Sudah lama aku tak
mendaki, sedang hasrat untuk menjelajahi gunung-gunung negeri ini lebih jauh
lagi semakin tak terbendung, mirip seperti pecinta yang merindukan selirnya.
Kalau lama-lama dalam situasi ini, bisa-bisa aku jatuh sakit gegara rindu,
satu-satunya obat hanyalah dengan mendaki, oh tidak betapa lebaynya aku dalam
coretan ini.
Dengar…
dengar dengar engkaulah Edelweissku sayang sayang…
Manis…
manis manis engkaulah puncak Rengganis…
Itu cuplikan lirik lagunya
Tamasya band yang judul Edelweiss, sumpah aku sudah kepengen tahu semanis apa
puncak rengganis. Penasaran to the MAXXX!
Terhitung sejak 22
desember, aku sudah menyiapkan blueprint
pendakian. Sahabatku si Aris yang juga junior di organisasi sekaligus senior
dalam mendaki segera aku hubungi. Aku sudah lama ‘ada rasa’ dengan gunung
Argopuro, gunung yang selalu dia ceritakan dengan bangga ke aku. Dia cerita
banyak mengenai perjalanannya, medannya, flora fauna yang dijumpai selama
perjalanannya dulu, partner dan teman-teman mendakinya, keadaan desa sekitar
gunung, cerita ganjilnya selama masa pendakian disana, dan lain-lain yang ndak
mungkin aku tulis dalam cerita ini karena aku pingin nulis ceritaku sendiri dan
dia juga dengan ceritanya. Kali ini ada pergantian pemain dalam tim
pendakianku. Ashe dan mas Ial yang selalu temani aku dalam dua pendakian
sebelumnya ada jadwal lain, Ashe ke jogja sama teman-teman komisariat sedang
mas Ial ada acara lain yang bertumbukan dengan timeline pendakianku. Untung ada
Piteriya, teman kontrakanku yang juga ketularan virus mendaki. Aku segera suruh
Piter buat lengkapi keperluan mendaki, dan nawarkan ke teman-temannya
siapa-siapa yang pingin ndaki bareng kami. Akhirnya muncullah si Ardhi
Abdillah, teman sekelas Piter kuliah. Aku sudah kenal dengan Ardhi, kita biasa
futsal bareng, Ardhi ini biasa dipanggil ‘jack’.
Satu minggu kami
persiapkan keperluan mendaki, gear pendakian, keperluan logistik yang cukup,
juga cari informasi sana-sini tentang medan, akomodasi, biaya transportasi,
perizinan mendaki serta segala macamnya. Dari berbagai informasi yang kami cari
tahu disini kami jumpai bahwa Argopuro adalah gunung dengan track pendakian
terpanjang di Jawa, dan kami makin tak sabar. Satu minggu berlalu, di minggu 29
desember kami putuskan untuk tinggalkan peradaban sejenak menuju belantara
hutan Argopuro. Dimalam sebelum keberangkatan, bunda kirimi aku pesan, tapi maaf ya bun hehe.
Kami berangkat dari
kontrakanku dan Piter pukul 07.00, dari Dinoyo naik angkot ke terminal Arjosari
malang. Di Arjosari banyak yang tanyai kami mau ndaki kemana atau kesitu mas?
Kami jawab dengan muka agak songong ke Argopuro, apalagi ditunjang dengan
penampilan kami yang fantastis, tas carrier berat terisi penuh, muka sangar dan
yang lain, pokoknya kece. Dari terminal Arjosari kami cari bus menuju
Probolinggo, dikenai tarif sekitar 15rb-an dengan perjalanan 2 jam. Dijalan
keluar kota Malang kami disapa gunung Arjuno dari utara jauh. Aku sombong dan
nyeletuk “Kapan kalian kesana, hehe?” dan mereka jawab berintikan segera
setelah pendakian Argopuro. Temanku Piter dan jack ini baru ndaki gunung
Semeru, sedang aku Semeru dan Arjuno, ini berarti aku lebih senior dari mereka,
ya tho? Huahahaha congkaknya aku. Dan
ini berarti juga aku sebagai ketua regu tak resmi dari pendakian kali ini.
