Sudah sejak aku mulai bacai buku-buku Pramoedya aku
benar-benar sangat pingin kunjungi tempat ini. Merupakan sebuah tempat yang
sangat wingit, dibangun oleh Soesilo Toer untuk mengenang sejarah peninggalan
kakaknya semasa hidup, penulis dan pengarang besar Indonesia yang karya-karya
besarnya bahkan sudah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa dunia, Pramoedya
Ananta Toer. Perpustakaan PATABA namanya, akronim dari Pramoedya Ananta Toer
Anak Semua Bangsa (diambil dari judul buku kedua tetralogi Pulau Buru), terletak
di jantung kota Kabupaten Blora, barat laut alun-alun kota, tepatnya di Jalan
Sumbawa No. 40, Jetis, Blora.
Sebenarnya aku sudah berencana untuk berangkat
sendirian tanggal 3 Desember, karena seperti biasanya tanggal tersebut harus
dirayakan walaupun sederhana seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi pada tanggal
tersebut ada undangan interview kerja, rencana akhirnya dindur. Kebetulan si
Alvin kawan lamaku sedang libur panjang dari rutinitasnya mengajar di sebuah
sekolah dasar, doi juga sudah lama pingin ke tempat ini, akhirnya berangkatlah
kami.
Selasa, 22 Desember 2015 kami berangkat dari
Bojonegoro sekitar pkl 08.00. Blora adalah sebuah Kabupaten di Jawa Tengah yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Untuk sampai di
Blora, butuh waktu 2 jam saja berkendara, setelah melewati Cepu, salah satu
kota besar Kabupaten Blora di perbatasan Jawa Tengah. Blora memiliki jargon
“Blora Mustika”, entah kami tak tahu apa artinya, yang jelas Blora
sungguh-sungguh sebuah kota yang permai. Kotanya tertata rapi, bersih dan
rindang, waktu kami kesana cuaca juga sedang sejuk, indah sekali.
Pada awalnya kami sempat kebingungan mencari alamat
perpustakaan, namun setelah bertanya sana-sini kami baru tau bahwa perpustakaan
telah kami lewati berkali-kali. Perpustakaan PATABA terletak di pojokan jalan,
masih di jantung kota Blitar, namun saat memasuki halaman perpustakaan rasanya
kami kenal dengan nuansa “ndeso” yang tercitrakan. Bagaimana ya cara
ngomongnya…
Kami disambut oleh Perempuan tua yang sedang
menggembala kambing, dibukakannya pagar rumah yang terbuat dari kayu jati,
terlihat sudah amat sangat reot dan lapuk dimakan rayap. Kesan pertama yang
terlintas dibenak kami sudah pasti, apa benar ini perpustakaan bersejarah itu?
Tak bisa tidak berpikiran seperti itu karena dari letaknya yang di jantung kota
namun berbangunan reot, berhalaman luas dengan sisa-sisa pekarangan berimbun
semak sampai bisa digunakan menggembala kambing, sudah cukup membuat kami
berpandangan satu sama lain terkaget-kaget. Namun dengan usaha pengendalian
diri yang cukup memakan waktu, ternyata memang inilah Perpustakaan yang kami
tuju dan benar-benar ingin kukunjungi.
Perpustakaan PATABA ini berdinding kayu, terletak di
bagian belakang tak terpisah dari rumah utama yang merupakan rumah peninggalan
keluarga besar Toer. Kondisi rumah masih dipertahankan seperti jaman dulu seperti
yang tergambar dari pekarangan yang luas dan bangunan rumah beraksen
kebelanda-jawaan, mirip seperti rumah simbah dulu atau tetangga-tetangga di
kampungku. Untuk masuk ke perpustakaan PATABA yang letaknya di bagian belakang
rumah, kami harus masuk dan melewati semak yang untuk ukuran rumah tempat
tinggal, yah menurutku sudah amat belukar. Dalam hati rasanya prihatin sekali
melihat kondisi perpustakaan yang sudah seperti ini, kurang terawat dengan
baik.
Perempuan tua yang bukakan pintu buat kami tadi adalah
bu Suratiyem, istri dari Soesilo Toer, adik Pramoedya Toer. Bu Suratiyem sangat
ramah sekali menyambut kami, sayang sekali kami tak bertemu pak Soesilo waktu
itu karena sedang berplesir ke Yogya guna mencari percetakan. Kami terlibat
perbincangan yang awalnya canggung, kemudian hangat dan diskusi terus mengalir.
Dari penuturan yang disampaikan oleh bu Suratiyem, bahwa perpustakaan ini sudah
dikunjungi orang-orang dari berbagai kota bahkan mancanegara. Umumnya para
pengunjung adalah mereka yang mengagumi karya pengarang Pramoedya Toer. Bu
Suratiyem menuturkan banyak hal, mengenai sejarah pendirian perpustakaan dan
sejarah hidup Pram dan Soesilo Toer. Yang bikin kaget justru sangat sedikit
sekali pengunjung yang datang dari Blora sendiri. Bu Suratiyem menuturkan (juga
kusadur dari asepmufti.blogspot.co.id) bahwa stigma yang berkembang di Blora,
perpustakaan PATABA disebut perpustakaan liar, dengan stereotipe yang menjurus
pada peristiwa 1965. Pram dan Soesilo Toer adalah juga bekas tahanan politik 65
yang ditahan tanpa pengadilan dan dibuang. Buku-buku Pram pernah diberedel pada
rezim orde baru, orang mau baca harus dengan sembunyi-sembunyi. Di rumahpun
sebenarnya bapak menyinggungku untuk jangan membaca tulisan Pram, padahal
sebenarnya taka da yang aneh, malah sungguh sebuah kehormatan dan kesenangan
sendiri bisa bacai buku-buku Pramoedya Toer. Pernah pak Soesilo, dari cerita bu
Suratiyem, diciduk Polisi di bandara Soekarno beberapa menit setelah kaki
menjejak tanah sepulangnya menamatkan studi di Rusia, dan langsung di bui tanpa
pengadilan yang jelas. Seperti ini perlakuan yang diterima keluarga Toer pada
waktu itu, dan mungkin masih membekas sampai sekarang. Juga karena stigma
perpustakaan liar tadi, perpustakaan PATABA tak pernah mendapat bantuan apapun
dari pemerintah. Padahal dari cerita bu Suratiyem, banyak pejabat Blora yang
berkunjung ke perpustakaan guna meminjam buku dan tak dikembalikan. Buku-buku
yang dipinjam pun buku-buku cetakan asli, sungguh sebuah harta karun yang amat
bernilai bagi para pembaca karangan Pramoedya Toer. Karena tak pernah mendapat
apresiasi yang baik, dan minimnya bantuan, jadilah seperti ini kondisi
perpustakaan PATABA. Maklum saja, perpustakaan dikelola pribadi oleh pak
Soesilo dan bu Suratiyem. Sungguh sebuah ironi yang amat sangat bertentangan
sekali dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai yang tertulis rapi
dalam berbagai hukum dan Undang-undang, kan?
Annelies Mellema dalam buku 1 dan 2 tetralogi Pulau Buru...
Buku-buku tulisan Soesilo Toer yang hanya dijual di Perpustakaan PATABA |
Alat ketik yang digunakan Pramoedya Toer buat tetaskan karya-karya besar karangannya |
Memasuki ruang perpustakaan, kami tercenung dengan
banyaknya buku-buku dan lukisan-lukisan di dinding ruangan. Meskipun agak kotor
dan kumuh, tapi sungguh agung sekali nuansa yang terasa sekali memasuki
ruangan. Wingit dan keramat, sekaligus penuh dengan peninggalan bersejarah yang
bikin merinding. Disini terjejer rapi berbuku-buku “legend” dengan debu dan sarang laba-laba yang mulai menebal.
Dinding ruangan juga penuh dengan lukisan-lukisan semua yang berkaitan dengan
Pramoedya dan karya-karyanya, seperti RM. Tirto Adhi Soerjo yang lebih dikenal
sebagai Minke, tokoh utama dalam tetralogi Pulau Buru, juga tak ketinggalan
pula dengan Annelies Mellema, buah tangan dari seorang pelukis dari Jakarta
yang juga penyuka karangan Pram. Ada juga mesin ketik yang dulu digunakan mbah
Pramoedya buat tuliskan karyanya, rasanya merinding sekali dapat melihat
langsung perangkat besi dingin yang pernah digunakan pengarang besar buat
tetaskan buah pikirannya. Di samping ruangan perpus ada ruangan kecil berisi
tempat tidur kumal dengan tumpukan buku-buku yang makin tak tertata, di kasur
ini eyang Pram biasa tidur dan menghabiskan sisa waktunya untuk istirahat. Ruangan
kecil perpustakaan PATABA dengan buku-buku dan berbagai benda disana menyimpan
begitu banyak kebesaran pemikiran-pemikiran orang masa lampau…
Perpustakaan
PATABA bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia
membaca menuju masyarakat Indonesia menulis!
