Judul untuk penulisan
paper ini sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, sayangnya realisasi
penulisan baru bisa dikerjakan siang ini. Penulisan paper ini jujur aku sendiri
sedikit males, banyak yang aku lupa tuliskan dan dokumentasikan untuk beberapa
pos dan medan dalam pendakian yang nantinya kurang akurat bila diinformasikan,
tapi okelah aku ingat-ingat sebisanya.
Pendakian gunung Lawu
ini sebenarnya benar-benar tak terpikirkan sebelumnya. Aku yang sudah janji
sama diriku sendiri kalau baru akan ndaki lagi setelah Seminar Proposal
(skripsi) ndak kuasa menahan “pingin” lihat teman kontrakanku si Piter yang
ndaki Arjuno. Dengan pendakiannya ini berarti rekor pendakianku dengannya akan
sama di angka 3 gunung: Semeru, Arjuno, Argopuro untuk masing-masing aku dan Piter.
Sumpah mati, aku ndak rela. Let’s find
some beautiful place to GET LOST!!
Sabtu malam (malam
minggu) aku kumpulkan teman-teman yang telah kuundangi via sms, bbm dan telfon di
lapangan rektorat kampus untuk meeting persiapan pendakian. Rencana pendakian
kita adalah gunung Lawu di pinggiran Jawa Timur perbatasan dengan Jawa tengah,
Kabupaten Magetan. Hadir disini Ashe, devita, fitria, Eka Putri, boyek, dan
aku, Ardon ndak bisa hadir karena dia di Madiun, tapi dia nyatakan kesediaannya
untuk bergabung dalam pendakian kami. Semua rencana telah disusun, gear
pendakian, penginapan, bekal makanan, rute perjalanan, informasi medan dan
trek, estimasi waktu dsb. Kami fix berangkat pada Rabu 9 april 2014. Sebelum
keberangkatan aku sebisa-bisanya kerjai skripsiku sampai bab 4, namun gagal dan
hanya bisa sampai bab 4 paling paling paling awal alias nulis judul besar thok dipaling
atas “IV. METODE PENELITIAN”. Huahahaha, shame
on meeee…
Rabu sore sekitar pukul
16.00 aku, ashe, putri, fitria, kami kumpul dikontrakanku dan berangkat naik
motor weerr langsung ke Magetan. Boyek, ardon, dan devita sudah nunggu di
Magetan, mereka berangkat duluan karena ada keperluan. Perjalanan dari Malang
ke Magetan ini sumpah awalnya aku ndak setuju-setuju benar kalau naik motor.
Perjalanan mendaki kalau naik motor itu ndak enaknya setelah ndaki pasti badan
rasanya sepert mau copot, nanti pulangnya masih disuruh bawa motor. Awalnya
kami berencana nge-bis dari Malang, tapi karena ongkos yang dikeluarkan juga
mbengkak nantinya akhirnya kami mekso bawa
motor. Sekitar pukul 23.30 kami sampai di penginapan yang telah diurus sama
boyek sebelumnya, lokasinya di sekitaran telaga Sarangan, mantabb. Anak-anak
lainnya langsung tepar, sedang aku dan ashe walking-walking
malam sejenak liat pemandangan malam telaga Sarangan sambil beli sate
kelinci di pinggiran telaga. Tukang satenya nanya ke kita “Lhoh mas sampean ra nggawe jaket po ra kademen, mas?” kami jawab
senyum aja sambil ngobrol ini-itu dengan bapaknya, mungkin karena kami ramah
akhirnya dapat tambahan banyak beberapa tusuk sate lagi dari bapak penjual ate
kelinci baik hati ini. Puas nikmati suasana telaga Sarangan malam hari, aku dan
ashe balik ke penginapan untuk istirahat dan siapkan tenaga buat pendakian esok
hari.
Pagi harinya kami masih
males-malesan buat mandi, udara dan air disini dingnnya mintak ampun, brrrr…
Tapi show must go on, kami semangat
waktu bayangkan hari ini mau ndaki gunung Lawu. Semuanya beres, periksa barang
dan kelengkapan yang mungkin tertinggal sudah dilakukan, semua clear, dan oke saatnya kita kemon!
Perjalanan dari telaga
Sarangan menuju pos Cemorosewu Lawu membutuhkan waktu tempuh motor kira-kira 15
menit. Disini setauku ndak ada angkutan umum, jadi repot juga kalau ndak ada
motor. Mungkin cara mudahnya harus carter angkutan, itu nanti bikin pos
pengeluaran ndaki mbengkak. Di Cemorosewu sudah ada penitipan motor, dikenakan
biaya cukup Rp. 5rb saja. Juga untuk pendaftaran dan izin pendakian kami
dikenai charge kalau aku ndak salah
ingat sekitar Rp. 6rb-an per orang, yang jelas ndak sampai Rp. 10rb kok.
Setelah sarapan di
dekat pos perizinan, kami sempatkan sejenak ngambil foto di gerbang masuk Cemorosewu.
Foto sudah diambil, kami berkumpul sejenak melingkar berdoa dan kusampaikan
aturan-aturan mendaki: Jangan tinggalkan teman, kalau capek bilang jangan
gengsi, savety first dan “THE HIKER’S IRON RULES: TAKE NOTHING BUT
PICTURE, LEAVE NOTHING BUT FOOTPRINTS, KILL NOTHING BUT TIME…" Lanjut itu kita mulai perjalanan ndaki
kita dari titik nol pos awal, kami berdebar, Tuhaaaaannnnnnn…
Jalur Cemorosewu ini
seperti namanya yang berarti seribu pohon cemara, tampak dalam perjalanan awal
kami di kanan-kiri dari jalur setapak. Trek jalan setapak yang kami lalui
adalah jalan bebatuan yang tertata rapi. Keras sekali menurutku untuk dijadikan
pijakan, itu aku pakai sepatu, bagaimana dengan teman-teman yang pakai sandal
gunung coba. Trek yang sudah tertata rapi ini aku kurang suka, kurang alami,
pendakian jadi serasa membosankan karena kaki yang ngelangkah pakai sepatu
gunung dengan sol keras terus-terus saja ngehajar ke batu, ini juga bikin sol
sepatu gampang aus.
Perjanan dari awal pos
menuju pos bayangan sebelum pos satu membutuhkan waktu tempuh sekitar 45 menit.
Disini kami berhenti sejenak nunggu ujan reda. Setelah itu lanjut kami menapaki
jalan bebatu ini, dan sampai di pos 1 dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit. Di
pos 1 ini benar-benar terlihat kelakuan pendaki-pendaki yang tangannya mintak
dipotong, coret-coretan pakai spidol segala macem ada disini. Tak hanya di pos
1, tapi hampir sepanjang perjalanan kami, di bebatuan besar,
di bangunan-bangunan pos, atau dimana saja, ada banyak coretan-coretan model
gondes di jalur setapak gunung Lawu. Benar-benar sikap vandalis yang tidak
bertanggung jawab, merusak, KECOAK!
Di pos 1 ini dari informasi yang kami dapati dari teman pendaki lain yang
bersua dijalan, biasanya ada warung nasi. Tapi waktu itu kebetulan saat kami
ndaki sedang tutup. Dalam hati aku bersyukur aja, kalaupun memang ada ya aku
ndak bakalan beli makan di gunung. Ternyata ndak hanya di pos 1, tapi di pos
sendang setelah pos 5 juga ada banyak warung, bahkan toilet juga kabarnya ada. Aku
sendiri secara pribadi kurang begitu senang dengan hadirnya warung-warung ataupun
toilet, mereka bisa mengurangi syahdu perjalanan dan arti perjuangan dalam
pendakian. Perjuangan bukan berarti hanya berjalan mendaki, bukan. Tapi perjuangan
nunggu masakan mateng, nyajikan makan dengan pas, nunggu air mateng buat bikin
kopi atau susu cokelat, itu juga masuk perjuangan. Tapi mengingat gunung Lawu
ini juga sering dijadikan tempat ritual sama penduduk sekitar waktu bulan suro
atau bulan-bulan suci lainnya untuk upacara adat atau semacamnya, maka
dibangunlah fasilitas-fasilitas tadi. Yang kami usahakan ya cuman bagaimana
nikmati pendakian ini sebisa-bisanya, sedalam-dalamnya, sesyahdu-syahdunya.
Dari pos 1 ke pos 2
butuh waktu tempuh sekitar 2 jam, kami sampai sekitar pukul 16.30. Waktu itu
udaranya benar-benar dingin ndak karuan, bulan april masih masuk musim hujan.
Dari pos 2 ini sudah tampak lautan awan, indah namun masih kurang puas kalau
belum sampai puncak. Kami putuskan untuk buat makanan disini. Yahoo, semua
perlengkapan masak keluar dari tas carrier, semua bumbu dan bahan makanan
dijejerkan biar gampang. Aku, ashe sama boyek dan ardon hanya melihat, urusan
masak-memasak kita serahkan pada srikandi-srikandi gunung ini hahaha. Akhirnya
di senja itu kami nikmati santapan makan yang telah dibuat dengan yummy, “nyekoh” kalo orang jawa bilang. Makanan
yang dimasak setelah berlelah-lelah mendaki itu benar-benar anugerah Tuhan yang
sederhana tapi nikmatnya dalam, dalaaaammmmm…
Hari sudah gelap, tapi
perjalanan masih panjang. Semua barang sudah kami kemasi, sampah besar dan
kecil kami masukan ke trash bag di
belakang. Lanjut lagi jalan, menuju pos 3. Kami keluarkan senter disini, sambil
bersenda gurau, perjalanan kalau dibuat santai ternyata juga tak terasa. Dibuku
panduan butuh 2 jam untuk sampai pos 3, tapi ternyata tak kurang dari sejam
kami sudah sampai, mungkin kesalahan estimasi di buku. Pos 3 ini sama saja
dengan pos 2 dan 1, berupa bangunan kecil dengan genteng bolong dan coretan
spidol tangan-tangan jahil dimana-mana.
