Tulisan perjalanan dalam paper kali ini
sedikit berbeda dari paper-paperku sebelumnya. Kali ini bukan ke puncak-puncak gunung
yang kuceritakan, tapi lebih ke tempat-tempat yang memiliki nilai budaya dan
historis. Bukan lagi pendakian, tapi Backpacker-an. Panderman adalah gunung
terakhir yang aku daki, sampai saat paper ini ditulis belum lagi ada satupun
gunung yang kudaki. Sedih? Memang. Bagaimana tak sedih, saat planning pendakian
telah direncanakan sering kali gagal. Satu lagi yang jadi masalah,
gunung-gunung menantang di Jawa Timur sudah sebagian besar kudaki, Semeru,
Arjuno, Argopuro, Lawu, paling tidak mereka berempat memiliki ketinggian diatas
3000 mdpl, hanya tinggal tersisa gunung Raung yang puncak Sejati-nya saat ini masih
menjadi My Ultimate Wildest Dream. Aku
belum bisa memimpikan boro-boro untuk mendaki Everest, ataupun Himalaya,
ataupun Kerinci, dan seven summit
Indonesia. Saat ini sedang fokus aja jelajahi gunung-gunung di Jawa Timur.
Raung, Butak, dan Penanggungan, setidaknya dua nama awal sangat mempompa
adrenalin-ku.
Awal November kemarin aku sudah berhasil
seminarkan proposal skripsiku. Aku nazar mendaki, untuk penyemangat agar segera
Sempro, dan gunung Butak adalah tujuan pendakianku. Saat sudah senang-senangnya
dan tanggal telah ditentukan, gear pendakian
telah disiapkan, ada kabar bahwa gunung Butak-Kawi dan sekitarnya kebakaran.
Benar saja, Butak yang hidung putri tidurnya terlihat dari atap kontrakanku
terlihat merona merah saat malam hari, menandakan ada api disana. Aku ndak
yakin, aku masih keukeuh dan masih mekso untuk pingin ndaki Butak. Esoknya
kudatangi pos perizinan Butak untuk memastikan pendakian lusa, dan benar saja,
pak penjaga pos tidak memperbolehkan kami mendaki, terlalu beresiko. Saat
ngobrol dengan pak penjaga pos, kami berjumpa dengan pendaki dari Kediri yang
baru turun dari ndaki Panderman, dan mereka hanya bisa ndaki sampai Latar Ombo.
Dan, oke… Pendakian Butak di batalkan, pendakian yang harusnya pada 10 november
dapat buatku dan tim pendakian bisa upacara memperingati hari pahlawan di bawah
persada merah putih langit Butak.
Gontai aku, hadiah apresiasi diri atas
keberhasilan seminar proposal gagal total, yahh mungkin karena Tuhan dan alam
belum mengizinkan mendaki aja. Sembari itu aku ndak pingin hadiahku hilang gitu
saja, otak ini ndak henti-henti mikirin kemana kemana kemana tempat yang asyik
buat dikunjungi. Browsing internet dan mbaca-mbaca akhirnya ada satu kalimat
yang nyentil, “Kapan terakhir kali main ke museum?” Dan aku ingat, di Blitar
ada museum legendaris yang juga begitu pingin kukunjungi, Museum bung Karno.
Jadilah destinasi pasti trip kali ini ke Blitar (kubaca mbelitar biar lidah
ndak keblundet). Ayo kita kemooonnn…
Sabtu pagi 8 November karena aku sudah
tak sabaran akhirnya berangkat duluan daripada Ashe, kami sudah janjian
malamnya akan bertemu di meeting poin alun-alun Blitar. dari kontrakanku. Untuk
menuju stasiun Arjosari harus naik angkot ADL dengan tarif Rp 4 ribu saja.
