Senin, 24 April 2017

Takwa: Identitas Kesalehan



“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku...”
(QS. Ad-Dariyat: 56)

Ayat yang hampir sudah kita hafal diluar kepala. Namun sayangnya, pengabdian pada Allah seringkali dipahami hanya berkutat pada masalah ritual yang tak jauh dari persoalan aktivitas lahir dan ibadah. Sehingga saat ditanyakan, “siapakah muslim yang saleh?” atau “siapakah orang yang alim?” masyarakat pada umumnya akan menjawab “ialah yang rajin shalat, puasanya tekun, zakatnya lancar, ngajinya fasih, sering tampak di masjid dan aktivitas ibadah lainnya”.
Kesadaran lama itulah yang menjadikan Islam hanya menjadi kulit yang tidak dapat membangun kepribadian manusia. Syariat yang dianggap masih menjadi tujuan dalam beragama mengakibatkan adanya nafsu yang lebih mementingkan, atau terobsesi meraih pahala sebesar-besarnya.
Padahal Tuhan tidak menciptakan manusia untuk diajak transaksi jual-beli. Kita beribadah kepada Allah dan akhirnya memperoleh laba (pahala). Nantinya jika laba kita ternyata lebih banyak dari hutang, kita akan masuk surga. Islam diturunkan bukan untuk tujuan sesederhana dan ‘serendah’ itu. Kurang apa Allah memberi nikmat pada kita? Coba kita hitung satu-persatu kalau mampu mengkalkulasinya. Islam diturunkan tidak lain demi kesejahteraan manusia. Agama diperuntukkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Untuk memperbaiki kepribadian individu maupun masyarakat dengan syariat sebagai jalannya, al-Qur’an dan Hadist sebagai peta, dan Allah yang maha kuasa sebagai sutradara penentu segala. Ritual ibadah sesungguhnya ‘hanyalah’ cara unuk mencapai suatu kepribadian tertentu.
Lalu bagaimana menentukan saleh tidaknya seseorang? Tidak lain adalah tingkat takwanya kepada Allah. Islam sejak lama mengajarkan satu ajaran luhur , bahwa kemuliaan manusia bukan dilihat dari hartanya, tinggi rendah derajat manusia bukan dari pangkat, popularitas, prestasi akademis, deret gelar, atau dari eloknya paras, demi Allah bukan. Derajat disisi Allah ditentukan oleh kadar ketakwaan kita pada-Nya.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal...”
(QS. Al-Hujarat : 13)

Takwa? Takwa adalah mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagian ulama adapula yang dengan cerdik menerjemahkan takwa melalui huruf-huruf penyusunnya: ta’, qaf, wawu.
Ta’ adalah Tawadhu’. Seorang yang bertakwa akan rendah hati dihadapan siapapun. Ia merasa bahwa diri hanyalah makhluk kecil yang tak pantas sombong didepan siapapun, tak mudah meremehkan orang lain.
Qaf adalah Qana’ah. Orang yang bertakwa selalu menerima karunia Allah dengan penerimaan yang tulus. Tak gusar saat rezeki sempit. Tak sombong saat rezeki Allah datang berlimpah. Cukup saat diberi sedikit, bersikap wajar saat diberi banyak. Ketika diberi lebih ia bersyukur.
Wawu adalah Wara’. Artinya sikap waspada terhadap segala hal selain Allah. Menjauhi sikap berlebih-lebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi lainnya.

Hasan al Bashri menggambarkan dengan kalimat indah tentang sifat orang yang telah mencapai derajat takwa:
Anda akan menjumpai orang yang mencapai tingkat takwa yakni teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijak, tampak wibawanya didepan umum, jelas syukurnya dikala beruntung, menonjol qana’ahnya dalam pembagian rezeki, senantiasa rapi walau miskin, selalu cermat, tidak boros walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak berjalan membawa fitnah, disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasi serta terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan hak dan tidak menahan haak orang lain, apabila ditegur ia menyesal, jika bersalah ia istighfar. Kalau dimaki ia tersenyum sambil berkata, “jika mungkin ini benar, aku bermohon segera Allah mengampuniku. Jika makian ini salah, aku bermohon semoga Allah mengampunimu...”

Berjamaah menuju kebaikan, semoga bermanfaat.

