Malam ini aku sedang
nganggur berat, bukan karena memang tak ada kerjaan, tapi masih sengaja
menganggurkan diri untuk recovery dan
kembali bugar pasca mbolang solo ke
Baluran kemarin. Pas sedang santai, teringat aku ada bnanyak hutang menulis
untuk perjalanan-perjalanan yang belum aku tuliskan. Sebenarnya masih males
juga ya, tapi untuk mengurangi tanggungan hutangku okelah malam ini aku harus lagi-lagi
memeras otak kananku. Hhhh…
Ini perjalanan pendakian
ke gunung Panderman bulan Mei lalu, sudah cukup lama memang. Singkat saja ya
dalam paper ini, karena memang tak banyak cerita yang harus kutuliskan (itu
yang buat aku lumayan tak semangat nulis paper Panderman ini huhuhu). Gunung Panderman
berada di sebelah barat daya kota Batu, yang juga merupakan salah satu pintu masuk
menuju gunung Butak yang lebih ekstrim. Gampang saja cara menuju Panderman,
bisa dengan angkutan umum yang diteruskan ojek atau dengan sepeda motor sendiri.
Aku memilih motor sendiri, untuk memudahkan akses saja karena tempatnya yang
dekat dengan kota Malang.
Kamis, 14 mei aku
siapkan semua perbekalan dan gear pendakian. Sudah berhari-hari pikiranku
kalut, Edelweiss hatiku layu, ya, si Mifta pacarku saat itu, sedang ada masalah
antara kita waktu itu. Tapi awal bulan aku juga sudah ngetwit di Twitter hastag
#15meiPanderman #15meiPanderman #15meiPanderman, jadi harus nepati omongan
sendiri. Semua gear telah aku siapkan dengan baik, pagi 15 mei siap meluncur. Beda
dari pendakian-pendakian lalu, jujur saja ini adalah pendakian galau,
huaaahahaha. Dan aku ingin mendaki sendiri saja, sendiri dulu.
15 mei pagi-pagi sekali
aku telfon partner mendaki asikku si ashe, kubilang hp ku akan off 2 hari,
kalau ada yang nyari aku akan baik-baik saja. Tapi si ashe memaksa memberitahu
destinasi mbolangku, dan *jengjengjeng* dia mau ngikut ke Panderman. Okelah persiapan
dadakan segera dilakukan.
Dari Malang kota menuju
pos perizinan mungkin hanya sekitar 45 menit dengan motor untuk amannya. Setelah
registrasi dan perizinan, juga nitip motor, kami bergegas menuju jalan setapak
pendakian. Medan awal yang kami lalui masih beraspal, melewati persawahan
penduduk dan kemudian masuk jalan setapak berpaving. Setelah tak lama kemudian
ada persimpangan jalan, kiri adalah menuju Panderman dan kanan menuju gunung
Butak. Sekedar intermezzo, aku sudah lama memimpikan jalan setapak ke kanan
ini. Pendakian merah-putih, pendakian sumpah pemuda, pendakian hari pahlawan,
pendakian Firman Sentot Abintara P., semuanya gagal karena berbagai sebab mulai
dari kebakaran hutan hingga cuaca buruk.
Tidak jauh jarak
pendakian yang harus dilalui. Dari pos perizinan menuju latar ombo, sejenis pos
dalam pendakian, membutuhkan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Aku dan Ashe memutuskan
untuk mengikuti jalur yang dibuka oleh penduduk setempat. Jalannya curam dan
masih bersemak lebat. Pendaki menyebutnya teknik potong kompas, tapi jangan
ditiru ya untuk keselamatan pendakian., lebih baik lewat jalur yang aman dan
benar-benar umum digunakan. Latar ombo ini berupa tanah lapang yang cukup luas,
bisa untuk mendirikan cukup banyak tenda, dan di tempat ini juga biasa
digunakan untuk kegiatan kemahasiswaan dan outbound
seperti diklat dan sebagainya. Di sini kami berhenti sejenak untuk nyemil
jajanan yang kami bawa, Powering UP!
Setelah puas,
perjalanan dilanjutkan kembali. Trek menuju puncak Panderman kami tempuh dengan
waktu kurang lebih 1 jam 50 menit. Jalan setapak menuju puncak lumayan terjal
dan sulit ditempuh, dengan kemiringan antara 40-60 derajat. Para pendaki harus
ekstra hati-hati disini, dengan jalan yang padat pepat aku dan Ashe
bersusah-susah, bisa dibayangkan susahnya mendaki Panderman saat musim hujan. Total
waktu yang dibutuhkan untuk sampai di puncak kurang lebih 3 jam pendakian, tak
begitu memakan waktu lama mengingat tinggi gunung Panderman hanya 2000 mdpl.
Segera setelah sampai
di puncak kami bergegas mendirikan tenda, dan hup-hup tenda telah berdiri
kokoh. Ternyata disini hanya ada kami berdua di puncak. Dari puncak tampak
pemandangan kota batu yang tampak lumayan jauh, view-nya lumayan keren, tapi
tak lama setelah itu awan segera menutupi kami dan kami segera menuju ke tenda
untuk makan bekal makanan yang kami bawa dari bawah. Pada pendakian ini sengaja
kami tak membawa peralatan masak karena hanya berencana nge-camp satu malam.
Malamnya setelah puas
berbagi cerita dibawah asyiknya bintang-bintang Panderman dan gemerlap jauh
lampu kota Batu, kami tertidur pulas. Ada cerita unik disini, yakni saat aku
terbangun di malam hari ndak tau karena apa, dan kemudian aku yang segera
pingin tidur lagi tapi ndak bisa-bisa karena pikiranku sedang gontai mikirkan
Mifta. Kucoba makan buah apel bekal kami, kucoba bacai buku yang kubawa, masih
juga nihil. Pikiranku kalut, aku harus meditasi dengan olah pernafasan yang pernah
kupelajari. Dalam meditasi ini benar-benar tenang semua pikiran, kalutku ter-remuk
redam, mampus kau kalut! Namun tak berapa lama kemudian headlamp yang sudah
kuyakinkan sejak awal dalam posisi off, pada waktu itu nyala-nyala sendiri, dan
parahnya nyala dari headlampku ini adalah mode SOS, nyala yang hanya bisa
dipencet 3 kali pada tombol. Ini sungguh aneh, impossible… tak lama setelah itu terdengar seperti suara langkah
kaki diluar tenda, mondar-mandir disekitaran. Aku langsung aja tutupi badanku dalam
sleeping bag, wis ndak mau tau dengan
apa yang terjadi diluar sana. Mungkin kalian yang sudah mampir mbaca di paperku
sebelumnya tentang pendakianku Arjuno juga menjumpai pengalaman ganjilku yang
mirip tipis-tipis dengan Panderman. Percayalah, semua yang aku cerita dan tuliskan
adalah nyata, ndak pernah kutambah dan lebih-lebihkan, karena aku penulis yang
jujur dan terhormat (kalimat andalan Mr. Droogstoppel di novel Max Havelaar).
Iki ceritane When I was Your Man huhuhu hahaha...
Pagi hari esoknya,
setelah bangun kami segera keluar tenda untuk bercumbu dengan udara segar. Disini
lumayan dingin, tapi setidaknya tak sedingin gunung-gunung yang pernah kudaki
sebelumnya. Tampak gunung Arjuno dari utara jauh, juga masih di kota batu yang
tertutup awan tipis. Di puncak terdapat tugu yang dibangun oleh Arhanud, TNI
AU, juga prasasti yang berisi tulisan penunjuk ketinggian Panderman dalam
honocoroko jawa.
Ternyata ada pendaki
lain yang juga nge-camp, Ashe menyapa mereka saat mau ke semak-semak buat
kencing. Tenda mereka tersembunyi, sedikit agak kebawah dari sisi lain jalur
setapak menuju puncak. Rupanya mereka semalam telah mendengar gelak tawa kami
di tenda, tapi belum sempat menyapa kami karena sudah pewe berlindung dalam
tenda dari dingin udara gunung.
Di puncak Panderman
juga banyak dijumpai monyet. Hati-hati dengan monyet disini karena mereka nakal
dan suka nyuri makanan. Jangan pernah biarkan plastik, makanan atau apapun
keleleran diluar tenda karena mereka adalah pencuri yang lihai. Bahkan mereka
berhasil menyambar plastik tempat sampah kami terkumpul, dan langsung dibawanya
pergi menuju ke semak-semak. Maafkan kami Panderman, kami mengotorimu, ndak
berhasil bawa sampah kami ke bawah, maafkan kami huhuhu *emotnangis*
Demikian saja catatan
perjalanan dalam pendakianku kali ini, sepertinya makin hari aku ngrasa kualitas
tulisanku makin menurun ya, ada apa ini. Apa karena petualanganku makin ndak
menarik ya? Tapi yang jelas saat aku nulis tanpa disertai sedikit bumbu “niat
pamer” maka biasanya tulisanku hambarnya terasa. Dan dalam pendakianku ini,
sedikit sekali yang bisa kucerita dan pamerkan kepada kalian. Aku harus segera mintak
maaf ke diriku sendiri dan segera kembali memupuk passion menulisku kembali. Ahh ini apa ini? Aku mau nulis tentang
pendakian Pandermanku, jangan menulis curhatan sampah disini dasar makhluk
malang.
HHH, akhirnya selesai
juga paper ini, segera menuju paper selanjutnya untuk tulis dan postingkan tempat-tempat
juga foto-foto yang berhasil kukunjungi dan kupotret. Untuk kalian, silahkan
bermimpi gunung mana yang mau didaki, tempat mana yang mau dikunjungi, negeri
ini memanggil-manggil untuk dijamah dan dicumbui. Salam lestari, salam budaya,
SELAMANYA INDONESIA…
Baru kali ini ndaki gunung Menu makane Lalapan AYAM... WueNAAKKK..
BalasHapusItu sangu dari warung, buakakakakaka :D
BalasHapus