi.
Pada 1600-an seiring perdamaian dan kemakmuran, meningkat pula populasi. Peningkatan
populasi menyebabkan kebutuhan akan bangunan meningkat. Sebagian besar bangunan
Jepang terbuat dari kayu yang merupakan tradisi estetik kesukaan bangsa Jepang,
bukan batu, bata, semen atau ubin sampai akhir abad 19-an. Pohon mudah sekali
diperoleh selama sejarah awal Jepang dan mampu memenuhi kebutuhan populasi
perdesaan maupun perkotaan. Sejak era Ieyasu dan shogun sesudah maupun
sebelumnya, mereka berlomba membuat puri tercantik dan termegah. Sebaga contoh
tiga puri terbesar yang dibangun Ieyasu membutuhkan penebangan habis sekitar 10
mil persegi hutan. Setelah Ieyasu wafat, pembangunan perkotaan makn gencar.
Kota-kota yang terdiri atas bangunan beratap anyaman dari kayu yang berapat-rapatan
dengan perapian sebagai pemanas di musm dingin yang rentan terbakar membuat
kota-kota perlu dibangun berulang-ulang. Kebakaran Meireki menjadi kebakaran
kota terbesar yang membakar separo ibukota Edo dan menewaskan 100.000 jiwa pada
1657. Konsumsi kayu juga digunakan untuk pembangunan kapal dan perbekalan
balatentara Hideyoshi (Shogun sebelum Ieyasu) dalam upaya penaklukan Korea. selain
kayu untuk bangunan, kayu juga digunakan sebagai bahan bakar yang digunakan
untuk menghangatkan rumah, memasak dan keperluan industri seperti membuat
garam, ubin, keramik dll. Kayu dibakar menjadi arang untuk menghasilkan api
yang lebih panas untuk melelehkan besi. Populasi yang meningkat juga menuntut
pembakaran lahan hutan yang lebih luas untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Tahun-tahun sekitar 1570 sampai 1650 merupakan puncak lonjakan konstruksi dan
penggundulan hutan . menariknya di buku ini juga dsebutkan nama Kinokuniya
Bunzaemon, seorang saudagar yang bergerak di bsnis kayu. Nama itu disebut di
serial anime Samurai X, yang merupakan salah satu penyebab kekacauan dan perang
haha…
Kebakaran Meireki tahun 1657 menjadi pembuka mata yang mengungkapkan
kelangkaan kayu dan berbagai sumberdaya lain yang semakin parah. Selama dua
abad selanjutnya, Jepang secara bertahap mencapai populasi yang lebih stabil
dan laju konsumsi sumberdaya yang jauh lebih berkelanjutan. Hal ini tak lepas
dari pergantian Shogun demi Shogun yang secara estafet menerapkan asas Konfusius untuk menyebarkan
ideologi baru guna mendorong pembatasan
konsumsi dan mengumpulkan persediaan cadangan untuk melindungi negara dari
bencana. Pergeseran pola konsumsi juga terjadi sebagai contoh pemanfaatan
makanan laut dari suku Ainu di Hokkaido untuk mengurangi tekanan terhadap
pertanian dan hutan. Upaya-upaya perubahan preferensi pola makan didukung oleh
para Daimyo dengan pembangunan besar-besaran kapal, inovasi jala yang lebih
besar guna menjaring ikan di laut yang lebih dalam dan penjagaaan daerah
teritori laut dari ancaman negara luar karena mereka sadar bahwa laut dan semua
yang terkandung didalamnya harus dimanfaatkan oleh bangsa Jepang sendiri. Bangsa Jepang juga mencoba menekan
peningkatan populasi dengan berbaga cara, sebagai contoh antara 1721 sampai
1828 populasi Jepang hanya berubah dari 26,1 juta menjadi hanya 27,2 juta. Pula
sejak akhr abad ke-17, penggunakan batu bara sebagai ganti kayu bakar meningkat. Menggantikan perapian tungku
terbuka dengan pemanas arang portable dan berusaha lebih mengandalkan cahaya
matahari untuk menghangatkan rumah di musim dingin juga menjadi tren baru
bangsa Jepang kala itu guna menekan konsumsi kayu.
Banyak tindakan atas-bawah ditujukan untuk mengatasi ketidakseimbangan
antara penebangan pohon dan penanaman pohon. Pengumuman Shogun pada 1666 yang memperingatkan
bahaya erosi, pendangkalan sungai dan banjir diakibatkan oleh penggundulan
hutan, serta mendesak rakyat Jepang untuk menanam banyak bibit. Pada tahap
pertama, Shogun yang secara langsung mengontrol seperempat hutan Jepang menunjuk
seorang pejabat senior Kementerian Keuangan untuk bertanggung jawab atas
hutan-hutannya, dan hampr semua dari 250 Daimyo mengikuti arahan tersebut dan
menunjuk penangung jawab kehutanan untuk wilayah mereka. Para pejabat tersebut
menutup hutan yang telah dbalak untuk memungkinkan pohon-pohon dapat tumbuh
kembali menjadi hutan, perincian izin kepada para petani untuk menebang pohon
guna keperluan yang sudah ditakar juga kepada penggembalaan ternak di hutan,
melarang pembakaran hutan untuk pertanian berpindah-pndah. Para kepala desa tak
terkecual ikut melaksanakan perintah Daimyo untuk ikut menjaga kelestarian
hutan dengan sangat tegas. Shogun dan para Daimyo mengeluarkan dana yang sangat
terperinci dengan nventarisir wlayah hutan mereka dengan sangat ridgit.
Catatan-catatan kuna mengenai nventarisir hutan tersebut ditemukan sangat
rinci, baik dari segi jumlah pohon, lebar diameter, jenis dan umur, kerapatan,
kondisi, hama yang menyerang dll, tak mungkin kutulis di catatan ini karena
saking banyak dan rincinya penulisan para penanggung jawab hutan bangsa Jepang
masa itu. Tahap kedua melipatkan penjagaan pos-pos penjaga di jalan raya dan
alran sungai untuk memeriksa kriman kayu dan memastikan semua peraturan
ditaati, dan tahap berkutnya adalah pemberian izin yang ketat mengenai hak-hak
pemanfaatan kehutanan. Itu semua dilakukan oleh Shogun Jepang menanggapi
kekhawatiran akan isu lingkungan dan ancaman bencana.