Disadur dari:
Ahmad Rifa’i R., “Me+God=Enough” bab Wong kang Sholeh Kumpulana. Hlm: 103-108

Makasih bukunya, dekk :)

Sabtu, 21 Januari 2017

Runaway Trip to Jogja



Ada nuansa berbeda dari perjalanan kali ini. Berbeda dengan perjalanan main sebelum-sebelumnya yang selalu bersama teman atau mungkin solo travelan, kali ini tamasya dengan partner kerja di kantor. Ini pertama kalinya, dan tujuan perjalanan kami adalah kota Jogja. 
Kami berangkat pada sabtu pagi, 17 September 2016. Titik kumpulnya adalah kantor. Sebenarnya ini adalah “runaway trip”, kami sebut demikian karena memang tujuan dari trip ini untuk melarikan diri sejenak dari tugas pekerjaan kantor yang begitu bikin penat waktu itu, peserta trip pun juga terbatas pada orang-orang kantor yang dianggap “asyik” baik dalam hubungan pekerjaan maupun diluar kerja. Dipimpin oleh pak Wahyudi yang lebih akrab disapa lek di, dan beranggotakan pak Arshal, pak Haris, pak Tri, pak Arif, pak Dicky, pak Wimmar, mba Anjar, mba Yanu, mbah dewo, mas Gendon, dan dari geng notaris rekanan pak Ismu diwakili mas Ali dan mas Arum. Pagi hari pkl. 05.00 kami berangkaaaaaaattt...




Foto dijepret pkl 12.51 di kota Klaten. Sepertinya ini soto tersedap yang pernah kucicipi, nuwendanggggg...



Singkat cerita sekitar pkl. 15 kami sampai di daerah Gunung Kidul untuk menikmati salah satu elok pantainya. Langsung ke penampakannya aja ya wakaka

 
Mba Anjar

Capturing mr. Arif Sugiharto
Pak Arshal
Pak Haris Syukron

Mas Arum dan Mas Ali-ando
Lek di and Mr. Arif Sugiharto having a good time
Mr. Dicky Zulfiqhar

Pak Tri
 

Like a Boyband wakaka
 
 

fotografer huandal iki haha

 
 
  

Malamnya kami langsung menuju Malioboro, suasana kota Jogja memang istimewa, memang benar-benar bukan isapan jempol, tiap sudut kotanya romantisssss!! 
Nol kilometer kota Jogja, BNI kantor wilayah Jogja
Kami bermalam di salah satu hotel yang sifatnya mirip dorm, sepertinya hotel ini memang ditujukan buat para pengunjung, turis dan atau backpacker. Pagi harinya mumpung benar-benar di Jogja, dan karena ndak ada yang bangun yawis aku jalan-jalan sendiri. Izin dulu sama lek di, terus langsung berangkaaattt. Jalanan kota Jogja di minggu pagi yang masih lengang benar-benar menyenangkan. Sampailah di Benteng Vredeburg yang saat ini difungsikan sebagai museum. Karena waktu itu masih teramat pagi dan belum dibuka untuk kunjungan, jadilah dicukupkan foto didepan benteng saja. Kemudian duduk nyantai di salah satu teras rotoar Keraton Kesultanan Yogyakarta, sungguh terasa rindang dan teduh, juga terasa benar keagungan sejarah masa lampau. Keraton kesultanan terletak tepat didepan benteng Vredeburg yang berdiri hampir bebarengan dengan masa awal kesultanan Sultan Hamengkubuwono I (1760). Oiya benteng Vredeburg menurut informasi yang kudapat dulunya dikampanyekan Belanda sebagai “Benteng Perdamaian”, padahal berjarak hanya sepertembakan meriam saja dari Keraton Sultan yang terletak tepat didepannya. Dan muwaaaaasih banyak lagi bangunan asyik dan bersejarah disekelilingnya. Jogja Jogjaaaa, so majestic! 
Work until you can have a view like this!
Karena takut ketinggalan bus, setelahnya aku langsung balik ke hotel. Namun tergoda juga buat nikmati makan pagi bernuansa Jogja, angkringan. Awwenaaaak suasananya, juga sambil berbincang banyak hal dengan mbok-mbok penjual. Menunya sega (nasi) kucing+gorengan dan teh anget, nikmat Tuhan yang sederhana tapi sungguh bisa menggetarkan hatiiiiiiii...

 
 
 
 
 



Demikian saja sih, singkatnya pingin segera balik lagi ke Jogja. Kunjungan selanjutnya insyaAllah akan bareng isteri dan keluarga hehe, aminnnn ya Rabb...