Gontai, tak tau aku sore itu semua berkelabu
Jalan menuju rumah lumayan jauh, dan kubenci benar debu jalanan yang terus merayu
Dasar tak tau malu, mereka masih saja coba cumbuiku
Tak jauh satu meter, asap dari kenalpot-kenalpot angkot juga sedang mengendap-endap dalam derum berusaha menyergapku...
Kau juga, tak usah ikut ketawakan aku,
Urusi saja urusanmu, lihatlah daun-daunmu meranggas, kau makin kurus...
Dan
suara kercitan sepatu pada trotoar milik orang-orang disekitar, sungguh
itu begitu mengganggu, mereka seolah terkikik pada penatku.
Berhenti meringis!
Rasanya hari ini semua kotoran yang ada didunia begitu ingin mendekatiku...
Hehh... Aku mendengus, abaikan saja
Hehh... Lagi-lagi mendengus, kali ini lebih panjang.
Hei ada apa? Aku kuat, ragaku tak lelah...
Seseorang nyeletuk,
"Kau memang tak lelah, tapi lihat, jiwamu gersang!"
Hahh siapa kau?
"Aku?
Aku langit, aku awan, aku debu, aku kerikil, aku kenalpot angkot, aku
sepatu, aku aspal, aku semesta jalanan ini, aku jiwamu".
Orang gila, kotoran lagi...
Aku terus saja susuri jalanan ini, ramai orang berlalu-lalang, biarkan.
"Lihat disana, itu bunga yang indah!"
Lagi-lagi suara itu, masa bodo lah.
"Lihat disana, mereka begitu terang!"
Aku masih memilih acuh.
"Lihat disana, bidadari Tuhan yang begitu anggun!"
Mana mana, mana bidadarinya?
Tak ada, kau menipuku.
"Itu
disana, secuil Tuhan ada disana, dibawah lampu bang-jo, diantara mobil
dan motor-motor yang merayap itu, yang selalu membawa sepotong amplop
untuk orang-orang yang lewat itu...
"Itu disana, secuil Tuhan
ada disana, didepan mesin-mesin ATM, membawa sepotong amplop untuk bocah-bocah lumayan manja yang masuk mengambil uang kiriman dari orang tua...
"Itu
disana, secuil Tuhan ada disana, di bawah etalase ruko-ruko, mereka
berlarian lusuh kelaparan, bermuka penuh arang dan memelas namun tetap
riang...
"Itu disana, ya disana, itu lagi disana..."
Aku
memang sedang jenuh hari itu
Syukurku pada Tuhan sedang dalam level
yang rendah
Tapi setelah melihat secuil Tuhan-"mu" itu, ya ya,
Terimakasih telah menghujani hatiku yang katamu gersang itu.
Aku teringat pada bait puisi W.S Rendra
Tuhan adalah serdadu yang tertembak, juga anak-anak jalanan seperti mereka...
Aku
berkontemplasi, tas yang sedang dipunggungku ini berisi laptop,
buku-buku tebal, juga lembar laporan tugas-tugas perkuliahan yang
membosankan.
Bajuku
bersih parlente, dompetku juga masih tebal, sisa kiriman orang tua
belumlah habis, sepatuku baru kubeli kemarin di sebuah mall ternama.
Saat
ini aku yang sedang menuju rumah, maksudku rumah sewaan karena rumahku diluar
kota,
Masih untung bisa miliki naungan tempat bercanda, belajar, ibadah, mandi dan atau merebahkan raga.
Masih untung bisa miliki naungan tempat bercanda, belajar, ibadah, mandi dan atau merebahkan raga.
Lihat
mereka, boro-boro mau sekolah, untuk makan saja mereka berpanas-panasan
dengan amplop lusuh penuh kuman yang digenggamnya
Pada aspal kakinya menghajar bertelanjang, yang padahal kaki bersepatuku ini saja terasa kepanasan di trotoar.
Pada aspal kakinya menghajar bertelanjang, yang padahal kaki bersepatuku ini saja terasa kepanasan di trotoar.
Dimana mereka
tidur nanti?
Di warung mana mereka beli makan?
Apa isi otak mereka yang tak pernah duduk di bangku kayu sekolah itu?
Di warung mana mereka beli makan?
Apa isi otak mereka yang tak pernah duduk di bangku kayu sekolah itu?
Ku tarik nafasku panjang-panjang, nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan?
Aku mencoba mengorek isi otakku, tentang undang-undang, program kerja pemerintah, kementrian, konstitusi dan semacamnya.
Katanya anak jalanan diurus negara, mana?
Katanya pendidikan adalah hak mutlak semua anak negeri ini, mana?
Katanya
negeri ini kaya, nyuapi cukong-cukong dan mafia-mafia asing saja bisa,
masak nyuapi anak-anak kecil seperti mereka ndak bisa, janjinya tapi
mana?
Padahal seperti
yang "kau" bilang tadi, mereka adalah bunga yang pada saatnya nanti
seharusnya akan bermekaran indah, mengharumkan.
Tapi ini? Mereka bunga-bunga yang dipaksa layu sebelum waktunya.
Ya, dipaksa, semuanya acuh.
Ya, dipaksa, semuanya acuh.
Aku berhenti sejenak, duduk disamping trotoar, bukan karena kakiku kenyu, tapi aku ingin merenung sejenak sambil amati mereka.
Hai kau, boleh aku bertanya?
"Ya, tanyakan saja".
Siapa raja yang harusnya kita lindungi?
"Aku
tau kau sedang mencoba menjebakku dengan pertanyaanmu itu, aku tak tau
jawabnya.
Katakan siapa, Presiden?
Menteri? Gubernur? Guru? Ulama? Pendeta? Tentara? Dosen? Pegawai sipil? Buruh? Demonstran? Petani? Nelayan? Wartawan? Pendaki gunung? Bidan? Stupa candi Borobudur?"
Katakan siapa, Presiden?
Menteri? Gubernur? Guru? Ulama? Pendeta? Tentara? Dosen? Pegawai sipil? Buruh? Demonstran? Petani? Nelayan? Wartawan? Pendaki gunung? Bidan? Stupa candi Borobudur?"
Bukan, mereka lah, lihat, anak-anak liar itu yang harusnya kita lindungi.
Anak-anak jalan itu, merekalah masa depan kita bersama.
Kita
adalah martir, kita adalah pion,
Kita adalah pilar-pilar kokoh yang akan menyangga jembatan indah itu, merekalah jembatan kita, Mereka akan mengantarkan kita pada kedamaian,
Anak-anak itu, seandainya mereka kita jaga dengan baik.
Kita adalah pilar-pilar kokoh yang akan menyangga jembatan indah itu, merekalah jembatan kita, Mereka akan mengantarkan kita pada kedamaian,
Anak-anak itu, seandainya mereka kita jaga dengan baik.
Seandainya...
Ah sudahlah, aku tak mau berandai lebih lagi.
Hai sini, sini. Perutmu lapar, sini makanlah...
Hari sudah beranjak senja,
sebentar lagi orang akan segera mencari bulan dan bintang-bintang...
sebentar lagi orang akan segera mencari bulan dan bintang-bintang...
Aku juga harus segera pulang, aku mau belajar sungguh-sungguh !