Waktu tempuh yang biasanya hanya 15 menit dengan motor menjadi berlipat dua
kali jadi 30 menit, maklum saja karena angkutan umum juga ngejar setoran dari
penumpang. Dari Arjosari ngambil langsung bus jurusan Blitar, Rp 15 ribu dengan
waktu tempuh 2 jam 30 menit kurang lebihnya. Harusnya aku turun di Bendogerit,
agar lebih dekat ke museum dan alun-alun Blitar, tapi ternyata kernet bus tak
menyebut Bendogerittapi entah aa aku lupa, akhirnya harus bablas sampai
terminal. Dari terminal harus ngojek ke alun-alun, 25rb, cara nguras isi
kantong yang ndak keren blasss. Tapi okelah, namanya juga pengalaman. Setelah
shalat di masjid Agung Blitar, aku jalan-jalan lumayan jauh lihat pemandangan
sekitar, kemudian balik lagi ke masjid istirahat sambil mbaca buku nunggu ashe.
Malamnya di alun-alun, kugunakan waktu
luang sesukaku. Beli kacang kedele dan duduk di tempat luas sambil ngamati
keadaan sabtu malam di alun-alun Blitar. Banyak orang disini, ada keluarga yang
meluangkan waktunya untuk main, anak-anak kecil yang beli jajanan,
pemuda-pemudi baik yang sama teman atau yang sama pacar (yang sama pacar
berarti malam mingguan), mereka semua menikmati liburnya, demikian juga dengan
aku yang duduk sendirian makan kacang kedele sama minum susu sambil
ketawa-ketawa sendiri lihati pasangan ABG naik becak-becakan warna-warni dengan
lagu di soundsystem becaknya
“Kuch-Kuch Hotahai”, assseeegk. Malam itu ndak tau kenapa, perasaanku begitu lepas
bebas. Aku sengaja lupakan skripsiku sejenak, aku juga sudah tak risau dengan
kepergian mifta, disana aku bayangkan waktu indah dulu sama dia bunga layuku, dan, demi Tuhan,
aku berdoa semoga dia selalu dalam senyum dan bahagia. Ah, begitu asyik menghabiskan
malam di kota yang belum kukenal, sendirian.
Tak terasa malam makin larut, kulihat
arlojiku menunjukkan pukul 21.13, dan ashe belum juga sampai. Kutelfon daritadi
tak ada jawaban. Sembari lanjutkan nyemil kacang kedeleku yang sengaja kubeli
banyak dari bapak penjual kaki tiga depan alun-alun tadi, aku sebisa-bisanya
nikmati malam. Beberapa saat kemudian, datang bapak-bapak paruh baya menyapaku.
Dia duduk disampingku, bertanya asal dan tujuanku ke Blitar, kujawab sambil
kutawari kacang kedele yang asik kucemil. Awalnya tak ada kecurigaan, hanya
waspada biasa (karena aku selalu waspada), tapibapak-bapak ini kemudian
memijitku, kaki betisku. Aku oke saja, sudah biasa mintak pijit junior-junior
(senior selalu menang) waktu datang ke latihan Pencak di kampungku, kakiku
memang sedikit kenyu karena berjalan sore tadi. lama-kelamaan bapak ini kok
mijitnya tambah ke paha, ehh ini orang ndak beres, MAHOOOO… langsung aja ku
tarik tangannya. Dia pamitan ke aku, mau jalan-jalan lagi. Tak berapa lama
kemudian balik lagi, bapak ini yang ngomongnya sendirian ternyata dari jauh
bersama gerombolan orang, mirip preman karena muka dan tampang mereka memang
mencurigakan. Langsung saja aku ancang-ancang tinggalkan tempat, bukannya
takut, cari aman aja huaaaa… Aku pindah ke tempat yang lebih terang, dan lebih
ramai. Waktu berlalu sampai aku nyaris ketiduran, tiba-tiba ada yang nendang
aku sambil ketawa-ketawa dari belakang, ternyata si ashe, dan si Azi juga ikut.
Weeee kadal, di tunggu dari tadi baru datang.
