Bangun tidur pagi hari, sabtu 30 Juli 2016. Belum
genap tanganku mengucek-ngucek mata yang masih lengket disergap kantuk, ada
perasaan aneh yang lama tak dirasakan, sangat familiar, ternyata rindu. Sudah
cukup lama aku disibukkan dengan dunia baru, urusan pekerjaan yang sangat
menyesakkan waktu ini telah menjadi rutinitas baru dalam hidup. Yahh aku sudah
sudah cukup senang dengan alur hidupku saat ini, namun sesekali kembali lagi
pada kerinduan yang datang tergesa-gesa pagi itu, demi Tuhan aku rindu udara
segar di alam lepas.
Berhari-hari yang lalu sudah kukatakan pada
teman-teman lingkaran kecil diskusi secangkir kopi tentang rencanaku untuk
kembali bertenda di alam lepas, namun karena tanggal yang tak tepat, mengingat
rindu yang makin mendesak, jadilah aku seorang diri berangkat. Tujuan kali ini
adalah menuju sebuah desa yang sejuk di pelosok Bojonegoro. Perjalanan ini,
seperti perjalanan yang lalu-lalu, sungguh membuat gairah hidupku kembali
kobar. Membayangkan betapa nanti akan menemui banyak sesuatu yang baru
benar-benar sebuah sensasi yang amat mengasyikkan.
Siang hari setelah pamit orang rumah hendak bertolak kemping,
kusempatkan dulu mampir ke kantor Sumberrejo (ke mesin ATM) untuk ambil amunisi
dompet, sekaligus kunjungi pak Majid, sekuriti penjaga yang kukenal baik
beberapa bulan yang lalu. Kami berbincang sejenak dan tertawa-tawa, sambil
kujawab pertanyaannya tentang apa yang hendak kulakukan dengan tas keril yang
belum begitu padat dipunggungku. Puas berbincang, aku kemudian pamit untuk
lanjutkan perjalanan. Pak Majid melepas pamitku dengan pandangan mata
terheran-heran, satu dari sekian pandangan mata yang pernah kutatap dari
orang-orang baik yang kutemui dalam perjalanan solo yang lalu-lalu.
Untuk sampai pada tempat yang dituju, dengan motor kususuri jalanan raya menuju
kota Bojonegoro, kemudian membelok selatan menuju Dander dan
Kecamatan-kecamatan setelahnya yakni Temayang, Gondang, Klino, dan terakhir
Sekar, Desa Atas Angin. Perjalanan ini cukup melelahkan, berjalan naik, aspal
agak rusak sebagian paving dan atau cor. Sore hari sampai aku di Atas Angin,
destinasi utama kali ini untuk melepas rindu.
Langkah pertama yang harus dilakukan setelah sampai
tujuan adalah beramah-tamah dengan orang-orang sekitar sambil menggali
informasi. Memang benar, masih tersisa banyak sekali orang baik diluar sana,
dan para penduduk Atas Angin adalah salah satunya, keramahan khas orang desa yang
tak dibuat-buat. Setelah memberitahu maksud kedatangan dan meminta izin untuk
bermalam diatas bukit, setelah sebelumnya dihujani banyak pertanyaan
keheran-heranan kembali mengenai perjalanan soloku. Langsung kemudian
kulangkahkan kaki mendaki bukit yag tak begitu tinggi. Udara sejuk sore itu
sungguh berbeda dari sore-sore sebelumnya, kebisingan ajarkanku untuk
pandai-pandai menikmati sepi...
Diatas bukit
kujumpai mbah saeman, kuncen bukit Atas Angin.
“Mas kok piyambakan?
“Nggih mbah piyambakan mawon.
“Mangke dalu bade nginep teng mriki? Wantun njenengan?
“Nggih nginep mbah, wantun kok...
“Nek ngoten mangke dalu kula rencangi nginep teng
bukit.
“Nggih mangga mbah...”
Mbah Saeman pamit padaku untuk pulang dulu ke rumah,
mandi dan makan. Aku selonjoran saja duduk diatas batu besar bersama buku
catatan dan pena, sambil menekuri sunyinya lukisan yang indah tak bertara
terbentang di depan mata, nikmat Tuhan manalagi yang hendak kudustakan?