Selain tindakan diatas, para pemuka bangsa Jepang juga mulai
mengembangkan kumpulan pengetahuan saintfik untuk meningkatkan kelestarian
hutan. Mereka mulai mengamati, melakukan percobaan dan menerbitkan jurnal
ilmiah dan berbagai buku pedoman budidaya tanaman kehutanan. Contohnya naskah
Silvakultur akbar pertama Jepang, Nogyo
Zensho karya Miyazaki Antei, 1967. Dalam naskah tersebut dapat dtemukan
berbagai instruksi mengenai cara terbaik mengumpulkan, mengekstrak,
mengeringkan, menyimpan, mempersiapkan biji dan sebagainya. “Para pemimpin yang bereaksi aktif, yang
memiliki keberanian untuk mengantisipasi krisis atau bertindak sedari awal, dan
yang membuat keputusan-keputusan kuat berwawasan dalam pengelolaan atas-bawah
benar-benar dapat mendatangkan perbedaan besar bagi masyarakat mereka. Demikian
pula halnya dengan warga negara pemberani dan aktif yang menjalankan
pengelolaan bawah-atas untuk kemajuan bangsaya…”, tulis Prof. Diamond.
Keberanian bangsa Jepang menjadi inspirasi yang mencerahkan untuk kita semua.
Menginjak bab selanjutnya, Prof. Diamond membawa kita bersafari ke
Afrika Timur dalam bab “Malthus di
Afrika: Genosda Rwanda”. Alkisah suatu ketika Prof. Diamond mengajak putra
kembar beserta isterinya mengunjungi daerah tersebut. Diceritakan dalam buku
bahwa mereka begitu terkesima dengan bentang alam mahaluas yang menghampari
cakrawala dan jutaan wildebeest yang belari begitu dekat dengan mobil Land
Rover yang ditunggangi, pengalaman yang tak mereka dapati saat menonton
tayangan National Geographic dari kursi nyaman rumah sembari menonton tv.
Begitu pula dalam keadaan populasi, anak-anak Afrika berlarian menghampiri
mobil mereka untuk sekedar meminta pensil guna keperluan sekolah, ternyata
teori “ledakan populasi” yang hanya dibaca dari buku benar-benar terjadi.
Dampak dari ledakan populasi di Afrika dapat dilihat dari lingkungan sekitar,
rumput-rumput di padang penggembalaan tumpas dan hanya terlihat sedikit rumput
tak tinggi yang tumbuh dilahap habis oleh kawanan domba dan kambing. Semua anak
tersebut adalah bagian dari laju pertumbuhan populasi manusia Afrika yang
tergolong salah satu paling tinggi di dunia: 4,1% per tahun di Kenya,
menyebabkan populasi berlipat dua setiap 17 tahun.
Masalah-masalah populasi yang terjadi di Afrika Timur seringkali disebut
sebagai “Malthusan”, sebab pada 1798 ahli ekonomi dan demografi Inggris Thomas
Malthus menerbitkan buku terkenal dimana dia berargumen bahwa pertumbuhan
populasi manusia mengalahkan pertumbuhan produksi makanan. Malthus berpandangan
bahwa pertumbuhan populasi berlangsung menurut derajat ukur (eksponensial) dan
produksi makanan meningkat menurut deret hitung (aritmetis). Deret ukur
misalnya penyebutan 1 cm, 5 m dst, sedangkan deret ukur adalah mlimeternya. Anggap
saja di suatu daerah pada tahun 2000 terdapat 100 populasi, pada 2010 bertambah
jadi 200 dan begtu selanjutnya, hal tersebut dikarenakan populasi tersebut juga
berlipat dari reproduksi. Sedangkan misalnya pada 2000 produksi gandum 100 ton,
tahun selanjutnya mungkin akan stagnan, meningkat atau turun dikarenakan luas
lahan yang tetap (kecenderungannya justru makin berkurang karena berebut tempat
dengan hunian, taman dll).
Genosida yang terjadi di Rwanda (dalam bab ini juga dibahas tentang negara
tetangga terdekat yakni Burundi) setelah diteliti ternyata juga disebabkan oleh
latar belakang kerusakan lingkungan dan ledakan populasi, hal yang tak banyak
diketahui karena sebagian besar menganggap genosida di kedua tempat diasosiasikan
murni karena gesekan antara etnis Tutsi dan Hutu. Genosida di Rwanda menelan
korban tewas terbanyak nomor 2 di dunia (dihitung dari persentase total
populasi yang terbunuh dengan luas wilayah) setelah genosda-genosida yang
terjadi sejak 1950; hanya kalah dari dari Kamboja pada 1970-an dan Bangladesh
(saat itu Pakistan timur) pada 1971. Populasi Rwanda dan Burundi terdiri hanya
dua grup utama, Hutu (sekitar 85% populasi) dan Tutsi (sekita 15%). Kedua etnis
tersebut sering dikatakan memilik ciri perawakan yang berbeda, dengan Hutu
berkulit lebih legam, lebih pendek, gempal, berhidung pesek, bibir tebal dan
berahang persegi sedangkan Tutsi kebalikannya yakn berkulit lebih terang,
jangkung, lebih langsing dan berdagu runcing. Tutsi adalah bangsa Nilotik yang
dalam perjalanan sejarah memantapkan kelompok mereka sebagai tuan dari Hutu. Sewaktu
pemerintahan kolonial Jerman (1897) dan kemudian Belgia (1916) mengambil alh,
mereka menganggap perlunya memerintah melalui perantara orang-orang Tutsi yang
mereka anggap lebih superior dibanding Hutu karena kulit mereka yang lebih
terang dan ciri mereka yang lebih menyerupai eropa atau “Hamitik”. Pada 1930-an
pemerintah kolonial Belgia mulai mewajbkan semua orang membawa kartu tanda
penduduk yang menunjukkan mereka dari Tutsi atau Hutu, sehingga makin
memperuncing pembedaan etnik.
