Alkisah dulu sering dapat ejekan
dari teman-teman baru perihal nama yang memang terdengar aneh: Sentot. Banyak
pelesetan-pelesetan yang sepertinya suka sekali digunakan teman-teman buat
kalahkan membuat lucu namaku. Aku masih ingat dulu saat di perolok nama selalu
marah sama teman-teman baru, sampai suatu ketika saat sedang belajar ngaji
pernah kupukul muka si Sobirin sampai keluar darah hidungnya, hahaha memori
masa kecil. Tapi benar apa-apaan ini nama Sentot, apa coba motivasi orangtuaku
kasih nama jelek yang tak sedap diucapkan untuk panggilan begini.
Malu dengan nama yang disandang
berlanjut terus dari kecil, MI, SMP, SMA bahkan sampai awal-awal kuliah. Sering
sekali saat kenalan dengan teman baru, kusebutkan nama “Sentot” dan mereka
balik bertanya: “nama aslinya siapa mas?” Lohh ndess, lha iku pancen jeneng
asliku piye to. Hal yang seperti ini kan memang bikin malu dan minder. Memang
terjadi di awal-awal perkenalan saja. Setelah itu umumnya teman mulai terbiasa
kemudian.
Pada awalnya memang aku tahu arti
nama Sentot, dia diambil dari nama seorang Panglima perang zaman kemerdekaan.
Dulu aku tak begitu paham mendetail, walaupun sering juga diceritai simbah
cerita panglima tersebut. Orang-orang kampung dulu waktu kecil juga sering
momong dengan sebutan “Mas Sentot Alibasah Prawirodirjo”, kadang nanya mau
kemana? Kemudian aku mulai suka mbaca buku, terutama tulisan-tulisan dan
susatra klasik. Disana banyak kujumpai nama “Sentot”. Siapa to Sentot ini?
Sampai pada suatu ketika waktu
sedang ada acara pengabdian desa dari organisasi ekstra kampus ke Desa
Kalitekuk, Donomulyo, Malang, aku berjumpa dengan pak Trimo, bapak pemilik
rumah tempat kami nginap. Aku masih ingat betul saat itu sedang nongkrong
malam-malam di dapur rumah, hanya ada aku, ashe dan pak Trimo sedang lainnya
tidur karena kelelahan, kami bikin kopi khas Kalitekuk sambil ngobrol. Pak
Trimo tanya “namine njenengan sinten
mas?” kujawab: “Sentot pak, hehe, agak aneh pak ya?” Diluar dugaan pak
Trimo njawab panjang lebar ceritakan bahwa itu nama pahlawan ini, lahir disini,
belajar disitu, perang disana, dan wafat dimana, kemudian pak Trimo lanjut
cerita panjang lebar mengenai nama anaknya, Supriadi, yang diambil dari nama
pahlawan pemberontakan PETA di Blitar, Syodanco (pangkat dalam militer)
Supriadi. Supri diambil dari kata supreh yang
artinya mencari, sedang adi dari adhi berarti
kebaikan, kebajikan, kebenaran, dsb, jadi Supriadi adalah orang yang mencari
kebenaran dalam hidupnya. Kemudian pak Trimo melanjutkan cerita dongengnya
panjang lebar sampai kantuk menyerang kami… Aku sendiri ndak nyangka, petani
dan orang desa yang tinggal sederhana macam pak Trimo ini paham benar mengenai
sejarah, keren!
Pada suatu ketika aku berjumpa
rekan baru, mas Ravi. Saat kukenalkan diriku dengan nama Sentot, dia langsung
kaget. Tapi baru kali ini kujumpai orang yang saat kusebut namaku bukan kaget
niat olok tapi malah kasih pujian, yooo tapi ambe ngenyek sitik sisan se mas
Ravi kampret haha.
Pembacaan bukuku makin
kulanjutkan, makin lama nama Sentot banyak muncul terutama di buku Pramoedya
tetralogi Pulau Buru dan Max Havelaar. Sampai akhirnya aku browsing dan nemu
disini http://abiddeandalucia.blogspot.co.id/2011/12/sentot-ali-basya-sang-napoleon-jawa.html,
yeayyy lumayan keren tulisannya, dan catatan ini harus segera kuakhiri, dadi
intine ojok ngenyek aku sing nduwe jeneng aneh iki cah, wacaen iki dhisik :p
Sentot:
Sang “Napoleon Jawa”
Sentot, atau nama lengkapnya ialah Sentot Ali Basya
Abdullah Mushtofa Prawirodirjo, salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono 1
(dari garis keturuna ibu). Ia merupakan komandan pertempuran dari pasukan-pasukan
pelopor pada saat Perang Dipenogoro. Gelar basya atau pasya adalah gelar yang
diilhami oleh para panglima perang di Turki yang di zaman itu menjadi
kebanggaan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sentot Ali Basya adalah panglima
perang pangeran Diponegoro yang meskipun usianya ketika dilantik oleh pangeran
Diponegoro sebagai panglima besar masih berusia sekitar 17 tahun, namun
kecakapannya dalam bertempur dan keberaniannya sangat mengagumkan musuh.