Malam hari ada yang mengarahkan sorot cahaya senter
padaku, mbah Saeman datang, tak sadar ternyata aku tertidur pulas. Kusambut
mbah Saeman dengan antusias, walau dengan makanan ringan dan air putih (ada
susu cokelat juga) seadanya. Cut the
formalities, kami langsung asyik berbincang banyak hal. Tak lama kemudian
datang pak Suwoto, kepala kerajaan kecil Desa Atas Angin yang juga hendak
temaniku, seorang khafilah yang “mampir
ngombe” ke Atas Angin. Jadilah dua orang baik ini menemani malamku. Cerita
lucunya, awalnya mereka kira aku hendak bertapa samadi atau miliki maksud lain
untuk bermalam di atas bukit, setelah kujelaskan ternyata hanya pingin lagi
rasakan sensasi gigi gemeletak kedinginan seperti pendakian-pendakian kemarin
jauh. Sesekali ada juga orang desa yang datang khusus untuk hanya menjengukku,
dan yah mereka mengira aku hendak seperti tadi, samadi, tapa brata, laku tapa,
dan semacamnya. Sumpah waktu itu, tak berniat merendahkan kepercayaan penduduk
Atas Angin, sebenarnya dalam hati ketawa kepingkal-pingkal karena dikiranya aku
hendak bersamadi. Mereka datang membawa nasehat bahwa apabila menginginkan
sesuatu dan mendoakannya di bukit ini, Gusti Pangeran akan mengabulkannya,
sambil juga memberi contoh orang sana-sini yang telah terwujud kabul doa dan
inginnya. Bupati pertama Bojonegoro, Kanjeng Soemantri, menurut cerita
orang-orang juga sering bertapa di tempat ini. Mbah Saeman dan pak woto juga
mengundangku untuk sowan kesana pada
bulan Sura besok, tepatnya pada Jumat Pahing, hari sebelumnya adalah
Kamis Legi yang merupakan wetonku. Aku tak pernah menolak konsep taba brata atau
laku tirakat orang Jawa, kadang juga kulakukan karena aku memang wong jowo tulen. Tapi untuk malam ini,
sungguh aku hanya ingin merayakan kembali damaiku bersama alam lepas.
Bersama mbah Saeman dan pak Woto, kami berbincang dan
bercerita mengenai banyak hal. Mulai dari sejarah raja-raja jawa, Soekarno dan
jaman penjajahan Belanda-Jepang, ramalan raja Jayabaya mengenai jaman Kalabendu
yang akan segera datang, peta politik terkini, sengketa pembagian wilayah kerja
dan retribusi dengan Perhutani, Silat dll. Kami juga berbincang mengenai
Bojonegoro, yang menurut pak woto sedikit kurang tepat dalam tata letak kota,
karena ya memang, Kabupaten Bojonegoro teramat jauh dari Kecamatan-kecamatan
selatan, terlalu dekat dengan Cepu di barat, Tuban di utara dan Lamongan di
selatan. Akibatnya yakni timpangnya pembangunan daerah selatan. Orang-orang di
Sekar dan dan Klino lebih dekat pada Nganjuk dan Madiun. Kegiatan perekonomian
merekapun seringkali menuju kedua Kabupaten tetangga tersebut, karena memang
jauh lebih dekat. Perbincangan terus berlanjut, sambil sesekali menyruput susu
cokelat dan jajanan yang kusediakan. Aku tak membawa peralatan masak, juga tak
bertenda, karena tempat sewaan tutup, sedikit disayangkan memang, tapi tak
mengurangi kekhidmatan obrolan malam itu. Mbah Saeman kemudian keluarkan sebuah
buku dari tas kecilnya, buku ini berisi cerita mengenai riwayat hidup dan
keperwiraan seorang Jaka Bereg Sawuggaling, Surabaya. Buku yang sudah teramat
lapuk dan kuyuh, masih menggunakan ejaan “tempo doeloe”. Obrolan berlanjut
hingga teramat larut malam, hampir pagi, sungguh mengasyikkan bisa berbagi dan
menerima banyak hal baru.
Mbah Saeman |
Atas Angin sendiri ternyata miliki kisah tersendiri.
Sering disebut “bukit cinta” karena dulunya disini merupakan tempat petilasan
tapa Raden Atas Aji, yang lantas bertemu dewi Sekar Sari. Pak Woto dan mbah
Saeman meminta agar sebutan ini jangan diartikan sempit. Cinta adalah, dalam
artian sesungguhnya, kepada Tuhan, pada keluarga, pada pekerjaan, hobi,
kehidupan dan pada alam raya.
Diatas bukit Atas Angin 650 mdpl, kunyalakan kembali
api unggun yang nyaris redup...