Rwanda dan Burundi merdeka pada tahun 1962. Sewaktu kemerdekaan
mendekat, orang-orang Hutu d kedua Negara sedang berusaha menggulingkan dominasi
Tutsi. Insiden kekerasan kecil meningkat
menjadi pusaran pembunuhan Tutsi oleh Hutu atau Hutu oleh Tutsi. Di Burundi,
Tutsi berhasil mempertahankan dominasi setelah pemberontakan Hutu pada 1965 dan
1970-72 diikuti pembunuhan terhadap beberapa ratus ribu orang Hutu. Tapi di
Rwanda, Hutu unggul dengan membunuh 20.000 orang Tutsi pada 1963. Konflik di
Rwanda masih sering terjadi hingga pada 1973 Jenderal Hutu, Habyarimana
menggerakkan kudeta terhadap pemerintahan Hutu (pula) dan memutuskan untuk tak
mengusik Tutsi. Di bawah Habyarimana, Rwanda makmur selama 15 tahun dan menjadi
penerima favorit bantuan internasional yang biasa menyanjung Rwanda sebagai negara
damai dengan kesehatan, pendidikan dan indikator-indikator ekonomi yang
membaik. Sayangnya, perbaikan Rwanda terhenti oleh kekeringan dan
masalah-masalah lingkungan yang menumpuk (terutama penggundulan hutan, erosi
tanah, dan hilangnya kesuburan tanah), yang berpuncak pada 1989 akibat
kemerosotan tajam harga dunia komoditas ekspor-ekpor utama Rwanda yakni teh dan
kopi, tindakan pengetatan oleh Worldbank, dan kekeringan. Habyarimana yang
sedari awal memutuskan untuk berdamai dengan Tutsi ternyata berbelok arah akibat
serbuan imigran Tutsi dari negara tetangga Uganda di Rwanda tenggara. Pebisnis
yang dekat dengan Habyarimana mengimpor 581.000 batang parang untuk dibagikan
kepada orang-orang Hutu untuk membunuhi Tutsi, sebab parang lebih murah
daripada bedil. Dalam pada itu juga, muncul ekstrimis Hutu (jauh lebih ekstrim
dari Habyarimana kebencian mereka terhadap Tutsi akibat sejarah penaklukan
etnik Hutu yang panjang) yang takut kekuatan mereka melemah akibat munculnya
perjanjian damai Arusha.
Puncak parahnya keadaan adalah pada malam 6 April 1994, pesawat jet
kepresidenan Rwanda yang membawa presiden Habyarimana, dan juga pejabat
presiden baru Burundi kembali dari rapat di Tanzania, ditembak jatuh oleh dua
misil sewaktu hendak mendarat di bandara Kigali, ibukota Rwanda, sehingga
menewaskan semua penumpangnya. Belum
genap satu jam setelah kejadian tersebut, para ekstrimis Hutu mulai
melaksanakan agenda yang sepertinya telah disusun sejak lama dan terperinci,
mereka membunuh Perdana Menteri Hutu dan anggota lain oposisi demokratik yang
moderat atau setidaknya tak terlalu ekstrim, juga mulai menghabisi warga Tutsi
yang jumlahnya masih sekitar sejuta orang, mengambil alih radio dan
pemerintahan. Pembantaian terhadap Tutsi pada awalnya dilakukan oleh para
balatentara Hutu menggunakan senjata api, kemudian dengan segera mereka
organisir warga sipil Hutu secara efisien, membagikan senjata, mendirikan
barikade di jalan, membunuhi orang Tutsi yang teridentifikasi di barikade
tersebut, menyiarkan seruan di radio kepada semua Hutu untuk segera membunuh
“kecoak” (sebutan mereka untuk orang Tutsi), mendesak orang-orang Tutsi berkumpul
di suatu titik tempat-tempat yang katanya aman untuk perlindungan dimana mereka
nantinya bisa dibantai dan mengejar orang-orang Tutsi yang masih selamat.
Ketika protes internasional terhadap pembantaian tersebut akhrnya bermunculan,
pemerintah ekstrim Hutu dan radio mengubah propaganda mereka dari desakan
membunuh kecoak menjadi dorongan kepada orang-orang Rwanda (etnis Hutu) untuk
membela dan melindungi diri dari musuh bersama rakyat Rwanda. Para pejabat Hutu
yang moderat dan berupaya mencegah pembantaian tersebut diabaikan, diancam
bahkan dibunuh. Pembantaan yang menelan korban ratusan bahkan ribuan di
masing-masing tempat pembantaian, berlangsung ketika orang-orang Tutsi sedang
berlindung di gereja, sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan, atau bangunan
lain yang katanya aman, namun kemudian dikepung untuk dibacoki atau dibakar.
Genosida yang melibatkan keikutsertaan banyak warga Hutu, awalnya menggunakan
bedil, pembunuhan-pembunuhan berikutnya menggunakan alat berteknologi rendah
seperti parang dan pentungan kayu berpaku. Pembunuhan tersebut melibatkan
banyak kebiadaban, termasuk memotong lengan dan betis calon korban, memotong
payudara, melempar anak-anak ke sumur dan banyak pemerkosaan dimana-mana.
Berbagai lembaga dan phak internasional yang diharapkan bersikap baik
ternyata memainkan peran permisif yang penting. Terutama, banyak pemimpn gereja
gagal melindungi Tutsi atau malah justru secara aktif mengumpulkan dan
menyerahkan mereka kepada balatentara Hutu. Pasukan kecil penjaga perdamaan dari
PBB diperintah mundur, Perancis mengirim pasukan penjaga perdamaian yang malah
memihak pada pemerintah Hutu yang haus darah, sementara Amerika Serikat menolak
turut campur. Perancis maupun AS hanya menyebut soal “kekacauan”, “situasi yang
membingungkan” atau “konflik kesukuan” seolah konflk tersebut lumrah dan normal
terjadi di Afrika. Dalam enam minggu diperkirakan 800.000 orang Tutsi, tiga
perempat yang tersisa di Rwanda, atau 11% dari populasi Rwanda, tewas terbunuh.
Balatentara pemberontak yang dipimpin Tutsi, yang dinamakan Front Patriotik
Rwanda (FPR) memulai operasi militer melawan pemerintahan satu hari setelah
genosida dimulai. Di setiap bagian Rwanda, genosida hanya terhenti setelah
kedatangan balatentara FPR, kemudian menyatakan kemenangan penuh pada 18 Juli
1994. Setelah kemenangan FPR, sekitar 2.000.000 orang (sebagian besar Hutu)
kabur ke negara tetangga (terutama Kongo dan Tanzania), sementara sekitar
750.000 orang yang terusir (sebagian besar Tutsi) kembali ke Rwanda.