Sesampai di terminal Probolinggo kami cari bus jurusan Situbondo, dan nanti
harus turun di Besuki Situbondo, tak sampai ke terminal Situbondonya tapi.
Ambil gampangnya perjalanan satu jam ke Besuki tepatnya turun di alun-alun
kotanya dengan ongkos 12rb-an. Setelah itu kami disarankan mas Jerry (informan,
teman pendaki) nyarter angkot, tapi karena pada waktu itu kami hanya bertiga
dan bapak-bapak ojek segera mendatangi kami seperti burung gagak yang lagi liat
ulat, dan mereka kasih penawaran tumpangan sampai ke pos perizinan pendakian
hanya dengan 17rb-an saja, akhirnya kami oke saja. Dari alun-alun besuki menuju
kecamatan Sumber Malang naik ojek ditempuh dengan estimasi waktu 40 menit
dengan bonus boyok kumat dan jalan yang lobang-lobang. Gimana ndak boyok kumat,
motornya tukang ojek kecil, tas carrier berat kami bawa dipunggung, tapi kami
tak boleh manja. Untuk pemakaian jasa ojek tidak kami sarankan.
Pos perizinan pendakian
ini tepatnya berada di desa Baderan kecamatan Sumber Malang, Situbondo. Kami
sampai pukul 14.00 dan segera menemui penjaga pos. Aku lupa siapa nama
penjaganya, yang jelas orangnya ramah. Kami disarankan untuk menginap dulu di
pos peristirahatan buat para pendaki didepan pos izin yang juga rumah dari
penjaga pos. hari sudah sore dan bapaknya suruh kami untuk tidak meremehkan
Argopuro mengingat medannya yang panjang juga berat. Kami nurut saja, dan spare
waktu kami gunakan untuk beli makan di warung dekat pos perizinan. Saat kami
balik ternyata ada satu kelompok pendaki lain, berisikan 4 orang ada yang dari
Malang, Solo dan Sidoarjo. Kami ngobrol macam-macam, nyambung juga cerita
ini-itu. Mereka ini terlihat lebih veteran dari kami, terlihat dari peralatan
dan perbekalan yang lengkap, dan yang namanya mas Andi dalam kelompok ini
adalah pentolan YePe (Young Pioneer),
kelompok pecinta alam terkemuka di Malang. Ada cerita unik, kami disini
dikenalkan dengan budaya pedaki yang saling berbagi dan membantu sesama kawan.
Mereka punya sebungkus makanan yang dikira rendang, mereka buka ternyata
sambel. Akhirnya jadilah kami ditawari makan nasi dan sambel, thok. Lha namanya ditawari, udah
disuguhi ya harus dimakan. Aku seolah nanya sama nasi “kowe gelem tak pangan pora?” sumpah ancur abis hadeuhhh… Malamnya
aku dan mas andi ngurus perizinan, satu kelompok dikenakan charge Rp. 50rb. Satu kelompok disini berarti berisikan 2 atau
lebih orang, jadi walaupun isinya 20 orang tetap 50rb.
Pagi hari, di Senin 30
desember 2013, kami memulai perjalanan pertama kami menuju puncak Argopuro.