Setelah rehat sejenak
di pos 3, kami lanjut terus berjalan. Sambil diterangi headlamp dan beberapa
senter, juga ngobrol riang-santai dengan teman-teman, juga sambil beberapa kali
istirahat karena memang medannya yang nanjak dan lumayan berat, kami sampai di
pos 4. Pos ini keadaannya lebih parah dari pos sebelumnya.
Sewaktu perjalan
diantara pos 4 dan 5, kami diterpa badai, anginnya kenceng bikin ngeri. Fitria
waktu itu ndak bisa gerak kedinginan, kami cari tempat berlindung diantara
semak-semak sembari nunggu badai ilang, biar dia dipeluk teman-teman cewe untuk
hangatkan badan. Waktu istirahat itu kami masih sempat guyonan dan selfie, eh terkampret-kampret. Setelah
dirasa lumayan berkurang tiupan badainya, aku dan ashe segera nyari tempat
lapang buat dirikan tenda. Nyari nyari nyari, akhirnya ketemu juga, segera
dengan kecepatan super dan cekatan kami berdua dirikan 2 tenda. Boyek yang
lemah dan ardon yang amatir hanya nunggui dan liati aja, weee semprul. Semua
matras ditaruh ke tenda cewe, lengkap dengan sleeping bag-nya. Tenda cowo
gimana? Tragis dan mengenaskan, 3 selimut untuk 4 orang dalam satu tenda kecil.
Benar-benar malam yang melelahkan kami berempat lalui. Dari apa yang pernah
kurasai, gunung Lawu ini gunung paling dingin yang pernah kudaki. Ternyata tak
hanya aku, pendaki lain juga bilang seperti itu.
Esok paginya karena
terlambat tidur kami bangun kesiangan. Pukul 07.00 kami berangkat dari tenda
untuk nyerbu puncak. 20 menit berjalan kami sampai di pos 5, disini banyak
dijumpai bangunan mungkin warung atau entah untuk apalah, juga ada sumur yang
dipercaya punya kekuatan atau mistis entah. Sumur ini satu-satunya sumber air dari
jalur Cemorosewu. Dari sumur ke puncak butuh waktu perjalanan sekitar 40 menit.
Pemandangan di puncak
benar-benar megah, terlihat arakan awan yang tebal, pendaki alay sering nyebut
“Negeri di atas awan”. Aku juga alay, kusebut juga seperti itu. Di puncak ada
tugu yang dibangun Kopassus (Komando pasukan Khusus) TNI, tingginya kira-kira
4m. Dari tugu ada jalan setapak lagi, dari jauh terlihat kain lusuh merah-putih di atas
tiang seakan melambai dan memanggil-manggil kami. Kami berjalan tergopoh-gopoh, ini dia puncaknya. Langsung saja kuciumi
benderanya dalam khidmat yang dalam. Kami berfoto, kadang juga terdiam lihati pemandangan didepan yang sejauh mata memandang indahnya alam membentang ndak karu-karuan kerennya, kadang
juga ketawa-ketawa bareng, yang jelas rasanya waktu itu kami benar-benar “hilang”. 3265
mdpl, kami berdiri di puncak gunung Lawu. Puji Tuhan…
Puas cumbui puncak,
kami segera turun menuju tenda. Disini kami masak untuk sarapan pagi. Para
srikandi masak nasi, tumis, sosis, sarden, ashe dengan sambel terong anti-pedas
miliknyanya, dan aku dengan Rendang Gaul Uda Gembul sapi level pedas maksimal,
mancabbbbbss.
Setelah sarapan,
kemudian puas kongkow-kongkow di asyiknya udara dingin, bersenda gurau
sejadi-jadinya, waktunya kemas-kemas untuk turun gunung. Semua gear pendakian
sudah rapi tertata, masuk kedalam carrier. Semua sampah sudah masuk trash bag, semuanya siap dan kami jalan
turun. Singkat cerita sore gari pukul 17.30 kami sampai kembali di pos
perizinan. Setelah melapor dan nitipkan sampah disana, ngambil motor, langsung
mampir ke warung buat isi perut sambil bersih diri. Semuanya lancar dan
menyenangkan, dan kami harus pulang. Lawu terimakasih atas semuanya, semai
rindu kami untuk kembali…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar