“Havelaar adalah lelaki berusia sekitar
tiga puluh lima tahun. Tubuhnya ramping dan gerak-geriknya cekatan. Namun dengan
pengecualian bibir atas yang sangat pendek dan ekspresif, serta bola mata biru
pucat besarnya-yang seakan menerawang ketika dia sedang dalam keadaan tenang,
walaupun memancarkan api ketika dia dipenuhi gagasan besar…
“Dia penuh kontradiksi: setajam silet,
berhati selembut anak perempuan, dan selalu pertama yang merasakan luka akibat
kata-kata pahitnya sendiri: dan dia lebih menderita daripada mereka yang
dilukainya. Dia cepat mengerti, langsung memahami masalah-masalah yang paling
rumit, gemar menghibur diri dengan mencari pemecahan atas pertanyaan-pertanyaan
sulit, dan bersedia mencurahkan seluruh jerih payah, pikiran dan tenaganya
untuk itu. Namun, dia sering kali tidak memahami hal paling sederhana yang bisa
dijelaskan seorang anak kecil kepadanya…
“Dia seorang penyair dalam pengertian tertinggi
kata itu: ketika melihat percik api, dia memimpikan sistem tata surya-yang
dipenuhinya dengan makhluk-makhluk ciptaannya sendiri, dan merasa seolah
dirinya adalah penguasa dunia yang digerakannya itu… Dia tepat waktu dan dan
teratur, juga sangat penyabar; tapi ini justru karena tepat waktu, keteraturan
dan kesabaran sangatlah sulit baginya. Pikirannya agak liar dan, lambat dan
berhati-hati dalam menilai masalah, walaupun tampaknya bukan ini kasusnya bagi
mereka yang pernah mendengarnya meraih kesimpulan secepat kilat…
“Dia jujur, terutama ketika kejujuran
itu berubah menjadi kedermawanan, dan akan membiarkan utang beratus-ratus tak
terbayar karena dia telah mendermakan beribu-ribu. Dia jenaka dan menyenangkan
ketika merasa kejenakaannya dipahami; jika tidak dia akan pendiam dan
menjemukan. Dia ramah terhadap teman-temannya; pembela orang yang menderita;
peka terhadap cinta dan persahabatan; selalu menepati janji; mengalah dalam
hal-hal kecil, tapi seteguh karang ketika dia merasa patut untuk bersusah payah
menunjukkan wataknya; rendah hati dan murah hati terhadap mereka yang mengakui
keunggulan intelektualnya, tapi menjengkelkan bagi mereka yang ingin
menentangnya.
“Harga dirinya yang tinggi menjadikannya
orang yang jujur, tapi terkadang dia pendiam ketika merasa khawatir
keterusterangannya salah dipahami sebagai ketidaktahuan; peka terhadap
kebahagiaan jasmani maupun rohani; pemalu dan tidak fasih berbicara ketika
merasa tidak dipahami, tapi fasih ketika merasa bahwa kata-katanya bagai jatuh
di tanah yang subur; lamban ketika tidak didesak oleh dorongan yang tidak
berasal dari jiwanya sendiri, tapi giat dan bersemangat ketika dorongan itu
muncul. Selain itu dia ramah, sopan dalam bersikap, dan perilakunya tidak
bercela. Itulah sedikit gambaran mengenai karakter Havelaar.
“Kukatakan ‘sedikit’ karena…”
(Eduard
D. Dekker a.ka Multatuli, hlm113-117, Max Havelaar, 1868)
Aku rasa tuan Havelaar di umur 21 juga selalu senang
melihat arakan awan di langit sewaktu
senja, atau menghitung bintang dimalam hari sembari membayangkan masa depannya
nanti akan jadi apa dirinya kelak; punya berapa anak yang diinginkan; siapa
saja nama-nama yang cukup gagah dan anggun untuk anak-anaknya nanti; bagaimana cara
membalas jasa-jasa orang tuanya; istri yang seperti apa yang diinginkannya; kemana
dan kapan rencana libur akhir pekan untuk keluarga kecilnya; bagaimana
impiannya untuk punya perpustakaan pribadi di rumah sederhananya nanti yang
padat tapi tetap memberi cukup ruang untuk dirinya dan anak-anaknya bermain; apa-apa
saja profesi yang akan digeluti anaknya nanti saat dia sudah cukup lama
menjalani kehidupan; juga bagaimana dia memikirkan siapa yang seharusnya mati
duluan, apakah dirinya terlebih dahulu atau istirnya …
Dalam novel ini karakter Max Havelaar baru muncul
dan dicitrakan pada halaman 113, yang aku sedikit kaget dan buatku
bertanya-tanya dengan alur yang sedikit unik dan tidak seperti novel umum
biasanya. Pembuka cerita lebih banyak diisi dengan kehadiran Mr. Droogstoppel,
lelaki terhotmat yang selalu mencintai kebenaran, memiliki perspektif aneh
namun sangat cerdik, jenaka, sedikit congkak, dan makelar kopi di Lauriergracht
No. 37. Sampai sekarang aku belum menyelesaikan pembacaan novel ini, yang jelas
tebakankuadalah tokoh pencerita utama
dalam novel ini adalah Mr. Droogstoppel ini.
Kembali ke tokoh utama, aku merasa begitu dekat
dengan sosok Max Havelaar yang digambarkan sekilas dari paragraf kutipan dari
novel diatas. Aku merasa, sepertinya Havelaar ini adalah aku, atau aku ini
adalah Havelaar. Memang aku tau ini terlalu mengada-ada, mana bisa aku yang
norak ini dibandingkan dengan sosok utama dalam novel tulisan Eduard Douwes
Dekker (nama yang banyak disebutkan dalam buku sejarah SD, bagi yang suka pelajaran
sejarah waktu kecil dulu pasti akan langsung akrab dengan nama ini) atau
Multatuli nama pena-nya. Tapi, tapi… rasanya itu ya ini…
Novel ini aku dapat malam minggu kemarin saat hangout ke toko buku sama si Alfi. Saat lewat
di rak novel untuk carikan buku buat adekku dirumah, kujumpai buku ini. Pertama
kukira ini novel yang membosankan, namun di sampul bukunya terdapat kutipan “Kisah
yang membunuh kolonialisme!” dari Pramoedya Ananta T. penulis legenda milik
Indonesia yang kukagumi semangat menulisnya itu. Tanpa bertanya banyak aku
ambil buku ini, yang kemudian aku berfikir seharusnya buku sekeren ini ditaruh
di jajaran buku sospol biar terlihat para maniak-maniak sejarah dan
perpolitikan.
Aku rasa ini novel yang keren, dan masuk novel
legenda yang harus dibaca kalian yang suka sastra. Ingat saja kata Pramoedya;
boleh saja maju dalam hal pelajaran, tapi mereka yang tidak mencintai sastra
sama saja dan hanya tinggal hewan yang pandai. Selamat membaca, salam budaya…
“Karena
aku lelaki terhormat dan makelar kopi.”
-Mr.
Droogstoppel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar