Ini adalah cerita tentang
pendakian yang telah lama menjadi impian, impian terliar dari seorang anak
lelaki yang ingin menaklukan dirinya pada pendakian gunung yang berpredikat
sebagai puncak dengan pendakian paling berbahaya di Pulau Jawa. Gunung Raung,
terletak di pinggiran pulau jawa bagian wetan tepatnya perbatasan antara Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Gunung yang dari namanya saja telah banyak
membuat ciut nyali pendaki manapun karena kewingitan track pendakian yang
terkenal terlampau ekstrim untuk didaki. Dan Puncak Sejati adalah puncak tertinggi
pada gunung ini, 3344 mdpl yang telah diimpikan sejak lama-lamaaaa sekali, my wildest dreams!!
Semenjak lulus kuliah aku belum
pernah mendaki gunung lagi. Diterima kerja di salah satu BUMN yang kemudian membuat
banyak waktuku tersita oleh kesibukan hampir setahun lamanya, opportunity cost yang harus dijalani. Sampai
waktunya tiba buat pegawai baru untuk ambil cuti. Aku dapat 8 hari cuti
proporsional, sudah sejak laaaaama hari cuti ini dinanti-nanti. Jauh-jauh hari
sebelum hari H, sudah kukabarkan pada teman rencana pendakian Raung. Aris dan
ferdian bergabung dalam misi. Semua persiapan logistik juga bagaimana nanti
pendakian termasuk cari guide dan penginapan, persiapan waktu tempuh atau
medan-medan yang harus dilalui, tenda dll juga keperluan pendakian yang lebih
spesifik seperti gear dan temalian semua Aris yang siapkan. Dia ini temanku
yang amat sangat bisa diandalkan sekali banget kalau urusan pendakian. Junior
di kuliah dan senior dalam pendakian. Teman ngopi dan berbagi cerita tentang
buku-buku filsafat dan apapun atau puisi-puisi yang kami bacai dulu di jaman
kuliah. Kami memilih reuni di gunung Raung. Kemudian ada Ferdian, teman ngopi dari
kota asal yang juga sedang haus petualangan. Segala persiapan mengenai
pendakian telah dipenuhi, persiapan fisik, mental dan finansial semua sudah
oke. Tanggal pendakian telah ditentukan, hari cuti juga sudah dibuku, waktunya
kita kemon...
Sabtu pagi, 11 Maret 2017 aku
berangkat ke perempatan Sumberrejo untuk nyegat bus diantarkan ibukku. Ini kali
pertama ibuk ngantarkan aku buat pendakian gunung yang diawali dengan pamitan
ke ibuk, dan mungkin kali terakhir pendakian gunung sebelum vakum agak lama
nanti. Dari perempatan Sumberrejo langsung ambil bus jurusan Bungurasih dan
selanjutnya ke Malang. Aku harus ke Malang dulu untuk ngantarkan paspor simbah ke
om dan bulik. Di jalan segera ku WA adekku si Uga yang kuliah di malang untuk
pesankan tiket stasiun Malang-Kalibaru (Banyuwangi) karena ternyata pemesanan
online lewat KAI Access belum bisa memfasilitasi untuk pemesanan dadakan. Uga
juga kusuruh untuk belikan baju flanel untuk ndaki nanti.
Tiket keberangkatan
dari stasiun Malang menuju stasiun Kalibaru berada pada jam keberangkatan pkl 15.55
dengan harga Rp. 62.000,-, paspor kutitipkan adek, tak sempat bertemu om dan
bulik yang masih dalam perjalanan karena rupanya jalanan Malang sedang macet. Ahh
Malang, rindunyaaaa, kota tempatku berkembang dan belajar menjadi pribadi yang
lebih dewasa. Ferdian berangkat dari Bojonegoro menuju stasiun Surabaya dan
bertolak langsung ke Kalibaru dari sana. Sedang Aris telah lebih dulu bertolak
ke Jember mampir ke rumah eyangnya, dan hari itu juga dia telah menunggu di
Basecamp sejak sore hari. Pkl 21.50 aku sampai di stasiun Kalibaru, Ferdian
telah menunggu disana. Dengan raut muka yang sama-sama gambarkan kelaparan, kami
mampir di warung emperan samping stasiun dan makan nasi goreng. Sudah kenyang,
saatnya cari ojek dan langsung menuju basecamp pendakian bu Soeto yang disana
Aris sudah menunggu. Harga ojek dari stasiun Kalibaru menuju Basecamp Rp.
35.000,-. Kami bertemu Aris dan bu soeto, setelah berckap-cakap (niatnya
sebentar langsung tidur, tapi sudah bisa ditebak gimana kalo ketemu teman lama
yang lama ndak ketemu dan ketemu orang baru bu Soeto dalam hal ini) kemudian langsung
istirahat guna siapkan energi terbaik untuk pendakian. Rasanya malam itu lebih
indah melek daripada tidur, karena tempat yang selama ini begitu diimpikan tak
lagi dalam mimpi melainkan telah berada di depan mata.
Minggu pagi sekali, 12 maret
2017, udara terasa teramat sejuk di kaki gunung Raung. Bu Soeto sedang memasak
di dapur buat sarapan dan bekal pendakian kami. Kami bertiga telah mandi dan
selesai berjamaah subuh. Usai perlengkapan dirapihkan dan pembagian logistik
untuk disimpan di masing-masing keril, kami santai sejenak dan menikmati
sarapan dan teh hangat sambil bersenda gurau seadanya, full tankkkkk. Datang kemudian
bang Aldi menyapa kami. Bang Aldi adalah guide yang akan memandu pendakian Raung
kami. Untuk pendakian Raung, pendaki diwajibkan untuk menggunakan jasa pandu
guide, mengingat medannya yang sangat terjal dan ekstrim. Juga dari para guide
inilah yang memandu kami kapan dan bagaimana gear pendakian harus digunakan. Biaya
jasa guide di Raung adalah Rp. 300rb perhari. Bekal logistik dan tenda dari guide
ditanggung oleh tim pendakian. Setelah semua siap, pastikan barang-barang tak
ada yang tertinggal, kami berangkat menuju pos 1. Untuk menuju pos 1 (980 mdpl)
pendakian Raung pendaki bisa menggunakan jasa ojek. Dari basecamp bu soeto ke pos
1 memakan waktu tempuh ojek 20-25 menit dengan biaya Rp. 50.000,- / pendaki. Menurutku
alangkah lebih baik untuk menggunakan jasa ini, bukan perkara “pendaki kok
ngojek” atau gimana tapi mengingat medan yang super berat menanti didepan sana,
itung2 save energi dan bekal. Pos 1 ini berupa rumah terakhir dari salah
seorang penduduk di kaki gunung Raung. Disini juga kita bisa pesan segelas
kopi, dan juga bisa beli kopi khas Raung.
Perjalanan dari pos 1, menuju pos
2 adalah yang paling panjang tracknya. Dimulai pkl 7.20, pada awalnya tumbuhan
di samping kiri kanan didominasi oleh perkebunan kopi milik warga. Dari keterangan
bang Aldi, masih sering ditemui spesies kucing hutan atau macan tutul di
sekitaran kebun kopi ini. Perjalanan makin lama kian rimbun dan lumayan menanjak,
vegetasi pun berubah berganti vegetasi hutan. Pkl 11.08 kami sampai di Pos 2
(1431 mdpl), hampir 4 jam perjalanan. Pos 2 berupa hamparan lahan yang cukup
luas, dan banyak sekali seresah (guguran daun di tanah), disini kami rehat
sejenak untuk makan siang. Cuaca telah semakin buruk, diperjalanan kami
seringkali kehujanan. Kabut seringkali datang dan hinggap. Setelah cukup kami
sandarkan kaki dan mengisi energi, lanjut lagi perjalanan menuju pos 3. Ada 2
jalur yang bercabang, dan disinilah tugas guide untuk memandu kami memilih
jalan yang benar menuju puncak, karena jalan satunya adalah jalan yang dibuat
penduduk sekitar menuju perkebunan kopinya. Dari pos 2 ke pos 3 tak memakan
waktu banyak, sekitar 1 jam saja. Pos 3
(1656 mdpl) tak lebih luas dari pos 2. Kami singgah hanya sebentar saja disini
sekedar untuk mampir minum. Perjalanan dilanjutkan menuju pos 4. Memakan waktu
lumayan lama untuk sampai di pos 4, sekitar 2 jam dan pada pkl 15.34 kami
sampai di pos 4 (185 mdpl).