Obrolan dengan bu Suratiyem terus berlanjut, sambil
sesekali ada kambing masuk ke dalam ruangan perpustakaan. Kambing-kambing ini
merupakan gembalaan bu Suratiyem dan pak Soesilo, jumlahnya mungkin ada sekiar
10 ekor, terkadang malah duduk pada kursi tamu di teras perpustakaan. Bu
Suratiyem berpenampilan sangat sederhana, namun dibalik kebersahajaannya itu
pengetahuan beliau mengenai sastra sangat bagus. Kami mendapatkan kesempatan
untuk melihat dan memegang langsung buku cetakan asli yang tersisa di
perpustakaan PATABA, jumlahnya tak lebih dari 10 eksemplar dari berbagai judul
buku karya Pramoedya Toer. Aku dan Alvin juga mengeluarkan buku Pramoedya yang
sedang kami baca, aku dengan Arok Dedes dan Alvin dengan Jejak Langkah-nya.
Pada awalnya aku ragu-ragu untuk keluarkan buku yang kubeli dari toko kelontong
di daerah Malang, karena sudah pasti bajakan. Kemudian bu Suratiyem bilang “loh ya ndak papa to mas, wong Pram itu
pernah ngomong: entah bajakan atau asli tiada masalah, buku tetaplah buku yang
harus dibaca!” Mendengar kalimat itu darahku berdesir, sumpah keren benar
mbah Pram ini, dia tak peduli pada royalty individu atau semacamnya, asalkan
masyarakat Indonesia harus tetap membaca. Kalimat ini aku tak tahu, dan
dengannya pula aku merasa lega bisa bacai karya Pram walau harus dengan buku
bajakan. Memang akan sangat sulit pada masa ini untuk temukan cetakan asli
buku-buku Pramoedya Toer, kalau ada pastipun buku-buku langka ini harganya tak
terjangkau.
Kamar tidur Pramoedya Toer, biasanya juga dipakai kamar inap pengunjung perpustakaan.
Buku Arok Dedes milikku (kiri) dan Arok Dedes cetakan asli (kanan)
Perpustakaan Pramoedya juga menyediakan buku-buku
tulisan pak Soesilo Toer, ada beberapa judul yang dicetak mandiri dari
percetakan swasta, dan buku ini benar-benar hanya dijual di perpustakaan PATABA.
Aku tak bisa beli, karena masih ingin lanjutkan pembacaan buku-buku Pram yang
belum selesai. Mungkin lain kali nanti kalau ada kesempatan akan mampir lagi.
Ada juga dijual souvenir berupa kaos bergambar sketsa Pram, dijual seharga rp.
75rb saja. Sebenarnya waktu itu aku dan Alvin sedang bokek berat, tapi yahh
itung-itung buat kenangan dan siapa tahu juga buat nambah kas perpustakaan. Kunjungan
harus kami cukupkan, sayang sekali karena belum bisa bertemu pak Soesilo untuk
menimba ilmu lebih dalam lagi.
Semoga saja perpustakaan PATABA terus lestari dan
menjadi kanopi teduh bagi masyarakat Indonesia membaca. Pramoedya Ananta Toer, suaranya
takkan hilang ditelan angin dan akan tetap abadi sampai jauh-jauh hari nanti…
penulis itu pembaca sepuluh kali lipat. kalok enggak ngisin isini - APALAGI PENERBIT - Jangan cuma nebeng nama
BalasHapusSaya kemaren baru aja ke sana. Dan bernasib sama kayak mas yang punya blog, ga sempat ketemu pak Soes karena ada acara ke Jogja. Dan rumah legendarisnya Pram itu juga sedang direnov. Ya ampun, saya telat banget datangnya.
BalasHapus