Tanggal 5 Juni 2019 idul Fitri 1440 H menjadi
hari-hari perayaan yang takkan pernah kami lupa sepanjang hayat. Momen disaat
hari kebahagiaan berkumpul bersama keluarga dalam hangat suasana fitri,
mendadak jadi sejarah terkelam yang harus kami tanggung dalam hidup. Aku tak
sedang bersedih saat menulis tulisan ini, hanya saja kurasa tak patut juga
ditulis dalam atmosfer yang bahagia, yahh sedang-sedang saja. Isteriku Pradita
sedang mengandung 7 bulan saat kubawa dia pulang ke Bojonegoro, mulih mudik ning ndeso. Mudik idul Fitri
yang menjadi impianku sejak kecil, mengandung buah hati harapan kami berdua,
betapa senangnya. Tapi Allah yang maha segalanya menghendaki lain.
Shalat idul Fitri pagi itu, Pradita berangkat bersama
ibuk menuju masjid. Kumandang Takbir bersahutan di seluruh penjuru omah ndeso
yang sejuk dan elok dengan udaranya yang bersih. Namun belum selesai rangkaian
khutbah shalat Ied, Pradita merasa kesakitan di perut dan harus pulang bersama
ibuk untuk beristirahat. Usai shalat, seperti tradisi untuk sungkem memohon
maaf ke sanak famili, tetangga-tetangga dan kerabat datang silih berganti.
Hingga siang hari, perut Pradita tak juga menunjukkan tanda kondisi membaik
hingga harus kubawa ke RS Muhammadiyah Bojonegoro. Singkat cerita dari
penjelasan dokter, memang bayi kami harus lahir walau belum waktunya. Tak perlu
kujelaskan lebih rinci, karena mencoba merangkai memori hari-hari itu saja
sudah berat. Tapi tulisan ini harus kurampungkan, sebagai pengingat betapa
Tuhan menyayangi kami walau dalam musibah sekalipun.
Yang lebih buatku gentar adalah mengingat betapa
Pradita menahan sakit berjuang sekuat tenaga lahirkan bayi kami, sakit yang pasti
takkan kuat aku menanggungnya. Peluh dan rintihan seorang ibu yang berharap
melihat bayinya lahir. Kami dengan sabar berulangkali mencoba husnudzan,
membaca ayat Qur’an, berdzikir dll. Kudekatkan mulutku ke perut Pradita sambil
lantunkan hafalan Ar-Rahman yang masih gratul-gratul.
Saat dia mulai mengaduh, selalu kuingatkan untuk diganti dengan istighfar,
karena barangkali setan dapat masuk dan bisikkan “duhai, berat sekali
penderitaan dari Tuhan-Mu yang harus kau peri ini?”. Bayi kami lahir pada Jumat
dini hari pukul 00.30 kurang lebihnya, dalam keadaan telah berpulang. Aku tak
melihat ekspresi kesedihan di wajah Pradita, atau pula tangis, yang ada hanya
mimik kepasrahan dan pengembalian segalanya pada Rabb-Nya. Melihatnya seperti
itu, dalam hati aku bertanya pada diri sendiri “bagaimana dia bisa seteguh itu?”
ku tersenyum padanya dan berbisik (lagi-lagi dalam hati) You did well, nice fight…
Beranjak dari Pradita untuk melihat tubuh bayi kami
yang telah dibawa para perawat ke tempat steril, ada ibuk dan bulik disana.
Saat berjalan mendekat, kudengar bulik menyebut “ALLAHUAKBAR!” dalam ekspresi
keterkejutan, sejurus kemudian beliau tunjukkan padaku ada bercak darah di
telinga bayi kami yang mrip membentuk tanda “4JJI”. Bulik dan ibuk tak kuasa menahan tangis, sedang aku lega
karena Allah menjawab doaku yang meminta agar diberikan “tanda” bahwa kalau memang
ini adalah cobaan dariNya, agar sekiranya Allah ridha dengan semua tingkah laku
dan perilaku kami dalam menghadapi cobaan ini. Dan bayi perempuan kami yang telah
menghadap Allah kami beri nama Fitria Yasmaul Qur’an, lahir pada Idul Fitri,
suka mendengar tilawatil Qur’an. Yasma insyaAllah lahir dari rahim ibu yang
suka ngaji, bahkan suka lupa jika tak diingatkan saat sudah masuk waktu
berbuka.
Jumat pagi jenazah dek Yasma dibawa pulang untuk
dikebumikan. Pakde memaksa agar beliau yang menggendong jenazah dek Yasma,
karena takut andai di tengah jalan aku tak kuasa tahan sedih. Namun sebagai
bapaknya, aku ingin mendapat kehormatan dari anakku sendiri untuk antarkan dia
ke tempat istirahat terakhirnya. Dalam penanggalan Jawa, mbah Kung bilang bahwa
Yasma pergi di hari yang disebut “tiba
segara, kepung seroja”, artinya insyaAllah (mudah-mudahan) baik, dan meninggal
disaat banyak keluarga yang sedang berkumpul, pula banyaknya tamu yang datang.
Ada tiga hari lain yakni tiba gunung, tiba singkur, tiba sungsep, kusebutkan
sebagai selipan tulisan.
Terima kasih kepada keluarga, sahabat, teman dan semua
yang telah membantu kami melalui masa sulit kemarin. Mbah Kiai yang memakamkan
dek Yasma bilang “wong tuwane Yasma sak
mbah-mbahe dan keluargane wis duwe tiket melebu dan wis ngapling suwarga ning
akhirat, suk mben dadi pitolong ning shirataal mustaqim…” kuaminkan khidmat
dalam hati, namun yang lebih penting adalah tetap berusaha agar menjadi
“pantas” ditolong besok. Sebagai penutup, aku berpesan pada diri sendiri,
sungguh semua yang melekat pada kami ini adalah kepunyaan-Nya, dan akan kembali
pula pada-Nya.
Saat Pradita merasa sehat, doi minta foto mumpung sepi tamu. Diambil beberapa saat sebelum berangkat ke rumah sakit |
Selamat beristirahat dek Yasma, izinkan kami melanjutkan hidup dan sampai jumpa esok. We love you and I love your mom more than ever…
Surabaya, 1 Muharram 1441 H
Ttd. Bunda & ayah yang mencintaimu