Belanda sendiri mengakuinya seperti apa yang tertulis di dalam buku “De
Java-Oorlog Van 1825-1830” oleh E.S. De Klerek jilid IV yang menyebutkan;
“telah menjelang saatnya bahwasanya ia (Sentot) akan mencengangkan para
lawannya dengan suatu manuver (gerakan pasukan) yang dijalankan dengan
kemahiran dan keberanianya yang luar biasa bahkan panglima-panglima perang yang
berpengalaman sekalipun dapat merasa mujur jikalau mereka dapat memperhatikan
tindakan yang demikian.
Belanda memasang perangkap dengan menggunakan saudara
Sentot Ali Basya, yaitu Prawirodiningrat, bupati Madiun yang mengajak damai
karena Belanda ingin membicarakan cita-cita dan tujuan perang Diponegoro
seperti lainnya, setiap perjanjian perdamaian didahului oleh gencatan senjata
atau penghentian pertempuran. Sentot Ali Basya mengajukan menyanggupi dengan
mengajukan syarat, harus dijemput oleh panglima Belanda sendiri dan juga
pasukannya yang 1000 orang itu harus tetap menyandang senjata dan tetap memakai
jubah dan surban.
Bupati Madiun itu menerima tawaran Belanda untuk
mengadakan perundingan seperti di uraikan cita-cita perang Diponegoro melalui
Haryo Prawirodiningrat, kakak kandung Sentot Ali Basya. Tentu latar belakang
keinginan Belanda yang sebenarnya tidak lain disebabkan terlalu payah
menghadapi perang Diponegoro. Satu-satunya keinginan Belanda ialah segera
mengakhiri perang melalui jalan apapun dan itu tak lain adalah tipu muslihat
untuk menangkap “Napoleon Jawa” itu.
Sentot Ali Basya terlalu percaya kepada sang kakak dan
lebih lagi terlalu percaya akan “senyum” kolonialisme. Tentunya juga tidak bias
dipungkiri terdapat pertimbangan politis: Perang terlampau mahal, penderitaan
rakyat suatu ketika melampaui batas ketahanannya. Jika ada jalan lain dan lebih
pendek dengan sedikit resiko misalnya penyelesaian di meja perundingan, apa
salahnya?!
Panglima Sentot menerima tawaran Belanda, ia memasuki
kota Yogyakarta dengan mendapatkan upacara militer penuh sebagai seorang
jendral tepat pada tanggal 24 oktober 1829. Tetapi ada perasaan aneh menyelinap
dalam hatinya, mengapa hanya pembesar kraton yang menyambutnya? Mengapa tidak
satu perwira tinggi belanda menampakkan diri? Dimana jendaral De Kock yang
dijanjikan hendak menyambutnya untuk berjumpa di meja perundingan setelah
upacara penyambutan secara militer usai?
Sentot Ali Basya masuk perangkap belanda, ia disergap
kemudian dijadikan tawanan perang. Napoleon Jawa itu dipaksa belanda untuk
bertempur menghadapi Imam Bonjol yang sedang mengorbankan perang kemerdekaan di
sumatera barat. Lagi-lagi belanda menjalankan siasat kolonialismenya “farriq
tasud” alias “divide et impera”. Sentot Ali Basya dipaksa berangkat ke sumatera
barat tanpa pasukannya, akan tetapi ia memperlihatkan sikapnya bagaikan seekor
singa garang yang tak bisa dijinakkan. Di sumatera barat ia secara cerdik
mengadakan kontak dengan anak buah Imam Bonjol, ia menggabungkan diri ke dalam
pasukan paderi yang sedang mengahapi perang kemerdekaan dan merencanakan suatu
kerja sama untuk suatu ketika dapat mengusir belanda dari seluruh sumatera.
Namun pada akhirnya Belanda mencium rencana tersebut,
Sentot Ali Basya yang masih dalam status tawanan perang belanda dikucilkan dari
kawan-kawannya dan pada suatu ketika ia ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di Batavia
ini Gubernur Jendral Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan) sebagai
tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
Empat tahun ia telah terpisah dengan pangeran
Diponegoro pemimpin besarnya, empat tahun ia berjuang menetang kekafiran dan
kedzaliman penjajah, ia bertempur di garis depan menentang maut yang disebar
oleh kaki tangan musuh yang membuntuti gerakan-gerakan militernya. Akan tetapi
ia seorang panglima perang yang paling ditakuti komandan-komandan belanda dari
segala lapisan, bahkan Jendral De Kock sendiri mengakuinya.
Sentot Ali Basya seorang panglima kepercayaan pangeran
Diponegoro yang telah terpisahkan oleh jarak jasmani ribuan kilo meter dari
medan pertempuran yang langsung dipimpin oleh pangeran Diponegoro, akan tetapi
secara rohani ia tetap dekat dengan sang pangeran dan sahabat-sahabatnya dalam
jihad perang kemerdekaan. Selama 26 tahun Sentot Ali Basya hidup sebagai orang
tawanan perang dan setelah 22 tahun hidup sebagai orang buangan di Bengkulu.
Disanalah pada tanggal 17 april 1855, Napoleon Jawa itu wafat sebelum mencapai
umur 50 tahun, jauh dari Madiun kota asalnya…
(KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di
Indonesia, hal. 549 - 553. Penerbit Al Ma’arif Bandung, 27 Juli 1979)
bagus
BalasHapus