Sebuah buku hadir
di meja belajar sudut ruang kamarku, oleh-oleh dari bapak yang minggu lalu
ikuti undangan koleganya para Purnawirawan untuk hadir pada pertemuan akbar di
Hambalang kediaman pak Prabowo. Kaget juga sebelumnya pada undangan ini,
apalagi bapak yang waktu itu sedang sakit, sayang buat bapak untuk melewatkan undangan
pak Prabowo. Alhamdulillah, kesembuhan datang lewat pijet buat bapak, pijetan
pendekar Silat, hehe intermezzo. Sebelumnya sudah ngira, pasti pak prabowo akan
kasih ‘oleh-oleh’, dan oleh-oleh terkeren menurutku adalah buku-buku yang
memuat pandangan dan gagasan beliau mengenai Indonesia. Dari berbagai data,
tulisan-tulisan dan bibliografi yang kukumpulkan tentang beliau, aku tak akan malu
mengakui secara gamblang dan terang-terangan mendukung pak Prabowo, i am his biggest fans! Dan sekali lagi
lewat buku ini, yang belum selesai proses pembacaannya namun karena saking
apiknya, akhirnya ingin segera nulis dan coba meresensi walau hanya tak lebih
dari lapisan luar kulit buku, ditulis dengan gaya bahasa dan
gagasan-gagasan/pengetahuan pribadi penulis blog Abintaraisme. Buku tulisan pak
Prabowo berjudul “PARADOKS INDONESIA: Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak
Rakyat Hidup Miskin, buku setebal 138 halaman yang diterbitkan oleh Koperasi
Garudayaksa Nusantara.
Pandangan beliau diawali dengan bab membangun kesadaran bersama berisi pemaparan mengenai data kemiskinan, demografi penduduk Indonesia, gejolak dan pula kondisi sosial-ekonomi-politik yang telah sangat menghawatirkan. Dimulai dari indeks Gini (koefisien dalam ilmu ekonomi tentang pemerataan pendapatan) Indonesia menurut data Credit Suisse Global Report berada pada angka 0,49. Angka tersebut berarti 1% orang terkaya (hanya 2,5 juta orang) menguasai 49% kekayaan negara. Hanya 2,5 juta orang dari sekitar 250 juta penduduk atau 1:100. Menggunakan logika paling sederhana pun, angka ketimpangan ini telah teramat besar. Angka ini diamini oleh ekonom patriotis, Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa angka ketimpangan dan kemiskinan Indonesia yang nontabene negara kaya namun salah kelola, telah hampir melebihi ambang batas kemanusiaan. Dari data demografi tersebut, 29 juta hidup dibawah ambang kemiskinan, 68 juta dikatakan miskin dan terancam kemiskinan, kemudian sisanya pas-pasan dan atau hidup bersahaja/sederhana. Ketimpangan ekonomi juga terlihat dari jumlah perputaran uang yang beredar. Hampir 65% uang beredar atau Rp. 11.500 triliun adalah terpusat di Jakarta, 25% beredar terbagi-bagi di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makassar dan kota besar lain, sedangkan sisa 10%-nya beredar di perdesaan seluruh Indonesia. Agak lupa teori ini darimana, yang jelas sewaktu dulu belajar dan jadi Asisten Ekonomi Pembangunan, definisi dari kemiskinan adalah apabila 60-70% dari total pendapatan digunakan untuk membeli bahan kebutuhan primer (pangan, listrik dan kebutuhan pokok lain), kemudian sisanya baru digunakan untuk pendidikan, kesehatan, tabungan, dll. bayangkan bila untuk kebutuhan primer saja memakan alokasi yang sedemikian banyak, pastilah untuk kesehatan, pendidikan, tabungan dll jumlahnya sangat kecil, padahal kesemuanya adalah parameter kebahagiaan guna hidup lebih layak. Data Bank Dunia, 2016 menyebut angka $3.300 atau sekitar Rp. 3,575 jt/perbulan untuk rata-rata pendapatan perkapita rakyat Indonesia (kalangan menengah dengan pendapatan nominal ini). Angka ini jauh sekali dari pendapatan rata-rata perkapita orang negara tetangga Malaysia yang diangka $9.900 atau Rp. 10,5 jt/ perbulan, dan Singapura pada angka $52.800 atau telah mencapai Rp. 57,2 jt/perbulan, negara tetangga yang cilik dan airnya saja nyuling dari Malaysia, oksigennya mintak dari hutan Kalimantan (yang bila hutan Kalimantan kebakaran, asapnya nyerang Singapura terus orang senegara pada batuk-batuk). Ternyata ketinggalan jauh banget dari orang-orang negara tetangga. Angka diatas kuhitung sendiri dengan asumsi kurs dollar Rp. 13.000,- dan di analogikan pada pendapatan perbulan agar mudah dicerna.