Catatan tentang genosida Rwanda dan Burundi umumnya hanya dikaitkan
dengan hasil dari produksi kebencian antar etnik. Seperti yang dirangkum dalam
buku Leave None to Tell the Story:
Genocide in Rwanda, yang diterbitkan oleh The Human Rights Watch
menyebutkan: “genosda ini bukan ledakan kemurkaan tak terkendali oleh
orang-orang yang termakan kebencian antar suku.”… bukti bahwa ada faktor
-faktor lain bersumbangsih terhadap genosida itu mulai dijumpai. Di Rwanda
terdapat etnik kecil ketiga, dkenal sebagai Tiwa atau Pigmi, yang hanya 1% dari
populasi, berada pada dasar skala dan struktur sosial, bukan ancaman serius
bagi kedua etnik besar lain, namun ikut sebagian besar dibantai. Balatentara
FPR pemenang perang juga tak melulu dari Tutsi karena banyak pula diisi oleh
tentara-tentara Hutu. Prof. Diamond menyebut bahwa sebenarnya perbedaan antara
Hutu dan Tutsi tak sejurang dalam yang seperti banyak digambarkan. Kedua grup
menggunakan Bahasa yang sama, ke gereja, sekolah, dan bar yang sama, hidup
bersama di desa dengan kepala desa yang sama, dan bekerja sama di kantor yang
sama. Ada pernikahan antara Hutu dan Tutsi, juga terdapat perpndahan identitas
dari Hutu ke Tutsi. Mustahil untuk hanya membedakan mereka dari fisik saja,
sekitar seperempat penduduk Rwanda memiliki kakek/nenek buyut Hutu atau Tutsi.
Intergradasi tersebut memunculkan puluhan ribu tragedi selama pembantaian 1994,
ketika orang-orang Hutu berusaha melindungi pasangan, kerabat, rekan kerja,
teman dan wali mereka yang orang Tutsi, atau mencoba menyogok pembunuh agar
tidak mnyentuh orang-orang Tutsi yang mereka sayangi. Yang terutama
membingungkan jika genosida tersebut adalah karena gesekan etnis, di Rwanda
barat laut terdapat satu masyarakat yang hampir semuanya berdarah Hutu dengan
hanya seorang Tutsi, pembunuhan massal tetap terjadi-terhadap Hutu oleh Hutu
lain. Meskipun tingkat terbunuh “hanya” 5% daripada tingkat Rwanda secara
keseluruhan yakni 11%, pertanyaannya mengapa ada masyarakat Hutu yang membunuhi
5% anggota keluarganya? Semua fakta tadi menunjukkan mengapa kita sebagai intelektual
organik perlu mencari faktor penyumbang selain kebencian antar etnik.
Rwanda dan Burundi telah berpopulasi padat sejak abad ke-19 berkat
keunggulan ganda yakni curah hujan yang sedang dan letak yang terlalu tinggi
bagi Malaria dan lalat Tsetse. Pada 1990, kepadatan rata-rata populasi Rwanda
adalah 760 orang per mil persegi, lebih tinggi dari Britania Raya (610) dan
mendekati Belanda (950). Bedanya, kedua negara eropa tadi memiliki sistem
agrikultur yang sangat efisien dan termekanisasi, segelintir populasi yang
bekerja di bidang pertanian mampu menghasilkan makanan bagi keseluruhan populasi
negara. Sedangkan agrikultur Rwanda masih sangat tradisional, tidak efisien
sehingga banyak yang bermata pencaharian sebagai petani dengan sedikit surplus
untuk dijual. Populasi yang bertumbuh besar ditanggung dengan praktik
agrikultur yang tak sehat seperti membuka hutan dan mengeringkan rawa, mencoba
memanen dua-tiga kali dalam setahun (mempercepat kehilangan hara tanah), minim
introduksi varietas unggul baru. Bukit-bukit curam digarap sampai puncak,
bahkan sistem terasering, membajak mengikuti kontur naik turun, atau membarkan
lahan tertutup vegetasipun tak dilakukan. Seorang petani Rwanda mengeluh,
“petani bisa bangun pagi dan mendapati seluruh ladangnya (atau setidaknya)
bunga tanah dan tanamannya) hanyut dalam semalam, atau bahwa ladang atau
bebatuan tetangga terbawa air sehingga menutupi ladangnya”… pembukaan hutan
menyebabkan sungai-sunga kering dan curah hujan mulai tak teratur. Banyak teman
ahli dari Prof. Diamond yang datang ke Rwanda memilki firasat akan terjadnya
bencana ekologi. Pada 1980-an kelaparan mulai menyerang, dan pada 1989 terjadi
kekurangan makanan yang lebih parah akibat kekeringan, disebabkan oleh
kombinasi perubahan ikllim global-regional dtambah penggundulan hutan parah.
Pengaruh semua perubahan lingkungan dan populasi di daerah Rwanda barat
laut (komune Kanama) yang hanya dihuni oleh orang-orang Hutu dipelajari secara
rinci oleh ahli ekonomi Belgia, Catherine Andre dan Jean-Phlippe Platteau, yang
tinggal disana selama 16 bulan dalam dua kunjungan pada 1988 dan 1993 saat
situasi makin buruk tepat sebelum genosida meletus. Mereka melakukan pencatatan
yang detil kepada semua faktor dan menggabungkan data bersama untuk menjelaskan
mengapa ada orang Hutu yang terbunuh oleh Hutu lain. Kanama bertanah vulkanik
yang sangat subur, berkepadatan populasi tinggi bahkan untuk standar Rwanda:
1740 orang per mil persegi pada 1988, naik menjadi 2040 pada 1993 (hal ini
bahkan lebih tinggi dari Bangladesh, bangsa agrikultural berpopulasi paling
padat di dunia). Para petani menggarap petak sawah yang luar biasa kecil, 0,04
Ha pada 1988 dan 0,03 Ha pada 1993. Jika kita bagi standar kepemilikan tanah di
Rwanda dengan pertanian “sangat besar” yakni petani dengan lahan lebih dari 1Ha
dan petani berlahan “sangat kecil” dengan kepemlikan lahan dibawah 0,3Ha, maka
dapat terlihat antara tahun 1988 sampai 1993 rasio kepemilkan lahan kedua tipe
petani tersebut makn meningkat; pertanian “sangat besar” dari 5% menjadi 8%
sementara pertanian sangat kecil meningkat dari 36% menjad 45%. Artinya jurang
pembeda antara petani kaya dan miskin semakin menganga. Di Rwanda, adalah
illegal bagi pertanian kecil untuk menjual tanah mereka, namun karena desakan
ekonomi dan bobrok birokrasi, menjual tanah menjadi solusi satu-satunya saat
kondisi darurat menyangkut makanan, kesehatan, biaya pengadilan (banyak sekali
sengketa dan konflik sosial yang terjadi di Rwanda sebelum genosida meletus,
dan perselisihan tanah/agraria adalah
akar konflik-konflik paling parah yang mengisi 43% laporan di pengadilan),
sogokan, pembaptisan, pernikahan, pemakaman atau mabuk-mabukan. Kontras dengan
petani kaya yang juga menjual lahan namun untuk kepentingan efisiensi yakni
menjual lahan yang terjauh dan membeli lahan-lahan petani kecil yang terdekat
dengan tempat tinggal guna menekan biaya dan memudahkan pemantauan
Perselisihan tanah yang dominan
di Rwanda menyebabkan jalinan kesatuan tradisional masyarakat melemah. Para
pemilk tanah miskin kecil juga dihadapkan pada situasi saat dimana mereka harus
mewariskan kepemilkan lahan pada anak-anaknya, yang menyebabkan tanah makin
terpecah kecil-mengecil. Masalah sosial lain yang timbul akibat miskinnya
daerah tersebut adalah kasus kejahatan yang meningkat, yang hubungannya
berkorelasi positif dengan tingkat kepadatan dan minimnya kalori yang bisa
didapat. Seorang ahli yang menelit peristwa Genosida Rwanda mngatakan,
”orang-orang yang hendak dibunuh ini memiliki tanah dan terkadang sapi. Dan
akan ada yang memperoleh tanah dan sapi-sapi itu setelah para pemiliknya tiada.
