Aku tak pernah merasa sebegitu
melankolisnya sejak terakhir aku berdekatan denganmu, menuju kata “iya” darimu
untuk berjalan disampingku. Waktu itu kita merasa sama-sama sebegitu
bersemangatnya, begitu cemburu, begitu protektif satu sama lain, dan begitu
bersemangatnya dalam menghangatkan hati masing-masing, sambil sesekali
berpuisi. Sudahlah, sepertinya aku terjebak nostalgia…
Kini aku sendiri, dan kamu telah
melangkah melanjutkan hidupmu. Terimakasih karena pernah mengisi rongga didalam
hati, menghiasi hati dan otakku yang begitu kosong dan kering, terimakasih
pernah menghadirkan kesejukan sekaligus ‘api’ untukku. Percayalah sampai
kapanpun kau akan tetap menjadi Edelweiss-ku, takkan ada lagi edelweiss-edelweiss
yang lainnya, untukku…
Aku selalu bertanya-tanya dalam
gelap, mengapa manusia yang begitu menginginkan hidup dan ingin terus
melanjutkan hidup malah mati, sedangkan mereka yang tak pantas hidup malah
terus dapat melanjutkan hidup?
Percayalah aku akan selalu mendo’akanmu,
dalam gelap dan terang, dalam hujan dank kabut, dalam cinta sekaligus benci,
dalam senyuman maupun prahara, untuk kebahagiaanmu selalu, untuk senyumanmu
selalu, untuk cita-citamu itu, dan untuk cinta Edelweiss-mu…
Percayalah dimanapun aku berada
nanti selama kita masih dibawah langit yang sama, mungkin disaat-saat terakhir
hidupku, aku akan tetap mengingatmu, mencintamu dan menangis untukmu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar