Sabtu, 21 Januari 2017

Runaway Trip to Jogja



Ada nuansa berbeda dari perjalanan kali ini. Berbeda dengan perjalanan main sebelum-sebelumnya yang selalu bersama teman atau mungkin solo travelan, kali ini tamasya dengan partner kerja di kantor. Ini pertama kalinya, dan tujuan perjalanan kami adalah kota Jogja. 
Kami berangkat pada sabtu pagi, 17 September 2016. Titik kumpulnya adalah kantor. Sebenarnya ini adalah “runaway trip”, kami sebut demikian karena memang tujuan dari trip ini untuk melarikan diri sejenak dari tugas pekerjaan kantor yang begitu bikin penat waktu itu, peserta trip pun juga terbatas pada orang-orang kantor yang dianggap “asyik” baik dalam hubungan pekerjaan maupun diluar kerja. Dipimpin oleh pak Wahyudi yang lebih akrab disapa lek di, dan beranggotakan pak Arshal, pak Haris, pak Tri, pak Arif, pak Dicky, pak Wimmar, mba Anjar, mba Yanu, mbah dewo, mas Gendon, dan dari geng notaris rekanan pak Ismu diwakili mas Ali dan mas Arum. Pagi hari pkl. 05.00 kami berangkaaaaaaattt...




Foto dijepret pkl 12.51 di kota Klaten. Sepertinya ini soto tersedap yang pernah kucicipi, nuwendanggggg...



Singkat cerita sekitar pkl. 15 kami sampai di daerah Gunung Kidul untuk menikmati salah satu elok pantainya. Langsung ke penampakannya aja ya wakaka

 
Mba Anjar

Capturing mr. Arif Sugiharto
Pak Arshal
Pak Haris Syukron

Mas Arum dan Mas Ali-ando
Lek di and Mr. Arif Sugiharto having a good time
Mr. Dicky Zulfiqhar

Pak Tri
 

Like a Boyband wakaka
 
 

fotografer huandal iki haha

 
 
  

Malamnya kami langsung menuju Malioboro, suasana kota Jogja memang istimewa, memang benar-benar bukan isapan jempol, tiap sudut kotanya romantisssss!! 
Nol kilometer kota Jogja, BNI kantor wilayah Jogja
Kami bermalam di salah satu hotel yang sifatnya mirip dorm, sepertinya hotel ini memang ditujukan buat para pengunjung, turis dan atau backpacker. Pagi harinya mumpung benar-benar di Jogja, dan karena ndak ada yang bangun yawis aku jalan-jalan sendiri. Izin dulu sama lek di, terus langsung berangkaaattt. Jalanan kota Jogja di minggu pagi yang masih lengang benar-benar menyenangkan. Sampailah di Benteng Vredeburg yang saat ini difungsikan sebagai museum. Karena waktu itu masih teramat pagi dan belum dibuka untuk kunjungan, jadilah dicukupkan foto didepan benteng saja. Kemudian duduk nyantai di salah satu teras rotoar Keraton Kesultanan Yogyakarta, sungguh terasa rindang dan teduh, juga terasa benar keagungan sejarah masa lampau. Keraton kesultanan terletak tepat didepan benteng Vredeburg yang berdiri hampir bebarengan dengan masa awal kesultanan Sultan Hamengkubuwono I (1760). Oiya benteng Vredeburg menurut informasi yang kudapat dulunya dikampanyekan Belanda sebagai “Benteng Perdamaian”, padahal berjarak hanya sepertembakan meriam saja dari Keraton Sultan yang terletak tepat didepannya. Dan muwaaaaasih banyak lagi bangunan asyik dan bersejarah disekelilingnya. Jogja Jogjaaaa, so majestic! 
Work until you can have a view like this!
Karena takut ketinggalan bus, setelahnya aku langsung balik ke hotel. Namun tergoda juga buat nikmati makan pagi bernuansa Jogja, angkringan. Awwenaaaak suasananya, juga sambil berbincang banyak hal dengan mbok-mbok penjual. Menunya sega (nasi) kucing+gorengan dan teh anget, nikmat Tuhan yang sederhana tapi sungguh bisa menggetarkan hatiiiiiiii...

 
 
 
 
 



Demikian saja sih, singkatnya pingin segera balik lagi ke Jogja. Kunjungan selanjutnya insyaAllah akan bareng isteri dan keluarga hehe, aminnnn ya Rabb...

Sabtu, 19 November 2016

Pendakian gunung Pandan



Dalam perjalanan ke Desa Atas Angin sebelumnya yang telah ditulis, pernah kubilang bahwa ingin sekali untuk selanjutnya mendaki ke gunung Pandan, yang puncaknya terlihat lumayan jelas dari bukit Atas Angin. Ingin sekali rasanya waktu itu untuk segera bisa rasakan segarnya udara gunung, atau sekedar meringkuk tidur ngeringkuk kedinginan dalam sleepingbag dan tenda di alam lepas kembali.
10 September, sudah lama sekali kuincar tanggal ini. Akhir pekan yang sangat tepat untuk melakukan pendakian ditengah kesibukan kerja, sebab libur bertambah sehari karena senin tanggal merah (Idul Adha). Perencanaan sudah dilakukan dengan matang, teman-teman sekopian telah kuberitahu untuk mengosongkan jadwal akhir pekan mereka.
Anggota tim pendakian ini adalah Ayik, Alvin dan Husain. Sabtu siang tepat setelah pulang dari kantor (harus ngantor untuk selesaikan beberapa urusan), kami berangkat naik motor susuri jalan menuju wilayah Bojonegoro bagian selatan. Dari Kanor, Sumberrejo menuju kota Bojonegoro, bertolak ke arah Dander, Temayang, dan sampai ke Klino, Kecamatan paling selatan Bojonegoro yang berbatasan langsung dengan Nganjuk. Sore hari kami sampai di base camp, rumah terakhir warga sekitar. Pendakian gunung Pandan dimulai dari Desa Klino, dan untuk sampai di puncak ternyata bisa ditempuh menggunakan motor, kata penduduk sekitar. Setelah melalui diskusi kecil, kami langsung seiya-sekata pada putusan menggunakan kaki-kaki sendiri demi sampai di Puncak. Nyatanya dalam perjalanan kami jumpai track jalan yang cukup terjal, apalagi pada track menjelang puncak yang miliki tebing curam atau jurang  dalam, dan yah kubilang akan sangat sulit sekali kalau ditempuh pakai motor biasa. Lagipula, akan sangat memalukan sekali bagi kami yang telah terlihat sangat keren membopong tas keril berat (tidak terlalu bagiku) apabila tak gunakan kaki sendiri untuk berjalan.
Pkl. 16.42 kami baru memulai start pendakian dari rumah penduduk terakhir, yang tepatnya adalah cucu dari mendiang kakung Imam Marsan (sesepuh gunung Pandan), tempat motor kami titipkan. Kesorean memang, untung saja cuaca lagi bagus jadi okelah. Ada sensasi aneh pada tiap langkah waktu itu, rasa menyenangkan yang teramat lama tak meletup-letup muncul kembali. Penat karena kesibukan kerja langsung terlepas, pundak pengangkat tas keril sekalipun terasa begitu enteng, menyenangkan sekali. There is an overwhelming pleasure in every simple step our foot take through the pathless woods!
 
 

Waktu tempuh untuk dapat sampai di puncak Pandan terbilang singkat, hanya butuh waktu pendakian 2 jam saja, sudah terhitung waktu istirahat untuk leyeh-leyehkan kaki atau sandarkan punggung saat letih sudah mulai merajuk. Sampai di puncak hal pertama yang kami lakukan adalah orientasi medan mencari tempat paling pas untuk dirikan tenda. Butuh usaha lebih memang dirikan tenda saat sudah gelap, apalagi di gunung saat dingin sudah memulai memeluk. Sumpah, perjuangan seperti ini yang menjadikan pendakian gunung begitu berarti. Ketelatenan dalam mendirikan tenda dengan pasak-pasak yang harus tertancap kuat ditiap sudut agar tenda berdiri kokoh dan mampu sebagai tempat teduh saat badai datang, bersabar menjaga api dan meracik bumbu masakan saat perut mulai keroncongan, bersusah-susah nyeduh air panas untuk bikin kopi atau susu cokelat hangat, atau bahkan sekedar untuk nyalakan korek api sekalipun butuh perjuangan ekstra karena jari-jari mulai terasa beku, semua dilakukan saat badan terasa letih. Bahkan dari hal-hal kecil seperti ini, para pendaki dapat begitu menghayati limpahan nikmat Tuhan yang tak boleh lagi didustakan.
Tenda berdiri, semua masuk ke dalam, menata letak dimana keril dikumpulkan atau kepala direbahkan, semua makanan terkumpul pada satu titik, sleeping bag dan peralatan masak lengkap dengan piring gelas dan saset kopi. Diluar badai kecil datang tiba-tiba, tenda kami takkan kalah kokoh, seolah menjadi shelter tempat berlindung paling aman di dunia pada malam itu. Air panas telah diseduh, kudapan kecil nikmat dihidangkan bersama secangkir kopi panas sebagai penghangat dalam dingin udara gunung, obrolan panjang menyenangkan tentang apa saja dan gurih gelegar tawa bersama kawan-kawan satu tenda, kesederhanaan yang rasanya begitu amat sangat mewah. Fabiayyi alaa i Rabbikuma tukadzibban?
Pagi hari. Badai selalu menyisakan  pohon-pohon terkuat juga pendaki-pendaki yang tabah.
 
