Malam-malam, ditengah
lautan menuju selat Manila sebuah kapal tertabrak badai. Begitu besar
sampai-sampai terlihat kapal tua itu akan terjengkang kesamping. Kru kapal
sibuk berlarian menyelamatkan kapal dengan menarik tali-temalian layar kesana
kemari. Sebagian penumpang mencoba menyelamatkan barang-barang yang bisa
diselamatkan, sebagian lain hanya bisa berdoa. Karena sebuah keajaiban, kapal
beserta semua penumpang selamat. Di dalam kapal itu ada seorang lelaki paruh
baya, tubuhnya terlihat ringkih, namun raut matanya tajam, dan kuat. Ada yang
aneh, dia tak merasa senang walau badai telah berlalu. Matanya tersorot pada
satu titik, sebuah peti tua yang berada di pojok ruangan kamar dek kapal.
Baginya badai belum berlalu. Beberapa hari yang lalu lelaki ini memutuskan
untuk hijrah dari Tiongkok menuju Manila. Dibawanya barang-barang seadanya,
namun yang ada dalam peti baginya lebih berharga dari mata uang manapun.
Ternyata dalam peti itu bertumpuk berbuku-buku tulisan karya Machiavelli, Marx,
Freidrich Engels, Shakespeare, Rumi dan penulis-penulis lain juga Al-qur’an
Karim, dan berlembar-lembar tebal kertas hasil tulisan sendiri baik yang
ditulis tangan maupun yang telah diketik. Waktu berlalu dan kapal akan segera sampai
di pelabuhan, lelaki itu tak punya waktu lagi untuk menyesal. Dia harus
menenggelamkan peti berisi buku-buku miliknya, merelakan dengan berat hati berbagai
pustaka yang telah dikumpulkan dengan bersusah payah di masa lampau, byurr
hilang tenggelam begitu saja ditengah laut yang sepi. Sampai di pelabuhan
Manila, tampak berderet polisi melakukan pemeriksaan. Lelaki tadi turun dari
kapal dengan menjinjing koper berisikan baju-baju dan piranti lain untuk hidup
di Manila. Setelah tiba antriannya untuk diperiksa, polisi menemukan sebuah
buku catatan kecil yang terselip di saku kemeja lusuh yang dipakai. Buku itu
bertuliskan kumpulan abjad yang acak, seperti ACMSK (singkatan dari Army, Capital, Machine, Source, Knowledge. Ini
dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa saja yang dibutuhkan untuk
memenangkan perang, metode berpikir seperti ini kelak disebut “Jembatan
Keledai”) dan lain sebagainya. Awal mulanya Polisi-Polisi tadi curiga, namun
setelah perbincangan yang alot akhirnya lelaki pemilik buku catatan dibebaskan.
Lelaki yang diceritakan
diparagraf atas adalah Tan Malaka, Muhammad Yamin menyebutnya sebagai bapak
bangsa Indonesia. Cerita diatas bukan fiksi, namun benar terjadi. Cerita
berkejadian sekitar tahun 1920-an, waktu itu dunia sedang bergejolak akibat
perang. Krisis terjadi dimana-mana. Buku yang harus ditenggelamkan milik datuk
Tan juga akibat imbas perang, lebih tepatnya perang ideologi. Saat itu
peredaran buku sangat dijaga ketat, utamanya untuk buku-buku berbau ideologi,
ekonomi, komunisme dan sastra revolusi. Bahkan sebagian buku dilarang untuk
dibaca, untuk kemudian orang yang membacanya dicap pembangkang dan berdosa. Di
Manila, buku-buku berbau komunisme dilarang dan pemilik ataupun pembaca yang
terbukti harus dijatuhi hukuman mati, ditembak dilapangan disaksikan
beramai-ramai masyarakat awam agar buku tertentu tidak dibacai lagi
selama-lamanya. Pertanyaannya, kenapa buku?
Itu kisah mengenai Tan
Malaka. Ada juga banyak cerita yang menggambarkan betapa sulitnya orang-orang
di masa lampau dalam menggali pengetahuan atau bahkan untuk sekedar membaca.
Dulu-dulu yang sangat dulu, tentara Persia akan membakar seluruh buku dan
perpustakaan dari daerah jajahan baru yang berhasil ditaklukkan. Pertanyaannya,
kenapa buku?
Menarik sekali membahas
arti pentingnya buku, sampai-sampai wakil presiden RI pertama, Moh. Hatta
bekata dalam sebuah catatan, “Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena
bersama buku aku bebas!” Sebuah kalimat yang sungguh bertabrakan namun mengandung
arti yang sangat mendalam keluar dari seseorang yang semasa hidupnya dihabiskan
untuk semata-mata kemerdekaan bangsa.
Melompat jauh ke masa
kini, dimana langsung saja para pemuda-pemudinya dapat belajar dengan baik
tanpa takut kehabisan uang saku, dengan gadget di tangan kiri dan leptop
dikanan, tanpa takut dipenjara dan terbebas dari kerasnya popor senjata
tentara-tentara yang siap dihantamkan andai saja ketahuan membaca buku-buku
tertentu. Mendapatkan pustaka tentu akan sangat mudah, tinggal menekan tombol
“OKE Google” internet dan semua beres. Jaman memang berubah, semuanya menjadi lebih
praktis ketika membaca langsung pada poin yang dituju, dan juga tak perlu
menenteng buku kemana-mana karena dengan gadget semua buku bisa ditampung,
sangat praktis memang. Kenyataannya tak seindah itu, banyak godaan yang
terpasang di aplikasi pembantu gadget-gadget saat ini. Instagram, Facebook,
Twitter, Path, BBM, Foursquare, Line, bahkan Let’s Get Rich dll. Penulis paper
ini juga menggunakan smartphone, dan jujur saja saat membuka kunci pada
smartphone untuk pertama kali yang terlintas adalah menyelami media sosial, surfing in the Internet untuk bahasa
gaul generasi gadget saat ini. Sungguh tak bisa dielak bahwa kumpulan media
sosial tadi memang benar betul menggoda. Alih-alih digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat, jujur saja mungkin proporsi untuk stalking sosial media yang membuang waktu dan kurang bermanfaat
akan lebih banyak.
Aku, ah aku, maaf aku
menggunakan kata “aku” karena lebih nyaman daripada menggunakan “saya” untuk
menunjukkan bahwa aku adalah penulis paper ini, lebih kurangnya merasakan
lunturnya budaya membaca di lingkungan sekitar. Coba saja amati apa-apa saja
yang dilakukan teman-teman saat sedang rehat istirahat, atau saat sedang
menunggu, atau saat sedang sendirian mungkin, lihat saja apa yang dilakukan,
pasti tidak jauh-jauh dari gadget. Tidak-tidak, aku tidak memusuhi dan
menganggap gadget sebagai sesuatu yang harus diberangus, tidak. Tapi kurang
lebih itulah yang membuat buku atau apapun yang dapat dibaca, sedikit
dicampakkan saat ini.
Selain faktor
pengalihan perhatian seperti diatas, ada juga alasan yang menjadikan malasnya
membaca sebagai hobi yang patut diselami. Ini adalah alasan klasik, alasan yang
amat-sangat-basi-sekali-banget,
alasan tidak suka membaca. Bahkan ada juga yang bilang membaca itu membosankan,
terlihat kuno dan old-fashioned, kuper
dan sebagainya. Kenyataannya adalah kalau kita mengambil contoh dari
orang-orang “besar” yang telah berhasil dari masa ke masanya, baik disemua
bidangnya, orang-orang tersebut adalah
mereka yang diotak dan hatinya sangat mencintai dan menjunjung tinggi kehadiran
buku. Sebutlah bung Karno, Tan Malaka, Abraham Lincoln, Stephen Hawking,
Gibran, Che Guevarra, Soe Hok Gie atau tokoh-tokoh saat ini seperti Prabowo,
Anies Baswedan, SBY, Bob Sadino, Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Hugo Chavez,
tokoh-tokoh tersebut adalah contoh orang-orang besar dalam bidangnya dari masa
ke masa, dan masih banyak beribu tokoh lain yang jelas tak akan mungkin
diceritakan bagaimana sayangnya mereka pada perpustakaan dan tumpukan
buku-bukunya. Bahkan kalau kalian mengenal Eminem, rapper keren asal Amerika
penge-rap lagu “Love the Way You Lie”, kosakata dalam setiap lagunya yang
begitu kaya adalah tak lepas dari kegemaran Eminem yang merupakan seorang
pembaca berat buku kamus semacam KBBI-nya Amerika.
Adalah sebuah kesalahan
fatal jika menganggap membaca buku adalah hal yang tak banyak membantu. Selain
menambah wawasan dan pengetahuan, membaca buku juga dapat memperhalus budi
pekerti, mencairkan kebekuan hati, mempertajam fokus, memperkokoh kepercayaan
diri, dan merubah cara berpikir untuk lebih menjadi pribadi yang positif.
Kuberitahu kalian sebuah rahasia, bahwa menurut akun twitter @FaktaGoogle
mengungkapkan dalam sebuah penelitian bahwasannya laki-laki yang suka membaca
buku terlihat lebih seksi dibandingkan dengan laki-laki lain yang tidak gemar
membaca dengan asumsi tingkat kekerenannya seimbang, begitu juga dengan
perempuan. Masih menurut @FaktaGoogle, laki-laki terlihat lebih “Gentle” saat
mereka memiliki pengetahuan yang luas dan berkepribadian baik. Premis 1: Lukman
(misalkan saja) seorang laki-laki keren yang gemar membaca buku, Premis 2: Dari
membaca buku Lukman memiliki wawasan yang luas. Silogisme dari kedua premis
tersebut adalah Lukman seorang lelaki yang gemar membaca buku dan memiliki
wawasan yang luas, yang kemudian akan sampai pada sebuah hipotesis bahwa Lukman
disukai/ditaksir oleh banyak teman perempuannya. Hal tadi tentu saja adalah
sebuah permisalan, karena memiliki pengetahuan luas bukanlah sesuatu yang hanya
bisa dicapai dengan melulu membaca buku, tapi juga dari berbagai hal lainnya.
Ada lagi hasil survey
yang diadakan oleh Hipwee.com mengenai hal-hal apa saja yang dapat menghibur
sebuah kedukaan atau disaat takut mengenai hal yang akan datang. Hasil survey
yang telah dikompilasi menunjukkan bahwa membaca buku adalah obat paling ampuh
untuk melupakan kesedihan, disusul ditempat kedua dan seterusnya yakni
mendengarkan musik favorit (yang kukira menjadi obat nomor satu), pergi ke
tempat-tempat indah atau tempat yang ingin dikunjungi, bercerita dengan teman
dan lain sebagainya. Ini bagi kalian para generasi gadget yang ababil, yang
seringkali galau karena ditinggal pacar mungkin, atau ditelikung orang lain
mungkin. Aku tak menuduh, karena aku juga masih ababil seumuran dengan kalian.
Tak ada salahnya kita
mulai kembali menyenangi buku, mulai bacai buku, mulai kembali lagi ke buku.
Buku apa saja boleh dan halal, buku bacaan yang lepas konteks dari buku
perkuliahan seperti novel atau lain-lain. Ambillah contoh sederhana, kemanapun
pergi harus terselip sebuah buku bacaan di dalam tas terlepas nantinya akan
sempat dibacai atau tidak. Saat senggang, “bermainlah” dengan bukumu,
kesampingkan gadget atau lainnya barang sejenak saja. Jelas kita tak bisa
langsung istiqamah dalam membaca seperti apa yang dilakukan Paulo Coelho yang
tak pernah hari-harinya di jalani dengan tidak membaca buku selain hanya satu
hari saat hari pernikahannya. Setidaknya dengan sedikit meluangkan waktu dan
menggebrak rasa malas, buku akan selesai terbaca.