Dalam negara yang miskin dan semakin kelebihan populasi, ini adalah bujukan
yang menggoda.”
Andre dan Platteau menutup dengan
catatan: “peristiwa 1994 menyediakan
kesempatan unik untuk menyelesaikan perselisihan, membagi-bagi ulang hak milik
tanah, bahkan diantara para penduduk desa Hutu… bahkan hingga kini, tak jarang
kita mendengar orang-orang Rwanda berargumen bahwa perang dibutuhkan untuk
menyapu habis populasi yang berlebih dan menyesuaikan jumlah dengan sumberdaya
tanah dan alam yang tersedia.” Wow,
aku jadi teringat film Kingsmann the Secret Service, disana diceritakan seorang
penjahat bernama Richmond Valentine yang menciptakan kartu chip gratis telfon,
sms, internet untuk semua orang di dunia, namun ternyata setelah laku ke banyak
tempat dan orang rama menggunakan, diaktifkanlah tombol yang mana dalam
microchip yang tertanam di masing-masing handphone pengguna tadi mengaktifkan
sonar yang memancar bagi orang-orang disekitarnya untuk saling membunuh.
Richmond beranggapan, bumi bagaikan tubuh manusia dan manusia adalah virus,
jika virus di basmi maka tubuh akan sehat, dan pembasmian terbaik adalah
pembersihan alami dari internal. Untung ada para Kingsmann, Eggsy Unwin dan
mentornya Harry Hart alias Galahad yang menghentikan rencana jahat Richmond
Valentine, film yang seru…
Hingga saat tulisan ini diselesaikan (Minggu, 07/04/2019), terdapat sebuah
running text di KompasTV sebaga berikut: “Rwanda berkabung 100 hari memperingati
genosida yang menewaskan lebih dari 800.000 warga”
Menginjak bab selanjutnya, Prof. Diamond mengajak pembaca terbang ke
salah satu pulau besar di Karibia, yakni Hispaniola, dalam bab “Satu Pulau, Dua Bangsa, Dua Sejarah:
Republik Dominika dan Hati”. Pulau tersebut terbagi menjadi dua negara yang
secara dramatis menunjukkan dua hal kontras dalam perbedaan pembangunan negara
modern saat ini. Paradoks pembangunan antara keduanya terlihat jelas dengan
mata jika terbang diatasnya, disisi Dominika terdapat bentang alam yang lebih
gelap dan hijau sedangkan Haiti pucat dan coklat, menghadap timur (Dominika) di
perbatasan kedua negara akan dijumpai pemandangan hutan pinus, membalikkan
badan ke arah barat akan dijumpai padang yang nyaris tak berpohon. Pada awal
sejarah kepulauan tersebut, keduanya merupakan pulau yang nyaris seluruhnya
berhutan, sampai para pengunjung Eropa pertama mencatat ciri Hispaniola yang
paling mengesankan adalah lebat hutan-hutannya dan penuh dengan kayu berharga. Hingga saat ini, kedua negara telah
kehilangan banyak tutupan hutan, namun Haiti lebih mengenaskan dengan hanya 1%
dari total luasnya yang dapat dikatakan hutan sedangkan Dominika lebih baik
dengan 28%. Di Haiti dan Dominika, juga tempat-tempat di belahan dunia lain,
akibat penggundulan hutan adalah hilangnya kayu dan bahan bangunan lainnya,
erosi, lenyapnya kesuburan tanah, tingginya endapan di sungai-sungai, hilangnya
potensi listrik tenaga air dan menurunnya curah hujan.
Haiti berada dalam kesulitan yang parah, termasuk negara termiskin di
Dunia Baru (dan salah satu yang termiskin di luar Afrika), pemerintah yang
korup, penyediaan layanan masyarakat yang minimal, banyak penduduk yang hidup
tanpa akses air, listrik, pembuangan limbah, kesehatan, pendidikan yang
memadai. Salah satu negara berpenduduk terpadat Dunia Baru (jauh diatas
Dominika) dengan hanya sepertiga luas Hispaniola namun nyaris 2/3 populasinya
(sekitar 10 juta) dan kepadatan populasi mendekati 1000 jiwa per mil persegi.
Terkenal dengan sebutan “narcosate”
atau Negara narkotika, tempat singgah obat-obatan terlarang dari Kolombia ke
AS. Ekonomi pasarnya kecil, terutama terdiri atas produksi kopi dan gula untuk
ekspor. Terdapat polarisasi yang tajam antara masyarakat kaya Haiti di Port-au-Prince
(ibukota Haiti) dan perkampungan kumuh. Laju pertumbuhan populasi, tingkat
infeksi AIDS, tuberkulosis dan malaria tergolong paling tinggi di Dunia Baru.
Sedangkan tetangga yang rumputnya lebh hijau, Dominika, sebaga jawaban
melibatkan faktor lingkungan. Hujan Hispaniola terutama turun di tmur.