Pandangan beliau diawali dengan bab membangun kesadaran bersama berisi pemaparan mengenai data kemiskinan, demografi penduduk Indonesia, gejolak dan pula kondisi sosial-ekonomi-politik yang telah sangat menghawatirkan. Dimulai dari indeks Gini (koefisien dalam ilmu ekonomi tentang pemerataan pendapatan) Indonesia menurut data Credit Suisse Global Report berada pada angka 0,49. Angka tersebut berarti 1% orang terkaya (hanya 2,5 juta orang) menguasai 49% kekayaan negara. Hanya 2,5 juta orang dari sekitar 250 juta penduduk atau 1:100. Menggunakan logika paling sederhana pun, angka ketimpangan ini telah teramat besar. Angka ini diamini oleh ekonom patriotis, Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa angka ketimpangan dan kemiskinan Indonesia yang nontabene negara kaya namun salah kelola, telah hampir melebihi ambang batas kemanusiaan. Dari data demografi tersebut, 29 juta hidup dibawah ambang kemiskinan, 68 juta dikatakan miskin dan terancam kemiskinan, kemudian sisanya pas-pasan dan atau hidup bersahaja/sederhana. Ketimpangan ekonomi juga terlihat dari jumlah perputaran uang yang beredar. Hampir 65% uang beredar atau Rp. 11.500 triliun adalah terpusat di Jakarta, 25% beredar terbagi-bagi di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makassar dan kota besar lain, sedangkan sisa 10%-nya beredar di perdesaan seluruh Indonesia. Agak lupa teori ini darimana, yang jelas sewaktu dulu belajar dan jadi Asisten Ekonomi Pembangunan, definisi dari kemiskinan adalah apabila 60-70% dari total pendapatan digunakan untuk membeli bahan kebutuhan primer (pangan, listrik dan kebutuhan pokok lain), kemudian sisanya baru digunakan untuk pendidikan, kesehatan, tabungan, dll. bayangkan bila untuk kebutuhan primer saja memakan alokasi yang sedemikian banyak, pastilah untuk kesehatan, pendidikan, tabungan dll jumlahnya sangat kecil, padahal kesemuanya adalah parameter kebahagiaan guna hidup lebih layak. Data Bank Dunia, 2016 menyebut angka $3.300 atau sekitar Rp. 3,575 jt/perbulan untuk rata-rata pendapatan perkapita rakyat Indonesia (kalangan menengah dengan pendapatan nominal ini). Angka ini jauh sekali dari pendapatan rata-rata perkapita orang negara tetangga Malaysia yang diangka $9.900 atau Rp. 10,5 jt/ perbulan, dan Singapura pada angka $52.800 atau telah mencapai Rp. 57,2 jt/perbulan, negara tetangga yang cilik dan airnya saja nyuling dari Malaysia, oksigennya mintak dari hutan Kalimantan (yang bila hutan Kalimantan kebakaran, asapnya nyerang Singapura terus orang senegara pada batuk-batuk). Ternyata ketinggalan jauh banget dari orang-orang negara tetangga. Angka diatas kuhitung sendiri dengan asumsi kurs dollar Rp. 13.000,- dan di analogikan pada pendapatan perbulan agar mudah dicerna.
Masih tentang
kemiskinan dan ketimpangan, indeks rasio Gini untuk kepemilikan tanah lebih
menghawatirkan, yakni mencapai 0,73%. Artinya, ada 1% populasi terkaya di
Indonesia yang memiliki tanah seluas 73% dari total luas tanah di Indonesia.
Data BPS menunjukkan, ada 37 juta orang Indonesia berprofesi sebagai petani,
lebih dari 75% nya atau 28 juta petani adalah landless farmers atau tidak punya lahan sendiri, 9 juta petani
menggarap sawahnya dengan lahan tak seberapa. Ironi, Indonesia negeri yang
terkenal karena kesuburan lahan taninya, tapi petaninya tak punya lahan,
sampai-sampai harga beras bisa 2x lebih mahal dari beras impor Vietnam. Kalau
sudah diserahkan pada harga pasar, para eksportir dan pengusaha lebih memilih
impor dari Vietnam karena lebih menguntungkan dari sisi harga. Kalau
terus-terusan impor dan hasil tani dalam negeri dibeli dengan harga murah
karena kalah bersaing dengan pasar Thailand atau Vietnam, lama-lama petani
enggan bertani, lebih memilih bermata pencaharian lain, tsnsh pertanian banyak
terjual karena pertanian tak menjanjikan, tanah-tanah bukan lagi ditanami aneka
padi umbi dan buah-buahan, melainkan bertransformasi menjadi sawah beton perumahan
dll. Harus ada mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah yang lebih baik pada
bidang pertanian dan pertanahan untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian pangan
negara, seperti yang tertulis di buku Herman Khaeron. Meminjam kalimat pak
Prabowo, “bagi saya kekayaan yang hakiki adalah kepemilikan tanah.”
Kemudian
pembahasan berlanjut pada berbagai kondisi buruk yang dialami Indonesia,
semuany dilihat dari sudut pandang makro-ekonomi yang mengerucut ke mikro
dengan berbagai multiplier effect yang
pasti timbul akibat ketimpangan kondisi makro indonesia. Dalam pandangan pak
Prabowo, ada 2 tantangan besar yang harus dihadapi oleh segenap bangsa
indonesia. Tantangan besar #1 adalan Kekayaan
Indonesia Mengalir ke luar Negeri. Pak Prabowo menyebutnya dengan istilah “Net Outflow of National Wealth” yakni
negara kita tidak mempunyai simpanan kekayaan di dalam negeri, “there is no national wealth”. Menyimak
tabel neraca ekspor-impor Indonesia dari tahun 1997-2014 dan sekarang total
nilai ekpor mencapai Rp. 24,7 triliun. Kemudian menurut pernyataan dari Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro 2016, bahwa ada lebih dari Rp. 11rb triliun
(kalau ditulis lengkap begini Rp. 11.000.000.000.000.000,- andai nolnya nggelundung
satu dan masuk ke rekeningku) uang milik pengusaha atau perusahaan yang
beroperasi di Indonesia yang disimpan diluar negeri, jumlah ini 5x lebih besar
dari APBN saat ini (kurang lebih Rp. 2000 triliun). Dengan kata lain, sebanyak
lebih dari 1000 triliun rupiah kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri, kebocoran
dana ini yang selalu disebut-sebut dan selalu diwanti-wanti oleh pak Prabowo sejak
lama-lama sekali, namun dicibir banyak orang karena ketidakpercayaan mereka
pada data-data yang didapati. Kebocoran ini terjadi akibat keuntungan ekspor
Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing yang tak dilaporkan karena lemahnya
mekanisme pengawasan. Perusahaan asing menguasai 94% transportasi barang untuk
ekspor dan impor, penelitian dari Indonesia for Global Justice.
Perusahaan-perusahaan ini menjual hasil alam Indonsia, menggunakan jalan,
pelabuhan dan keringat orang Indonesia, dan ketika mendapat untung, keuntungannya
tak disimpan di Indonesia. Mungkin ini yang dinamakan neo-imperialisme,
penjajahan model baru. Sama seperti penjajahan jaman belanda, yang menurut
penelitian dari Chulalongkorn University yang membuka arsip-arsip kuno catatan
resmi pemerintah Belanda, bahwa pada tahun 1878 sampai 1941, keuntungan Belanda
bila dibandingkan dengan anggaran belanda untuk menjajah Indonesia adalah 54
miliar Gulden, atau bila dikonversi ke mata uang sekarang jumlahnya menjadi Rp.
66.599 triliun.
Ini masalah
besar bagi Indonesia. Lemahnya pengawasan dan mengalirnya keuntungan
(kebocoran) negara yang harusnya disimpan di dalam negeri, dana yang dapat
digunakan untuk pembangunan Indonesia ini disimpan di bank-bank luar negeri.
Bank-bank dalam negeri tak punya cukup uang untuk memberikan kredit yang dapat
membangkitkan ekonomi. selanjutnya adalah opini pribadi berdasarkan buku-buku
yang pernah kubaca, bahwa kredit yang dimaksud disini adalah kredit dalam
artian luas, kredit kepada pemerintah, kepada perusahaan korporasi untuk tender
pembangunan infrastruktur, kredit usaha rakyat dll (parameter negara maju
adalah lebih dari 20% penduduknya berwirausaha, sedangkan Indonesia baru kurang
dari 4% entrepreneur dari total
jumlah penduduk yang kebanyakan sebagai pekerja). Ketersediaan dana dalam
jumlah besar yang apabila kebocoran dana dapat dihentikan tadi juga dapat
berimbas pada penguatan tingkat suku bunga dalam negeri yang rendah dan murah.
Suku bunga rendah ini yang disebut bunga non-ribawi oleh tokoh ekonom religius
orde lama, Sjafrudin Prawiranegara (salah satu dari 3 tokoh begawan ekonomi,
selain Prof. Soemitro Djojohadikusumo bapak dari pak Prabowo). Dalam hematnya,
ekonomi ribawi dimaksudkan dengan bunga yang eksploitatif, gampangnya yakni
bunga yang terlalu mahal dan memberatkan debitur. Apabila tersedia banyak dana
di dalam negeri, dan dengan regulasi yang baik dari pembuat kebijakan, bunga
bank akan ditekan pada tingkat terendah. Permintaan kredit dalam satu sisi akan
semakin banyak akibat stimulus bunga rendah. Karena banyaknya dana yang
tersedia pula, bunga akan menjadi rendah, bunga yang rendah akan menjadi
stimulus bagi iklim usaha dalam negeri, korporasi dan pemerintah. Bunga oleh
bank dan keuntungan dari bisnis perbankan lainnya digunakan untuk biaya
operasional perusahaan seperti biaya perawatan infrastrukturnya, buat gaji
pegawainya, pengembangan inovasi baru perusahaan, perawatan mesin-mesin, dan
biaya jasa yang disediakan oleh bank kepada konsumen. Akan banyak lahir
wirausahawan, jalan-jalan yang rusak akan mudah diperbaiki, pelabuhan-pelabuhan
dan pasar tradisional akan semakin mudah diakses, dan kemudahan akses akan
berimbas ultra-positif pada pertumbuhan ekonomi negara baik mikro maupun makro.