Kami memutuskan untuk berangkat duluan karena kalau bareng sama kelompok mas
andi yang masih tidur pasti nanti kami nyusahkan dan jadi penyebab lemotnya
pendakian mereka. Setelah beli makan di warung buat bekal, kami pamit ke bapak
penjaga pos. Di warung kami ketemu dengan tukang ojek yang nawarkan ojek sampai
Cikasur. Kami bertanya-tanya apa benar motor bisa masuk gunung? Kami tanya
bapak penjaga pos ternyata mereka oknum penduduk sekitar yang manfaatkan
panjang track Argopuro untuk pendaki-pendaki manja. Lha kami ndak manja, lantas
apa gunanya juga kami jauh-jauh niat ndaki lhadalah
kok ngojek. Setelah itu bapak penjaga pos meminta foto kami bertiga sebagai
kenang-kenangan telah mampir ke Argopuro. Dan tepat pukul 07.00, waktunya kami
berangkat mendaki, ayo kita kemon!
Sasaran kami di hari
pertama pendakian ini adalah sampai di pos Cikasur. Perjalanan awal kami 30
menit tanpa istirahat, melewati perumahan penduduk kemudian persawahan. Kami
disapa petani-petani padi yang sedang asyik bercengkrama, mereka ramah.
Perjalanan terus berlanjut, mulai memasuki rimbunan hutan, makin lama makin
rimbun. Kontur tanah pendakian awal ini menanjak sedang, dominan tanah dan
sedikit licin. Track pendakian sudah rusak berbekas ban motor karena sering
dimasuki motor trail ojek sehingga sulit untuk berjalan agak normal. Singkat
cerita kami sampai di pos mata air I sekitar pukul 13.00, 6 jam perjalanan dari
pos perizinan. Disini kami makan bekal nasi bontot dari warung pagi tadi, dan
mengisi air di botol. Kami juga bertemu dengan pendaki lain yang pakai jasa
ojek gunung. Setelah itu kami pamit ke mereka, melanjutkan perjalanan kembali.
Semakin jauh dan hari semakin sore, dilangit juga terlihat sedang mendung.
Hampir 2 jam perjalanan kami menunggu sampai di pos selanjutnya yakni Mata air
II. Tapi tak lama setelah itu hujan turun deras. Kami kelabakan, sedang dalam
timku hanya aku yang bawa mantel, aku juga kaget bagaimana bisa mereka tak bawa
mantel sedang sebelumnya sudah aku peringatkan dan checklist perlengkapan. Tapi
mantelpun kurasa tak cukup, hujannya bukan hujan sembarangan, hujan berangin
kencang dan badai. Tapi benar-benar untung kami karena tak jauh dari tempat
kami terdapat tempat yang cukup lapang. Kami segera mengeluarkan tenda, dan
membangunnya secepat kilat, hap hap. Barang-barang segera kami masukkan, dan
kami neduh sejenak di tenda sambil tak percaya diluar sedang badai-badainya. Dalam
badai kami berpikir apa yang harus dilakukan. Dalam tenda sudah basah kena
hujan, dan badai tak juga kunjung reda. Akhirnya diputuskan bahwa kami harus
nginap di pos mata air II. Kami sungguh melalui malam yang berat disini.
Dipagi harinya kami
bangun dan aku melihat arloji, ternyata sudah menunjukkan pukul 07.15, sedang
diluar masih terdengar dengan jelas angin gemuruh. Aku tengok keluar tenda,
ternyata masih badai, dengan volume hujan yang sudah berkurang. Sialnya, disini
sangat dingin. Kalau kelamaan disini kami tak berdaya, kami segera memutuskan
untuk move on dan kembali berjalan. Semua perlengkapan telah kami kemasi rapi,
carrier sudah melekat dipunggung. Dengan hujan yang masih gerimis, tujuan kami
didepan adalah alun-alun kecil. Dibuku panduan ditunjukkan bahwa jarak dari pos
mata air II menuju alun-alun kecil sekitar 1 jam 45 menit perjalanan. Kami
lanjut berjalan, tapi tak kurang dari 30 menit kami sudah sampai di padang rumput
lapang dengan pemandangan lumayan indah, lho ini alun-alun kecil, kami
terkaget-kaget senang karena waktu tempuh yang singkat, mungkin karena
kesalahan estimasi dibuku, sudahlah kami tak pikir panjang. Setelah puas
istirahat sejenak, lanjut lagi kami dalam syahdu perjalanan menyisiri jalur
pendakian Argopuro. Masuk rerimbunan hutan lagi, menuju medan didepan yakni
alun-alun besar. Setelah 1 jam berjalan akhirnya sampai juga kami di alun-alun
besar. Hampir sama dengan alun-alun kecil berupa padang rumput namun lebih
luas, lebih indah, dan lebih berkabut. Kami istirahat lagi.