Gunung-gunung tertinggi Hspaniola (diatas 3000 mdpl) berada di wilayah
Dominika, dan sunga-sungai dari gunung tersebut banyak mengalir ke tmur menuju
sisi Dominika. Sisi Dominika terdapat banyak lembah yang lebih luas, dataran
dan plato serta tanah yang lebih tebal terutama lembah Cibao di utara yang
merupakan salah satu daerah agrikultural terkaya di dunia. Paradoks Hati dan
Dominika berawal dari masa kolonial, dimana Hati adalah daerah koloni Perancis
yang sangat berharga, sedangkan Dominika diabaikan oleh Spanyol. Perancis
banyak mengembangkan perkebunan intensif berbasis budak, sehingga Haiti
memiliki populasi tujuh kali lebih besar dbanding Dominika akibat budak yang
diimpor Perancis. Populasi yang membludak, berarti penyediaan makanan yang
lebih banyak, berarti pembalakan hutan untuk pembukaan lahan pertanian lebih
luas lagi, padahal curah hujan Haiti tak sekaya negeri tetangga. Sebagai
tambahan, kapal-kapal Perancs yang membawa budak ke Haiti itu pulang ke Eropa
membawa kargo berupa kayu bangunan Haiti, sehingga dataran rendah dan
lereng-lereng gunung Haiti sudah banyak yang gundul pada pertengahan abad
ke-19. Salah satu penyebab pemisahan yang lebih terkini adalah perbedaan niat
kedua pemimpn diktator. Rafel Trujillo, seorang kepala Polisi nasional Dominika
yang bekerja luar biasa keras, adminstratur yang sangat hebat, jagoan menilai
orang, politikus cerdik sekaligus teramat kejam. Trujillo memanfaatkan kuasanya
untuk memodernisasi Dominika, mengembangkan ekonomi, infrastruktur dan industri
walaupun seringkali memonopoli kepentingan nasional atas ekspor daging, susu,
semen, coklat, rokok, kopi, asuransi, susu, beras, garam, pejagalan, tembakau
dan kayu. Khusus komodti kayu, pada 1930-an Trujillo sang diktator mengubah
kekuatan pengelolaan lingkungan menjadi atas-bawah. Rezimnya mengembangkan luas
Vedado del Yaque (perlindungan hutan), menetapkan taman-taman nasional,
mendirikan korps jagawana untuk perlindungan hutan, menekan penggunaan api
untuk pembukaan hutan, melarang penebangan pohon pinus di Constanza, Cordillera
Tengah. Saat rezimnya di 1937 mempekerjakan seorang ahli lingkungan terkenal
dari Puerto Rico, Dr. Carlos Chardon untuk menghitung potensi pembalakan
Dominika yang merupakan hutan pinus paling luas di Karibia, potensinya mencapai
$40.000.000,-, nilai yang sangat besar saat itu. Dalam operasi pembalakan
Dominika, mereka mewajibkan penerapan tindakan ramah lingkungan yakni dengan
tidak menebang pohon tua sebagai sumber biji untuk reboisasi alami. Trujillo
pada 1950 memesan penelitian oleh ahli-ahli Swedia untuk mempelajari potensi
Dominikadalam membangun bendungan-bendungan pembangkit lstrik tenaga air, juga
penyelenggaraan kongres lingkungan pertama Negara itu pada 1958. Namun akibat
kediktatoran yang merajalela, Trujillo harus kehilangan nyawanya pada sebuah
baku tembak di malam 30 Mei 1961 saat berkendara mobil yang dsopiri namun tanpa
pengawalan dalam perjalanan mengunjung gundiknya. Trujillo disergap dan dibunuh
dalam kejar-kejaran mobil yang dramatis dan pertempuran senjata api oleh orang
misterius Dominika yang tampaknya didukkung CIA. Hal-hal yang dilakukan
Trujillo, tak pernah dilakukan oleh Papa “Doc” Duvalier yang hanya diktator
murni tanpa niat memodernisasi Haiti. Trujillo digantikan suksesinya, Joaquin
Balaguer yang memimpin selama 34 tahun dan lebih memproteksi lingkungannya dari
pendahulunya, sedangkan Haiti tak mengalami perubahan signifikan setelah
tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh putra Duvalier, Jean-Claude “Baby
Doc” Duvalier.
Nampaknya Prof. Diamond tak dapat menyebunyikan kekagumannya pada
Joaquin Balaguer seperti bagaimana tendensi kekagumannya pada Tokugawa Ieyasu. Balaguer
menyadari kebutuhan mendesak Dominika untuk mempertahankan daerah berhutan guna
memenuhi kebutuhan energi republic tersebut listrik tenaga air, dan memastikan
ada cukup air untuk industri dan domestik. Segera setelah menjadi presiden,
Balaguer melarang semua pembalakan komersial dan menutup semua penggergajian, yang
segera mendapat perlawanan dari keluarga-keluarga kaya yang memiliki
kepentingan usaha pembalakan. Usaha-usaha tersebut bertempat di hutan-hutan
paling terpencil dengan mengoperasikan penggergajian pada malam hari. Balaguer
bereaksi dengan langkah lebih drastis, menarik tanggung jawab perlindungan
hutan dari Departemen Pertanian, menyerahkan kepada angkatan bersenjata, dan
menyatakan pembalakan legal sebagai kejahatan dan ancaman terhadap keamanan
Negara. Peristiwa 1967 menjadi yang paling dramatis, berupa penyerbuan militer
ke kamp-kamp pembalak liar yang menewaskan lusinan pembalak hutan. Dua cara
mengurangi permintaan kayu Dominika yakni membuka kran mpor kayu dari Chile,
Honduras, dan AS; dan mengurangi produksi arang tradisional dari pohon (kutukan
yang selama ini membelit Haiti) dengan meneken kontrak impor gas alam cair dari
Venezuela, membangun beberapa terminal untuk mengimpor gas itu, mensubsidi
biaya gas untuk masyarakat agar bisa mengalahkan arang, dan menyerukan
peredaran kompor dan tabung propane tanpa biaya guna mendorong orang agar
beralih dari arang. Di Santo Domingo dia mendirikan aquarium, kebun raya dan
museum sejarah alam, serta membangun kembali kebun binatang nasional yang
semuanya lantas menjadi tempat wsata utama. Tindakan poltis terakhir Balaguer
pada usia 94 tahun adalah bekerja sama dengan presiden terpilih Mejia melalui
manuver legislatif cerdik guna menjegal rencana presiden Fernandez untuk
mengurangi dan memperlemah sistem suaka alam dari hanya perintah eksekutf (sehingga
berpotensi diubah-ubah seperti yang berusaha Fernandez lakukan) menjadi sistem
yang ditetapkan oleh hokum. Dengan demikian, Balaguer mengakhiri karier
politiknya dengan menyelamatkan sstem suaka alam yang telah dia curahi
sedemikian banyak perhatian. Walaupun saat
ini Dominika dan Haiti sedang berjuang untuk menyelesaikan permasalahan
negaranya yang sangat kompleks, harapan masih tersisa menuju masa depan yang
lebih baik. Sungguh sebuah pembahasan yang layak sekali untuk dibaca dan
resapi…
Tak kalah seru dengan bab-bab sebelumnya, kali ini Prof. Diamond
mengajak kita mengunjungi negeri tirai bambu dalam bab “Cina: Raksasa yang Menggeliat”. Cina merupakan negara berpenduduk
paling banyak di dunia dengan sekitar 1,3 milar orang (seperlima dari total
penduduk dunia), dengan luas total nomor tiga dunia dan keanekaragaman hayati
tumbuhan juga di ranking tiga terkaya. Ekonominya yang sudah besar tumbuh
dengan laju paling cepat dibanding negara manapun dunia dengan nyaris 10% per
tahun. Memiliki laju produksi baja, semen, makanan budidaya perairan dan
perangkat TV tertinggi di dunia; produksi tertinggi sekaligus konsumen
tertinggi batubara, pupuk dan tembakau; hampir memuncaki produksi listrik dan
(tak lama lagi) kendaraan bermotor), juga dalam konsumsi kayu bangunan, dan Cina
sedang membangun bendungan terbesar dan proyek pengalihan air terbesar di
dunia.