Namun apabila dana dalam negeri mengalir banyak keluar, kurangnya pundi rupiah
dalam negeri untuk pembangunan mengakibatkan Indonesia harus berhutang ke
negara luar, IMF (International Monetery Fund) dan atau bank dunia. Utang
Indonesia saat ini sudah lebih dari Rp. 4rb triliun, yang artinya bila ditanggung
seluruh warga Indonesia, dijidat setiap penduduk Indonesia tertulis “si Fulan
ini orang Indonesia yang punya hutang ke IMF, World Bank dan negara anu sebesar
Rp. 16 juta”. Bahkan ada klausula; 1) Tidak boleh punya industri, dukungan
pemerintah kepada industri-industri strategis seperti agro, dan pengembangan
industri penerbangan harus dihentikan 2) serahkan rupiah ke pasar. Yang baru
disebut tadi adalah salah satu klausula dari MoU antara Indonesia dan IMF pada
1998 terkait hutang indonesia. Akibatnya sangat buruk, industri-industri dalam
negeri menjadi lemah dan akhirnya tergilas oleh industri asing yang invansi ke
indonesia. Nilai rupiah kita mengalami pelemahan 3.400.000.000% seak tahun 1949
(Cati Institute, 2015). Mata uang adalah cermin produktivitas suatu bangsa.
Kalau tidak produktif, mata uang tidak kuat, maka ekonomi kita akan menjadi
bancakan negara lain, demikian kata pak prabowo. Selanjutnya Singapura adalah
kreditor (pemberi kredit) terbesar untuk Indonesia, yamg kemudian disusul
jepang dengan angka $53 miliar untuk singapura dan $33 miliar untuk Jepang.
Baiklah mari kita telisik mengapa demikian.
Jumlah
penduduk Singapura 50x lebih sedikit dari indonesia. Ekonomi Singapura hanya
$300 miliar, 3x lebih kecil dari ekonomi Indonesia. Namun bank-bank terbesar
Singapura bisa 6x lebih besar jumlah dana yang disimpan maupun asetnya dari
pada bank-bank terbesar Indonesia apabila dijumlahkan. Secara matematika tentu
tak logis, pertanyaannya adalah siapa pemilik uang yang tersimpan dalam
bank-bank Singapura itu kalau tidak dana-dana dari Indonesia yang bocor.
Kemudian dana besar simpanan dari keuntungan perdagangan di Indonesia yang
disimpan di bank Singapura tadi digunakan untuk memberi utang kepada Indonesia.
You know what it means? It means Indonesia
berhutang pada keuntungan usaha dalam negeri yang kemudian oleh
pengusaha-pengusaha dalam negeri secara ilegal disimpan di bank
singapura dan dialirkan kembali oleh Singapura ke indonesia. Dari transaksi ini
Singapura mendapat keuntungan dari bunga pinjaman dan total jumlah dana yang
tersimpan kemudian menjadi aset dan dapat diputar untuk pembangunan dalam
negeri singapura. Untuk hutang pada Jepang dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar
otomotif yang sebagian besar merk-merk mobil dan motor adalah dari Jepang.
Walaupun ada yang pabriknya di indonesia, tapi tetap saja keuntungan yang
didapat nantinya akan dialirkan ke Jepang. Mereka dapat kemudahan bahan baku,
tenaga kerja yang murah, pangsa pasar yang besar pula di Indonesia. Seorang
ekonom indonesia menemukan fakta bahwa setiap $1 miliar investasi asing yang
tertanam di Indonesia dalam satu tahun akan menghasilkan untung $12 miliar dan
keuntungan ini dialirkan ke luar negeri, begitu juga yang dilakukan oleh
Jepang. Menurut pandangan dalam buku ini, Indonesia harus berani memulai
investasi di kandang sendiri, tapi bukan anti investasi asing. Mengenai masalah
mobil nasional, Singapura sudah belasan tahun lalu berani memproduksi mobil
dalam negeri sendiri, dengan merk dagang Proton. Indonesia katanya kemarin mau
mulai produksi mobil SMK dari Solo, tapi sepertinya hanya alat politik
pendompleng popularitas buat maju pilpres kemarin karena buktinya sampai saat
ini tak ada lagi dengung kelanjutan proyek mobil nasional. Kami mengandai ada
pemimpin yang bilang: “saya tidak katakan kita perlu boikot barang asing,
tidak. Tapi Indonesia selalu punya kemampuan dan kreatifitas, bagaimana kalau
kita rebut 10% saja pasar kita. Kita buat 100.000 mobil nasional beneran,
bagaimana?”. Menurut pak Prabowo, sebenarnya Indonesia bisa. Indonesia pernah
punya pabrik kapal dan pesawat sendiri dan akan punya di masa depan jika negara
dikelola dengan baik. Contoh lain yakni senjata dalam negeri buatan PT. Pindad
Bandung yang antarkan TNI jadi juara umum 9x berturut-turut sampai saat ini
dalam kompetisi menembak tentara antar negara, harusnya kita bangga produksi
dalam negeri. Kemarin waktu sarapan hendak berangkat kerja, di TV ada berita,
akan segera diproduksi masal sepeda motor listrik yang tak kalah unggul dari
produk Jepang, buatan ITS Surabaya, merk dagang GESITS, semoga lekas
terlaksana.