Kami kembali membuka
perbekalan di tas carrier, nyemil roti tawar yang dikasih susu coklat, dan
minum susu kotak. Disini kami buka kembali buku pedoman pendakian, medan
selanjutnya didepan adalah Cikasur, target kita pendakian hari pertama.
Estimasi perjalanan 2 jam kami sampai di Cikasur. Di Cikasur ini viewnya luar
biasa keren. Ada sungai cikasur yang dangkal disana dengan airnya luar biasa
jernih dan juga ditumbuhi oleh selada air. Kami nyebrang sungai, langsung minum
air disana. Demi Tuhan ini air paling segar kedua setelah air zam-zam yang
pernah aku minum, aku ndak bohong. Di pos cikasur ini ada bangunan reot,
didepannya ada padang rumput yang luaaassss tapi rata tanahnya. Di buku pedoman
konon ceritanya ini bekas landasan pesawat zaman jepang. Disini juga terdapat
bangunan tua yang diduga adalah bangunan eksekusi. Benar-benar lestari,
udaranya sejuk dan mata kami benar-benar disuguhi panorama alam yang luar
biasa. Ada ayam hutan yang juga menyapa kami. Kami masak makanan disini, menu
makan kami adalah nasi mie campur sarden ditambah sayur selada air yang diambil
dari sungai Cikasur tadi. Mantabs!
Setelah puas
beristirahat lagi kami kemasi barang-barang dan segera bergerak. Target selanjutnya
adalah menjumpai Cisentor, pos didepan kami yang juga destinasi final kami di
hari ke-2. Perjalanan dari Cikasur ke Cisentor cenderung fluktuatif, terkadang
kami dihadapkan dengan medan yang cukup curam, terkadang biasa saja dan landai,
ada juga kalanya bermedan bonus (turunan). Kami melewati hutan-hutan yang
rimbun, juga padang rumput yang sesekali ditumbuhi bunga bermekaran. Pada saat
perjalanan ini kami menjumpai dua ekor burung merak yang sayap ekornya sedang
mekar-mekarnya. Tak seperti di kebun binatang, mereka sangat gesit, sesegera
setelah melihat kami mereka lari ke rerimbunan semak. Kita benar-benar
beruntung. Setelah berjam-jam perjalanan, 3 jam estimasi kalo kami tak salah
hitung, kami sampai di pos Cisentor. Sebelumnya kami harus menyebrangi sungai
yang juga dangkal. Pada saat kami coba cicipi airnya ternyata kurang sedap,
pendaki lain kasih tau kami kalau air di Cisentor sedikit berbau belerang.
Cukup berbincangnya dan kami segera mendirikan tenda.
Malamnya kami
berbincang dengan mas Albert, tetangga tenda sebelah. Mas Albert ini tadinya
berdua dengan partnernya, tapi karena ada acara mendadak si partner off duluan
dari gunung. Karena kami tawari, karena logistik masnya juga banyak, jadilah
mas Albert gabung dalam tim ndaki kami, ini namanya simbiosis mutualisme, hehe.
Waktu sampai di pos Cisentor ini kami lupa karena saking lelahnya kalau sedang
hari selasa tertanggal 31 Desember, berarti malam nanti malam pergantian tahun.
Mas Albert mengajak kami pesta barbeque, tapi ternyata karena hujan dan
benar-benar dingin diselimuti kabut, akhirnya kami tidur saja.