Pos 2 (1431 mdpl) |
Pos 3 (1656 mdpl) |
Setelah rehat sejenak di pos 4,
jalan menuju pos 5 mulailah sangat curam. Walau tak memakan waktu lama, yakni
sekitar 45 menit saja untuk sampai di pos 5, pendaki harus berhati-hati pada
track jalan mulai dari pos 5 ke atas. Dari pos 5 (2115 mdpl) kami langsung
lanjutkan pendakian menuju pos 6 yang memakan waktu lebih singkat lagi namun
dengan track yang jauh lebih curam, 30 menit dari pos 5 untuk sampai di pos 6 (2285
mdpl). Kami banyak beristirahat di tiap pos, keletihan akibat tanjakan curam nya
benar-benar menguras energi. Pendaki harus berhati-hati dalam menentukan
pijakan kakinya. Dari pos 6 ke pos 7 memakan waktu tempuh 1 jam, dan sekitar
pkl 21 kami sampai di pos 7 Pondok Rasta (2541 mdpl), tujuan kami di hari
pertama pendakian tercapai. Pondok Rasta merupakan tempat yang luas, dan merupakan
tempat strategis untuk bermalam dan mendirikan tenda, biasa digunakan pendaki untuk
serbuan puncak. Selamat malam selamat beristirahat, esok hari penting sekali.
Pkl. 02 senin dini hari, 13 Maret
2017, alarm Aris berbunyi. Dia ingatkan kami untuk segera bersiap. Molor 1 jam
mengingat udara yang kelewat dingin diluar tenda, juga keletihan yang awet
sekali mendera. Pkl 03 lebih banyak menit, kami baru bisa paksakan mata dan
seluruh badan untuk bangun. Dengan tubuh yang terasa amat berat juga melawan
rasa pegal dan dingin yang menusuk-nusuk, kami harus bersiap. Bangun pagi untuk
serbuan puncak ini yang bagiku dan
mungkin juga pendaki lain jadi momen terberat saat pendakian, karena di
dalam tenda adalah jebakan zona nyaman yang seolah jadi tempat teraman di dunia
saat pendakian, dan diluar tenda adalah tempat yang amat berbahaya. Benar saja,
baru resleting tenda dibuka dan udara gunung yang super dingin menyelinap di
sela-selanya hampir saja merontokkan nyali kami. But damn we talk to ourselves it is now or never, the show must go on. Raung
summit attackkkkkkkkkk!!
Berbekal perlengkapan seperlunya
dan logistik kami berangkat. Masih ada 2 pos lagi di depan. Untuk sampai di Pos
8, kami harus melewati beberapa punggungan bukit dan juga sesekali melipir di
samping bukit. Waktu itu masih pagi dan kami butuh bantuan headlamp. Namun tak
perlu waktu lama bagi headlamp bekerja karena sejurus kemudian sinar matahari perlahan
temani langkah kaki kami. Sekitar 1.5 jam kami berjalan menuju pos 8 (2876
mdpl). Mampir shalat subuh dan istirahat sejenak. Summit terasa jauh lebih
enteng karena beban berat pada tas keril kami tinggal di tenda. Setelahnya memakan
waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai di pos 9. Pos 9 (3023 mdpl) adalah pos
terakhir yang bisa digunakan pendaki untuk mendirikan tenda. Disini pula kami
mulai memakai gear pendakian, bang Aldi memandu kami dengan baik bagaimana cara
mnggunakan gear yang baru kami kenal ini seperti carabiner, webbing, harmest
dan tali karmanel dll.
Pos 9 (3023 mdpl), Perlengkapan perang dipasang |
Dari pos 9 menuju Puncak Bendera
memakan waktu hanya sekitar 20-30 menit saja. Disini pula batas vegetasi hutan
dilalui. Setelah melewati batas Vegetasi, semua yang terpampang di depan adalah
perpaduan keindahan sekaligus keperkasaan dari gunung Raung. Puncak Sejati
terlihat di jauh sana, puncak yang selama ini ingin kuciumi pasirnya. Sampai di
Puncak Bendera kami tak ingin membuang banyak waktu dan hanya singgah 5 menit
saja. Lanjut menuju puncak selanjutnya, Puncak 17. Untuk menuju puncak 17 harus
melalui titik ekstrim 1, di titik ini kami harus memanjat pelipiran samping
bukit dengan pijakan batu yang keras dan licin. Di titik ini pula aku
benar-benar merasakan adrenalin yang luar biasa. Tidak bisa tidak karena salah
sedikit pijakan saja bisa langsung terjun bebas ke jurang. Disinilah fungsi
dari gear pendakian yang dibawa oleh guide Raung, gear ini dapat meminimalisir
kemungkinan buruk itu terjadi. Hebatnya lagi bang Aldi melewati ekstrim 1 tanpa
temalian. Dia tancapkan dulu anchor untuk
tempat tali kami mengantung, baru kemudian satu persatu dari kami memanjat
bukit. Sungguh sebuah sensasi ketakutan yang tak akan terlupakan. Tak cukup
disitu, untuk sampai di puncak 17 kami harus mendaki sebuah tembok bukit yang sekitar
90 derajat tegaknya. Bang Aldi lagi-lagi menunjukkan kecakapannya berteman
dengan gunung Raung. Mendaki tembok bukit ini perlu tenaga yang super, tangan
dan aki bekerja. Tangan menarik tubuh dan kaki mencari-cari pijakan yang tepat
agar bisa sampai di atas. Kembali sebuah sensasi yang rasanya meledak-ledak
kegembiraannya sesaat setelah berhasil sampai di Puncak 17 (3108 mdpl), pkl.
8.39 wib.
Habbhul wathan minal iman, Wabil khusus Indonesia baldatun thayyibatun, Al-Fatihah... |
Waktu si Aris perutnya nyantol di Batu |
Setelah lewati pelipiran titik ekstrim 1 |
"If your dreams doesn't scare you, they are not BIG ENOUGH!" - Darriel Pujols |
Setelah melepas lelah, lanjut
kami berjalan menyusuri keperkasaan gunung Raung. Ada lagi titik ekstrim yang
menanti di depan. Titik ekstrim 3, tak jauh selepas kami meninggalkan puncak 17,
berupa pijakan tanah yang sangat tipis sekali namun padat, berbentuk seperti
jembatan, dan kami menyebutnya jembatan Shirat.
Harus ultra fokus untuk melewati jembatan ini, selain menurun, juga
perhatikan batuan atau kerikil yang menjadi pijakan. Tak sampai full
menyebrang, dan kemudian turun di sebelah kanan. Ada lagi di ekstrim 4 yang
harus menggunakan temalian untuk lewatinya. Titik ekstrim 4 kami harus menuruni
sebuah bukit dengan menggunakan tali, yang pada ujung bukitnya langsung berhadapan
dengan jurang. Banyak turunan yang harus kami lalui untuk sampai di Puncak
Sejati, untuk selanjutnya full nanjak seakan tiada ujung medan bebatuan.
