Perjalanan ini sudah kuidamkan sejak puasa Ramadhan
belum berakhir. Sebulan penuh istirahat dari aktivitas fisik dan petualangan
yang mendebarkan bikin otakku jadi lumayan tumpul duhh. Jadilah waktu itu saat
sedang balik ke Malang, sempat-sempatkan untuk main. Destinasi yang kupilih
kali ini adalah Lumajang. Browsing pada waktu-waktu yang lalu mengenai bukit
B29 yang masih masuk TNBTS kesatuan Probolinggo, Pasuruan dan Malang semakin
membulatkan niat untuk segera kunjungi kota ini. Pada acara MTMA di channel
salah satu televisi swasta yang tak sengaja tertonton waktu itu juga
menampilkan Coban Tumpak Sewu di pinggiran Lumajang, ciyeee anak maytrip wakaka
gaklahh.
Tujuan pertama tentu saja B29. Teman-teman sudah
banyak bercerita mengenai sebuah bukit yang ketinggiannya melebihi puncak
tertinggi penanjakan Wonokitri, Probolinggo. Juga dalam cerita itu ada
bumbu-bumbu yang memancing-mancing hasrat untuk kembali dipeluk kabut dingin di
ketinggian beberapa ribu meter, mengenai lautan awan di lautan pasir Bromo, semua
itu buatku merinding rinduuuuuu…
Beberapa hari menjelang keberangkatan, aku mencoba
membujuk teman-teman untuk temani perjalananku kali ini. Setelah melalui usaha
negosiasi yang alot, terbentuklah formasi main kali ini. Ashe, Desi dan mas Ial
bergabung dalam tim. Semua keperluan, gear, logistik, kesiapan fisik dan
kendaraan telah dipersiapkan dengan baik, begitu pula dengan tanggal
keberangkatan.
Jumat, 19 September 2015 pkl 14.30 kami berangkat.
Tujuan utama tentu saja B29. Keberangkatan kami molor dari jam yang ditentukan,
biasaaaaa, arloji orang Indonesia memang ada karetnya. Lain kali harus lebih
disiplin lagi, harus membiasakan yang benar bukannya membenarkan yang biasa! Untuk
menuju B29 di Lumajang kami menempuh jalur ke arah gunung Bromo dan Semeru.
Sampai di desa Ranupani (pos pendakian Semeru) pkl 16.30, kami langsung melanjutkan
perjalanan menuju desa Argosari, Lumajang. Jalan yang dilalui dari Ranupani
menuju Argosari sungguh sangat sepi dan panjang. Disamping kiri dan kanan
benar-benar hutan yang lebat. Jalan yang dilalui awalnya berpaving dan buruk,
namun lama kelamaan sudah beraspal halus dan cenderung aman. Akan sangat
disarankan untuk berhati-hati mengingat jalanan yang licin dengan teksturnya
yang super nggeronjal, pastikan pula
kendaraan dalam kondisi prima.
Berbincang dengan penjual jaket pendakian gunung Semeru. Jalan Ranupani-Senduro, Lumajang.
Desa Argosari tak sulit untuk didapati, terletak di
pinggiran kota Lumajang tepatnya di Kecamatan Senduro, dengan banyak papan arah
menuju B29. Kami sampai di Argosari pkl 19.30 setelah sebelumnya menyempatkan
makan malam di warung, terlalu larut untuk melakukan pendakian memang. Motor
kami titipkan di rumah pak RT, karena sungguh ta memungkinkan untuk melanjutkan
perjalanan menaiki motor sampai di puncak. Waktu itu sedang ada perbaikan jalan
menuju bukit B29, berupa pavingisasi dan pengerasan untuk memudahkan akses
pengunjung, untuk memperbanyak jumlah pengunjung pula tentunya. Dari tempat
penitipan motor sampai ke pos perizinan kami harus nanjak jalan kaki sejauh
4km. di pos perizinan pengunjung kami istirahat sejenak dan disambut dengan
ramah sekali oleh petugas dan pos dan pekerja perbaikan jalan yang bermalam di
pos, Kami ngobrol banyak hal, dan disuguhi teh hangat, sangat membantu ditegah
udara yang betul-betul dingin. Biaya untuk masuk ke bukit B29 murah saja, hanya
rp. 5rb per kepala, penitipan motor rp. 5rb untuk satu malam. Dari pos
perizinan menuju puncak bukit B29 berjarak 1,5 km yang kami tempuh dengan waktu
hampir 2 jam. Waktu jalanan yang kami lalui benar-benar berpasir, hampir diatas
mata kaki dalamnya kaki kami masuk dalam tiap pijakan. Project pengerjaan jalan
ini akan selesai sebelum tahun baru 2016, jadi bagi yang ingin berkunjung ke
B29 seharusnya saat ini jalanan sudah bisa dilalui dengan baik dan lancar oleh
kendaraan. Kami sampai pkl 22.30 dan segera mendirikan tenda untuk langsung
beristirahat.
Pagi hari kami bangun, di sabtu 19 September, kami
langsung berada pada suasana yang dingin-dingin sejuk menyenangkan. Kami
langsung naik pada puncak tertinggi B29 dan mendapati panorama yang suuuuuuper.
Di depan kami tersuguhkan pemandangan dataran tinggi Bromo pagi hari, lengkap
dengan lautan pasir beserta kabut tipis-tipis. Sesekali tampak dari kejauhan
kendaraan hardtop bergerak sangat lambat saking kecilnya. B29 merupakan sebutan
untuk bukit atau Bromo dengan ketinggian 2900 mdpl. Kami dengar juga ada puncak
lain yang lebih tinggi, disebut B30, namun memang tak tahu dimana letaknya.
Mungkin sama saja dengan B29, hanya selisih 100 m ketinggian saja dari B29.
B29 ini merupakan bukit yang puncaknya memiliki
permukaan lapang, cukup untuk mendirikan sampai 50 tenda, tentunya dengan
mempertimbangkan kecepatan angin dan keadaan cuaca. Kami tak melewatkan momen
ini dan langsung segera berburu foto sambil ngobrol seru dan bersenda gurau.
Di
puncak kami temui pula di salah satu pohon yang pada rantingnya menyangkut suatu
barang… emm mohon maaf, celana dalam. Jiamput,
sing gawe sampah dolanan iki paling raine kaya sempak! Semoga sudah
dibersihkan oleh petugas setempat. Duhh, lupakan bahasa yang jorok tadi, hanya
sekedar intermezzo buat arahkan kemarahan, hahaha…
Puas dengan panorama yang telah tersuguhkan dan
dinikmati, kami kembali ke tenda untuk bikin susu dan makan jajan camilan yang
kami bawa. Dengan sedikit akselerasi dan guyonan yang khas, suasana dingin
pecah dengan kejenakaan dan tawa dari, oleh dan untuk masing-masing dari kami.
Sungguh waktu-waktu berkualitas, suasana seperti ini yang nantinya selalu ada
untuk dirindu…
Kami memutuskan untuk berkemas. Setelah semua
terkemasi dan masuk dalam tas keril, kami turun bukit dengan kembali melalui
jalan berdebu semalam. Untungnya tak jauh setelah berjalan, kami dapat tawaran yang
ramah dari sopir truk untuk naik membonceng ke truk sang sopir, penangkut bahan
bangunan yang kebetulan akan turun. Tanpa basa-basi langsung saja kami terima.
Kalau ngojek, bisa-bisa uang rp. 50rb ludes. Di B29 ini juga tersedia ojek buat
pengunjung yang tak cukup kuat untuk bersusah-susah mendaki, jadi tenang saja.
Setelah istirahat sejenak, tiba waktu kami untuk berpamitan dan meninggalkan
B29 Argosari.
Tujuan selanjutnya adalah air terjun Tumpak Sewu,
namun sebelumnya kami sempatkan mampir dulu ke Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Pura ini sungguh besar, dan pada sore hari waktu kami mampir makan di warung
yang tak jauh dari letak pura, kami dapati berjejeran bus pariwisata beserta
penumpangnya datang berkunjung kesini. Aku sempat bertanya pada pemilik warung,
ternyata Pura ini memang menjadi “jujukan” para wisatawan maupun untuk
bersembahyang rombongan saudara-saudara kita kaum Hindu dari Bali. Juga
diceritakan bahwa Pura ini berhubungan dengan ritual pengambilan air suci dari
mata air kaki gunung Semeru pada zaman jawa kuno dan memiliki sangkut paut
dengan Pura utama umat Hindu di Besakih, Bali. Huwooo, Lumajang ada yang
seperti ini juga ternyata, keren sekaleeeeee. Kami masuk ke Pura dalam keadaan
kotor dan lusuh, namun penjaga Pura dengan ramah sekali mempersilahkan kami
masuk dan melihat-lihat juga mengambil foto. Satu-satunya larangan di Pura ini
hanya tidak diperbolehkan untuk menaiki patung yang ada. Tentunya jaga attitude memang penting, juga kesantunan
dalam berkunjung. Pada salah satu titik di pelosok Jawa Timur ini sungguh benar
terdapat sebuah Pura yang agung!
Lepas dari Pura, kami sempatkan mampir kembali ke
warung makan yang kemarin kami kunjungi, karena porsinya yang kuli, masakan
yang lezat dan harganya yang murah pula hehe. Setelah perut kami fulltank langsung kami melanjutkan
perjalanan menuju air terjun Tumpak Sewu. Menyusuri jalur selatan jalanan Jawa
Timur, sampai juga kami di destinasi selanjutnya. Tumpak Sewu berada di Desa
Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Desa ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Malang, bahkan Tumpak Sewu sendiri merupakan batas wilayah Kabupaten.
Kami sampai di Tumpak Sewu pkl 12.30 dan langsung menuju parkir motor. Untuk
masuk ke Tumpak Sewu pengunjung dikenakan bea rp. 5rb beserta parkir motor rp.
5rb. Kok daritadi maribu mulu ya? Meneketehek, memang segitu kok tarifnya, dan
kutulis benar dalam catatanku.
Kami langsung lanjut berjalan, tak sabar ingin segera
main air, mengingat badan yang daritadi penuh debu di B29. Untuk main air di
Tumpak Sewu pengunjung harus melalui medan yang cukup berat berupa turunan anak
tangga yang lumayan curam. Jujur saja kemarin waktu turuni anak tangga sempat
merinding juga, tapi pas naiknya aman kok. Lebih suka naik daripada turun, dan
kalau memang turun pasti pake kuda-kuda naik dengan jalan mundur. Anak tangga
di Tumpak Sewu terbuat dari potongan bamboo yang telah dirakit sedemikian rupa
hingga menjadi kokoh. Juga terdapat pegangan disamping-samping tebing berupa
tali-temalian dari tampar yang cukup efektif membantuku dan teman-teman juga
pengunjung lain. butuh waktu 45-sejam turun ke pusat luruhan air Tumpak Sewu.
Debit air yang jatuh sungguh luar biasa besar, percikan airnya sampai terasa
bahkan sejak jauh-jauh dari pusat jatuhnya air. Sampai di bawah kami ngaso
sejenak luruskan kaki dan segera kami kemon menuju dataran jatuhnya seribu air
terjun yang emezjing. Di tengah jalan kami sampai di pos dan bayar uang
retribusi kembali sebesar Rp. 5rb, nah disini kami dan pengunjung lain temukan
keganjalan. Penjaga pos menyampaikan bahwa pos ini berasal dari wilayah Malang,
sedang pengunjung dari pos Lumajang wajib membayar retribusi kembali. Memang
benar untuk sampai di Tumpak Sewu ternyata dapat pula melalui jalur Malang,
tapi jaan yang dilalui wuuhh sumpah terjalnya amit-amit kulihat duhh. Saat
sampai di pos izin Lumajang sudah kami laporkan mengenai keberadaan pos yang
boleh jadi illegal ini, dan petugas dari Lumajang bilang kalau memang orang
dari “sana” nakal-nakal. Penjaga pos Lumajang ini ramah sekali, waktu
ngobrol-ngobrol kami ditawari secangkir kopi dan gorengan plus jajanan
tradisional, mereka bilang suruh ikhlaskan saja, dan kami memang sudah tak ada
pikiran. Sempat ada pengunjung lain yang berdebat sengit dengan petugas yang
mungkin “abal-abal”, tapi yasutrah lah kami tak mau ambil pusing dengan hanya
lima ribu rupiah saja.
Tumpak Sewu sungguh menawarkan keajaiban alam yang
amat sangat keren sekali banget. Tinggi tebingnya mungkin lebih dari 200 m,
dengan debit air jatuh yang besar. Bediri di jatuhan airnya saja badan rasanya
langsung mau runtuh. Percikan air dari jatuhan air jatuh kemana-mana, utuh
seperti hujan. Kalau main air disini, pastikan semua gadget dan dompet
terbungku kresek plasik. Tak jauh dari pos masuk tadi, ke arah kiri terdapat
Goa tetes. Dari pos ke Goa Tetes makan waktu jalan 15 menit saja. Disini
curahan airnya lebih bersahabat, dan lebih asyik untuk dipakai main apalagi
kalau ta ada pengunjung lain, wuoooo berasa kolam milik sendiri hahaha. Kami
sungguh-sungguh menikmati liburan main kali ini, sampai tiba waktunya harus
kembali lagi ke Malang.
Lumajang, sebuah kota kecil di Jawa Timur dengan
suguhan pesona alamnya yang permai tak terkira. Juga yang patut diingat adalah
keramahan penduduknya yang haaaaaangatnya luar biasa. Suatu saat harus balik
lagi kesini, Lumajang sampai jumpa …