“Halo, selamat pagi,
selamat tahun baru…”, ini yang pagi harinya saling kami ucapkan ke tetangga
sebelah tenda kami, kami berbincang ramah dan guyonan, benar-benar toss. 1
desember 2014 bersama dengan teman-teman baru dan kami bersiap menyerang puncak
Argopuro, awal tahun yang FUCKIN’ COOL!! Setelah
menyiapkan sarapan dan bikin kopi, kami sruput, dan kemasi barang seperlunya
untuk summit attack. Kami bawa satu tas carrier kecil yang dibawa Piter. Saat
itu aku ngomong “Le, bawao sentermu yang kecil”, Piter nyaut “gawe apa le, iki lo padhang”, aku “Udah
bawa aja buat jaga-jaga, perasaanku rada
was-was”. Jason Statham dalam film The Mechanic yang selalu ngajari aku, "Victory loves preparation!"
Perjalanan kami mulai
dari Cisentor bareng dengan pendaki lain yang nge-camp disini semalam. Total
ada 18 orang. Dari Cisentor kami menuju ke rawa embik, sekitar 1 jam 30 menit.
Sepanjang perjalanan banyak dijumpai bunga Edelweiss, tapi juga ada satu rumput
yang cukup aneh. Harusnya ini bukan disebut rumput, karena bentuknya yang
besar. Punya batang dan daun lebar yang keseluruhannya ditutupi duri, penduduk
sekitar nyebutnya suket jancuk’an, atau
rumput jancuk. Duri ini kalau nyangkut di tubuh sakitnya minta ampun. Pendaki
disini sering ngingatkan pendaki lain dengan “AWAS JANCUK!!!”
Sampai kami di rawa
embik, berupa hamparan rumput yang juga luas namun bedanya disini memiliki
kontur tanah yang naik turun dan bergelombang. Teman kami ada yang nemukan satu
bulu dari burung merak, masih bagus. Argopuro dikenal dengan gunung habitat
berbagai satwa liar tinggal, dan bahkan konon di hutan Argopuro kalau beruntung
pendaki bisa berpapasan dengan harimau jawa, harimau yang kabarnya telah punah
itu. Dinamakan rawa embik juga diambil dari bahasa Madura yang berarti rawanya
para kambing. Di Argopuro ini benar-benar gunung yang menyimpan berbagai
rahasia sejarah zaman dulu, mulai dari zaman jepang, penjajahan belanda hingga
zaman kerajaan. Rawa embik ini berdasarkan informasi yang ditukar dari pendaki
lain dan juga dari buku pedoman yang kami bawa dulunya adalah tempat abdi
kerajaan menggembalakan kambing-kambing dari dewi Rengganis. Siapa dewi
Rengganis? Adalah seorang ratu elok dan anggun istri dari raja Majapahit (entah
keberapa) yang diasingkan oleh raja karena raja bermimpi dewi Rengganis akan
duduk tahta. Raja yang ndak rela tahtanya diambil, walaupun masih dalam sebatas
mimpi, akhirnya mengasingkan dewi Rengganis istri yang dicintai. Dan kenapa
dinamakan Argopuro karena dulunya merupakan sebuah kerajaan, diambil dari suku
kata Arged (gunung) dan pura
(pura atau tempat sembahyang) yang secara harfiah berarti istana, kastil,
atau kerajaan, yang dibangunkan raja khusus untuk dewi Rengganis agar betah
dalam masa pembuangannya. Itu sekelumit sejarah yang cukup kita tahu saja,
lanjut ke pokok tulisan.