Untuk mengejar
ketertinggalan angka PDB (Produk Domestik bruto) per kapita yang menjadi
standar sederhana ukuran kesejahteraan rakyat suatu negara, pertumbuhan ekonomi
indonesia harus segera tumbuh rata-rata 7% dalam 5 tahun ‘pertama’ dan
setelahnya tumbuh dua digit menjadi minimal 10% pertahun selama 10 tahun
berikutnya. PDB perkapita harus lebih tinggi dari $13.000 per tahun untuk jadi
negara berpenghasilan atas. Walaupun berat sebenarnya, tapi hal ini bukan tak
mungkin. Strateginya yakni mencegah kebocoran seoptimal mungkin, perbaikan
industri dalam negeri, penerimaan dari sisi pajak harus lebih didisiplinkan.
Saat ini rasio pajak indonesia, yaitu persentase penerimaan negara dibandingkan
dengan besaran PDB berkisar dibawah 11%. Angka ini sangat rendah bila
dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN, apalagi bila dibanding rata-rata
negara EOCD (eksportir minyak) sebesar 34%. Jika rasio pajak naik 16% saja
(sama dengan negara dari dunia ketiga yakni Zambia), maka penerimaan negara
akan bertambah kurang lebih Rp. 500 triliun. Jumlah ini lebih besar dari
defisit APBN 2017 yang artinya negara tidak perlu cetak utang lagi dari luar
negeri. Orang-orang Zambia saja bisa, masak Indonesia ndak iso?
Permasalahan
serius mengenai kebocoran dana tadi, dapat dibayangkan betapa banyaknya manfaat
yang dapat didapat apabila dana tersebut disimpan dan dialirkan di dalam
negeri. Mungkin tak akan ada ruang kelas rusak pada 74% ruang sekolah SD, 71%
ruang kelas SMP, 54% ruang kelas SMA (Data Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan, 2016). Mungkin kualitas pendidikan Indonesia akan jauh lebih baik
bila dana tersebut untuk pengembangan pendidikan, perbaikan iklim pendidikan
dalam negeri, pemuliaan dan penambahan guru-guru dan tenaga pengajar,
penyediaan buku-buku dan alat-alat
laboratorium, biaya pendidikan murah, dan kualitas pendidikan Indonesia akan
jauh lebih baik dibanding sekarang yang berada di urutan No. 65 dari 73 negara
dalam survei PISA (Programme for international Student Assesment). Dengan
perbaikan ekonomi dalam negeri, mungkin angkatan kerja lulusan SD yang selama
ini mendominasi di angka 40% (Kemendikbud, 2016) akan berkurang berganti dengan
tenaga-tenaga kerja lulusan sekolah lebih tingi yang lebih ahli dan mampu
bekerja kreatif, tak hanya sekedar jadi buruh kasar. Buruh kasar masih banyak
yang belum berpekerjaan, gitu saat ini sedang hangat berita (jarang kena
ekspose media) banyak pekerja asing dari Tiongkok menyerbu Indonesia. Mungkin
dengan tidak bocornya pendapatan negara, tidak akan ada 1 dari 3 anak-anak
Indonesia mengalami gagal tumbuh, yang dengan indeks kelaparan global berada
pada angka 21,9 atau salah satu dari yang tertinggi di dunia. Anak-anak
Indonesia haruslah tumbuh dengan kuat, sehat dan cerdas untuk meneruskan
perjuangan pahlawan dan cita-cita kemerdekaan. Dengan perbaikan ekonomi dalam
negeri, konsumsi buah terendah di Asia takkan berpredikat ke Indonesia, ironi
negara agraris dan subur (Fakultas Kedokteran UI, 2016). Dengan tidak bocornya
pendapatan negara, mungkin pendapatan perkapita indonesia akan naik,
pembangunan infrastruktur akan lebih masif dan merata sampai ke pelosok-pelosok
di daerah terpencil, jalan-jalan akan dibangun dan diaspal lebih halus dan kuat
sehingga mengurangi jumlah kecelakaan, petani-petani akan mendapatkan harga
yang baik untuk hasil panen mereka, atau terbantu dari bahan saprotan sebagai
bahan bertani, pupuk-pupuk akan bersubsidi dan mudah didapatkan.
Tantangan
besar bagi bangsa Indonesia #2 adalah Demokrasi
indonesia Dikuasai Pemodal Besar. Mungkin dalam bab ini, pendapat pribadi
penulis tulisan ini akan lebih mendominasi daripada isi resensi buku. Saat ini
Indonesia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat menghawatirkan. Banyak
sekali pemimpin tak berkompeten yang dapat dipilih dengan kekuatan uang, dan
keadaan ini sudah bukan rahasia, bahkan sangat sekali terlihat. Pemimpin yang
tak berkompeten karena dipilih dari proses demokrasi yang cacat, bukannya
mengamankan dan menjaga kepentingan rakyat tapi malah menjual negara kepada
pemodal besar. Dalam buku ini, pak prabowo menganalogikannya dengan pertarungan
antara Pandawa dan Kurawa. Aku suka sekali pewayangan Baratayudha, Pandawa the good guys, orang-orang baik yang mau
berjuang demi kemaslahatan umat, melawan para Kurawa, orang-orang yang hidunya
didorong oleh keserakahan, sudah punya banyak masih ingin lebih. Sama seperti
dalam Al-qur’an yang telah memperingatkan akan datangnya orang-orang serakah
yang apabila 7 bumi beserta isinya diberikan padanya, mereka takkan pernah
merasa cukup. Kurawa, para pemodal besar, kaum borjuis, dari bangsa sendiri
maupun bangsa asing, mereka suka indonesia dipimpin oleh pemimpin yang lemah,
pemimpin yang korup dan dungu, agar dengan pemerintahan boneka ini kepentingan
ekonomi dan kekuasaan mereka tak diusik para Pandawa.
