Kali ini aku akan coba tuliskan cerita gowes yang
menurutku pribadi pada awalnya sebenarnya kurang begitu menarik, namun ternyata
ada beberapa sisi unik yang harus ditekankan dalam tulisan disini.
Pagi hari di 27 Maret 2016, sedang libur lumayan lama
dan bisa pulang dari pelatihan ADP di Surabaya. Bersama Alvin, Gendys dan Faras
(kelas 5 SD, keponakanku) kami mancal pedal untuk gowes ke “Watu Semar”
Alun-alun Bojonegoro. Kami sudah koordinasi sebelumnya, namun untuk si Faras,
pagi itu dia datang ke rumah ditemani pakde dan minta diajak sepedaan. Awalnya
aku ragu, si Faras apa kuat gowes kurang lebih 25 km, tapi setelah lihat
semangatnya, okelah Faras masuk dalam rombongan kecil gowes sederhana ini.
Faras mancal dengan senangnya, tergurat sebuah semangat dalam raut wajah yang
masih malu-malu dan banyak diam dalam perjalanan (baru pindah dari Mojokerto).
Yang paling bikin kaget itu ternyata keponakanku yang baru kelas 5 SD ini
memiliki daya tahan yang prima, lebih kuat dari Alvin dan Gendys yang
berkali-kali ajak untuk berhenti istirahat sejenak.
Singkat cerita setelah melalui perjuangan yang tak
begitu “ngoyo”, bagiku dan Faras
bukan bagi Alvin dan Gendys, kami sampai di Alun-alun Bojonegoro, taman yang
jadi kebanggaan wong jenogoro. Alun-alun kota jenogoro cukup luas, terletak di
pusat kota bersebelahan dengan kantor bupati dan gedung Pemkot Bojonegoro, dekat
Masjid Agung dan juga pasar tradisional Bojonegoro. Kalau stadion kebanggan
Bojonegoro dinamai Letjend Soedirman, maka untuk alun-alun kota ini digunakan
untuk mengenang jasa pahlawan lainnya, yakni Lettu Soejitno. Jujur saja aku
belum begitu tahu banyak mengenai cerita keduanya dan akan segera kucari tahu.
Mungkin selanjutnya kalau besok ganti aku yang jadi Bupati (huahahaha), akan
kubangun juga sebuah monumen yang mengenang jasa RM Tirto Adhi Soerjo, pahlawan
pertama perintis pers Indonesia, asli Bojonegoro, ditulis dalam buku tetralogi
Pulau Buru karya Pramoedya Ananta T., sebagai “Minke” (aku amat sangat mengidolai
sekali banget buku ini). RM Tirto Adhi Soerjo dituliskan pula dalam buku mbah
Pram yang lain dalam judul “Sang Pemula”, kesemuanya sudah selesai kubaca,
benar-benar keren!
Hal unik lain yang dapat dijumpai di alun-alun kota
Bojonegoro adalah “Watu Semar”.
Watu Semar
merupakan sebuah bongkah batu besar berwarna kuning keemasan dengan ukuran
panjang dan lebar 4m, serta tinggi sekitar 3m (perkiraan menurutku). Informasi selanjutnya
kubrowsing dari internet untuk lebih memberi power pada tulisan ini. Watu Semar
memiliki berat 80 ton, dipindahkan dari tempat “semedinya”di kawasan hutan
Ikut, Dusun Bendotan, Desa Krondonan, Kecamatan Gondang, Bojonegoro. Watu
semar, disebut demikian karena memang bentuknya yang mirip tokoh pewayangan
Jawa yakni Semar, yang kemudian ditularkan oleh penduduk sekitar secara
Gepok tular atau dari mulut ke mulut.
Dipercayai penduduk sekitar bahwasannya Watu Semar merupakan tempat
peristirahatan eyang Gendro Sari sepulang pertapaan dari puncak Gunung Pandan.
Eyang Gendro Sari merupakan sesepuh yang dituakan, penguasa dari kawasan gunung
Pandan pada masanya. Gunung Pandan (897 mdpl) ini adalah gunung tertinggi dari
kawasan pegunungan di dataran tinggi pegunungan Kendeng. Aku sendiri tak begitu
paham, tapi dataran tinggi Kendeng ini berupa perbukitan kapur yang tersebar di
sebelah utara pulau jawa dari timur Semarang sampai Utara Jombang. Maafkan aku
kalau terdapat kesalahan atau ketidakakuratan informasi yang disampaikan. Aku
sendiri setelah tau Bojonegoro ternyata memiliki sebuah gunung, ingin sekali
mendaki sampai puncaknya. Walau tak begitu tinggi, tapi sepertinya akan jadi
tempat yang baik sekali untuk sekedar lepaskan rindu yang menggunung untuk
kembali
nyeruput kopi di ketinggian
gunung.
|
LGBT: Lelaki Ganteng Bersepeda Terus, wakaka |
Watu Semar memiliki arti filosofi sebagai berikut:
Semar merupakan tokoh pewayangan asli Jawa yang sebenarnya dewa tapi membo atau macak atau menyatu dan hidup dengan rakyat, atau istilah kerennya Manunggaling Kawula Gusti. Watu Semar
yang kokoh dipindahkan ke alun-alun Bojonegoro sebagai prasasti tanda kebulatan
tekad masyarakat (wong jenogoro khususnya) untuk terus berkarya!
Bojonegoro matoh, Indonesia jayaaaaaaa...
Amin ya Rabb.