Kemudian dari rawa
embik perjalanan menuju persimpangan antara puncak Argopuro dan puncak
Rengganis yakni 1 jam. Ada dua puncak, pertama kita memutuskan untuk ndaki
Argopuro dulu, sedang kelompok kawanan lain memilih Puncak Renggganis dan
sebaian lagi ingin bersantai. Dari sini kami terpencar. Dari persimpangan
sampai di puncak Argopuro memakan waktu 1 jam 30 menit. Medan summit semuanya
berbatu terjal, dengan pohon-pohon besar yang tumbuh rindang. Akhirnya kami
sampai juga dipuncak, dari kejauhan sudah terlihat ada bendera merah-putih.
Puji Tuhan kami sampai di puncaknya. Teman-temanku meluapkan kegembiraannya
dengan berfoto dan bikin video, tapi aku tetap dengan habitat lama, ciumi
bendera merah-putih sesegera setelah sampai di puncak. Kuciumi syahdu benderaku
ini, aku cintai negeriku sedalam-dalamnya. Kami berfoto kegirangan, ngobrol
sana-sini, akhirnya serbuan puncak berhasil setelah 3 hari berjalan. Puas
cumbui puncak, kami bergerak pada jalan yang terhubung, ternyata ada puncak
lain disana. Benar saja Argopuro gunung sejarah, disini banyak kami jumpai
stupa dan pahatan-pahatan dari batu berbentuk patung, sungguh sebuah seni.
Disini kami berjumpa dengan rombongan lain dari sisi lain bukit. Kami pamit ke
mereka, kami pengen segera liat puncak rengganis.
Kelompokku turun lewat
track yang barusan dilalui oleh kelompok pendaki lain. Kami tidak tau tahu
bahwa track ini menyesatkan. Pertama kami menyapa oleh sumber mata air, yang
airnya ngalir dari puncak. Setelah lama turun hampir satu jam turun dan kami
tak menjumpai sedikitpun tanda-tanda persimpangan menuju puncak Rengganis,
akhirnya kami sadar ini jalur lain dari Bremi, aku sempat membacanya dibuku.
Benar-benar letih fisik kami bahkan untuk sekedar menyadari bahwasannya sedang
tersesat dan satu-satunya jalan ya kembali susuri track kami turun tadi. Kalau
diambil itungan turun makan waktu satu jam, naik ke puncak Argopuro bisa makan
waktu 2 sampai 3 jam, itupun kalau cuacanya mendukung. Untung saja hanya hujan
gerimis, kami struggling till death to
the top lagi, ketemu sama mata air lagi, sampai dipuncak Argopuro lagi.
Rehat sejenak, timku kemudian bergegas turun lewat jalur awal. Saat turun ini
kaki temanku si jack kepleset dan cidera, namun tak parah. Satu yang harus
diingat saat mendaki adalah semua kesadaran tak boleh lengah, tetap focus walau
dalam kondisi apapun, ini yang aku ingatkan ke teman-temanku. Tapi emang
dasarnya kecelakaan kan. Sampai di persimpangan puncak Rengganis, aku tau jack
tak bisa melanjutkan pendakian dengan keadaan kakinya, piter memang kuat tapi
dia tak mungkin tinggalkan jack, sedang aku? Demi Tuhan sudah semenjak aku
kenal lagunya Tamasya band aku sudah ngincar puncak Rengganis sebagai salaha
satu destinasi wajib yang harus aku kunjungi sebelum mati. Waktu itu hari sudah
sore menjelang senja, waktu kami habis saat tersesat tadi. Aku pasrah, wajahku
tenggelam sendu, mungkin Piter tau bagaimana sedihnya aku saat dia pura-pura
tak tau apa-apa sewaktu memergoki aku yang sedang ngusap air mataku dan
tertinggal jauh di belakang dari tim. Rasanya seperti meninggalkan sebuah mimpi
yang ada dalam genggaman, tapi sudahlah namanya juga hidup.