 
 
 
 

Gunung Pandan merupakan puncak tertinggi Bojonegoro walau dengan ketinggian hanya 890 mdpl. Disebut gunung Pandan karena dipuncaknya banyak sekali dijumpai tumbuhan Pandan yang tumbuh liar disamping-samping tebing.
One mission accomplished, BIG TIME!

Sabtu, 22 Oktober 2016

Rembulan Jingga

Semenjana lalu beberapa waktu
Tirai menggelar, gelap saja
Tak begitu pekat, sedikit muram
Merayu mengenang
Tiada gemintang

Rembulan jingga menggantung tanpa tali
Berpendar separuh lebih hari-hari
Membelai manja imaji-imaji
Perlahan merajuk mengajak bermimpi
Sepi...

Malam, malam gelap
Gelapkah hatimu seperti malam?

[191016 - 2253]

Sabtu, 24 September 2016

Di Atas Angin



Bangun tidur pagi hari, sabtu 30 Juli 2016. Belum genap tanganku mengucek-ngucek mata yang masih lengket disergap kantuk, ada perasaan aneh yang lama tak dirasakan, sangat familiar, ternyata rindu. Sudah cukup lama aku disibukkan dengan dunia baru, urusan pekerjaan yang sangat menyesakkan waktu ini telah menjadi rutinitas baru dalam hidup. Yahh aku sudah sudah cukup senang dengan alur hidupku saat ini, namun sesekali kembali lagi pada kerinduan yang datang tergesa-gesa pagi itu, demi Tuhan aku rindu udara segar di alam lepas.
Berhari-hari yang lalu sudah kukatakan pada teman-teman lingkaran kecil diskusi secangkir kopi tentang rencanaku untuk kembali bertenda di alam lepas, namun karena tanggal yang tak tepat, mengingat rindu yang makin mendesak, jadilah aku seorang diri berangkat. Tujuan kali ini adalah menuju sebuah desa yang sejuk di pelosok Bojonegoro. Perjalanan ini, seperti perjalanan yang lalu-lalu, sungguh membuat gairah hidupku kembali kobar. Membayangkan betapa nanti akan menemui banyak sesuatu yang baru benar-benar sebuah sensasi yang amat mengasyikkan.
Siang hari setelah pamit orang rumah hendak bertolak kemping, kusempatkan dulu mampir ke kantor Sumberrejo (ke mesin ATM) untuk ambil amunisi dompet, sekaligus kunjungi pak Majid, sekuriti penjaga yang kukenal baik beberapa bulan yang lalu. Kami berbincang sejenak dan tertawa-tawa, sambil kujawab pertanyaannya tentang apa yang hendak kulakukan dengan tas keril yang belum begitu padat dipunggungku. Puas berbincang, aku kemudian pamit untuk lanjutkan perjalanan. Pak Majid melepas pamitku dengan pandangan mata terheran-heran, satu dari sekian pandangan mata yang pernah kutatap dari orang-orang baik yang kutemui dalam perjalanan solo yang lalu-lalu.
Untuk sampai pada tempat yang dituju,  dengan motor kususuri jalanan raya menuju kota Bojonegoro, kemudian membelok selatan menuju Dander dan Kecamatan-kecamatan setelahnya yakni Temayang, Gondang, Klino, dan terakhir Sekar, Desa Atas Angin. Perjalanan ini cukup melelahkan, berjalan naik, aspal agak rusak sebagian paving dan atau cor. Sore hari sampai aku di Atas Angin, destinasi utama kali ini untuk melepas rindu.
Langkah pertama yang harus dilakukan setelah sampai tujuan adalah beramah-tamah dengan orang-orang sekitar sambil menggali informasi. Memang benar, masih tersisa banyak sekali orang baik diluar sana, dan para penduduk Atas Angin adalah salah satunya, keramahan khas orang desa yang tak dibuat-buat. Setelah memberitahu maksud kedatangan dan meminta izin untuk bermalam diatas bukit, setelah sebelumnya dihujani banyak pertanyaan keheran-heranan kembali mengenai perjalanan soloku. Langsung kemudian kulangkahkan kaki mendaki bukit yag tak begitu tinggi. Udara sejuk sore itu sungguh berbeda dari sore-sore sebelumnya, kebisingan ajarkanku untuk pandai-pandai menikmati sepi...
 Diatas bukit kujumpai mbah saeman, kuncen bukit Atas Angin.
“Mas kok piyambakan?
“Nggih mbah piyambakan mawon.
“Mangke dalu bade nginep teng mriki? Wantun njenengan?
“Nggih nginep mbah, wantun kok...
“Nek ngoten mangke dalu kula rencangi nginep teng bukit.
“Nggih mangga mbah...”

Mbah Saeman pamit padaku untuk pulang dulu ke rumah, mandi dan makan. Aku selonjoran saja duduk diatas batu besar bersama buku catatan dan pena, sambil menekuri sunyinya lukisan yang indah tak bertara terbentang di depan mata, nikmat Tuhan manalagi yang hendak kudustakan?
 
Malam hari ada yang mengarahkan sorot cahaya senter padaku, mbah Saeman datang, tak sadar ternyata aku tertidur pulas. Kusambut mbah Saeman dengan antusias, walau dengan makanan ringan dan air putih (ada susu cokelat juga) seadanya. Cut the formalities, kami langsung asyik berbincang banyak hal. Tak lama kemudian datang pak Suwoto, kepala kerajaan kecil Desa Atas Angin yang juga hendak temaniku, seorang khafilah yang “mampir ngombe” ke Atas Angin. Jadilah dua orang baik ini menemani malamku. Cerita lucunya, awalnya mereka kira aku hendak bertapa samadi atau miliki maksud lain untuk bermalam di atas bukit, setelah kujelaskan ternyata hanya pingin lagi rasakan sensasi gigi gemeletak kedinginan seperti pendakian-pendakian kemarin jauh. Sesekali ada juga orang desa yang datang khusus untuk hanya menjengukku, dan yah mereka mengira aku hendak seperti tadi, samadi, tapa brata, laku tapa, dan semacamnya. Sumpah waktu itu, tak berniat merendahkan kepercayaan penduduk Atas Angin, sebenarnya dalam hati ketawa kepingkal-pingkal karena dikiranya aku hendak bersamadi. Mereka datang membawa nasehat bahwa apabila menginginkan sesuatu dan mendoakannya di bukit ini, Gusti Pangeran akan mengabulkannya, sambil juga memberi contoh orang sana-sini yang telah terwujud kabul doa dan inginnya. Bupati pertama Bojonegoro, Kanjeng Soemantri, menurut cerita orang-orang juga sering bertapa di tempat ini. Mbah Saeman dan pak woto juga mengundangku untuk sowan kesana pada  bulan Sura besok, tepatnya pada Jumat Pahing, hari sebelumnya adalah Kamis Legi yang merupakan wetonku. Aku tak pernah menolak konsep taba brata atau laku tirakat orang Jawa, kadang juga kulakukan karena aku memang wong jowo tulen. Tapi untuk malam ini, sungguh aku hanya ingin merayakan kembali damaiku bersama alam lepas.
Bersama mbah Saeman dan pak Woto, kami berbincang dan bercerita mengenai banyak hal. Mulai dari sejarah raja-raja jawa, Soekarno dan jaman penjajahan Belanda-Jepang, ramalan raja Jayabaya mengenai jaman Kalabendu yang akan segera datang, peta politik terkini, sengketa pembagian wilayah kerja dan retribusi dengan Perhutani, Silat dll. Kami juga berbincang mengenai Bojonegoro, yang menurut pak woto sedikit kurang tepat dalam tata letak kota, karena ya memang, Kabupaten Bojonegoro teramat jauh dari Kecamatan-kecamatan selatan, terlalu dekat dengan Cepu di barat, Tuban di utara dan Lamongan di selatan. Akibatnya yakni timpangnya pembangunan daerah selatan. Orang-orang di Sekar dan dan Klino lebih dekat pada Nganjuk dan Madiun. Kegiatan perekonomian merekapun seringkali menuju kedua Kabupaten tetangga tersebut, karena memang jauh lebih dekat. Perbincangan terus berlanjut, sambil sesekali menyruput susu cokelat dan jajanan yang kusediakan. Aku tak membawa peralatan masak, juga tak bertenda, karena tempat sewaan tutup, sedikit disayangkan memang, tapi tak mengurangi kekhidmatan obrolan malam itu. Mbah Saeman kemudian keluarkan sebuah buku dari tas kecilnya, buku ini berisi cerita mengenai riwayat hidup dan keperwiraan seorang Jaka Bereg Sawuggaling, Surabaya. Buku yang sudah teramat lapuk dan kuyuh, masih menggunakan ejaan “tempo doeloe”. Obrolan berlanjut hingga teramat larut malam, hampir pagi, sungguh mengasyikkan bisa berbagi dan menerima banyak hal baru.
Mbah Saeman

 

Atas Angin sendiri ternyata miliki kisah tersendiri. Sering disebut “bukit cinta” karena dulunya disini merupakan tempat petilasan tapa Raden Atas Aji, yang lantas bertemu dewi Sekar Sari. Pak Woto dan mbah Saeman meminta agar sebutan ini jangan diartikan sempit. Cinta adalah, dalam artian sesungguhnya, kepada Tuhan, pada keluarga, pada pekerjaan, hobi, kehidupan dan pada alam raya. 
Diatas bukit Atas Angin 650 mdpl, kunyalakan kembali api unggun yang nyaris redup...