Santai sejenak di alun-alun Blitar,
sampai sepertinya kami adalah penghuni terakhir, lanjut kami jalan. Keluar
alun-alun langsung ngambil foto di depan Pendopo Agung Ronggo Hadinegoro,
kemudian jalan ke arah museum. Cari makan dulu, sambil tanya arah menuju museum
bung Karno, kemudian setelah makan kita lanjut. Perjalanan dari alun-alun
Blitar sampai Museum kalau pakai motor mungkin hanya butuh 15-20 menit, tapi
dengan kaki ceritanya beda, bisa sampai sejam lebih mamennnn. Malam itu kami
belum punya rencana akan tidur dimana, sampai kami melihat ada trotoar yang
letaknya tersembunyi karena tertutupi pagar jalan. Tidur di trotoar? No fuckin’ problem! Tas di buat bantal,
semua barang berharga diamankan, tali tas kutalikan ke badan. Hehhhh, semalam
jadi orang homeless…
Pagi-pagi sekali kami bangun, bukan
karena rajin, tapi karena hujan gerimis. Sudah pkl 05.00 lebih, kami masuk ke
museum, tapi ternyata buka pkl 07.30. Keluar lagi, cari pemandian diluar yang
memang banyak tersedia, bersih badan, kemudian Subuhan (kepagian yang
kesiangan). Setelah beres, kami balik ke museum lagi. Disini biarpun belum buka
resmi, tapi boleh jalan-jalan kelilingi area museum. Setelah nemukan mushala,
kami istirahat sejenak dan *jebrettttt* kami ketiduran, sampai siang sekitar
pkl 12.00-an. Meskipun agak telat, tak apalah, mari meng-explore museum Bung
Karno.
"If
you're 22 (iam 21 back then), physically fit, hungry to learn and be better, i
urge you to TRAVEL - as far and as widely as possible. Sleep on floors
if you have to...!" (Anthony Bourdain)
If traveling was free, you'd never see me again... But being narcist is a choice, being great is a must!
Tolong jangan salahkan atas kealayanku, ini aku kebosanan nunggu jam museum dibuka hahaha
Mitos yang beredar adalah lukisan ini memiliki
detak jantung seperti manusia, dan benar saja setelah diamati dengan seksama
dari samping seakan lukisannya berdenyut-denyut beraturan. Kami bertiga segera mendiskusikan fenomena
didepan mata kami ini, dan kesimpulan dari diskusi ini bermacam-macam. Aku
menyebut bung Karno memang sakti dan orang besar pada masanya, kemungkinan
untuk fenomena yang bersifat metafisis dan gaib seperti ini memang ada,
walaupun kuungkapkan juga disana frame lukisan dan manipulasi lubang fentilasi
sedikit mencurigakan untuk menghasilkan gelombang yang menyerupai detak
jantung. Ashe yang lebih logis dan paling matematis perhitungannya (termasuk dari
sisi keuangan hahaha) diantara kami mengatakan bahwa itu hanya murni faktor teknis,
tak ada yang mistis disana. Sementara Azi idem
dengan dua pendapat kami.
Kami kemudian lebih dalam meng-eksplore
museum bung Karno, didalam terdapat lukisan-lukisan perjalanan bung Karno baik
dalam negeri maupun di luar. Perjalanan di luar negeri lebih mencolok, karena
disana melibatkan banyak nama-nama besar yang akrab kita sama-sama dengar. Ada John
F. Kennedy, Pandit J. Nehru, Mao Zedong dll. Aku banyak mbaca buku (kebanyakan
revolusi kaum buruh, gerakan kiri dan Komunisme) terutama tertarik pada gerakan
Marhaenis yang sedikit nyerempet ke Komunsime ala bung Karno, juga buku-buku mengenai
sepak terjang beliau, memang bung Karno ini pada masanya masuk dalam jajaran
para pemimpin TOP dunia, apalagi kalau kita liat pidato-pidatonya, pantas benar
bapak proklamator kita ini nyandang julukan singa podium. Sayangnya di museum
ini samasekali tak kujumpai foto bung Karno bersama Che Guevarra dan Fidel
Castro (dua pentolan revolusioner Kuba yang begitu mengagumi ajaran dan kharisma
kepemimpinan bung Karno), padahal di buku banyak disebutkan kedekatan antar
para tokoh diatas. Sekedar selipan, kalian tau siapa Che Guevarra? Iya itu
orang yang siluetnya sering dijadikan pola kaos depan buat mahasiswa yang lagi
demonstrasi pada zaman dulu, dan sekarang sticker-nya
nempel di motor-motor atau angkot, padahal mereka ndak tau artinya. Ironis. Aku
ngenes litany. Walaupun dia bukan tokoh Indonesia, tapi perjuangannya wajib
dijadikan contoh. Apalagi puisi-puisi dan catatan hariannya, wihhh orang ini sebenarnya
benar-benar keren kalau kita mau mbaca dan ndalami catatan-catatannya.