Berbagai kelebihan dan pencapaian tersebut dinodai dengan perusakan
lingkungan yang bahkan tergolong paling parah di dunia dan makin parah. Daftar panjang
perusakan lingkungan tersebut mulai dari pencemaran udara, hilangnya
keanekaragaman hayati, hilang lahan pertanian, penggurunan, lenyapnya lahan
basah, kerusakan padang rumput, spesies penyerbu, perumputan berlebihan,
berhentinya aliran sungai, salinisasi, erosi tanah, penumpukan sampah serta
pencemaran dan kekurangan air yang menyebabkan peningkatan bencana alam yang
dsebabkan oleh manusia Cina. Saking luas dan besar Cina, berarti masalah mereka
bukan hanya menjadi masalah mereka, tapi akan berimbas kepada dunia secara
keseluruhan dalam planet, samudera, atmosfer yang sama. Saat ini negeri
gingseng menjadi penyumbang terbesar Sulfur Oksida, klorofluorokarbon, zat-zat
perusak ozon lainnya, dan (tak lama lagi) karbon dioksida ke atmosfer. Cina
juga merupakan importir kayu bangunan terbesar dari hutan hujan tropis dan
banyak berkontribusi pada penggundulan hutan tropis.
Kualitas udara yang buruk di Beijing dan kota-kota lainnya di Cina masuk
kategori yang paling buruk d dunia, hal tersebut salah satunya disumbang
kenaikan kendaraan bermotor yang antara 1980 sampai 2001 meningkat 15 kali
lipat, mobil pribadi 130 kali lipat, dan Cina saat ini memutuskan untuk
menjadikan produksi mobil (utamanya mobil pribadi, merk yang kutahu mungkin
Wuling kali ya karena namanya kecina-cinaan) sehingga menjadikan mereka akan
menjadi negara terbesar ketiga produsen mobil setelah AS dan Jepang. Pembangkit
listrik yang didominasi batu bara juga menyumbang peningkatan nitrogen oksida
dan karbon dioksida. Hujan asam pada 1980-an yang terbatas hanya di beberapa
daerah di barat daya dan selatan kini dialami oleh seperempat dari semua kota Cina
selama lebih dari separo jumlah hari berhujan setiap tahun. Dibalik fakta
statistika yang sangat mengesankan, ternyata efisiensi energi Cina hanya separo
dari negara dunai pertama; produksi kertasnya mengkonsumsi dua kal lipat air
lebih banyak, irigasi mengandalkan metode permukaan yang tak efisien menjadikan
air menguap, zat hara tanah hilang, eutrofikasi dan penumpukan endapan sungai. Misalnya
lagi, produksi amonia berbasis batu bara yang dibutuhkan untuk pembuatan pupuk
dan tekstil di Cina mengonsumi 42 kali lebih banyak air daripada produksi amonia
berbasis gas alam di negara maju dunia pertama.
Pada sisi kualitas air, sebagian besar sungai sumber air tanah Cina
makin buruk dan terus merosot akibat buangan air limbah industri dan kotapraja,
serta saliran dari budidaya perairan berupa pupuk, pestisida anorganik yang
menyebabkan eutrofikasi meluas. Sekitar 75% danau Cina dan nyaris seluruh pesisir
lautnya tercemar. Pasang merah-ledakan populasi plankton menghasilkan zat
beracun bagi ikan dan hewan laut lain-telah meningkat menjadi nyaris 100 kali
pertahun, dari hanya satu setiap lima tahun sekali pada 1960-an. Hanya 20%
lmbah cair rumah tangga yang dikelola, dibanding dengan 80% di negara maju
dunia pertama. Cina juga merupakan negara paling tinggi yang mengalami
kerusakan erosi tanah terburuk, mempengaruhi 19% luas daratannya dan
menyebabkan kehilangan tanah sebanyak 5 millar ton per tahun. Di sungai
Yangtze, buangan endapan akibat eros melebihi Nil dan Amazon, dua sungai
terpanjang di dunia. Endapan telah memperpendek pelayaran kanal-kanal sungai
sebanyak 50%, dan membatasi ukuran kapal yang bisa melayari sungai. Kualitas tanah
juga mein berkurang, penggunaan pupuk anorganik jangka panjang menyebabkan
penurunan jumlah cacing tanah. Penggurunan akibat perumputan berlebihan melanda
lebih dari sepermpat Cina, menghancurkan 15% daerah Cina Utara yang tersisa
untuk agrikultur dan penggembalaan dalam satu dasawarsa terakhir.
Diskusi mengenai kerusakan lingkungan di Cina tak berhenti sampai disitu.
Negeri tempat Jack Ma berasal ini adalah salah satu yang paling miskin hutan di
dunia, dengan hanya 0,12 hektar huta per orang dbandingkan dengan rata-rata
dunia sebesar 0,65%, dan dengsn tutupsn hutan hanya 16% dari luas dataran Cina
(dibandingkan dengan 74% di Jepang. Banjr besar akibat penggundulan hutan
terjadi pada 1996 menyebabkan kerusakan $2,5 miliar, dan banjir 1998 lebih
besar lagi. Berikut deretan kerugian ekonomi Cina akibat kerusakan alam dan
tata kelola yang ugal-ugalan: $72 juta pertahun dihabiskan untuk menghentikan
penyebaran gulma aligator yang mulanya dmpor dari Brazil sebagai pakan ternak babi
pada 1990 d pelabuhan Shanghai, gulma tersebut lolos dan tumbuh liar di kebun, ladang
ubi jalar dan perkebunan jeruk; kerugian tahunan $250 juta akibat penutupan
pabrik-pabrik oleh kekurangan air di satu kota saja, Xian; badai pasir
menimbulkan kerusakan $540 juta per tahun; $730 juta per tahun akibat rusaknya
tanaman pangan dan hutan oleh hujan asam; $6 miliar biaya “dinding hijau” dari
pepohonan yang dibuat untuk melindungi Beijing dari pasir dan debu; $7 miliar kerugian
per tahun akibat spesies hama selan gulma aligator; $42 miliar per tahun akibat
penggurunan dan $54 miliar kerugian tahunan akibat pencemaran air dan udara. Kombinasi
kedua hal terakhr saja menyedot uang setara 14% Produk Domestik Bruto (PDB)
Cina tiap tahun.
Akibatnya bagi kesehatan masyarakat, kadar timbel rata-rata dalam darah
penduduk kota Cina nyaris berlipat dua dari tempat-tempat lain di dunia yang juga
memilik kadar timbel tinggi sekitar 300.000 kematian setiap tahun dan biaya
kesehatan sebesar $54 miliar (8% PDB) dtimbulkan oleh pencemaran udara. Kematian
akibat merokok berjumlah sekitar 730.000 per tahun dan terus naik, sebab Cina
adalah konsumen sekaligus produsen terbesar tembakau di dunia dan tempat
tinggal paling banyak perokok (320 juta orang, setara dengan seperempat total
perokok di dunia, per orang rata-rata merokok 1800 rokok per tahun). Seorang pesimis
akan menyadari banyaknya bahaya dan pertanda buruk yang telah terjad d Cina. Dantara
bahaya-bahaya yang digeneralisasi, pertumbuhan ekonomi, bukan perlindungan atau
kerberlanjutan lingkungan masih merupakan prioritas Cina. Kesadaran masyarakat
akan lingkungan masih rendah karena investasi Cina di bidang pendidikan mash
rendah, kurang dari separo investasi Negara-negara
maju dunia pertama dalam persentase PDB. Dengan 20% populasi dunia, Cina hanya
mengeluarkan 1% dari pembelanjaan dunia untuk pendidikan. Para pemimpin Cina
dulu percaya bahwa manusia bisa dan harus menaklukan alam, bahwa kerusakan alam
hanyalah masalah yang hanya menyerang masyarakat kapitalis, dan bahwa
masyarakat sosialis kebal terhadap permasalahan semacam itu. Kini, dhadapan
setumpuk tanda masalah lingkungan parah yang terjadi di Cina, pikiran mereka
harus berubah.
Beralih dari impor menuju ekspor, Cina juga memberikan banyak spesies
penyerbu ke berbagai tempat di belahan dunia. Keanekaragaman hayati Cina yang
sangat luas memungkinkan hal itu. Tiga hama yang paling dikenal telah menumpas banyak populasi pohon Amerika
Utara dan menyebabkan banyak sekali kerugian; 1) Sampar Kastanye, 2) penyakit
elm “Belanda” yang salah nama, 3) kumbang tanduk panjang asia. Spesies penyerbu
lain yakni ikan koan Cina (Ctenopharyngodon
idella) kini telah mapan d sungai-sungai dan danau-danau 45 negara bagian
AS, bersaing dengan spesies-spesies ikan asli dan menyebabkan perubahan besar
terhadap komunitas tumbuhan, plankton, dan avertebrata lain. Satu lagi spesies
yang poopulasinya melimpah di Cina, yang memiliki dampak-dampak ekologi dan
ekonomi besar, dan yang Cina ekspor dalam jumlah semakin banyak, adalah Homo
Sapiens. Aku ingin
menitikbertakan pada spesies terakhir yang tampaknya saat ini telah menyerbu Indonesia.
Betapa berita di media sosial diisi oleh berita tentang datangnya Tenaga Kerja
Asing (TKA) dari Cina, setiap hari di bandara internasional Soekarno-Hatta
orang-orang bermata sipit tak berbahasa melayu datang ke Nusantara, disebar ke
berbagai penjuru untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan nasional yang
didapat dari pnjaman modal kerja dari Cina. Banyak yang bilang berita tersebut
adalah hoaks, namun tak sedikit pula yang percaya bahwa serbuan TKA akan
berdampak buruk bagi pribumi. Bagaimana tidak, di kondisi ekonomi yang sedang
sulit apalagi tingkat pengangguran yang membengkak, pemerntah melalui pidato
presiden Joko Widodo tanpa tedheng
aling-aling meminta agar perizinan kerja TKA dari Cina dipermudah. Bali,
Morowali dan berbagai tempat pembangunan proyek saat ini telah penuh dengan
pekerja asing Cina. Hal itu diperparah dengan isu ketimpangan pendapatan yang
diterima antara pekerja lokal dan pekerja aseng Cina dengan tingkat pekerjaan
yang sama, alasan bahwa tenaga kerja lokal belum bisa meng-cover pekerjaan yang dilakukan TKA sungguh sangat merendahkan dan tidak
bisa diterima. Aku berharap semoga terjadi pergantian kekuasaan d tahun 2019
ini, aamiin ya Rabbal alamiin! Maaf melenceng dari topik.
Demikian resensi buku ini harus kucukupkan. Sebenarnya masih ada 4 bab
dari Collapse yang belum kubaca, empat bab itu yakni: “Menambang” Australia; Mengapa
Sejumlah masyarakat Membuat Keputusan yang Berakibat Buruk?; Bisnis besar dan
lingkungan: Kondisi Berbeda, Hasil Berbeda; dan Dunia Sebagai Polder: Apa
Artinya Itu Semua Bagi Kita Kini?”, namun karena saking bagus dan mendalamnya
isi dari buku ini membuatku tak kuasa ingin segera menulis resensi guna dikonsumsi
sendiri dan atau menyebarkannya kepada komunitas. Tentu apa yang kutulis diatas
sangat jauh dari bagaimana Prof. Jared Diamond mendedikasikan isi pikiran dan
seluruh penelitiannya yang memakan waktu bertahun-tahun yang telah ditulis secara
gamblang dalam buku ini. Sebuah karya ilmiah yang mencerahkan, menjadi
inspirasi yang kuat bagi pembacanya dan sangat rekomendatif untuk otak kita
agar diisi pada era yang semakin meminta lebih ini. Untuk alam raya dimana kita
semua berbagi bersama didalamnya, semoga lestari dan berkelanjutan. Sebelum kuakhiri,
aku berwasiat kepada diri sendiri dan para pembaca yang budiman, mari tidak
membuang sampah sembarangan sekecil apapun. Semoga tulisan ini bermanfaat…
Surabaya, 7 April 2019
Sepuluh hari menuju
Indonesia menang, adil dan makmur
Firman Sentot Abintara P.
Mantebb, ditunggu next resume
BalasHapus,,,, sangat bermanfaat sekali
BalasHapus