Telah banyak
sekali kita saksikan bersama bagaimana demokrasi negeri ini telah koyak, bahkan
bisa sampai tingkat terkecil sekalipun. Permainan Money Politic sudah tak asing terjadi dimana-mana. Pada tataran
ataspun demikian, media telah sangat mampu menguasai dan menggiring opini
rakyat untuk pro atau kontra pada kebijakannya. Parahnya lagi, beberapa media
massa disinyalir terlalu berpihak pada golongan tertentu yang berkepentingan.
Apa kepentinganya? Bisa saja untuk merebut kekuasaan, membuat kebijakan yang
pro untuk diri dan golongannya. Bung Karno dan Bung Hatta telah berkali-kali
mengingatkan bahwa demokrasi di negeri ini harus demokrasi kerakyatan, bukan
demokrasi borjuis. Aku pernah membaca disebuah literatur bahwa syarat agar
demokrasi yang baik dapat diwujudkan dalam sebuah negara ada 3; media yang
menyampaikan informasi dengan jujur dan terbuka, rakyat negaranya yang telah
mapan pengetahuannya dan kondisi ekonomi yang kondusif. Coba kita cross check apa yang ada di indonesia
saat ini. Oligarki media makin menjadi. Dengan bahasa dan penyampaian yang
halus, opini dapat dengan mudah digiring kepada suatu topik tertentu agar
rakyat percaya pada sebuah wacana. Hal ini diperparah dengan banyaknya jumlah
penduduk yang belum begitu baik dalam melakukan perbandingan dan pengkajian
ulang informasi-informasi yang diterima. Orang makin jarang berdiskusi atau
bertukar pikiran. Begitu melahap sebuah wacana A misalnya, langsung ngetweet,
update status dan cerita di medsos tanpa melakukan pegecekan kebenaran berita
yang sedang dibagikan. Sangat banyak sekali pelintiran-pelintiran informasi
yang beredar dewasa ini, masyarakat dibombardir dengan informasi-informasi yang
mengambang tingkat kevalidan dan kebenarannya, dan hal ini apabila tak disaring
akan sangat membahayakan. Adolf Hitler bekata “kebohongan sejarah yang
diulang-ulang seribu kali pada akhirnya nanti akan menjadi kebenaran!”
Sudah bukan
rahasia umum kalau di negeri kita ini medianya bisa dipesan, lembaga survey
bisa dipesan untuk unggulkan calon tertentu atau sudutkan wacana tertentu.
demokrasi yang kadang daftar pemilihnya bisa dipesan, seperti yang terjadi
contohnya di Pemilukada DKI jakarta 2012 yang jumlahnya belasan ribu dan di
Pemilu 2014 yang jumlahnya jauh lebih besar, namun tak di blow up oleh banyak
media karena mungkin saja telah menangkan pemimpin yang disokong medianya,
disokong untuk jadi boneka dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembuatan
kebijakan. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan sosial
(LP3ES, 2014) bahkan menyebut potensi penyalahgunaan daftar pemilih bisa sampai
20% dari jumlah total suara. Selanjutnya adalah opini pribadiku, maaf kalau
mungkin terlalu melenceng, namun sebagai warga negara yang baik, warga negara
yang ingin melihat negaranya kembali jaya, adalah sudah menjadi hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pendapat. Dengan begitu ringkihnya sistem
demokrasi Indonesia saat ini, dan banyaknya penduduk yang belum mapan
teredukasi dengan baik, mungkin alangkah lebih baik apabila pemungutan suara
dilakukan dengan sistem berjenjang berdasarkan tingkat pendidikan. Misal
penduduk tak sekolah satu suaranya dihitung 1, tamatan SD dihitung 2 poin, tamatan
SMP dihitung 3, tamatan SMA dan selanjutnya Sarjana, Megister, Doktoral,
Profesor, dan mungkin gelar-gelar lain seperti ketokohan masyarakat dll misal
kiai, pamong desa, guru, pastur, dll yang jelas parameter penentuan jumlah poin
suaranya. Karena logikanya tak mungkin seorang tamatan SD misalnya bisa disandingkan
pengetahuannya dengan seorang Sarjana Megister yang selalu dapat mengupdate
informasi dengan baik, atau bahkan yang Sarjana saja memiliki gap pengetahuan
yang jauh dengan seorang Doktor. Kemudahan akses informasi menjadi hal yang
signifikan. Banyak mana jumlah seorang Kiai dengan rakyat biasa? Pastilah
banyak jumlah rakyat biasa. Misalnya saja terjadi money politic, seorang calon A memiliki banyak uang dan mampu
menggiring opini rakyat biasa dengan kekuasaan media yang dimilikinya atau
dengan serangan fajar berupa uang untuk membeli hak suara rakyat biasa yang
kita anggap saja kurang teredukasi. Kemudian ada seorang calon B yang tegas,
berkompeten, jujur dan bersih, tidak mau memakai cara-cara curang, dan
ketulusan maksud baik dari pemimpin B ini ditangkap oleh kebijaksanaan para
Kiai, pastur, tokoh masyarakat dan ustadz-ustadz atau tokoh bijak lainnya, atau
sarjana-sarjana yang telah melek sumber akses informasinya dengan baik.
Bayangkan seorang suara Kiai dan orang-orang bijak dianggap sama nilainya
dengan suara seorang biasa yang pastinya jumlahnya jauh sekali lebih banyak,
kemana menguapnya pengetahuan, kebijaksanaan yang dimiliki seorang Kiai dan
tokoh-tokoh bijak yang telah berproses selama bertahun-tahun tadi apabila hanya
dihitung 1 suara, sama dengan rakyat biasa yang opininya telah tergiring oleh
media atau oleh uang. Bilamana negara dipimpin oleh sistem demokrasi “grudukan”
seperti sekarang ini, pastilah cepat atau lambat sistem pemerintahan negara
akan rapuh karena dipimpin oleh pemimpin berasaskan keuangan yang maha kuasa.
Mungkin ini pemikiran yang membahayakan, tapi kembali lagi, ini hanyalah opini
dari seorang warga biasa yang ingin melihat bangsanya kembali jaya. Mari
sama-sama mengingat kembali Sila ke-4; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan...”
Tadi telah
dibeberkan kondisi negara saat ini yang sebenarnya jauh lebih rapuh bagi mereka
yang mau memikirkan negaranya. Bahkan banyak penulis-penulis dan ekonom dari
barat melalui tulisannya memprediksi kalau indonesia terus terpuruk dan
rakyatnya tak sadar betapa genting situasi negaranya, maka di tahun 2030 takkan
ada lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masih jelas diingatan
bagaimana Yugoslavia dan Uni Soviet terpecah dan terbagi-bagi menjadi negara
kecil-mengecil, Indonesia harus waspada dan mari galang persauan. Pak prabowo
telah menyampaikan juga dalam buku ini, strategi untuk Indonesia ke depan bila
mau jadi negara jaya. Salah satunya kembali pada Ekonomi Konstitusi, seperti
UUD Pasal 33 yang telah sangat gamblang menjadi haluan ekonomi negara yang
selalu diingatkan bung Karno dan bung Hatta yakni ekonomi kekeluargaan, ekonomi
kerakyatan, ekonomi yang berpihak kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang
sudah kuat silahkan maju, yang lemah mari sama-sama diangkat. Para Founding Fathers indonesia telah
merumuskan dengan sebaik-baiknya bagaimana ekonomi harus dijalankan. Yang baik
dari Kapitalisme dijalankan, yang baik dari Sosialisme dijalankan, akhirnya
menjadi ekonomi jalan tengah. Kapitalisme baik karena mendorong inovasi dan
perbaikan produk dari persaingan bebas yang terjadi antar pelaku ekonomi, namun
apabila tanpa kontrol dari stakeholder, yang kuat akan makin kuat dan yang
kalah persaing akan layu dan mati karena tak memiliki kontrol dan harga
diserahkan kepada pasar, tentu saja ini buruk. Dari ekonomi sosialisme, negara
menjamin kehidupan rakyatnya, namun alangkah sangat utopis sekali apabila
semuanya harus dibagi sama rasa dan sama rata. Bayangkan penghasilan pengangguran
dan seorang dokter memiliki penghasilan yang sama, tentunya sangat tidak
mungkin karena negara tidak menghargai kerja keras warganya, investasi akan
sangat lesu dan inovasi-inovasi untuk berkembangnya industri akan seret. Tokoh
pencetus ekonomi Sosialis ini dari yakni Karl Marx, lumayan pernah banyak baca
tulisannya dan hafal dengan adagium; Sell
a man e fish, he eat for a day. Teach a man how to fish, you ruin a wonderful
business opportunity!” Akhirnya diambillah ekonomi jalan tengah, the third way economy, ekonomi
kerakyatan. Kalau kupikir ini hampir sangat mirip dengan Sistem ekonomi Islam,
yang menghargai kerja keras pemeluknya, silahkan yang mau berusaha lebih pasti
akan mendapat lebih pula, namun jangan lupa untuk berzakat maal. Dalam ekonomi
kerakyatan, sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai seperti bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
digunakan sebesar-besarnya untuk kepeningan rakyat. Tidak seperti yang terjadi
baru-baru ini terjadi pada reklamasi teluk jakarta, PT Freeport yang telah
dikeruk kekayaan alamnya bertahun-tahun (perjanjiannya negara hanya dapat
untung 1% tiap tahun), dll yang banyak sekali terjadi di Indonesia.
Dari segi
Ekonomi, indonesia memiki potensi yang sangat besar. Dalam bidang pertanian,
iklim Indonesia yang tropis merupakan keunggulan komparatif yang tak dimilki
bangsa lain. Pohon yang ditanam di Indonesia dalam 5 tahun bisa ditebang, di
negara subtropis butuh 25 tahun baru bisa ditebang. Sejarah juga berkata, penjajah
dari barat datang ke Indonesia mengambil apa kalau tak mengambil pala, rempah,
cengkeh, dan hasil pertanian lainnya. Pertanian Indonesia harus benar-benar
diperhatikan, pesan pak prabowo dalam buku ini. Sarana dan prasarana harus
diperbaiki, sistem irigasi penyediaan traktor dan mekanisasi pertanian, pupuk
harus murah dan baik, hulu ke hilir harus terkoneksi dengan baik, pasar
diciptakan dengan penentuan harga atap dan dasar yang menguntungkan petani, penjaminan
pertanian dilakukan dengan baik, 11 juta hektar lahan yang masih menganggur
perlu dibuatkan kebijakan yang baik agar dapat dimanfaatkan, pabrik-pabrik
agroindustri didirikan dekat dengan kawasan pertanian. Pertanian dalam arti
luas kata itu, kelautan, perikanan, perkebunan. Kalau mau negara kuat,
rakyatnya juga kuat karena makan bergizi dan cukup. Bahan makanan harus mudah
didapat dengan harga murah. Kemandirian pangan ditegakkan, kedaulatan pangan
dikuatkan. Kedaulatan bahwa negara tak perlu impor, tak perlu ada bahan pangan
masuk sekian ke Indonesia. Kemandirian pangan bahwa indonesia mampu produksi
sendiri kebutuhan dalam negerinya, tak perlu banyak mengimpor dari luar negeri.
1 dari 3 orang Indonesia saat ini bermata pencaharian sebagai petani. 40% dari
orang Indonesia yang miskin juga bekerja di sektor agrikultur (Badan Pusat
Statistik, 2016). Kalau pertanian baik, maka kondisi ekonomi penduduk akan
makin kuat. Perputaran uang tak lagi ada di kota-kota besar, tapi perlahan akan
mengalir menuju desa-desa yang nontabene sentranya pertanian. Mengenai pangan
ini aku banyak mendapat sumber dan pengetahuan bagus dari buku referensi karya
Herman Khaeron, kebetulan skripsi dulu juga membahas tentang pangan. Ingin
sekali rasanya kembali belajar mengenai ekonomi pembangunan utamanya pertanian,
insyaAllah. Dan apa yang diingatkan pak prabowo mengenai penguatan pangan
negara ini, aku jadi ingat satu kalimat dalam buku herman Khaeron yang akan
kukutip sebagai berikut, kalimat dari Henry Kissinger; “Control oil you control he nation. Control food you control the
people!” semoga akan datang bagi Indonesia pengontrol, pemimpin, penguasa
yang baik budinya, cakap intelektualnya, dan kuat kebaikan hatinya.
Akhirnya
sebagai penutup, adalah artikel yang kusimpan rapi sejak tanggal 14 Agustus
2012 berjudul ‘Indonesia Butuh Pemimpin Otoriter’. Budayawan Radhar Panca
Dahana menegaskan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan seorang diktator yang
baik hati atau benevolent autocrats.
Menurutnya, saat ini sistem politik, sosial dan ekonomi dibangun atas dasar
negosiasi. “Tidak ada kepastian, dan cenderung memenangkan kaum elite pemilik
modal”. Konsep benevolent autocrats
pertama kali muncul dalam riset profesor New York University, William Easterly.
Menurutnya, negara-negara yang tidak demokratis cenderung bisa bertumbuh pesat
secara ekonomi, karena peran para pemimpin yang otokratik. Maksud dari otoriter
disini adalah tegas, berani berpegang teguh pada prinsip kebaikan. Pada sosok
pak Prabowo, kutemukan kriteria itu. Pada halaman 67 buku ini menanggapi
kekuatan asing yang ada di Indonesia, pak prabowo menulis; “Prabowo tidak bisa
jadi kacung kamu! Indonesia tidak mau jadi kacung kamu! Kita mau jadi
sahabatmu. Kita mau jadi kawanmu. Kita mau jadi mitramu, tapi kita tidak mau
jadi kacung siapapun di dunia.” Aku juga masih ingat bagaimana bapak bercerita
tentang pak Prabowo pada awal-awal pak Prabowo merintis karir di TNI, turun-temurun
ini diceritakan di kalangan tentara tentang pak Prabowo yang selalu menenteng
ransel berat bahkan ketika operasi militer berjalan di hutan, yang ternyata
berisi buku-buku sosial politik ekonomi. Seorang Perwira TNI Indonesia yang
paling banyak memimpin operasi militer, nasionalisme dan patriotisme ini tak
terbantahkan. Pelopor yang menjadikan Indonesia negara Asia Tenggara pertama
yang mampu kibarkan bendera merah putih di puncak gunung Everest, Top of the
world, sebagai seorang pendaki dan warga negara yang mencintai bangsanya
tentulah perasaan bangga ada di dalam dada. Dan banyak lagi cerita-cerita lain
tentang pengabdian seorang Prabowo. Semoga njenengan pak Probowo dapat terus
mengabdikan diri dan berkesetiaan teguh bagi Indonesia. Semoga kami ikut
terbakar api semangat yang kobar bagi Indonesia. InsyaAllah, para Pandawa
negeri ini akan terlahir. Indonesia Jaya, MERDEKA!!
Bojonegoro, 28 Oktober 2017
Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Firman Sentot Abintara P.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.