Kami menyusuri hutan
rimba lagi untuk kembali ke tenda, ternyata hari sudah gelap, untung kami bawa
senter biarpun satu. Kami jalan setengah ngebut. Sewaktu sampai di tenda
ternyata mas Albert ngira kami sedang tidur di tenda ternyata kami ilang. Malamku
di satu desember membiarkanku merasa kemenangan sekaligus kekalahan dalam satu
waktu. Sudahlah, setelah buat makan malam kami langsung tidur.
Hari ke-4 pendakian,
pagi hari setelah buat sarapan kami berkemas, bersiap tinggalkan Cisentor dan
pulang lewat jalur Bremi, Probolinggo. Setelah perjalanan sekitar 2 jam kami
sampai di Aing Kenik, yang berupa sungai kecil yang airnya ngalir deras, airnya
jernih juga segar. Setelah mampir sebentar kami lanjut berjalan. Pukul 13.00
kami ngaso sejenak, disini mas Albert menunjukkan kebolehan skill memasaknya.
Menu makan siang kita nasi, rendang, telor dadar, super mewah. Ternyata benar
saja, masakan mas Albert ini luarbiasa nikmat, ini jadi makanan terenak yang
pernah aku makan digunung sampai saat ini, bahkan setelah aku ndaki lawu dan
Panderman yang akan kuceritakan di paper selanjutnya. Setelhah makan dan lanjut
perjalanan, pos yang menanti kami didepan adalah Taman Hidup. Kami sampai di
taman hidup pukul 18.00, sudah petang kala itu. Maunya langsung lanjut sampai
ke Bremi, tapi setelah aku diskusi dengan mas Albert dan dapat kabar dari
pendaki lain bahwa baru hari itu siang tadi pohon besar tumbang dan nutupi
jalan, akhirnya diputuskanlah kami nginap semalam di taman hidup.
Taman hidup ini berupa
danau yang asri, ada sebuah dermaga namun telah rusak. Di Taman hidup kami
berjumpa dengan banyak pendaki yang bersahabat, kami ngobrol banyak. Sempat
pada malam hari waktu dingin-dinginnya, aku dan teman-teman ditawari sebotol
‘minuman’ oleh pendaki lain, sumpah pada waktu itu imanku sudah mau runtuh,
pingin juga nyobain minuman buat pertama kali kan biar ndak cupu. Waktu itu
kalau tidak gegara aku pakai seragam pdh HMI, pasti udah aku sikat. Piter manut
aku, aku minum dia minum, si jack udah minum daritadi dia hahaha. Biarin,
prinsip cowo beda-beda kan.
Pagi hari di pendakian
hari ke-5, kami sudah bangun. Aku piter dan jack sudah di halaman danau,
melihat view yang,
ternyata-keren-tingkat-dewa-kalau-dilihat-pakai-mata-kepala-sendiri dan
subhanallah, taman hidup luar biasa seksi bagi kami. Kami ngambil air lalu
masak sarapan. Pas ngambil air di dermaga rusak ini sensasinya kaya di film
Anaconda, sumpah hening dan aku bayangin gimana nanti kalau ada Anaconda muncul
dari bawah, mati aku. Aku cepat-cepat balik ke tenda, bikin sarapan dan santai
sejenak baru kemas-kemas. Perjalanan hari terakhir ini target kami sampai di
Bremi dengan selamat sebelum senja nanti.
Jalur dari taman hidup
menuju Bremi ini adalah jalur ekstrim, jalannya curam dan basah, namanya juga
hutan basah, juga banyak pohon-pohon yang akarnya keluar di jalan. Banyak
terdapat lintah atau pacet juga disini, jadi kami sarankan untuk berhati-hati
saat istirahat, karena keadaan hutan benar-benar lembab dan basah, habitat
utama dari lintah. Di hutan basah ini kami beserta mas Albert benar-benar
belajar survive, benar-benar ‘struggle’. Memakan waktu nyaris satu harian untuk
sampai di pos perizinan Bremi, namun target terpenuhi sebelum senja. Pas ingin
foto di tulisan memasuki taman hidup, camera digitalku tiba-tiba rusak
memorinya, aku takut foto-foto kita selama 5 hari di hutan hilang. Tapi
sudahlah, aku pingin makan sore dengan layak di warungnya bu Riris, warung
kenalannya si Aris yang diceritakannya ke aku kalau mau makan. Bu gendut, kami
memanggilnya, orangnya benar-benar super duper ramahdan sumeh. Karena aku kenalannya si aris maka aku dan timku dapat makan
porsi kuli dari ibuknya, ditambah lagi makanan ini juga ditraktir sama mas
Albert. Sembari makan, teman-teman rombongan kami di hutan tadi datang satu
persatu. Kami mandi di pos, bersih badan, sembari nunggu angkot yang
dicarterkan pak penjaga buat kami para pendaki.
Bremi ini sebuah desa, kaki
gunung Argopuro, tepatnya dusun Krucil, Probolinggo. Jalan pulang yang harus
kami tempuh adalah dari Bremi, menuju jalan besar kota naik angkot carteran 1
jam perjalanan dengan jalanan yang kurag lebih naik turun, biasa dikenakan
tarif 200rb sekali carter, dibagi dengan pendaki-pendaki lain. Setelah itu dari
jalan besar kota naik bus menuju terminal kota Probolinggo untuk kemudian naik
bus jurusan Arjosari Malang. Kami berpisah dengan mas Albert disini, dia
ngambil langsung Surabaya sedang kami Malang. Selamat jalan partner…
Saat di bus aku dan
teman-teman ndak dapat tempat duduk, carrier kami kami taruh di bagasi bus yang
udah dipandu sama kernet. Padahal waktu itu kami naik bus malam pukul sekitar
23.00. Badanku waktu itu rasanya udah kaya mau copot, sampai aku ngomong ke orang-orang
pamitan duduk dijalanan lorong bus, ndak
ngurus wis hehe. Sesampai di terminal Arjosari, angkot sudah ndak ada,
untung masih tersisa ojek. Waktu itu si Jack ngajak naik taksi, tapi sumpah aku
ndak mau-mau bener, kutolak dengan keras. Aku sedang galau gegara takut
foto-foto di camdig hilang semua. Aku pingin jalan kaki, Arjosari-kontrakan.
Sedang temanku si Piter awalnya mau temeni aku, tapi kusuruh dia temani si
Jack. Jadilah kita berpisah, dan aku memulai jalanku kaki Arjosari kontrakan.
Di jalan aku ketemu tukang ojek yang baik hati, nawari aku pulang ke kontrakan
Dinoyo gratis tanpa bayar karena mungkin kasihan dengan aku yang kummel dan
lusuh. Kutolak dengan halus, sambil lari-lari kecil kabur dari kejaran si
tukang ojek baik hati. Aku sudah sering jalan kaki Arjosari-Dinoyo, karena hobi
juga jalan. Malam-malam ternyata keren, tapi jauh juga. Sesampai di jembatan
Suhat aku sempat bercengkrama ngobrol dengan dua anak punk rock gitu deh apalah
sebutannya. Mereka pinjam korek, aku keluarkan korek apiku. Kalau lagunya Tamasya band ada lirik yang ngomong "Kurang apalagi bila laki-laki, ditangannya sudah ada korek api" hehehe. Nah pas di jembatan
suhat ini aku kebelet kena panggilan alam, akhirnya jadilah kutelpon Piter
untuk jemput aku dan sampai di kontrakan sumpah kami bertiga langsung tidur
total.
Walaupun pada akhirnya
kami tak bisa mengunjungi puncak Rengganis tapi kami cukup puas, bukankah kami
keren? Kalian yang kurang cintai negeri ini aku mintak tolong, segera kunjungi
Argopuro, segera nyusul ya hehe. We did
conquer it, java’s mt. longest track were within our grasp. SALAM LESTARI…