Balik lagi ke isi museum, selain berbagai
foto mengenai sejarah bung Karno dan kehidupannya dulu, ada juga koper andalan
bung Karno, ada keris milik bung Karno juga miniature patung bung Karno dan
Garuda Pancasila. Ada perpustakaan yang berisi buku-buku tulisan bung Karno dan
penulis lain, aku sebenarnya ingin mampir ke perpustakaan, pingin mbaca buku
legenda yang banyak dibicarakan orang-orang, Dibawah Bendera Revolusi. Aku ada softfile-nya, tapi tulisan tangan latin
yang kaya cacing kremi, susah dibaca. Tapi kami tak sempat mampir ke
perpustakaan karena waktunya memang sudah mepet.
Setelah puas keliling isi museum, kami selanjutnya
sempatkan nyekar ke makam bung Karno. Banyak orang yang datang berkunjung dan
nyekar, karena benar saja hari itu minggu 9 November yang keesok harinya hari
pahlawan 10 November. Setelah khusyu’ kami mendoakan pemimpin Indonesia kita
yang pertama, kami segera meninggalkan makam. Jalan keluar untuk meninggalkan
kompleks museum dan makam bung Karno berupa pasar suvenir dengan jalan berkelok-kelok
dan sempit. Ada aneka macam suvenir yang dapat dijadikan buah tangan, ada kaos,
asbak, wayang, macam-macam.
Setelah makan siang kami bergegas
berjalan menuju destinasi bersejarah lain di Blitar, Istana Gebang. Jaraknya ndak
terlalu jauh, kalau dengan motor mungkin bisa ditempuh 15 menit, tapi dengan
jalan kaki lain ceritanya. Istana Gebang ini merupakan rumah yang dulunya
ditinggali bung Karno beserta keluarga besar. Berisi perabot-perabot rumah
tangga, kamar tidur dan foto-foto keluarga. Ada kemegahan tersendiri saat kami
memasuki rumah ini, serasa terbawa ke zaman dulu. Aroma jawa berpadu denan
nasionalisme teraduk kental dalam setiap sudut ruangan, bikin merinding takjub.
Disini aku jumpai satu foto bung Karno bersama Che Guevarra dan Fidel Castro,
tapi letaknya dibelakang rumah, dan dijadikan tempat parkir oleh petugas
setempat, wah-wah aku miris. Tapi tak apalah, bener-bener keren Istana Gebang…
Puas berkeliling, ngambil foto, dan menghirup
aroma “Tempo doeloe”, akhirnya kami harus pulang. Kami berjalan menuju
alun-alun Blitar, untuk kemudian ke stasiun yang berjarak sekitar 800 m dari
alun-alun. Karena tiket kereta ke Malang sold
out, yasudah kami putuskan naik bus menuju arah malang. Harus nunggu di pertigaan
apa aku lupa nama daerahnya, karena jauh dan sudah sore dan tak tau tempatnya,
kami akhirnya pilih mbecak. Dinaiki bertiga, kami press harga jadi Rp. 20.000
sampai tempat, hehe maaf ya pak…
Demikian saja catatan perjalanan ke
Blitar, tertarik untuk nyusul kesana? Hehe… Tapi memang kita ini harusnya
sesekali main ke Museum atau tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai
edukasi daripada main ke mall-mall atau ke bar ngabisin uang orang tua. Benar
apa kata Soe Hok Gie, Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan
slogan-slogan, mencintai yang sehat adalah dengan mengenal objeknya, dan
mencintai tanah air Indonesia dapat dtumbuhkan dengan mengenal Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat. Semoga tegerak, ayo ke museum… Dan satu lagi, yang
harusnya setiap hari, tapi di 10 November, selamat hari Pahlawan…