Di tengah keletihan yang sebentar
lagi mungkin akan melewati ambang batas toleransinya, bang Aldi memekikkan
semangat pada kami “Puncak 10 menit lagiiiiiii”, sontak kami kembali
bersemangat seolah dapat secercah ilham. Aris malah berlari setibanya sampai di
medan datar yang menghubungkan puncak Tusuk Gigi dan Sejati, tangisnya pecah
sesaat sampai di Puncak Sejati. Lucu sekali mendengar ceritanya yang sempat
dipandang sebelah mata oleh penduduk sekitar dan juga teman-temannya karena
gemuk, mentalnya sempat down, dan
selalu kami kuatkan sepanjang perjalanan. Ferdian duduk bersantai di atas batu sambil
kehabisan kata. Bang Aldi dari raut wajahnya berbicara puas dan senang telah
berhasil antarkan kami sampai di Sejati. Aku sama dengan Ferdian, hanya bisa
duduk terdiam setelah sujud syukur. Pkl 11.09, 3344 mdpl, puncak yang selama
ini begituuuuuuuu ingin kucumbui pasirnya, akhirnya telah sampailah kami dengan
selamat sentosa. The wildest dream,
java’s most dangerous mount to climb. RAUNG GENTLEMAN’s TOP: RAUNG
MERAUNG-RAUNGGGGGG!!!!
Lihat penampakan? |
"It's not the mountain we conquer, it's our (damn) self!!" - Sir Edmund Hillary, first climber to kiss mt. Everest's top Impianmu wis tekan endi, le? Raung meraung-raunggggg ,Alhamdulillah |
Semai rinduku untuk kembali... |
Aris berfoto dengan buku hasil karyanya. Senior dalam pendakian dan penggalian makna kehidupan. |
Tag your squad! |
Puncak Tusuk Gigi |
Pagi hari, selasa 14 Maret 2017,
sunrise nya indah sekali. Dari Pos 7 kami bisa memandang dataran rendah dengan pemandangan
yang luas, sambil sarapan dan bersenda gurau bersama tim. Namun tiba saatnya bagi kami untuk turun. Tentunya sebagai pendaki
yang belajar baik, tak lupa kami bawa turun sampah-sampah baik plastik atau
apapun yang tak bisa terurai dengan cepat oleh tanah, sisa dari bekal logistik
kami. Ada kelebihan air mineral dalam botol, kami tingalkan di pos untuk dapat
dimanfaatkan bagi pendaki yang memerlukan.
Perjalanan Pulang
Singkat cerita, sesampainya di Pos 1, kami hubungi pangkalan ojek Raung untuk menjemput rombongan kami. Dari pos 1 turun ke basecamp apalagi waktu itu sedang hujan derasnya, sewaktu dibonceng naik motor sensasinya lebih seru dan asyik daripada naik roller coaster. Pkl 06 sore kami sampai kembali di basecamp bu soeto dengan selamat dan membawa kemenangan yang hanya bisa kami rasakan. Nikmat mana lagi yang hendak kami dustakan setelah ini? Alhamdulillahi Rabbil alamiin...
Perjalanan Pulang
Singkat cerita, sesampainya di Pos 1, kami hubungi pangkalan ojek Raung untuk menjemput rombongan kami. Dari pos 1 turun ke basecamp apalagi waktu itu sedang hujan derasnya, sewaktu dibonceng naik motor sensasinya lebih seru dan asyik daripada naik roller coaster. Pkl 06 sore kami sampai kembali di basecamp bu soeto dengan selamat dan membawa kemenangan yang hanya bisa kami rasakan. Nikmat mana lagi yang hendak kami dustakan setelah ini? Alhamdulillahi Rabbil alamiin...
Kami menginap semalam lagi di
basecamp bu Soeto untuk pulihkan kondisi badan. Malamnya bu soeto membuatkan
kami makan dan teh hangat, kemudian datang bang Aldi bergabung menambah
keceriaan, sambil bercanda riuh kami mengobrol, syahduuuu. Oiya ini kontak bang
Aldi 087715866623, dan follow juga akun ig @mt.raung_basecampbusoeto untuk
informasi sekitar gunung Raung atau sekedar buat nikmati indah dan perkasanya
Raung. Pagi harinya langsung kami menuju stasiun Kalibaru menaiki ojek. Ferdian
langsung kembali ke Surabaya dan kemudian ke Bojonegoro. Aku dan Aris berkereta
api ke Malang, ada teman yang harus kusambangi, juga dengan suasana kota Malang
yang selalu dirindukan.
Ya Allah Tuhan yang maha besar, sungguh ini kemenangan
yang nyata, terimakasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar