Tulisan ini kusadur dengan
menggunakan bahasa sendiri dari buku karya Krisna Bayu Adji, “Sejarah raja Jawa
dan Isteri-isteri Raja” penerbit Araska 2016. Ingin kutulis bab ini
terinspirasi dari mbah Kung yang seringkali menggunakan penanggalan Jayabaya
dalam menentukan hari-hari baik semisal tanggal hajatan, pindah rumah, beli
barang, nikah dll, dan orang-orang sering sekali datang kepada mbah untuk
bertanya tanggal. Meskipun begitu mbah tetap menekankan bahwa prinsip paling
utama dari kesemua hari adalah baik, tak ada hari yang buruk, mbah hanya
ngitung-itung saja. Pernah pada suatu malam ketika pulang kantor, dijalan aku
ditabrak motor dari belakang, lumayan kencang sampai mental beberapa meter ke
depan, untung sekali tak parah. Karena kuatir dengan kondisi motor, mampirlah
aku ke rumah mbah dan cerita insiden dijalan tadi. Mbah langsung ngitung2 di
tanggalan dicocokkan dengan tiron/wetonku dan ternyata tepat pada hari itu
orang dengan weton ini diharap berhati-hati. Pada waktu itu tebakan mbah
benar-benar akurat. Sekedar intermezzo, hehe
Resensi dari buku yang tersebut
diatas bab “jayabhaya, Kejayaan Kediri dan Serat Kalathida” bahwa raja
Jayabhaya menjadi raja sejak tahun 1135 M, bergelar Sri Maharaja sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Sutrishinga Parakrama
Uttungadewa, cukup panjang. Merupakan raja yang sangat dikenal oleh masyarakat
jawa karena prediksinya mengenai datangnya Jaman Kalathida dan juga penanggalan
jawa. Jaman Kalathida lebih kerap dikenal dengan sebutan jaman Kalabendu, atau
jaman gemblung. Gemblung dalam ikhtisar bahasa jawa diibaratkan seperti orang
kebanyakan minum sehingga mabuk, klepek-klepek dsb, atau seperti ungkapan
kebanyakan orang Jawa Timur dalam mengumpat seperti “woo pancene gemblung!” dan atau ungkapan lainnya yang artinya
mendekati huru-hara dan kekacauan. Jaman dimana masusia lebih banyak menjadi
budak hawa nafsunya daripada tuan yang selalu menggunakan akal budinya dalam
menjalani laku hidup dan kehidupan baik individu maupun bermasyarakat.
Simak baik-baik syair dari Serat
Kalathida yang telah digubah Raja Jayabhaya berikut ini, dan renungkan
bagaimana kehidupan saat ini telah mulai memasuki jaman Kalabendu:
Iki sing dadi tandane jaman Kalabendu (inilah
penanda jaman Kalabendu)
Lindu ping pithu sedina (gempa bumi
tujuh kali sehari)
Lemah bengkah (tanah meretak, karena
kekeringan)
Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang
lara (orang makin mengeluh, banyak orang sakit)
Pageblug rupa-rupa (penyakit makin
macam-macam bentuknya)
Mung sethitik sing mari, akeh-akehe pada
mati. (sedikit yang sembuh, kebanyakan mati)
Jaman Kalabendu Wiwit yen; (Jaman
Kalabendu bermula ketika)
Wis ana kreta mlaku tanpa jaran (ada
kereta jalan tanpa kuda, sepeda motor, mobil dll)
Tanah jawa kalungan wesi (Tanah Jawa
berkalung besi, kereta api)
Prahu mlaku ning nduwur awang-awang (Kapal
berjalan di udara)
Kali ilang kadunge (Sungai hilang
palungnya, pendangkalan sungai)
Pasar ilang kumandhange (pasar tak lagi
ramai, ganti online kali ya)
Wong nemuni wolak-waliking jaman (Orang
bertemu jaman yang terjungkir-balik dari fitrahnya)
Jaran doyan sambel (Kuda doyan sambal,
banyak kejadian aneh)
Wong wadon manganggo penganggone wong
lanang. (perempuan memakai atau bertempat di tempat yang harusnya di isi lelaki)
Jaman Kalabendu iku kaya-kaya jaman kesukan (Jaman
Kalabendu seolah jaman suka-cita)
Jaman kenikmataning dunya (Jaman
nikmat-nikmatnya duniawi)
Nanging jaman iki sebenere jaman ajur lan
bubrahing dunya. (tapi sebenarnya jaman ini adalah jaman hancur tatanan dan
gegernya dunia)
Mulane akeh bapa lali anak (banyak bapak
lupa anak)
Akeh anak wani nglawan biyung lan nantang
bapane (banyak anak berani lawan ibu dan bapak)
Sedulur pada cidra-cinindra (sesama
saudara saling bunuh-membunuh/bermusuhan)
Wong wadon ilang kawirangane (perempuan
tak punya rasa malu)
Wong lanang ilang keprawirane (laki-laki
hilang keperwiraan/kejantanan)
Akeh wong lanang ora duwe bojo (banyak
laki-laki tak punya isteri)
Akeh wong wadon ora setya marang bojone (banyak
perempuan tak setia pada bojonya)
Akeh biyung pada ngedhol anake (banyak
ibu menjual anaknya)
Akeh wong wadon ngedol awake (banyak
perempuan menjual badan)
Akeh wong ijol-ijolan bojo (orang
bertukar-tukar pasangan)
Akeh udan salah mangsa (terjadi hujan di
musim yang salah)
Akeh prawan tuwa (banyak perawan tua)
Akeh randha ngelahirke anak (banyak
janda melahirkan anak)
Akeh jabang bayi nggoleki bapane (jabang
bayi mencari bapaknya)
Wong wadon ngelamar wong lanang (perempuan
melamar laki-laki)
Wong lnang ngasorake drajate dewe (laki-laki
merendahkan derajatnya)
Akeh bocah kowar (banyak anak tak kenal
bapak-ibuknya, dibuang)
Randha murah regane (janda murah
harganya)
Randha ajine mung sak sen loro (harga
janda hanya satu sen dapat tiga, tentu bahasa kiasan)
Dudha pincang payu sangang wong (Duda
berkaki cacat laku sembilan orang)
Itulah syair tentang datangnya
Jaman kalabendu dari Raja Jayabaya yang digubah dalam Serat Kalathida. Kalau
dipikir dengan akal sehat dan diperbandingkan dengan realita yang ada sekarang,
tak bisa tidak kita mengelak bahwa jaman Kalabendu sedang terjadi saat ini juga
bahkan disekitaran kita. Sejalan pula dengan wasiat akhir jaman dari junjungan
besar umat Islam, Rasulullah SAW yang telah memberikan petuah kepada umatnya
mengenai tanda-tanda akhir jaman. Berdasarkan Serat Jayabaya Musarar, bahwa
raja Jayabhaya pernah berguru kepada seorang ulama bernama Maulana Ngali
samsujen. Raja Jayabhaya mendapatkan gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak
jaman Aji Saka hingga datangnya hari kiamat dari ulama tersebut. Sebagai
pribadi yang beragama dan berilmu, pastilah kiranya diperlukan analisis dan
perenungan mendalam dari berbagai sumber yang kemudian dikompilir menjadi
sebuah kesimpulan. Wallahua’lam
bisshawaf...
Demikian saja, semoga kita semua
dimampukan Allah menjadi pribadi yang lebih berilmu dan bijak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar