“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku...”
(QS. Ad-Dariyat: 56)
Ayat yang hampir sudah kita hafal
diluar kepala. Namun sayangnya, pengabdian pada Allah seringkali dipahami hanya
berkutat pada masalah ritual yang tak jauh dari persoalan aktivitas lahir dan
ibadah. Sehingga saat ditanyakan, “siapakah muslim yang saleh?” atau “siapakah
orang yang alim?” masyarakat pada umumnya akan menjawab “ialah yang rajin shalat,
puasanya tekun, zakatnya lancar, ngajinya fasih, sering tampak di masjid dan
aktivitas ibadah lainnya”.
Kesadaran lama itulah yang
menjadikan Islam hanya menjadi kulit yang tidak dapat membangun kepribadian
manusia. Syariat yang dianggap masih menjadi tujuan dalam beragama
mengakibatkan adanya nafsu yang lebih mementingkan, atau terobsesi meraih
pahala sebesar-besarnya.
Padahal Tuhan tidak menciptakan
manusia untuk diajak transaksi jual-beli. Kita beribadah kepada Allah dan
akhirnya memperoleh laba (pahala). Nantinya jika laba kita ternyata lebih
banyak dari hutang, kita akan masuk surga. Islam diturunkan bukan untuk tujuan
sesederhana dan ‘serendah’ itu. Kurang apa Allah memberi nikmat pada kita? Coba
kita hitung satu-persatu kalau mampu mengkalkulasinya. Islam diturunkan tidak
lain demi kesejahteraan manusia. Agama diperuntukkan sepenuhnya untuk
kepentingan manusia. Untuk memperbaiki kepribadian individu maupun masyarakat
dengan syariat sebagai jalannya, al-Qur’an dan Hadist sebagai peta, dan Allah
yang maha kuasa sebagai sutradara penentu segala. Ritual ibadah sesungguhnya ‘hanyalah’
cara unuk mencapai suatu kepribadian tertentu.
Lalu bagaimana menentukan saleh
tidaknya seseorang? Tidak lain adalah tingkat takwanya kepada Allah. Islam sejak
lama mengajarkan satu ajaran luhur , bahwa kemuliaan manusia bukan dilihat dari
hartanya, tinggi rendah derajat manusia bukan dari pangkat, popularitas,
prestasi akademis, deret gelar, atau dari eloknya paras, demi Allah bukan. Derajat
disisi Allah ditentukan oleh kadar ketakwaan kita pada-Nya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah
disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui lagi maha mengenal...”
(QS. Al-Hujarat : 13)
Takwa? Takwa adalah mematuhi perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Sebagian ulama adapula yang dengan cerdik menerjemahkan takwa
melalui huruf-huruf penyusunnya: ta’, qaf, wawu.
Ta’ adalah Tawadhu’.
Seorang yang bertakwa akan rendah hati dihadapan siapapun. Ia merasa bahwa diri
hanyalah makhluk kecil yang tak pantas sombong didepan siapapun, tak mudah
meremehkan orang lain.
Qaf adalah Qana’ah.
Orang yang bertakwa selalu menerima karunia Allah dengan penerimaan yang tulus.
Tak gusar saat rezeki sempit. Tak sombong saat rezeki Allah datang berlimpah. Cukup
saat diberi sedikit, bersikap wajar saat diberi banyak. Ketika diberi lebih ia
bersyukur.
Wawu adalah Wara’.
Artinya sikap waspada terhadap segala hal selain Allah. Menjauhi sikap
berlebih-lebihan, egoisme, kesombongan, dan ambisi materi lainnya.
Hasan al Bashri menggambarkan dengan kalimat indah tentang
sifat orang yang telah mencapai derajat takwa:
Anda akan menjumpai orang yang mencapai tingkat takwa yakni
teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin
berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijak, tampak wibawanya
didepan umum, jelas syukurnya dikala beruntung, menonjol qana’ahnya dalam
pembagian rezeki, senantiasa rapi walau miskin, selalu cermat, tidak boros
walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek,
tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak berjalan membawa fitnah,
disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasi serta terpelihara identitasnya, tidak
menuntut yang bukan hak dan tidak menahan haak orang lain, apabila ditegur ia
menyesal, jika bersalah ia istighfar. Kalau dimaki ia tersenyum sambil berkata,
“jika mungkin ini benar, aku bermohon segera Allah mengampuniku. Jika makian
ini salah, aku bermohon semoga Allah mengampunimu...”
Berjamaah menuju kebaikan, semoga bermanfaat.
Disadur dari:
Ahmad Rifa’i R., “Me+God=Enough” bab Wong kang Sholeh Kumpulana. Hlm: 103-108
Makasih bukunya, dekk :)