Buku bacaan yang patut
dibaca tidak terpatok pada buku-buku pelajaran. Untuk awalnya coba bacai
buku-buku yang menghibur diwaktu senggang, seperti novel, sastra, motivasi atau
yang lainnya. Saat ini memang sangat banyak yang menggemari buku-buku macam
tulisan Raditya Dika, Dee Lestari, atau lain-lainnya yang tergolong genre
romanso metro-pop. Selanjutnya saat dirasa cukup kuat dan mantap dalam membaca,
tinggalkan sedikit-sedikit dan mulailah beranjak ke sastra romansa klasik atau
yang berkaitan dengan sejarah, Sospol (sosial politik), Teologi, filsafat,
sosiologi dan masih banyak aliran buku yang lain. Percayalah, saat sudah merasa
nyaman dengan membaca, bagaikan meminum air laut, akan semakin haus untuk
“meminum” buku-buku selanjutnya.
Beberapa fakta diatas
mungkin masih belum bisa menguatkan niat untuk langsung gemar membaca, semua pastinya
membutuhkan proses. Tapi ingatlah, bahwa perintah pertama Tuhan kita dalam
surat Al-Alaq adalah Iqra’, membaca.
“Bacalah… Bacalah… Bacalah… Bacalah dengan nama Tuhanmu…” sekiranya seperti itu
yang disampaikan malaikat Jibril kepada nabi Muhammad. Perintah membaca yang
ditekankan sampai tiga kali menandakan pentingnya sebuah aktivitas membaca,
membaca dalam arti yang seluas-luasnya. Kenapa bukan perintah pertama yang
disuruh Tuhan kepada kita adalah tulislah, atau syahadat, atau shalat, atau
tersenyum, atau berlari, atau menolong, atau berwudlu, dan atau-atau lainnya?
Tentunya ini kewajiban untuk merenungkan dan mengupas apa yang diperintahkan
Tuhan kepada kita sebagai makhluk yang berpikir.
Terakhir kalinya, aku
mewakili para pembaca buku yang egois, antagonis, yang ingin menang dan ingin
pintar sendiri. Menulis paper ini sebenarnya bagiku sebuah paksaan dengan
setiap baris kalimatnya yang bagiku sangat menjemukan. Aku ingin tak seorangpun
dari kalian yang bacai tulisan singkat ini setelahnya berubah menjadi gemar
membaca. Kosongkan perpustakaan kalian, kosongkan isi tas kalian dan isilah
dengan gadget atau piranti-piranti yang tak membawa kebaikan itu seperti kartu
Uno, remi, berbagai kosmetik dan piranti lainnya. Karena pada saatnya nanti,
kalian akan kecolongan dan merasa tertinggal jauh dari kami para
pembaca-pembaca buku yang individualistis dan ingin pintar sendiri. Jadilah
kalian pada akhirnya generasi yang tak berkompas, tak tentu arah, membebek dan
membeo oleh trend-trend hedonis dan sekularis dengan segala tipu daya dan
kemewahannya, yang sengaja diciptakan untuk menghancurkan mental kalian,
membius kalian dalam kesenangan masa muda yang penuh ranjau dan jebakan. Kami
para pembaca buku akan benar-benar berdiri sebagai pemenang, sementara kalian,
hanya ini pesan yang kami tinggalkan: Jangan membaca, lestarikan kebodohan!
Salam.
Kupinjam dari Tan
Malaka, ditulis pada 22 Maret hari puisi, Padi tumbuh tak berisik…
Penulis:
Abimanyu
Permadi (Nama Pena)
Paper ini ditulis dalam kaitannya memberi sumbangsih dan ikut berpartisipasi mengembangkan bidang kepenulisan ADKES HMI Komisariat Pertanian UB. Semoga bermanfaat, dan juga untuk pembaca lepas, semoga mencerahkan. Yakin Usaha Sampai...